"Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya.
Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Beberapa tamu yang mengantri di belakang para mahasiswa memilih untuk maju dan menyalip antrian mereka. Dan ketika berada di belakang Randy, mereka tidak segan untuk mendahuluinya. "Bos, kenapa jadi begini?" Ucap Aryo dengan wajah kebingungan. "Jangan tanya padaku! Aku sendiri tidak tahu!" Karena begitu kesalnya, Randy memilih untuk pergi dari sana. "Yah, kita tidak jadi makan enak, dong?" Anya cemberut. Kesempatannya untuk mencicipi makanan mahal pun hilang. Para mahasiswa lain yang telah menyempatkan waktu untuk datang ke acara yang diadakan oleh Randy pun akhirnya gigit jari. Banyak dari mereka yang menyindir Randy dan teman-teman gengnya. "Apa kita akan duduk di sini?" Luna menoleh cepat ke arah Dannis. Wajahnya begitu bingung. "Silahkan…." Pelayan menarik dua kursi kosong yang berada di depan mereka secara bergantian. Ia mempersilahkan keduanya untuk duduk. Dannis tidak bisa berhenti tersenyum ketika melihat raut wajah perempuan yang duduk di depannya. Dari awal mereka duduk hingga ketika pelayan menjelaskan menu makanan yang akan dihidangkan, Luna melongo dan diam tanpa berkata sedikitpun. Kepalanya hanya mengangguk setiap kali pelayan selesai menjelaskan sesuatu. "Untung saja kita bisa dapat meja." Kedua matanya tidak bisa beralih dari wajah perempuan di depannya. "Nah! Itu yang ingin aku tanyakan. Kok, bisa?" Luna tidak menyangka bila Dannis benar-benar melakukan reservasi. Ditambah lagi, saat ini pelayan sedang mengambilkan beberapa menu makanan yang terbilang mewah dan juga mahal. Ia merasa cemas bila uang sakunya tidak bisa membayar semua makanan itu. "Kamu penasaran?" Dannis menggodanya. "Dannis, kamu tahu berapa harga makanan di sini? Kalau kamu asal pesan tanpa tahu harganya, kita berdua bisa mati! Jujur saja, aku hanya bawa uang sekitar tiga juta," bisik Luna yang sudah kepalang takut. "Tenang saja. Aku mendapat sedikit bantuan dari pamanku yang bekerja di sini. Jadi kau tidak perlu khawatir," balasnya. Dannis menenggak air mineral yang tersedia di depannya. Luna tidak mengetahui bila Dannis memiliki seorang paman. Setahunya, lelaki di depannya adalah seorang yatim-piatu. Ia merasa Dannis sedang menyembunyikan sesuatu darinya. "Paman yang mana? Memang apa posisi pamanmu sehingga bisa melakukan reservasi dan mentraktir kita berdua makan di sini?" Luna melihat beberapa makanan telah dihidangkan di atas meja. Tiga pelayan secara bergantian menghidangkan menu berkualitas bintang lima tepat di hadapan keduanya. "Coba kamu cicipi, ini enak." Dannis memotong sedikit makanan yang ada di depannya dan lalu melahapnya. Wajahnya tampak tenang dihiasi dengan senyum merekah. Tapi hal itu berbanding terbalik dengan Luna. Ia bahkan mencari tahu di internet harga ketiga menu makanan yang ada di depannya. Mulutnya terbuka lebar ketika ia melihat barisan angka berdigit enam tersemat di poster masing-masing menu itu. "Dannis! Jangan dimakan! Letakkan sendokmu! Lebih baik kita keluar dari sini!" Luna berbisik sangat pelan. Uang yang berada di tas selempangnya tidaklah cukup untuk menanggung ketiga makanan di depannya. Terlebih lagi, masih ada tiga menu yang belum datang. "Loh, kenapa? Sayang, 'kan? Semuanya sudah dipesan dan dibayar." Dannis meledek perempuan di depannya dengan terus bersikap tenang dan bodoh amat."Sebentar, sudah dibayar? Apa maksudmu? Sebenarnya apa pekerjaan pamanmu di restoran ini?" Luna semakin bingung. "Oh… i–itu… dia bekerja sebagai top manajemen di hotel ini." Raut wajah gugup meliputi Dannis. Sikapnya menjadi kikuk, sebisa mungkin ia mengelak dan tetap menyembunyikan rahasianya. Setelah mendengar jawaban temannya, sedikit ada rasa lega yang merekah di hati Luna. Ia merasa tidak sungkan lagi untuk menikmati makanan yang terhidang di depan matanya. Satu per satu menu makanan ia cicipi. Di lain pihak, Dannis menghubungi pengawalnya melalui pesan singkat.[Hei, kenapa Randy dan teman-temannya tidak bisa masuk ke dalam restoran? Apa itu karena dirimu?] Pesan terkirim.[Rencanaku berhasil, 'kan? Bagaimana? Apa si bocah kaya itu sudah diusir?] Pesan balasan diterima oleh Dannis. Ia tertawa kecil ketika membaca pesan dari pengawalnya. Tapi Dannis merasa bersyukur karena rencananya untuk makan berdua saja dengan Luna berhasil. "Pemandangannya bagus." Luna menatap jauh keluar jendela. Langit sudah mulai menjadi gelap. Dannis menanggapi ucapan perempuan di depannya dengan gumam kecil yang diakhiri dengan senyuman. Keduanya menatap langit malam sambil menyendok masing-masing hidangan di depannya. "Ngomong-ngomong, apa kau sudah mengajukan permohonan untuk melakukan praktek kerja lapangan?" Luna menatap mata lelaki di depannya."Oh, aku masih menimbang-nimbang di mana harus melakukannya," balas Dannis. "Kalau kau mau, aku bisa merekomendasikanmu ke perusahaan tempatku nanti melakukan praktek kerja lapangan." Luna merasa harus membalas kebaikan Dannis yang telah memperbolehkannya ikut makan di restoran mewah itu. "Benarkah? Artinya nanti kita bisa berangkat PKL bersama-sama?" Dannis langsung menodong perempuan itu dengan permintaannya. "Boleh saja, asal kau bisa datang tepat waktu," balas Luna. Setelah beberapa jam berlalu dan keduanya merasa puas dengan pelayanan serta makanan yang dihidangkan, mereka kembali turun ke lobi. Sekali lagi, Luna melihat beberapa pelayan dan resepsionis yang menundukkan tubuhnya ke arah mereka berdua.Luan berpikir bila mereka melakukan hal itu untuk menghormati Dannis yang merupakan keponakan dari top manajemen di sini."Sekarang kamu tinggal di mana? Kudengar dari beberapa teman, katanya kamu baru pindah kos-kosan?" Luna menoleh dan menanyakan hal yang sensitif.Dannis merasa ragu untuk membalas pertanyaan perempuan itu. Ia mencoba untuk melontarkan senyum saja ke arah Luna, alih-alih mengelak darinya. "Maaf, apa pertanyaanku mengganggumu?" Luna menghentikan keingintahuannya."Kurasa kita berpisah di sini saja. Maaf, tapi aku harus balik ke rumah dulu." Luna menghentikan langkahnya. "Baiklah, terima kasih sudah mau menemaniku makan," ucap Dannis. "Aku yang harusnya berterima kasih untuk makan malamnya. Aku sangat menikmatinya. Dan sampaikan salamku juga untuk pamanmu." Luna melambaikan tangannya dan pergi menuju ke halte bus. Ketika Dannis hendak memesan ojek online, tiba-tiba mobil berwarna hitam berhenti di depan dirinya. Ketika kaca mobil itu turun, seseorang dari dalam mobil memanggil Dannis. "Perlu tumpangan?" Dan disaat yang bersamaan, Luna melihat Dannis naik ke dalam mobil hitam itu. "Dia naik mobil siapa?" Luna merasa penasaran."Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya."Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. "Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis."Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku
"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. "Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam."Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis."Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. Juna h
"Cepat katakan! Apa semalam kau menjadi babi ngepet?" Separuh menyindir, dan separuhnya lagi merasa penasaran. Randy menoleh sambil mempertanyakan pertanyaan bodoh itu. "Um… itu… koleksi motor pamanku. Yah, benar! Itu salah satu koleksi motor pamanku." Lidahnya terasa kelu ketika dirinya harus berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa dipikirkan oleh Dannis saat itu. Semua yang mendengarkan ucapan Dannis merasa agak bingung. Koleksi motor semahal itu seharusnya tidak boleh digunakan. Randy merasa bila si miskin di depannya ini sedang berbohong. "Koleksi? Sebenarnya seberapa kaya pamanmu itu? Kau yakin itu koleksinya? Atau… itu pemberian dari tante-tante kaya yang mengasuhmu?" Randy kembali tertawa. Kedua kalinya ia menyindir Dannis dengan membawa soal tante-tante kaya. Luna yang berada di samping Dannis segera menarik telapak tangannya dan membawanya pergi dari situ. Tatapan tajamnya menjurus langsung ke arah Randy yang masih enggan untuk berhenti tertawa. "Peliharaan tante-tant
"Kenapa? Ada yang salah dengan permohonan praktek kerja lapangan yang aku buat? Dannis meletakkan alat makannya dan menatap Randy dengan begitu santainya. "Kau tidak lihat siapa saja yang sudah memilih perusahaan itu sebagai tempat PKL? Gembel sepertimu tidak cocok satu tim denganku!" Cepat cabut namamu di bagian administrasi!" Randy menarik kerah kemeja Dannis dengan begitu erat. Lelaki itu sampai mendongak mendekati wajah si anak manja. Dengan cepat, Dannis berdiri dan menggenggam pergelangan tangan Randy. Cengkeraman erat yang Dannis lakukan direspon oleh si anak manja dengan mencekik lehernya. Kali ini Randy merasa sangat gusar dan ingin sekali menghabisi si bocah miskin itu. Terlihat Dannis disudutkan ke tiang kolom yang berada tidak jauh di dekatnya. Mie yamin yang belum sempat dimakan pun tumpah karena tersenggol oleh tubuh Randy yang ketika itu hendak mendorong Dannis. Seluruh urat leher Randy terlihat. Cengkeraman tangannya di leher Dannis terasa semakin kuat. Terlihat bebe
"Akh! Sakit sekali!" Dannis meremas rambutnya. Kepalanya terasa begitu pening dan berat ketika hendak bangun dari posisi tidurnya. Seakan semua hal yang dilihatnya bergerak ke sana-kemari. "Kau sudah bangun? Bagaimana kaleng sodanya? Apakah enak?" Juna berdiri memandangi cermin sambil menata setelan kemeja dan jas yang sedang ia kenakan. Sindiran halus dari Juna membuatnya berusaha untuk mengingat beberapa hal yang dilakukan olehnya kemarin. Ketika mencoba menelaah ingatannya, kepalanya terasa begitu sakit. Baru pertama kalinya ia merasakan sakit seperti ini."Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di atas kasur? Apa aku pingsan?" Dannis masih kesulitan untuk mengingat. "Pingsan karena minum terlalu banyak minuman bersoda. Untungnya kata dokter yang aku panggil ke apartemen, kau masih bisa diselamatkan. Kau tahu meminum banyak minuman bersoda akan memicu gula darahmu? Ia berpikir bila kau pingsan karena hal itu." Juna berbalik badan dan menegur bosnya. Rasa khawatir sempat menghantuin
"Kenapa? Kok, kamu tampak terkejut? Tio yang bertanggung jawab atas mahasiswa magang tampak bingung ketika melihat reaksi Dannis. "Oh! Nggak, cuma nama perusahaannya sama seperti nama belakang saya." Dannis menyeringai sambil menundukkan kepalanya karena malu. Dalam otaknya saat itu berpikir bila perusahaan tempatnya magang adalah milik keluarga Kartanegara."Kenapa? Kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu! Mentang-mentang nama kalian sama?! Belum tentu, Bos!" Randy menyindir musuh bebuyutannya. Tapi, raut wajah Tio justru merasa penasaran. Ia membuka kembali kertas yang berisi data para identitas mahasiswa magang. Dannis, nama itu tampak asing baginya. Tapi nama Kartanegara yang tersemat di belakangnya justru terasa janggal baginya. Tio segera meredam ucapan mereka semua. Satu per satu diberikan kertas beberapa lembar yang berisi jobdesk mereka untuk dua Minggu ke depan. Untuk sekarang ini, Tio meminta kepada mereka untuk membagi kelompok kerja sebanyak dua kelompok. Karena
"Tunggu!" Dannis lari menuju pintu lift yang hampir menutup.Untungnya ia bisa menahan pintu lift sebelum keburu tertutup sepenuhnya. Orang yang ada di dalam lift justru mengalihkan pandangannya dan merasa bodo amat ketika Dannis berdiri di samping dirinya. Raut wajahnya terlihat datar, bahkan ia malah memilih melihat smartphone dari pada menolong Dannis."Aku ikut ke ruang arsip." Dannis sebenarnya tidak butuh persetujuan darinya, namun ia merasa perlu mengatakannya. "Terserah kau saja. Lagi pula, sampai di sana kau tidak akan berguna." Randy turun dari lift ketika pintu lift terbuka di lantai yang ia tuju.Ruangan arsip berada di lantai paling atas di dalam gedung itu. Di lantai tersebut ada beberapa ruangan selain ruang arsip, seperti ruangan untuk meeting yang biasa digunakan oleh CEO, lalu ruangan CEO, serta ruangan yang diperuntukkan untuk menerima tamu penting yang jumlahnya lebih dari satu. Bila dilihat dari tata letak
"Hah?! Oh, aku… aku diminta oleh Pak Leo untuk mengambil beberapa berkas dokumen proyek untuk kami kerjakan." Dannis menyeringai karena tidak menyangka bila yang menolongnya justru Luna. "Lalu? Kau sudah mendapatkannya?" Tanya Luna yang melihat keadaan Dannis yang tampak tidak baik-baik saja.Terlihat seluruh wajahnya dipenuhi oleh keringat. Raut mukanya tampak takut dan gelisah. Temannya itu juga langsung menyingkir dan berdiri di luar ruangan arsip, seakan ia menghindari ruangan itu. "A–Aku… sudah mendapatkannya!" Dannis menundukkan kepalanya. Tidak mungkin ia memberitahukan perempuan di depannya kalau dirinya baru saja terkunci di dalam sana. "Bohong! Kamu pasti terkunci di dalam sana, 'kan? Bila kamu sudah menemukan dokumennya, lalu di mana berkasnya? Tanganmu itu kosong." Sedari tadi perempuan itu terus memeriksa kedua tangan Dannis yang disembunyikan di belakang.Gelagat aneh dari lelaki di depannya membuat Luna merasa curiga. Ia mencium ada yang tidak beres. "Aku terkunci d
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba