"Dasar kampret! Kau berani memandangku seperti itu setelah menamparku?!" Tatapan mata Randy menjadi sangat tajam. Ingin sekali rasanya ia mencekik perempuan di depannya itu.
Ketika ia hendak menarik kerah baju perempuan itu, tangannya langsung dipelintir dan membuat Randy menjerit kesakitan."Argh! Sakit! Sakit! Lepas, woi!" Randy merintih memohon ampun."Jangan macam-macam dengan perempuan itu!" Dannis telah berdiri dan langsung menggapai tangan Randy. Ia mencengkeramnya begitu kuat."Kau?!" Randy langsung menoleh ke arah Dannis. Ia menghempaskan tangan lelaki itu dan mendorongnya agar menjauh darinya.Dannis terdorong lumayan jauh. Untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Meski begitu, beberapa luka yang tersemat di tubuhnya masih terasa sangat sakit."Kau masih ingin melanjutkannya?" Luna masih menatap tajam lelaki di depannya. Satu tangannya terlihat mengepal. Ia sudah bersiap untuk meninju sampah di depannya.Melihat raut wajah Luna yang tampak serius membuat Randy mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk menarik diri. Namun sebelum ia bergegas pergi meninggalkan tempat itu, Randy mendatangi Dannis yang tampak sempoyongan. Ia menampar wajahnya dan tersenyum ke arah Dannis."Kau itu perempuan atau cowok? Masa tidak malu dibelain sama perempuan?" bisik Randy. Ucapannya begitu menampar Dannis yang kala itu sudah terlihat babak belur.Beberapa komplotan Randy pun ikut pergi dari sana. Namun sebelum ia benar-benar pergi, beberapa temannya sengaja merusak kedai mie ayam dan membuat semua perabotnya berantakan.Dannis menghela napas cepat sambil mengusap darah yang menetes dari lukanya. Ia melewati Luna tanpa mengucapkan apa pun. Dalam keadaan penuh luka di tubuhnya, ia terlihat membantu memungut beberapa piring kaca yang pecah dan sendok-garpu yang berceceran di lantai."Maafkan, Bapak. Bapak tidak punya pilihan lain kecuali diam saja." Pemilik kedai merasa bersalah.Melihat hal itu, akhirnya Luna ikut membantu Dannis mengangkat kuali besar yang biasa digunakan untuk merebus mie. Kedai itu terlihat berantakan sekali. Air rebusan mie juga menggenang di mana-mana. Sayangnya, pemilik kedai lainnya memilih untuk diam karena takut bila mereka yang akan menjadi sasaran selanjutnya."Pak, lebih baik dia dipecat saja! Bakal bahaya kalau bapak masih mempekerjakan Dannis di kedai ini!" sahut salah seorang ibu pemilik kedai makanan lainnya."Saya yang akan mengundurkan diri, Bu. Pak, maaf sudah merepotkan. Ini uang yang saya punya. Semoga bisa membeli sedikit bahan untuk jualan besok," ungkap Dannis. Uang senilai tiga ratus ribu yang baru ia ambil dari rekening beasiswanya sebenarnya ingin ia gunakan untuk kebutuhan hidup seminggu ke depan, namun keadaan memaksanya untuk merelakan uang itu.Tapi ketika Dannis hendak memberikan uangnya ke tangan pemilik kedai, Luna mencegahnya."Maaf, Pak. Biar saya yang ganti semuanya. Apa ini cukup?" Luna memberikan uang senilai satu juta kepada pemilik kedai. Ia baru saja mengambil uang dari ATM untuk keperluan kelas, namun niatnya harus diurungkan demi membantu temannya.Tanpa berkelit lagi, pemilik kedai segera menerima uang itu. Ia memohon maaf kepada Luna dan Dannis atas keributan itu. Luna pun segera membantu cowok di sampingnya untuk segera pergi dari kantin.Dannis merasa malu dan terus saja memalingkan wajahnya dari perempuan yang telah menolongnya. Ia sebenarnya tahu siapa Luna. Dari awal semester satu, ia selalu mengikuti perjalanan perempuan yang menuntunnya itu. Ketika pertandingan pencak silat antar kampus diadakan di stadion olahraga, Dannis mampir untuk memberikan dukungan pada Luna."Aw! Maaf …." Luka di bagian pinggang dan perutnya masih terasa nyeri. Bahkan ia harus berjalan pelan untuk menghindari guncangan.Luna membantu Dannis untuk menuju ke ruang UKS, namun cowok itu malah memintanya untuk membawa dirinya ke gedung workshop teknik sipil yang berada di belakang fakultas. Meski jalannya lumayan jauh, Dannis tetap berupaya untuk sampai ke sana."Seharusnya kamu melawan dia. Kamu punya keahlian bela diri juga, 'kan?" ucap Luna.Ia tahu ketika dahulu di semester satu, Dannis ikut mendaftar di unit kegiatan mahasiswa cabang taekwondo. Namun karena satu dan lain hal, ia berhenti di tengah semester dan memilih untuk fokus pada kuliah saja. Luna yang satu kelas dengannya tidak bisa menggapai cowok itu karena setiap kuliah selesai, ia langsung kabur dan pergi."Bila aku melawan, maka semuanya akan bertambah rumit," pikir Dannis.Cowok itu meminta Luna untuk membantunya duduk di gazebo kecil yang berada di taman workshop. Ia menghela napas untuk membuang kesialannya. Dannis menggulung kemeja bagian bawahnya dan melihat luka memar yang cukup parah. Kulitnya sudah lebam dan membiru."Kau harus ke rumah sakit dan memeriksakannya," pikir Luna. Ia merasa cemas ketika melihat luka-luka itu."Tidak perlu, aku hanya harus pulang ke kosan dan beristirahat saja." Dannis tersenyum. Ia mencoba bersikap tenang meski dirinya masih merasakan sakitnya."Kamu yakin? Luka seperti itu bila tidak diobati akan menjalar ke mana-mana," pikir Luna.Dannis berusaha untuk kembali berdiri. Tangannya mencoba menangkap benda apa pun yang ada disekitarnya untuk membantunya menopang tubuh."Terima kasih untuk bantuannya, namun maaf, aku harus pergi sendirian," ucapnya. Ia meninggalkan perempuan itu yang masih menatap ke arahnya dengan rasa cemas.Berjalan menuju ke gerbang belakang fakultas sudah membuatnya lelah, ditambah lagi dengan harus memikul luka-luka itu. Alhasil, ia memilih untuk menggunakan jasa ojek yang sedang mangkal di dekat situ. Uang senilai lima belas ribu yang tersimpan di kantong celananya harus ia relakan."Bang, tolong ke kosan yang ada di sana." Dannis memberi petunjuk arah ke Abang ojeknya.Perjalanan ke tempat kos-nya tidak lumayan jauh. Hanya butuh lima menit untuknya sampai di depan gerbang bangunan kos berlantai dua dengan banyak pintu.Dannis segera turun dari motor bebek si abang ojek dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju ke kamar kos yang berada di lantai dua. Ketika ia berada di depan pintu kamarnya, suara berisik terdengar dari dalam kamar."Aryo!" Kedua mata Dannis terbelalak ketika melihat perabot di dalam kamarnya menjadi berantakan.Laptop miliknya telah hancur terbelah menjadi dua dan tergeletak begitu saja di lantai. Lalu buku-buku kuliah miliknya juga sudah sobek dan berserakan di lantai. Yang lebih parah lagi, baju dan celana yang ditata rapi di lemari kayu sudah berceceran di atas kasur busa."Eh, ada gembel. Sorry, tapi enak juga ngacak-ngacak kamar orang seperti ini," ungkap Aryo yang tertawa, meremehkan kehadiran Dannis yang kala itu terlihat kebingungan."Apa maksudmu?! Kenapa kamu mengotori kamarku!" Dannis menatap tajam temannya."Oh, ini karena uang ini. Aku baru saja di transfer tiga juta oleh Randy. Dia bilang, aku harus menghancurkan seluruh barang-barang yang ada di kosanmu." Aryo menyeringai licik.Ia adalah sahabat yang sudah dikenal Dannis sejak SMA, sama seperti Anya. Namun Dannis tidak menyangka bila sahabatnya itu bisa melakukan hal itu kepadanya. Lihat saja, tidak ada yang tersisa dari kamarnya. Semuanya hancur dan berantakan. Baju yang berserakan di atas kasur juga telah dirobek-robek."Uang? Jadi kamu melakukan ini karena uang? Terus bagaimana dengan pertemanan kita?! Apa semuanya tidak ada artinya?!" Dannis membentaknya. Emosinya sudah memuncak hingga ke urat leher."Jujur, aku malu punya teman yang tidak berguna sepertimu. Andai waktu SMA kamu jujur menjadi pengemis dengan bekerja di warung remang-remang, aku pasti sudah meninggalkanmu saat itu. Tapi apa? Kamu menyembunyikannya serapat mungkin!" Aryo malah menuduh Dannis atas kebohongannya."Oh, begitu. Baiklah, aku mengerti." Dannis mengurungkan niatnya untuk menghajar sahabatnya itu. Tenaganya sudah terkuras habis oleh masalah yang tadi. Saat ini ia hanya bisa menyisihkan barang-barang yang dianggapnya masih bisa digunakan.Aryo pun meninggalkan sahabatnya itu dengan tertawa lebar sambil menghubungi Randy dan melaporkan pekerjaannya sudah selesai. Sebelum ia pergi, Aryo sempat mengambil foto Dannis yang terlihat sedang mengais barang-barangnya di lantai. Foto itupun dilampirkan Aryo di chat-nya dengan Randy. Emoji meledek dan tertawa terbahak-bahak melengkapi chat itu."Sial! Laptopku …." Dannis menyimpan semua tugas dan juga data kuliahnya di laptop itu. Bahkan foto-foto orang tuanya ia simpan di sana. Berapa marahnya ia ketika melihat keadaan laptopnya.Namun ketika dirinya berupaya memilah barang yang masih bisa digunakan dengan keadaan tubuh yang terluka, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya. Ia menoleh. Dannis tidak mengenal orang yang berdiri dengan mengenakan setelan jas hitam serta memiliki tatanan rambut rapi di pintunya."Tuan muda, akhirnya aku menemukanmu!" ucap lelaki misterius yang tiba-tiba muncul di depan pintu dengan senyum yang sumringah.Maaf, Anda sepertinya salah kamar," ucap Dannis. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki yang berdiri di depan pintunya itu.Sayangnya ketika Dannis menolak kehadiran lelaki itu, justru ia malah datang menghampiri Dannis dan membantunya untuk memilah barang. Wajah Dannis terlihat heran dan bingung. Ia takut bila lelaki yang ada di depannya itu merupakan bagian si dikira orang jahat. "Ti–tidak perlu, biar saya saja." Dannis memaksa dengan mengambil paksa barang yang dipegang lelaki itu. "Tidak perlu sungkan, saya adalah orang yang dipercaya oleh ayah Anda," ungkapnya. Lelaki itu tersenyum lagi. "Ayah? Ma–maaf, tapi aku sudah tidak mengenal ayahku sejak bayi. Aku tinggal di panti asuhan dari bayi hingga SMP kelas 3. Yang kutahu, kepala panti asuhan bilang padaku bila orang tuaku sudah meninggal sejak lama," ungkap Dannis. Lelaki itu menepuk pundak cowok di depannya. Ia meminta kepada Dannis untuk duduk sebentar dan mendengarkan apa yang ia coba katakan. Identitas aslinya adalah Arjuna
"Apa kau ingin aku antar?" Juna bermalam di apartemen bosnya. "Tidak perlu, aku akan ke kampus dengan ojek online saja." Dannis menyambangi kepala pengawalnya di meja makan yang berada di dapur.Saat ini Dannis tinggal di salah satu apartemen mewah yang diberikan mendiang ayahnya. Seharian kemarin, ia berbelanja berbagai hal untuk memenuhi lemari pakaian dan lemari es miliknya. Meski begitu, ia tetap terlihat sederhana karena tetap menggunakan pakaian tak bermerek saat ke kampus. "Bagaimana lukamu? Apa sudah mendingan?" Tanya Juna. Ia menyendok sarapannya yang berupa ketoprak. "Dokter itu sangat luar biasa. Luka memar dan lebam di tubuhku sudah tidak terasa nyeri. Namun meski begitu, aku diminta untuk lebih berhati-hati lagi." Dannis mengoleskan roti tawar dengan selai hazelnut. Di sampingnya, ada secangkir susu hangat yang menjadi pendamping kudapan paginya. Tidak sengaja ia melihat televisi yang menyala. Siaran yang menayangkan soal walikota di wilayah kampusnya berada sangat me
"Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan
"Silahkan, meja untuk dua orang sudah kami sediakan." Salah seorang pelayan menghampiri Dannis dan mempersilahkan mereka untuk ikut dengannya. Ketika Dannis hendak melangkah untuk mengikuti pelayan itu, Luna menghentikannya. Ia memegang lengan lelaki di depannya dengan tatapan heran. Ada rasa khawatir dan juga bingung di kedua mata Luna."Tidak apa-apa…." Dannis memberikan jawabannya berupa senyuman singkat. Ia menggandeng tangan perempuan itu dan membawanya untuk mengikuti si pelayan.Rasa kesal terlihat jelas di wajah Randy ketika ia melihat Dannis telah masuk ke dalam restoran. Ia meminta kepada pelayan yang bertugas di bagian reservasi untuk kembali memeriksa namanya. "Bagaimana mungkin namaku tidak ada?! Apa kau sedang bercanda!" Randy merasa gusar. Dirinya seperti sedang dipermainkan. "Maaf, Tuan. Aku sudah bilang padamu sebanyak tiga kali, namamu tidak ada di dalam list," ucap pelayan itu. Ia meminta Randy dan juga rombongannya untuk segera meninggalkan restoran itu. Bebera
"Dari mana kau tahu aku akan pulang?" Dannis menyapa pengawalnya di kursi supir. Dirinya sangat terkejut ketika mobil Juna menepi di depannya."Aku telah menginstal sebuah aplikasi tambahan untuk meretas smartphone-mu. Dan juga, aku mendapat pesan singkat dari manager restoran bila kau sudah tidak berada di sana," ungkap Juna. Ketika mobil itu melaju melewati Luna yang sedang berada di halte bus, perempuan itu terlihat terus saja menatap ke arah mobil hitam yang lewat di depannya. Alih-alih memalingkan wajahnya, Luna justru mencatat plat nomor mobil yang dinaiki oleh Dannis. "Siapa sebenarnya yang ada di dalam mobil itu? Apa itu pamannya Dannis? Pikir Luna yang merasa ada yang aneh. Di lain sisi, Dannis duduk diam sambil memandangi beberapa toko diluar. Juna yang melihat tuan mudanya terlihat sedang melamun segera menegurnya. Ia tidak menyinggung tentang makan malam tadi, namun ia justru memberikan informasi penting kepada Dannis."Apa misi hari ini berhasil? Ada hal yang harus aku
"Kau sudah bangun?" Suara Juna semakin menyadarkan Dannis yang baru saja terbangun. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perbincangan semalam yang berlangsung hingga larut malam telah membuatnya sangat kelelahan. Perlahan ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. Kepalanya sedikit sakit karena harus begadang hingga pukul dua malam. "Apa kakek sudah bangun?" Ia mengingat pria tua yang mengajaknya berbincang hingga larut malam."Tuan Aji Kartanegara sudah pulang sejak jam lima tadi. Aku mengantarkan beliau kembali ke kediaman utama keluarga Kartanegara." Juna sedang mengenakan setelan jas hitam serta dasinya sambil menghadap ke arah cermin besar yang ada di kamar Dannis."Oh… untunglah… aku akan merasa sangat canggung bila dia masih berada di sini. Jujur saja, aku masih terngiang-ngiang perkataannya tentang bertarung menjadi ahli warisnya," ungkap Dannis sambil mengingat beberapa hal yang ia dan kakeknya bicarakan pada malam tadi. Juna h
"Cepat katakan! Apa semalam kau menjadi babi ngepet?" Separuh menyindir, dan separuhnya lagi merasa penasaran. Randy menoleh sambil mempertanyakan pertanyaan bodoh itu. "Um… itu… koleksi motor pamanku. Yah, benar! Itu salah satu koleksi motor pamanku." Lidahnya terasa kelu ketika dirinya harus berbohong. Tidak ada alasan lain yang bisa dipikirkan oleh Dannis saat itu. Semua yang mendengarkan ucapan Dannis merasa agak bingung. Koleksi motor semahal itu seharusnya tidak boleh digunakan. Randy merasa bila si miskin di depannya ini sedang berbohong. "Koleksi? Sebenarnya seberapa kaya pamanmu itu? Kau yakin itu koleksinya? Atau… itu pemberian dari tante-tante kaya yang mengasuhmu?" Randy kembali tertawa. Kedua kalinya ia menyindir Dannis dengan membawa soal tante-tante kaya. Luna yang berada di samping Dannis segera menarik telapak tangannya dan membawanya pergi dari situ. Tatapan tajamnya menjurus langsung ke arah Randy yang masih enggan untuk berhenti tertawa. "Peliharaan tante-tant
"Kenapa? Ada yang salah dengan permohonan praktek kerja lapangan yang aku buat? Dannis meletakkan alat makannya dan menatap Randy dengan begitu santainya. "Kau tidak lihat siapa saja yang sudah memilih perusahaan itu sebagai tempat PKL? Gembel sepertimu tidak cocok satu tim denganku!" Cepat cabut namamu di bagian administrasi!" Randy menarik kerah kemeja Dannis dengan begitu erat. Lelaki itu sampai mendongak mendekati wajah si anak manja. Dengan cepat, Dannis berdiri dan menggenggam pergelangan tangan Randy. Cengkeraman erat yang Dannis lakukan direspon oleh si anak manja dengan mencekik lehernya. Kali ini Randy merasa sangat gusar dan ingin sekali menghabisi si bocah miskin itu. Terlihat Dannis disudutkan ke tiang kolom yang berada tidak jauh di dekatnya. Mie yamin yang belum sempat dimakan pun tumpah karena tersenggol oleh tubuh Randy yang ketika itu hendak mendorong Dannis. Seluruh urat leher Randy terlihat. Cengkeraman tangannya di leher Dannis terasa semakin kuat. Terlihat bebe
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
“Fraksi IX? Apa kau gila?!” Steven langsung menghentikan ucapan temannya. “Organisasi itu seperti hantu. Tidak ada yang tahu di mana dan siapa amggotanya. Kau pikir kita bisa menemukannya?” ucap Reina. “Aku akan jelaskan dulu. Lalu kalian bisa mengambil kesimpulannya,” ungkap Gan. Anya dan Saka yang belum mengetahui organisasi itu tampak bingung. Dannis yang berada di samping mereka mencoba menjelaskan tentang organisasi Fraksi IX kepada keduanya. Meski harus mengabaikan ucapan Gan, tapi Dannis sangat menikmati menjelaskan hal itu pada Anya dan Saka. “Seorang Verbannen ke-6 mengetahui siapa anggota Fraksi IX. Tapi dia hanya memberikan alamatnya saja. Sayangnya, tempat orang itu sangat jauh dari Verbannen ke-6 yang memberitahukan tentang anggota organisasi itu. Yang aku rencanakan adalah… kita berpencar. Kelompok pertama akan menemui Verbannen di Myanmar. Kita akan mengajaknya untuk bergabung. Lalu kelompok kedua akan pergi menemui orang yang diduga sebagai anggota Fraksi IX di Lao
“Kau sudah bangun?” Gan menyapa temannya yang sedang berdiri di atas balkon penginapan. “Chiang Mai. Apa yang kita lakukan di sini? Kau ingin berwisata kuil?” Dannis menyindir. Hari baru dengan pemandangan langit biru tampak mempesona dirinya. Tapi kejadian yang membuat ia terus mengingat tentang lautan api, membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi kejadian kemarin telah menelan korban, yaitu temannya; Aden. Mereka lari sangat jauh dari lokasi pembakaran dan pembantaian malam lalu. Dengan uang yang tersisa, Gan membawa kedua temannya menuju ke Chiang Mai, tempat di mana salah satu klub malam miliknya yang tersisa.“Kita datang ke sini untuk mengambil simpanan uangku. Para Jager brengsek itu pasti telah menghubungi bank lokal untuk membekukan rekeningku. Aku harus mengambil uang tunai di penyimpananku. Dan… kita juga menunggu Steven, Reina dan satu orang lagi yang matanya ikut dari tanah airmu.” Gan pun pergi setelah mengucapkan hal itu. “Satu orang lagi?” Dannis berpikir siapa yang
Kepergian Gan membuatnya tampak tenang. Saat ini ia hanya ingin beristirahat di tempatnya hingga ajal menjemput. Sambil memegang remote control di salah satu tangannya, Aden menunggu sampai temannya berkumpul dengan yang lain. Tampak dari layar smartphone miliknya ada sebuah foto lama yang membuatnya teringat momen ketika ia masih menjadi seorang Jager. Aden mencoba untuk bernostalgia dengan foto di galeri smartphone miliknya. Sungguh rindu… ia rindu dengan keadaan dulu. “Gan?” Rosella bertemu dengan Gan yang baru saja melompat dari rumah sebelah. “Kenapa kau di sini?” Dannis merasa bingung ketika bertemu dengan Gan. Ia melihat pria itu menangis. Matanya masih tampak bengkak.“Kita harus pergi! Aden akan menekan remote itu! Cepat!” Gan berupaya membawa mereka berdua menjauh. Tapi Rosella dan Dannis tetap diam di tempat sembari mempertanyakan di mana Aden berada. Mereka menolak pergi sebelum Gan menjelaskan tentang keadaan Ad
“A, apa dari sana?” Aden menerka datangnya peluru yang menembaknya. Ia melihat gedung tinggi yang lumayan jauh. Tapi apa mungkin?Tepat di dada bagian kanan peluru Diablo menembusnya. Aden berusaha untuk bangun kembali, namun darah yang mengucur dari luka itu begitu deras. Bahkan darah juga keluar dari mulutnya. “G–guys… ada satu sniper lagi ….” [Kenapa bicaramu terbata-bata?]Gan merasa ada yang tidak beres dengan temannya. Ia menghentikan langkahnya dan berusaha mendengarkan Aden. [Aden? Apa kau terluka?] Rosella merasa cemas. Ia berupaya agar tebakannya salah. “A–aku baik-baik saja. Rose, tolong bisik ke arah gedung diujung sana. Sepertinya dia menembak dari sana.” Aden berusaha keluar dari jalur bidik Vladimir dengan bersembunyi kembali di balik dinding. Dengan posisi terduduk, ia berusaha untuk menghentikan pendarahannya menggunakan sapu tangan yang ia bawa. [Kau yakin? Kau seperti orang yang sedang terluka.]Gan mengkonfirmasinya kembali. Ia merasa ada yang tidak beres de
Serangan dari jarak jauh mulai dilancarkan oleh para Jager. Ternyata mereka sudah mengepung rumah itu semenjak gencatan senjata. Mereka terus maju dari lokasi persembunyiannya yang awal. Perlahan tanpa diketahui oleh Gan dan para pengawalnya. Dan inilah hasilnya. Ledakan besar yang baru saja terjadi berasal dari tembakan bazooka yang dilakukan oleh para Jager dari rumah seberang jalan. Meski para kawanan Gan bisa melawan balik, tapi intensitas serangan para Jager jauh lebih mendominasi. Alhasil, para pasukan Gan yang justru mundur ke belakang rumah untuk melindungi diri. Dan dalam waktu beberapa menit saja, sahut-sahutan bazooka membuat pekarangan depan rumah Gan hancur berantakan. Bahkan beberapa ruangan yang ada di rumahnya hancur menjadi puing-puing. “Mereka mendobrak gerbang!” Salah satu pengawal berteriak. “Dasar sial! Cepat bunuh mereka!” teriak Gan. Ia sedang bersama Aden yang bersiap-siap untuk melancarkan serangan kejutan. Aden terlihat sedang mempersiapkan senapan sniper
Malam bergulir sangat cepat bagi Dannis yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia terlihat kelelahan selama seharian berkutat dalam pelatihan ekstrimnya. Tanpa ia sadari, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Yang ia ingat setelah latihan selesai hanyalah mandi, makan dan tempat tidurnya. Sepertinya karena begitu lelah, ia tertidur hampir dua belas jam lebih. Ia merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit, mungkin karena efek dari latihan kemarin. “Kenapa tenang sekali?” Lelaki itu tidak mengira bahwa pagi harinya akan dimulai dengan ketenangan. Biasanya ada langkah kaki yang terdengar lalu-lalang di sepanjang lorong lantai dua. Atau suara dari para pengawal yang mondar-mandir tepat di depan kamarnya. Bahkan ia tidak melihat si gila Rosella yang tiba-tiba masuk dan menggodanya. “Apa yang terjadi? Apa mereka semua mati?” Dannis beranjak dari ranjangnya dan menuju ke arah pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada seorang pun yang menjaga di lorong lantai dua. Dan ketika ia melihat ke ba