"Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.
Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan cepat. Setelah melewati beberapa mata kuliah yang dilaksanakan pada hari itu, Dannis memilih untuk segera menuju ke apartemen Luna. Ia tahu bila gadis muda itu telah meninggalkan kampus sejak satu jam yang lalu. Namun disaat yang bersamaan, Dannis melihat gerombolan teman-temannya dan juga geng milik Randy yang melakukan konvoi. Mereka sepertinya ingin menuju langsung ke restoran itu. Ia menghela napas pendek sambil membuang muka. Dannis memilih untuk menghindari mereka dan mengambil jalan lain. Ia telah memesan ojek online yang akan menjemputnya di pintu belakang fakultasnya. Kali ini alamat yang ia tuju bukanlah apartemennya, melainkan apartemen Luna yang berada di seberang jalan raya, dekat sekali dengan lokasi kampus dan stasiun kereta. Setelah ojeknya tiba, Dannis langsung bergegas menuju lokasi.Beberapa lama kemudian, pesan singkat dilontarkan oleh Dannis. [Aku sudah berada di lobi bawah.]Ia tidak mengganti pakaiannya. Padahal bila diperhatikan, ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk Dannis mendekati Luna. Namun karena baru pertama kalinya mereka jalan bersama, Dannis merasa canggung.Lelaki itu duduk di bangku tamu yang berada di lobi. Sambil menunggu Luna turun, ia meminta Juna untuk mengirimkan data yang dikumpulkan pengawal itu mengenai ayah Randy. Belum terlalu banyak, namun sebagian sudah bisa di analisa oleh Juna. "Hei, sudah menunggu lumayan lama?" Sapa gadis muda yang tiba-tiba muncul di samping Dannis dengan mengenakan pakaian yang begitu rapi dan bermerek. Gaya busana Luna bisa dikatakan sedikit lebih maskulin. Mengenakan celana panjang berbahan tipis, rambut hitam panjangnya dikuncir satu, lalu mengenakan baju lengan panjang, serta beberapa ornamen tambahan seperti gelang, kalung dan kacamata. "Oh… nggak, aku baru datang juga," balas Dannis yang melongo melihat penampilan baru Luna. Gadis muda itu mendekat dan berusaha untuk menarik pandangan lelaki di depannya yang tiba-tiba membeku ketika melihat dirinya. Luna sampai menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Dannis. Anehnya, lelaki itu tidak berkedip. "Dannis?" Luna kembali menyapa. "Halo?" Luna semakin bingung. "Eh, iya… kenapa?" Dannis baru saja sadar dari lamunannya. "Jadi ke restoran?" Tanya Luna yang menahan bibirnya untuk tersenyum."J–jadi… ayo jalan," balas Dannis yang terlihat grogi. Mereka berdua menuju ke jalan raya. Luna tampak bingung, ia mengira bila Dannis membawa kendaraan minimal sepeda motor, namun nyatanya tidak. "Kita naik apa ke restorannya?" Tanya Luna. Keduanya sudah berada di pinggir jalan raya."Aku baru pesan ojek online. Maaf, aku tidak bisa mengantarmu menggunakan motor atau mobil." Dannis tersenyum kecil. Ia merasa malu karena tidak bisa memberikan yang terbaik pada Luna. "Ojek motor?" Luna balik bertanya."Mobil, dong… ya, kali kita bonceng tiga," balas Dannis yang tertawa kecil. Setelah mobil pesanannya tiba, mereka berdua segera masuk ke dalam dan meluncur ke lokasi. Sepanjang perjalanan, Dannis merasa cemas dan gugup."Cobalah untuk rileks, itu bisa membantumu agar tidak terlalu cemas," pikir Luna. "Ehm, baiklah…." Dannis tersenyum.Dekapan telapak tangan Luna yang memegang tangannya membuat ia mulai merasa tenang. Dannis merasa bersyukur mendapatkan perhatian dari perempuan di sebelahnya.Ketika mobil sudah sampai di halaman hotel King of Kartanegoro, keduanya tidak melihat adanya antrian di depan lobi. Sepertinya teman-teman mereka sudah berada di lantai 3, lokasi di mana restoran itu berada. Keduanya segera menyambangi lift yang berada di ujung pintu lobi. Namun ketika memasuki lobi, Luna melirik ke arah security dan juga resepsionis yang tiba-tiba menundukkan tubuhnya seraya memberi hormat ke arah mereka. Anehnya, mereka tidak melakukannya ke tamu lain. "Ada apa?" Tanya Dannis yang menoleh ke arah Luna. Gadis itu terlihat bingung. "Tidak… aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja," balas Luna. Ketika pintu lift lantai 3 terbuka, mereka berdua melihat antrian panjang dari teman-teman kampusnya. Di ujung antrian itu berdiri para geng mahasiswa kaya. "Anda yakin nama saya tidak ada! Coba cek lagi! Saya sudah melakukan reservasi lebih dari sepuluh meja!" Randy membentak pelayan restoran bagian reservasi. Ia tidak terima ketika pelayan itu bilang bahwa namanya tidak ada di daftar tunggu. Dannis dan Luna yang menjadi pusat perhatian teman-teman kampusnya memilih untuk merangsak maju ke baris depan. Tapi ketika hendak mengajukan namanya, Dannis mendengar celotehan mantan sahabatnya. "Eh, gembel! Ngapain kamu ke sini?! Kamu itu tidak diajak!" Teriak Aryo. "Iya, benar juga! Ngapain kamu ke sini?" Anya ikut menambahkan. Randy yang tengah sibuk mencari namanya di daftar tunggu jadi teralihkan. Ia menoleh ke arah Dannis dan Luna. Senyuman kecil sedikit merekah di bibirnya. "Woi, kamu mau ngapain? Ikutan makan?" Sindir Randy. "Heh! Jaga mulutmu! Apa perlu aku jahit sampai rapat!" Balas Luna. Ia sampai menunjuk bocah kaya itu dengan tatapan tajam. "Tuan, ada yang bisa saya bantu?" Pelayan itu tiba-tiba mengalihkan perhatiannya ke Dannis. Pemuda itu tidak langsung menghampiri si pelayan. Ia mengecek pesan singkat di smartphone terlebih dahulu. Ketika pesan dari Juna telah memberikan konfirmasi bila meja sudah dipesan, ia baru berani bertanya ke pelayan itu. "Apa ada pesanan reservasi meja atas nama Dannis Kartanegara?" "Oh, tentu saja. Anda sudah kami tunggu, Tuan muda Dannis." Pelayan di meja reservasi dan beberapa pelayan yang lalu-lalang berhenti. Mereka semua berdatangan ke depan pintu restoran dan memberi penghormatan kepada Dannis dengan menundukkan tubuhnya. Luna yang berdiri di samping Dannis pun merasa bingung dengan pemandangan itu. Bahkan Randy dan teman kampus yang lain hanya bisa terdiam dengan mulut terbuka. "Pelayan itu memanggil si gembel dengan sebutan tuan muda? A–apa aku tidak salah dengar?" Ucap Randy terperanjat."Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya. Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Bebera
"Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya."Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. "Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis."Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku
"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. "Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam."Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis."Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. Juna h
"Cepat katakan! Apa semalam kau menjadi babi ngepet?" Separuh menyindir, dan separuhnya lagi merasa penasaran. Randy menoleh sambil mempertanyakan pertanyaan bodoh itu. "Um… itu… koleksi motor pamanku. Yah, benar! Itu salah satu koleksi motor pamanku." Lidahnya terasa kelu ketika dirinya harus berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa dipikirkan oleh Dannis saat itu. Semua yang mendengarkan ucapan Dannis merasa agak bingung. Koleksi motor semahal itu seharusnya tidak boleh digunakan. Randy merasa bila si miskin di depannya ini sedang berbohong. "Koleksi? Sebenarnya seberapa kaya pamanmu itu? Kau yakin itu koleksinya? Atau… itu pemberian dari tante-tante kaya yang mengasuhmu?" Randy kembali tertawa. Kedua kalinya ia menyindir Dannis dengan membawa soal tante-tante kaya. Luna yang berada di samping Dannis segera menarik telapak tangannya dan membawanya pergi dari situ. Tatapan tajamnya menjurus langsung ke arah Randy yang masih enggan untuk berhenti tertawa. "Peliharaan tante-tant
"Kenapa? Ada yang salah dengan permohonan praktek kerja lapangan yang aku buat? Dannis meletakkan alat makannya dan menatap Randy dengan begitu santainya. "Kau tidak lihat siapa saja yang sudah memilih perusahaan itu sebagai tempat PKL? Gembel sepertimu tidak cocok satu tim denganku!" Cepat cabut namamu di bagian administrasi!" Randy menarik kerah kemeja Dannis dengan begitu erat. Lelaki itu sampai mendongak mendekati wajah si anak manja. Dengan cepat, Dannis berdiri dan menggenggam pergelangan tangan Randy. Cengkeraman erat yang Dannis lakukan direspon oleh si anak manja dengan mencekik lehernya. Kali ini Randy merasa sangat gusar dan ingin sekali menghabisi si bocah miskin itu. Terlihat Dannis disudutkan ke tiang kolom yang berada tidak jauh di dekatnya. Mie yamin yang belum sempat dimakan pun tumpah karena tersenggol oleh tubuh Randy yang ketika itu hendak mendorong Dannis. Seluruh urat leher Randy terlihat. Cengkeraman tangannya di leher Dannis terasa semakin kuat. Terlihat bebe
"Akh! Sakit sekali!" Dannis meremas rambutnya. Kepalanya terasa begitu pening dan berat ketika hendak bangun dari posisi tidurnya. Seakan semua hal yang dilihatnya bergerak ke sana-kemari. "Kau sudah bangun? Bagaimana kaleng sodanya? Apakah enak?" Juna berdiri memandangi cermin sambil menata setelan kemeja dan jas yang sedang ia kenakan. Sindiran halus dari Juna membuatnya berusaha untuk mengingat beberapa hal yang dilakukan olehnya kemarin. Ketika mencoba menelaah ingatannya, kepalanya terasa begitu sakit. Baru pertama kalinya ia merasakan sakit seperti ini."Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di atas kasur? Apa aku pingsan?" Dannis masih kesulitan untuk mengingat. "Pingsan karena minum terlalu banyak minuman bersoda. Untungnya kata dokter yang aku panggil ke apartemen, kau masih bisa diselamatkan. Kau tahu meminum banyak minuman bersoda akan memicu gula darahmu? Ia berpikir bila kau pingsan karena hal itu." Juna berbalik badan dan menegur bosnya. Rasa khawatir sempat menghantuin
"Kenapa? Kok, kamu tampak terkejut? Tio yang bertanggung jawab atas mahasiswa magang tampak bingung ketika melihat reaksi Dannis. "Oh! Nggak, cuma nama perusahaannya sama seperti nama belakang saya." Dannis menyeringai sambil menundukkan kepalanya karena malu. Dalam otaknya saat itu berpikir bila perusahaan tempatnya magang adalah milik keluarga Kartanegara."Kenapa? Kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu! Mentang-mentang nama kalian sama?! Belum tentu, Bos!" Randy menyindir musuh bebuyutannya. Tapi, raut wajah Tio justru merasa penasaran. Ia membuka kembali kertas yang berisi data para identitas mahasiswa magang. Dannis, nama itu tampak asing baginya. Tapi nama Kartanegara yang tersemat di belakangnya justru terasa janggal baginya. Tio segera meredam ucapan mereka semua. Satu per satu diberikan kertas beberapa lembar yang berisi jobdesk mereka untuk dua Minggu ke depan. Untuk sekarang ini, Tio meminta kepada mereka untuk membagi kelompok kerja sebanyak dua kelompok. Karena
"Tunggu!" Dannis lari menuju pintu lift yang hampir menutup.Untungnya ia bisa menahan pintu lift sebelum keburu tertutup sepenuhnya. Orang yang ada di dalam lift justru mengalihkan pandangannya dan merasa bodo amat ketika Dannis berdiri di samping dirinya. Raut wajahnya terlihat datar, bahkan ia malah memilih melihat smartphone dari pada menolong Dannis."Aku ikut ke ruang arsip." Dannis sebenarnya tidak butuh persetujuan darinya, namun ia merasa perlu mengatakannya. "Terserah kau saja. Lagi pula, sampai di sana kau tidak akan berguna." Randy turun dari lift ketika pintu lift terbuka di lantai yang ia tuju.Ruangan arsip berada di lantai paling atas di dalam gedung itu. Di lantai tersebut ada beberapa ruangan selain ruang arsip, seperti ruangan untuk meeting yang biasa digunakan oleh CEO, lalu ruangan CEO, serta ruangan yang diperuntukkan untuk menerima tamu penting yang jumlahnya lebih dari satu. Bila dilihat dari tata letak
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba