Hari-hari kembali normal. Diana kembali mendampingi Alex dalam pekerjaan. Kini semua karyawan club sudah mengenal Diana sebagai Nyonya Alex, sebuah sebutan yang masih diterimanya dengan tersipu malu.
Suatu malam yang kebetulan adalah akhir bulan di mana pembukuan harus dirampungkan sedetil mungkin. Diana bekerja keras menarik data dari Alex dan memasukkannya ke dalam tabel-tabel yang telah diprogram dengan rumus rumit. Karena bukan jurusan akuntansi, Diana membuat tabel dan rumus sesuai keperluan mereka. Dari monitor CCTV Diana dapat melihat Alex sedang mengontrol situasi di club. Semua orang disapa dengan bersahabat. Kemampuan indera keenam Alex sangat membantu dalam menyaring orang-orang yang dapat dipercaya. Pada salah satu layar terlihat ada perdebatan kecil di pintu masuk. Siapa gerangan? Diana melihat Alex segera menuju lokasi keributan. "Matamu buta, hah?? Aku di tempat ini selamaPekerjaan Diana baru selesai satu jam setelah club tutup. Jack tertidur di kamar sementara Alex menunggui dengan setia. Sebenarnya Diana dapat menyelesaikan lebih cepat, hanya saja konsentrasinya buyar oleh colekan Alex. "Aku bisa tidur sampai sore nih." Diana menggeliat di pangkuan Alex. "Yakin? Tidak mau menemaniku bergadang?" Alex mengulum daun telinga Diana. "Kamu ih, ada waktu bermesraan, ada waktu beristirahat..." Mata Diana terpejam. Kepalanya bersandar ke bahu Alex. "Kamu tidak usah bergerak, biar aku yang bekerja," rayu Alex. "Mmmh..." Alex nyaris tertawa saat Diana tertidur. Tidak tega membangunkan, Alex membopong Diana. Dia membangunkan Jack dengan tendangan. "Heh! Sial kau--" "Sssssttttt...!" Jack langsung diam. "Tolong matikan semua peralatan listrik. Kita pulang."
"Bagaimana rasanya memiliki partner tetap, huh?" tanya Jack usai sesi sparring di atap. "Menyenangkan," sahut Alex dengan wajah berbinar. Jack tertawa, "Sudah saatnya." "Kau betul. Untung aku bertemu Diana, kalau tidak--" "Seumur hidup jadi petualang." Jack menepuk bahu Alex. Alex menyeringai. "Aku belum memberi selamat, Vorst. Semoga kalian sehidup semati." "Thanks, Kawan." "Kapan pernikahannya?" "Akan kuatur secepat mungkin." "Jaga dia baik-baik, Vorst. Setelah memilih jalan bersamamu bisa dikatakan dia tidak punya siapa-siapa." "Tentu saja. Tidak usah kau beritahu." Wajah Jack berubah serius, "Berhati-hatilah terhadap Benyamin. Kau tahu dia bukan orang sembarangan. Kudengar dia berencana untuk menghancurkanmu." "Biarkan dia
Pilih mana, lakukan apa yang kuperintahkan, atau kehilangan tangan dan kakimu. Semua terjadi begitu cepat. Teriakan, bentakan, jeritan, suara hantaman benda tumpul. Kemudian hening. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam... Seharusnya ada satu lagi. Di mana anak muda Vorst itu? Temukan dia! Atau, cukup sampai di sini. Toh Jan dan Elisa sudah dihabisi. Seorang pemuda berusia delapanbelas tahun bisa berbuat apa? Benyamin tersentak. Matanya berputar liar. Keparat! Mimpi buruk di siang bolong! Ben memukul meja. Bayangan masa lalu mulai menghantuinya sejak Alexander Vorst menampakkan wajah. Ben segera mengenali ciri khas Jan Vorst pada wajah Alex. Ayah dan anak itu sangat mirip. Segala hal yang dilakukan memiliki konsekuensi, baik atau buruk. Ben menolak segala bentuk konsekuensi yang mungkin terjadi. Dia telah berusaha untuk memisahkan Diana dari Alex. Gagal. Kini dia harus men
Sebuah mobil boks berhenti di depan club. Seorang lelaki menurunkan kotak-kotak berisi minuman beralkohol. Jack memeriksa semuanya. Saat kotak dibuka Jack mengernyit. Dia memanggil si pengantar barang. "Hei, Bung. Apa ini?" tanya Jack. "Sesuai surat jalan, Pak. Saya tidak hafal satu persatu," ujar si pengantar barang. "Maksudku, kenapa semuanya tidak ada pita cukai?? Siapa yang urus pesanan ini??" "Pita cukai?" Si pengantar barang melongok ke kotak. "Loh? Biasanya dikirim ada kok, bukan yang polosan gini?" "Kamu tunggu sebentar." Jack bergegas melapor pada Alex. Segera saja orang-orang mengerumuni barang kiriman yang beresiko tersebut. Alex menyuruh semua barang dikembalikan. Dia tidak mau didatangi pihak berwajib hanya karena ketiadaan pita cukai. "Malam ini kita batasi limapuluh persen pengunjung. Semuanya buka mata dan telinga, l
"Bagaimana?" "Mereka tutup lebih awal. Intel tidak mendapatkan apa-apa." "Bagus. Biarkan tenang selama beberapa hari, setelah itu lakukan kembali. Lebih pintarlah sedikit, taruh barangnya di tempat yang tidak langsung terlihat." "Baik, Pak." Suara pintu berderit terbuka mengejutkan. "Sayang, aku buatkan pie apel. Makanlah selagi hangat." Mikaela masuk membawa baki besar. "Harum sekali." Benyamin tersenyum gugup. Untung gagang telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Mikaela terpaku. Alisnya bertaut. Benyamin juga terpaku. "Kuharap kamu berhati-hati," cetus Mikaela. "Siapa yang bermain api akan terbakar, Suamiku." "Aku akan panggil pemadam kebakaran." Benyamin meringis. "Ayo dimakan." Mikaela meletakkan sepiring potongan pie apel di tengah meja.
Sudah tiga hari belakangan Diana menaruh curiga terhadap Alex. Wajah lelaki itu tampak begitu serius mengamati laptop. Setiap kali Diana berusaha mendekat, Alex akan menutup laptop dan mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Hari ini Diana akan mencoba pendekatan berbeda. Demi melaksanakan rencananya, Diana berdiri sejenak di bawah pancuran supaya seluruh tubuhnya basah. Rambut basahnya dibiarkan tergerai sementara selembar handuk besar dibalutkan ke tubuh. "Hei, kamu lebih suka yang mana? Pink atau putih?" Diana memegang dua buah gaun tidur. Dia tampak menggoda dengan tampilan seperti habis mandi. Alex memandangi tanpa berkedip. Berbagai adegan terbayang dalam pikirannya. "Alex? Kok diam saja?" tanya Diana dengan nada menggoda. Kakinya melangkah perlahan. "Ehm... Tidak dua-duanya, Princess." Alex menarik Diana ke pangkuannya. Rencananya berhasil! Diana melayangkan pan
"Hmm... Kita tidak perlu tempat yang besar kan? Cuma kita berdua, pendeta, dan hakim serta saksi untuk pencatatan sipil," ujar Alex. "Sepertinya begitu. Saksinya siapa? Tebakanku Jack." "Kita tidak punya teman lain." Alex tergelak. "Dia lebih dari cukup." Diana menyetujui. Venue yang mereka lihat sore ini berupa taman dengan pepohonan dan banyak sekali tanaman bunga hias yang tidak bergantung pada musim. Diana bisa membayangkan dirinya dan Alex berdiri berhadapan di bawah pohon dengan kain sutra putih menjuntai dari dahannya, saling mengucap janji setia. Diana mendekap wajahnya yang memerah. Memalukan sekali. Dilihatnya Alex sedang asyik mengamati pohon angsana yang sedang berbunga. "Kamu suka tempat ini? Atau mau lihat yang lain?" tanya Alex. "Aku suka." "Bisa membayangkan kita berdiri di sini?" "Kam
Semalam suntuk tidak ada kabar dari Alex. Diana mondar-mandir gelisah, tidak dapat beristirahat sedetik pun. Ingin rasanya pergi ke tempat Alex berada. Sekarang Diana mengerti kenapa Alex menyuruh Jack menjaganya. Salah satu alasannya adalah supaya dia tidak bertindak gegabah. Saat resah waktu terasa bergerak dengan lambat. Malam terasa berat karena ketidakpahaman terhadap situasi. Diana benci saat-saat tak berdaya seperti ini. Dia ingin seperti Alex atau Jack yang dapat terjun ke lautan api jika dibutuhkan. "Makanlah sesuatu. Alex pasti tidak ingin kamu pingsan kelaparan saat dia pulang nanti." Jack menyajikan mi goreng buatannya dalam piring. Diana berusaha untuk makan. "Tenang saja, Alex yang kukenal tidak akan jatuh dalam masalah semudah itu." "Kamu yakin?" "Sembilan puluh persen yakin." Diana tersenyum geli. Seandainya dia memiliki sahabat baik se