"Woi! Sibuk amat! Lagi hitung utang?!"
HAHAHAHA!!!Sekelompok laki-laki berpenampilan seperti orang-orang kaya tengah menertawai Dannis Kartanegara, lelaki berusia 22 tahun berkemeja polos dan bercelana jeans lusuh, setelah puas menghinanya habis-habisan. Puluhan pasang mata menatap ke arah kedai makanan yang menjual mie ayam di kantin fakultas teknik dengan tatapan hina. Ada yang tersenyum, tertawa dan mengabadikan momen itu dengan memotretnya menggunakan kamera smartphone.Sayangnya, Dannis hanya bisa menunduk, menyembunyikan raut wajah malunya. Ditambah lagi, ketika ia melirik ke arah seorang perempuan yang menyandar di pundak Randy, pemimpin geng para mahasiswa kaya, dengan begitu mesranya, Ia merasa tersisih karena pandangan itu."A–Anya?" Tanyanya. Dannis tidak menyangka bila kekasihnya yang sudah menjalin hubungan dengannya sejak SMA berani bermain kotor di depannya.Wajahnya memelas, berusaha menutupi rasa kesal serta sedihnya. Ternyata usahanya selama ini untuk membahagiakan kekasihnya adalah hal yang sia-sia."Eh, ada sampah! Kamu ke sini untuk kuliah atau jadi tukang mie?" Sindirnya. Anya merasa puas tertawa bersama Randy dan teman-temannya.Beberapa mahasiswa yang sedari tadi mengantri untuk membeli mie ayam terlihat menjauh dan memilih menghindari komplotan itu. Bapak pemilik kedai mie ayam pun akhirnya turun tangan. Ia membiarkan Dannis mundur dan mengurus mie yang sedang direbus. "Mau makan apa, Mas Randy? Tanya bapak pemilik kedai. Ia sampai menunduk untuk memberi hormat kepada anak penyumbang dana terbesar di kampus itu. "Saya tidak mau dilayani sama bapak! Suruh si gembel itu yang layani saya!" Bentaknya. Randy menggebrak meja seraya menatap tajam ke arah pemilik kedai. Keluarga Randy Sinaga terkenal di kalangan para dosen dan rektor karena mereka adalah donatur terbesar bagi kampus. Ibunya yang seorang mantan dosen mendapat tempat tersendiri di kampus. Lalu ayahnya yang merupakan pejabat setara walikota memiliki kuasa penuh atas otoritas kampus. Dengan begitu, anak mereka bisa dibilang seperti seorang tuan muda yang berlagak semaunya di kampus."Maaf, Mas, tapi Dannis sedang memasak pesanan yang lain," balas pemilik kedai. "Pak, kalau mau tetap jualan di sini, suruh gembel itu yang melayani saya!" Bentak Randy. Ia menarik kerah baju pemilik kedai yang sudah berusia lanjut. Melihat kelakuan Randy yang sudah keterlaluan, Dannis memilih untuk maju. Ia langsung berbalik dan memegang pergelangan tangan ketua geng itu, lalu meremasnya dengan begitu kuat. "Jangan berlagak kurang ajar sama orang tua! Lepas!" Bentak Dannis. Seluruh urat di lehernya terasa ditarik. Uap emosi seakan mendidih di wajahnya. Ia memelintir tangan Randy hingga tangan dari anak sombong itu berhasil terlepas dari kerah baju pemilik kedai. Meski begitu, Randy yang tidak terima segera menarik kerah kemeja Dannis. Ia menarik tubuh pemuda itu keluar dari kedai dan langsung mendorongnya hingga tubuh Dannis membentur pinggiran salah satu meja kantin."Kau berani memelintir tanganku? Dasar sampah!" Tendangan keras tersemat di pinggang Dannis. Ketika Randy melakukan hal itu, empat temannya yang lain ikut menendang pemuda itu. Mereka menghabisi Dannis dengan tendangan yang brutal. Menginjak, meludahi, dan bahkan merekam hal memalukan itu. Anya yang sedari tadi memegang smartphone dan terus mengarahkan kamera videonya ke arah Dannis hanya bisa tertawa saja. Ia sangat menikmatinya."Mampus! Dasar gembel!" Teriaknya. Anya terus merekam perbuatan teman-temannya."Bagaimana? Sudah merasa jagoan? Lain kali kalau mau jualan mie ayam tidak perlu bawa tas dan datang ke kelas! Apa perlu aku bawakan celemek merah muda?" Sindir Randy. Ia menjitak kepala Dannis berkali-kali yang sudah merasa lemas. Terlihat ada beberapa luka memar dan darah yang menetes di wajahnya. Pemuda itu juga merasakan beberapa luka di bagian tubuh lainnya.Sayangnya setelah melihat kelakuan Randy dan temannya, tidak ada satu pun dari mahasiswa di kantin yang bergerak untuk menolong Dannis. Semuanya malah menyeringai dan mengejek mahasiswa miskin itu sambil tertawa lebar bersama geng Randy. Pemilik kedai juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali memalingkan wajahnya. Andai saja ia menolong karyawan magangnya, maka pekerjaannya di kantin fakultas akan menghilang. "Percuma dapat beasiswa kalau ujung-ujungnya mau jadi penjual mie!" Randy kembali menghinanya. HAHAHAHA!!!Tawa yang begitu keras diselingi dengan umpatan kasar terdengar di kantin itu. "Dasar miskin!""Sudah, keluar saja dari sini! Dasar pengemis!""Kalau tidak mampu kuliah, jangan sok mampu!" Dannis yang berusaha bangun dengan menopang tubuhnya masih belum bisa memaafkan kekasihnya. Dua tahun yang mereka lewati di SMA, dan beberapa tahun sampai berada di penghujung akhir semester terakhir, semuanya terasa tidak berguna. Masa depan yang ingin ia bangun bersama Anya juga seakan pecah berkeping-keping. Binar matanya tidak menunjukkan kekesalan, namun ia justru merasa kecewa dan menyesal karena sudah mengenal perempuan itu. Ia membunuh semua perasaannya yang telah berbunga-bunga selama beberapa tahun ini. Dalam sekejap, Anya menikamnya dan membakar bunga yang telah mekar di hatinya dengan api yang besar. "Anya, apa kamu yakin mau dengan cowok brengsek ini?" Dannis masih sanggup untuk menghina kekasihnya."Eh, najis! Kamu pikir aku ini bodoh? Aku pilih dia untuk menjamin masa depanku. Kalau aku pilih kamu, bukan masa depan cerah yang menungguku, tapi malah kuburan!" Sindir Anya. Ucapan wanita itu semakin mengiris hatinya. Harga dirinya yang sudah jatuh di depan semua orang seakan hancur tidak tersisa setelah dihina oleh kekasihnya sendiri. "Anya itu sudah bosan sama sampah kayak kau! Lebih baik kau pulang, terus main layangan kayak bocah kampung!" Randy menarik rambut Dannis dan melepaskannya kembali setelah merasa puas mengutarakan ucapan kotornya. Namun ketika semua pasang mata sedang tertuju ke arah Dannis, seorang perempuan berumuran sama dengan Dannis menarik pundak belakang Randy. Salah satu tangannya langsung melayang ke arah salah satu pipi Randy.Plak! Ketua geng itu terkejut akan aksi yang dilakukan perempuan yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Tamparan yang begitu keras itu bahkan sampai membuat wajah Randy terhempas ke samping. Ada sedikit luka di ujung bibirnya karena terkena hempasan jari perempuan itu. Ditambah lagi, pipi Randy menjadi memerah. Dengan cepat, semua pasang mata yang sedang menonton Dannis langsung beralih ke arah perempuan yang menampar Randy. Anya yang berada di samping perempuan itu langsung mundur ketika ia ditatap tajam oleh si perempuan asing. Empat teman Randy yang merupakan anggota geng teknik yang juga merupakan anak-anak elit merasa terkejut akan kemunculan Luna Arya Diningrat, seorang mahasiswi yang ikut bela diri pencak silat di kampus. "Heh! Kecoa! Kalau berani, berhadapan sama yang setara! Belum pernah kupatahkan tanganmu!" bentak Luna. Ia berteriak lumayan keras. Beberapa mahasiswa yang sedari tadi menonton akhirnya berangsur pergi. Mereka tahu siapa Luna dan posisi yang ia miliki di fakultas teknik. Bukan hanya seorang ahli bela diri yang sudah membawa nama kampus ke kancah nasional, namun ia juga merupakan seorang anak dari pemilik perusahaan ternama yang kekayaannya menyamai kedua orang tua Randy.Luna bisa berbuat lebih kasar pada bocah kaya itu. Bila ia mau, ayahnya bisa saja menggalang suara para pebisnis untuk mencopot rektor universitas dan mengusut kasus yang dialami oleh Dannis. "Bangsat! Kau berani menamparku?!" teriak Randy. Sorot matanya menatap Luna dengan begitu tajam. "Kenapa?! Mau aku tampar lagi!" balas Luna."Dasar kampret! Kau berani memandangku seperti itu setelah menamparku?!" Tatapan mata Randy menjadi sangat tajam. Ingin sekali rasanya ia mencekik perempuan di depannya itu.Ketika ia hendak menarik kerah baju perempuan itu, tangannya langsung dipelintir dan membuat Randy menjerit kesakitan. "Argh! Sakit! Sakit! Lepas, woi!" Randy merintih memohon ampun. "Jangan macam-macam dengan perempuan itu!" Dannis telah berdiri dan langsung menggapai tangan Randy. Ia mencengkeramnya begitu kuat. "Kau?!" Randy langsung menoleh ke arah Dannis. Ia menghempaskan tangan lelaki itu dan mendorongnya agar menjauh darinya. Dannis terdorong lumayan jauh. Untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Meski begitu, beberapa luka yang tersemat di tubuhnya masih terasa sangat sakit. "Kau masih ingin melanjutkannya?" Luna masih menatap tajam lelaki di depannya. Satu tangannya terlihat mengepal. Ia sudah bersiap untuk meninju sampah di depannya. Melihat raut wajah Luna yang tampak serius membuat R
Maaf, Anda sepertinya salah kamar," ucap Dannis. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki yang berdiri di depan pintunya itu.Sayangnya ketika Dannis menolak kehadiran lelaki itu, justru ia malah datang menghampiri Dannis dan membantunya untuk memilah barang. Wajah Dannis terlihat heran dan bingung. Ia takut bila lelaki yang ada di depannya itu merupakan bagian si dikira orang jahat. "Ti–tidak perlu, biar saya saja." Dannis memaksa dengan mengambil paksa barang yang dipegang lelaki itu. "Tidak perlu sungkan, saya adalah orang yang dipercaya oleh ayah Anda," ungkapnya. Lelaki itu tersenyum lagi. "Ayah? Ma–maaf, tapi aku sudah tidak mengenal ayahku sejak bayi. Aku tinggal di panti asuhan dari bayi hingga SMP kelas 3. Yang kutahu, kepala panti asuhan bilang padaku bila orang tuaku sudah meninggal sejak lama," ungkap Dannis. Lelaki itu menepuk pundak cowok di depannya. Ia meminta kepada Dannis untuk duduk sebentar dan mendengarkan apa yang ia coba katakan. Identitas aslinya adalah Arjuna
"Apa kau ingin aku antar?" Juna bermalam di apartemen bosnya. "Tidak perlu, aku akan ke kampus dengan ojek online saja." Dannis menyambangi kepala pengawalnya di meja makan yang berada di dapur.Saat ini Dannis tinggal di salah satu apartemen mewah yang diberikan mendiang ayahnya. Seharian kemarin, ia berbelanja berbagai hal untuk memenuhi lemari pakaian dan lemari es miliknya. Meski begitu, ia tetap terlihat sederhana karena tetap menggunakan pakaian tak bermerek saat ke kampus. "Bagaimana lukamu? Apa sudah mendingan?" Tanya Juna. Ia menyendok sarapannya yang berupa ketoprak. "Dokter itu sangat luar biasa. Luka memar dan lebam di tubuhku sudah tidak terasa nyeri. Namun meski begitu, aku diminta untuk lebih berhati-hati lagi." Dannis mengoleskan roti tawar dengan selai hazelnut. Di sampingnya, ada secangkir susu hangat yang menjadi pendamping kudapan paginya. Tidak sengaja ia melihat televisi yang menyala. Siaran yang menayangkan soal walikota di wilayah kampusnya berada sangat me
"Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan
"Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya. Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Bebera
"Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya."Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. "Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis."Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku
"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. "Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam."Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis."Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. Juna h
"Cepat katakan! Apa semalam kau menjadi babi ngepet?" Separuh menyindir, dan separuhnya lagi merasa penasaran. Randy menoleh sambil mempertanyakan pertanyaan bodoh itu. "Um… itu… koleksi motor pamanku. Yah, benar! Itu salah satu koleksi motor pamanku." Lidahnya terasa kelu ketika dirinya harus berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa dipikirkan oleh Dannis saat itu. Semua yang mendengarkan ucapan Dannis merasa agak bingung. Koleksi motor semahal itu seharusnya tidak boleh digunakan. Randy merasa bila si miskin di depannya ini sedang berbohong. "Koleksi? Sebenarnya seberapa kaya pamanmu itu? Kau yakin itu koleksinya? Atau… itu pemberian dari tante-tante kaya yang mengasuhmu?" Randy kembali tertawa. Kedua kalinya ia menyindir Dannis dengan membawa soal tante-tante kaya. Luna yang berada di samping Dannis segera menarik telapak tangannya dan membawanya pergi dari situ. Tatapan tajamnya menjurus langsung ke arah Randy yang masih enggan untuk berhenti tertawa. "Peliharaan tante-tant
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba