"Dibandingkan kamu ditolak kerja terus, lebih baik kamu ibu jodohkan saja, lah."
Langkah Nindy yang menuju kamarnya kembali terhenti usai mendengar kalimat sinis sang ibu, Lita. Sudah setahun ini memang ia mencari pekerjaan yang sesuai, akan tetapi selalu berakhir sia-sia. Semua ini pun tidak lepas dari permintaan ibunya. Karena ia adalah sarjana pertama di keluarga, Lita ingin Nindy hanya bekerja kantoran. Padahal, Nindy sendiri tidak mempermasalahkannya. Baginya, berpenghasilan jauh lebih penting, daripada menuruti gengsi. Terakhir, Nindy sebetulnya sudah diterima bekerja. Hanya saja, ketika akan tanda tangan kontrak, pihak HRD membatalkannya karena posisi yang akan diisi Nindy telah diisi orang lain, bawaan orang dalam. "Bu, apa sih? Nindy masih muda, masih belum mau menikah. Kenapa harus dijodoh-jodohin?" protes Nindy langsung. “Aku mau bekerja dan berkarir dulu. Aku mau mendapatkan penghasilan dari keringat aku sendiri." "Kerja apa?” tantang Lita, ibu dari Nindy, sembari menatap tajam ke arah anaknya. “Ibu hanya mau kamu kerja kantoran, di gedung tinggi. Kamu sudah ibu dan ayah sekolahkan sampai jadi sarjana." Nada bicara sang istri kepada putri pertamanya itu membuat Roni mencoba sedikit menenangkan. "Bu, Ayah rasa ...." "Ayah diam saja!” Lita tak membiarkan sang suami membela anaknya. “Ini juga demi kebaikan Nindy sendiri, demi kebaikan kita semua. Ibu masih tidak rela keluarga kita direndahkan.” “Ibu….” Mendengar kalimat sang ibu, Nindy tercenung. Kemudian, ia langsung menunduk. Sekarang, ia tahu apa yang membuat ibunya berkeinginan kuat untuk melihatnya kerja kantoran. Semua ini bermula dari kejadian setahun lalu…. Di mana hubungan asmara Nindy tidak mendapati restu dari keluarga kekasihnya. Faiz, pria itu, ditentang habis-habisan menikahi Nindy karena wanita itu bukan berasal dari keluarga yang sama kaya. Karena itu juga, hubungannya dan Faiz kandas. Terakhir Nindy tahu, pria itu telah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. “Kamu harus berjuang lebih keras lagi, Nin. Balaskan rasa sakit hati kamu karena pria yang merendahkan keluarga kita dengan kesuksesanmu!" Nindy yang juga masih merasakan sakit hati akibat penolakan di masa lalu itu pun, kini kembali bersemangat. Ia juga ingin membuktikan pada keluarga pria itu, jika ia bukanlah wanita yang pantas direndahkan. "Kalau begitu, beri aku waktu lagi, Bu. Aku pasti bisa kerja di tempat yang bagus." Keesokan harinya, Nindy yang baru kembali dari melamar pekerjaan itu kembali tertunduk lesu. Rasa semangatnya yang kemarin menggebu, kini luruh karena lagi-lagi penolakan lah yang ia dapatkan. Wajah tak semangat Nindy menjadi pertanda bagi orang tua dan adiknya, jika ia kembali gagal. Tidak ada yang berani menegurnya, dan ia memutuskan untuk langsung memasuki kamar. “Hah… susah sekali mencari pekerjaan yang sesuai sama jurusan kuliahku!” keluhnya sembari merebahkan diri di ranjang. Namun, tidak lama, ia sudah kembali menatap layar ponselnya. Jemari itu bergulir cepat, mencari deretan lowongan pekerjaan yang mungkin cocok untuknya. Saat itu, tanpa terduga, sebuah nomor yang tidak Nindy simpan mengirimkan pesan beruntun. [Hey, apa kabar?] [Aku harap kabar kamu lebih baik dari yang aku pikirkan] [Bisakah kita bertemu? Ada hal penting yang ingin aku katakan] [Aku Faiz, kamu tidak menghapus nomorku, kan?] Brak!! Ponsel yang tidak pernah lepas dari tangan Nindy setelah beberapa hari wawancara kerja, sekarang malah dijatuhkan begitu saja. Ia begitu kaget dan terkejut membaca nama sang pengirim pesan, yang keberadaannya sudah tak lagi ia dengar berbulan-bulan. “D-dia….”"Kak! Kak Nin, aku mau pinjam dress yang warna putih itu, lho. Aku ada acara—" Ucapan Alika, adik Nindy yang terhenti ketika melihat kakaknya tengah mematung dengan mata berkaca-kaca. "Kakak kenapa? Sakit? Aku panggil Ibu dulu.""Lika ....""Ya?" Alika mengurungkan niatnya untuk mengadu.Nindy menunjuk pada ponselnya yang jatuh. "I--itu ....""Oh, HP Kakak jatuh? Ish, ish, kan bisa diambil." Alika pun berjongkok dan mengambil ponsel kakaknya.Layar ponsel itu yang masih menyala dan memperlihatkan isi pesan dari Faiz sontak terlihat oleh Alika.Setelah membaca empat pesan dari nomor yang tak disimpan, Alika menjadi marah dan sangat emosi."Ngapain cowok ini hubungin Kakak? Kapan Kakak buka blokiran nomor cowok brengsek ini?” tanyanya tak sabaran. “Jawab, Kak! Atau aku akan kasih tau ini sama Ayah dan Ibu!"Untuk sesaat, Nindy tak bisa menjawab. Ia hanya terus menangis, menunjukkan ketidaktahuannya atas alasan pria itu kembali menghubunginya.Melihat kakaknya terpuruk untuk kedua kali k
"Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"Lama tidak bertemu, membuat Nindy hampir saja lupa bagaimana rupa pria yang pernah menjalin hubungan 3 tahun dengannya ini.Setelah setahun menahan keinginan mencaritahu kabar pria itu, Nindy sedikit pangling. Faiz yang dulu terlihat tampan, murah senyum, kini menjelma menjadi pria dingin. Belum lagi, keberadaan kantong mata pria itu yang sedikit menghitam, yang tidak pernah Nindy temukan dulu.Namun, teringat kembali keperluannya yang sudah mendesak… ia menolak untuk bernostalgia."Aku tidak ingin berbasa-basi. Seperti yang sudah aku katakan padamu lewat handphone semalam, apa kamu sanggup?"Semalam, ketika berpamitan pada ibu untuk mencari pinjaman, Faiz lah orang yang Nindy tuju. Wanita itu juga telah berterus terang, jika ia bersedia menjadi pengasuh anak sang mantan, jika Faiz bisa langsung membayar gajinya di muka.Ia akan membayarnya dengan dicicil, dipotong dari setengah gajinya yang telah digelontorkan lebih dulu untuk biaya operasi sa
Tidak terasa Nindy sudah bekerja sebagai pengasuh bayi dari mantan kekasihnya itu selama satu pekan.Hari ke hari terasa berat bagi Nindy. Sebab, setiap hari ia harus bertemu dengan Faiz, meskipun hanya di setiap pagi dan malam hari, ketika pria itu akan pergi dan pulang kerja saja. Seberapa pun Nindy menyiapkan tembok tinggi untuk membentengi hatinya, kenyataannya… hati dan perasaan memang tidak bisa berbohong. Ia selalu merindukan saat-saat bersama Faiz dulu. "Arel sudah tidur?" Nindy mengerjap, lamunannya langsung terputus ketika mendengar suara Faiz. "Baru saja tidur," sahutnya ketika dilihat pria yang baru saja pulang kerja itu sudah lebih dulu memasuki kamar sang anak."Dia tidak rewel, kan?" tanya pria itu, masih menatap ke arah Arelia yang tertidur lelap."Namanya juga bayi, kalau rewel pun itu hal biasa terjadi."Faiz tersenyum. Sebuah senyum yang menyiratkan perasaan aneh tersendiri untuk Nindy.Entahlah, mungkin karena pernah mengenal baik Faiz selama 3 tahun, Nindy ja
"Baik, Nyonya. Saya akan ingat semua pesan Nyonya."Nindy menutup perbincangan empat mata dengan ibu mertua Faiz dengan penuh hormat. Hampir tiga puluh menit ia mendapati ceramah dari wanita yang sangat perfeksionis itu.Namun, Nindy mencoba mengerti. Bagaimana pun, Arelia adalah cucu satu-satunya mereka. Dan kekhawatiran wanita itu pada cucunya adalah hal yang wajar."Kalian berbicara apa saja tadi?" tanya Faiz ketika Nindy kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepulangan dua mertuanya."Kekhawatiran ibu terhadap anak dan cucunya. Hal yang wajar," seloroh Nindy santai.Kening pria itu berkerut. "Tidak ada yang lain?" Ada setitik kekhawatiran yang terdengar dari kalimatnya."Yang lain?" Nindy mengangkat sebelah alisnya. "Jangan khawatir, tidak mungkin aku mengungkapkan siapa aku pada ibu mertuamu. Aku bekerja di sini karena aku punya hutang, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain."Setelahnya, Nindy melangkah melewati Faiz, menuju kamarnya.Namun, tak menyerah begitu saj
Setelah cuti sehari, Nindy sudah kembali lagi ke rumah Faiz.Perasaannya yang mulai goyah kemarin, perlahan kuat kembali—meski tentu saja sikap dinginnya tak bisa seutuhnya balik lagi.Seperti saat ini, alih-alih masa bodoh karena Faiz dan Sela belum pulang kendati sudah lewat pukul 10 malam lewat, Nindy justru khawatir. Terlebih, pada Faiz yang tidak biasa pulang larut, berbeda dengan Sela.“Tidak biasanya dia tidak memberi kabar.”Tidak ada satu pun telepon atau pesan yang dikirimkan Faiz padanya membuat kekhawatiran wanita itu semakin besar.Sejak komunikasi mereka mencair lagi, Nindy memang sudah terbiasa menyambut kepulangan Faiz di kamar Arelia. Namun kali ini, ia menunggu kepulangan Faiz dengan perasaan gelisah.Bukan takut akan keduanya pergi bersama, tetapi takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Beruntung, ketika baru saja ia hendak menelepon pria itu, terdengar suara gerbang dan deru mobil memasuki rumah.Nindy segera keluar dari kamar untuk melihat."Lho, kamu belum tidur
Nindy menggelengkan kepalanya perlahan sambil tertunduk. Kesadaran masih bisa mengendalikan sesuatu yang menggebu dari rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya itu. Meski ada rasa takut, entah kenapa menolak dengan tegas pun tidak ingin dia lakukan."Jangan berbuat lebih jauh, aku takut.""Apa yang kamu takutkan? Sela tidak akan melihat kita."Faiz mencoba untuk kembali mendekat dan meraih bibir Nindy. Namun dengan cepat Nindy menahan tubuh Faiz yang sudah merangkulnya dalam pelukan."Jangan mengujiku, Iz. Aku hanya wanita biasa. Aku masih menaruh hati padamu, aku tidak ingin tergoda. Statusmu adalah suami dari wanita lain. Ikatan pernikahan itu suci, apalagi ada anak diantara kalian. Aku tidak bisa di posisi seperti ini. Kamu jangan menggoyahkanku.""Pernikahan itu suci jika keduanya saling mencintai. Kalau saling membenci, bagaimana bisa suci jika diantara kami hanyalah perasaan kebencian saat bersama. Ikutilah kata hati kamu, Nin. Jangan mengelak. Karena itu juga yang sekarang
Malam panas pun berlangsung, Nindy dan Faiz tenggelam dalam suasana syahdu yang mereka ciptakan untuk melepaskan kerinduan yang tertidur selama setahun lebih itu.Untuk kali pertamanya, Nindy melepaskan mahkota yang ia jaga hanya untuk suami masa depan. Meski begitu, ia tetap menyerahkannya pada Faiz karena memang Faiz lah yang ia inginkan untuk menjadi pasangan hidup selamanya.Sakit yang berlangsung beberapa menit itu, kini sudah tergantikan dengan rasa nikmat yang tidak bisa Nindy utarakan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dirasakan, bukan manis atau pahit yang bisa diungkapkan."Masih sakit?" tanya Faiz berbisik tanpa menghentikan aktivitasnya.Nindy menggelengkan kepalanya pelan. "Sekarang ..., tidak, tapi masih ada rasa perih ...." jawab Nindy dengan nafas yang tersengal-sengal.Tubuh keduanya begitu basah bak bermandikan air keringat karena aktivitas malam yang berlangsung lama. Nindy tidak menyangka jika akan selama itu, tetapi karena rasa kenikmatan itulah yang membuat N
Selepas liburan sendiri untuk menyenangkan diri setelah melahirkan dan mengalami baby blues. Sela dengan terpaksa, mau tidak mau harus kembali ke rumahnya bersama Faiz, sang suami, hasil dari perjodohan satu tahun yang lalu.Jauh dalam hatinya, ia sama sekali tidak ingin kembali ke rumah itu dan ingin melanjutkan hidupnya sendiri dengan fokus kuliah dan bermain bersama teman-teman sebayanya.Umurnya kini baru memasuki kepala dua, dimana egonya masih tinggi dan fokusnya hanya pada diri sendiri, menyayangi diri sendiri, mencoba hal baru dengan teman-teman kampusnya.Namun kenyataan malah membuatnya harus menjadi istri dari pria asing terpaut 6 tahun lebih tua, yang tidak ia kenal sebelumnya demi kehormatan dan nama baik juga bisnis keluarga.Meskipun sikap Faiz baik, tetapi ia tidak bisa membalas bentuk kebaikan itu. Malah Sela merasa selalu muak dan jijik jika bertemu dengan Faiz.Saat kembali masuk kuliah setelah cuti hamil dan melahirkan, Sela seolah kembali bak seorang perempuan mud