Home / Rumah Tangga / (Bukan) Pernikahan Impian / Bab 1. Pertemuan dan Perpisahan

Share

(Bukan) Pernikahan Impian
(Bukan) Pernikahan Impian
Author: Nita Ve

Bab 1. Pertemuan dan Perpisahan

Author: Nita Ve
last update Last Updated: 2021-06-25 23:17:42

Hiasan bunga mawar memenuhi kamar pengantin itu. Kelopaknya pun bertaburan di tempat tidur. Warna merah muda mendominasi, mulai dari dinding, gorden, selimut, dan berbagai benda lainnya. Sementara di depan meja rias, sang calon pengantin tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Terukir jelas senyuman kebahagiaan di wajahnya. Di belakangnya duduk kedua sahabat yang mendampingi saat-saat mendebarkan itu.

"Gue nggak nyangka, akhirnya hari ini datang juga," ucap Vanella Rose Karina sembari memegang tangan Ranti dan Tara sahabatnya yang sedari tadi berada di pundaknya.

Hari itu memang adalah hari yang dinantikan Vanella sejak lama, di mana dia akan menikah dengan Malvin Prawira, sahabatnya ketika SMA. Perjuangan mereka tidaklah mudah. Malvin yang telah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama telah berkali-kali ditolaknya. Bahkan dulu dia sangat membenci Malvin karena baginya Malvin hanyalah seorang siswa yang hobi bolos dan dikenal bobrok. Apalagi cara yang digunakan untuk mendekatinya justru membuatnya risih. Namun, ketika Malvin mendekat sebagai sahabat, justru perlahan Vanella mulai mengenal sisi lain Malvin di mana lelaki itu ternyata begitu baik, tulus, dan sederhana, meski dia berasal dari keluarga kaya. Benih-benih cinta pun mulai tumbuh. Namun, dia dan Malvin sama-sama enggan mengungkapkan hingga masa SMA berakhir.

Sempat berhenti berkomunikasi dan tidak pernah bertemu lagi setelah lulus SMA karena Vanella melanjutkan pendidikan ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta, Vanella pulang setelah pendidikannya hampir selesai. Dia kembali untuk mencari Malvin. Jarak yang jauh itulah yang membuatnya sadar bahwa dia mencintai Malvin. Apalagi setelah mengetahui semua pengorbanan yang diam-diam dilakukan Malvin untuknya selama masa SMA.

Hendak mengungkapkan perasaan, jarak justru kembali menjadi penghalang. Malvin menghilang. Namun, Vanella tidak menyerah dan terus menanti ketidakpastian itu. Begitu kembali, Malvin mengatakan bahwa dia baru saja dari luar negeri mengobati penyakit kankernya. Saat itulah mereka saling mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam dan memutuskan untuk segera menikah.

Hari ini, semua pengorbanan dan ujian itu akan berakhir dengan akad dan tertulis abadi pada buku nikah. Kebaya berwarna merah muda Vanella akan menjadi saksi bisu dari momen membahagiakan itu. Meski hari ini hanya akad nikah saja. Resepsi mewah baru akan dilaksanakan seminggu setelahnya.

"Van, gue ikut terharu tau gak. Akhirnya sahabat gue yang udah dari bayi sama gue ini akan segera jadi istri orang. Berasa cepet banget ya lo gedenya." Ranti menyeka air mata yang menitik di pipinya.

"Tapi kayanya bentar lagi Malvin harus stok kesabaran sebanyak-banyaknya karena nikahin cewek segalak Vanella," ledek Tara.

"Iiih Tara! Kalau udah nikah mana berani gue galak. Ntar jadi istri durhaka gue. Dan lo, Ran. Jangan nangis dulu dong. Nanti jangan-jangan pas gue akad lo tersedu-sedu lagi. Tahan dong. Bentar lagi kan lo juga ngrasain momen kaya gini sama Alby."

"Makanya gue mau nyaksiin lo dulu buat pembelajaran gue nanti."

"Lo mah enak bentar lagi nyusul Vanella, Ran. Lah gue?"

"Tenang, bentar lagi juga akan dateng pangeran yang jemput lo dan langsung bawa lo ke KUA kok. Panjangin dikit dong rambut lo, masa dari dulu pendek gini. Kan cowok-cowok jadi ngira lo tomboi," ujar Ranti sembari mengalungkan tangannya pada bahu Tara.

"Apa hubungannya. Ini kan style gue."

Vanella menggeleng sambil tersenyum. "Kalian ini udah berhasil ngalihin pikiran gue. Jadi lebih tenang rasanya. Dari tadi detak jantung gue gak karuan kaya kereta api."

"Vanella....!" panggil Bu Selina, ibu Vanella yang mengetuk pintu kamar Vanella.

"Iya, Bu. Masuk aja."

Bu Selina masuk dengan senyum lebarnya, lalu duduk di samping Vanella. "Wah cantik banget anak ibu. Pasti deg-degan ya dari tadi?"

"Iya nih, Bu. Andai aja ayah masih ada ya, Bu. Pasti ayah juga akan muji Vanella. Sayang banget pas momen bahagia ini ayah nggak ada." Vanella menunduk sedih.

Bu Selina mengangkat dagu Vanella."Jangan sedih dong, sayang. Ayah kamu lagi menyaksikan dari sana. Di sini kan masih ada ibu. Ada om kamu juga nanti yang akan gantiin posisi sebagai wali nikah kamu. Pokoknya kamu harus tersenyum bahagia hari ini. Tuh calon suami kamu udah dateng."

"Lho, Malvin udah dateng, Bu?" Vanella begitu antusias.

"Iya, sayang. Ya udah ibu keluar dulu, ya. Nanti ibu panggil lagi. Ranti, Tara, titip Vanella dulu, ya. Tolong ditenangin dulu."

"Siap, Tante!" jawab Ranti dan Tara.

Setelah Bu Selina keluar, Ranti dan Tara merapatkan duduknya pada Vanella sembari menggenggam tangan sahabat mereka yang begitu dingin karena tegang itu.

Sementara itu di luar keluarga Vanella tengah menyambut kedatangan keluarga Malvin. Ada yang janggal. Malvin hanya datang bersama Bu Kirana, sang ibu. Tidak tampak batang hidung ayahnya di sana. Mata Bu Kirana pun terlihat sembap. Malvin juga terlihat aneh. Wajahnya terlihat datar dan tatapannya begitu dingin. Padahal biasanya dia selalu tersenyum. Apalagi dia telah lama menantikan hari bahagia ini. Hal itu membuat senyum bahagia Bu Selina memudar dan menimbulkan kerutan di dahinya.

"Bu, kok Pak Gibran gak ada? Ibu juga kelihatan sedih. Ada apa? Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Bu Selina usai bersalaman dan melakukan cipika cipiki dengan calon besannya.

"Nanti Ibu juga akan tau. Sebelumnya saya mau minta izin untuk menemui Vanella sebentar boleh, Bu?"

Tanda tanya semakin mengerumuni pikiran Bu Selina. "Bo—boleh, Bu. Silakan. Kamarnya ada di atas."

Bu Selina memperhatikan setiap langkah Bu Kirana yang menaiki tangga. Tampak sesekali Bu Kirana mengusap air matanya. Kecemasan pun mulai terasa.

"Vanella, ini mama, calon mertua kamu. Apa mama boleh masuk?"

Vanella yang asyik berbincang dengan kedua sahabatnya terkejut mendengar suara Bu Kirana.

"Iya, Ma. Masuk aja."

"Van, ada apa sih kok ibu mertua lo malah ke sini? Bukannya lo yang harusnya keluar buat ijab kabul?" Tara heran.

Vanella mengangkat bahunya tanda tidak tahu.

"Nak, mama cuma mau ngasih tau permintaan Malvin. Selama ijab kabul, kamu di sini dulu, ya. Setelah selesai, kamu baru boleh keluar."

Vanella bertukar pandang dengan kedua sahabatnya, lalu menatap heran sang calon mertua. "Kenapa mendadak begini, Ma? Sebelumnya Malvin gak minta kaya gini. Ya emang sebagian orang begitu sih pernikahannya, tapi aku pikir aku sama Malvin akan bisa berdampingan selama ijab kabul."

"Malvin penginnya seperti itu. Kamu bisa turuti permintaan dia, kan?"

"Ya udah, Ma. Aku setuju."

Bu Kirana mengusap lembut pipi Vanella. "Makasih, ya. Kamu tolong sabar dulu nunggu di sini sampai akadnya selesai. Oh ya, ngomong-ngomong kamu cantik hari ini. Mama seneng bakalan punya menantu secantik kamu."

Vanella tersenyum. "Iya dong, Ma. Anak Mama kan pinter milihin calon mantu."

"Kamu bener. Ya udah mama keluar dulu, ya. Berdoa aja semoga ijab kabulnya lancar."

"Iya, Ma. Pasti."

Setelah semua siap, akhirnya ijab kabul pun akan dimulai. Pak penghulu mengulurkan tangan.

"Tunggu dulu, Pak. Ada yang mau saya sampaikan."

"Ada apa Nak Malvin?"

"Saya sebenarnya bukan Malvin. Saya kembarannya, Marvino Prawira," ucap lelaki itu sambil berbisik agar tidak didengar para tamu sehingga berisiko menimbulkan kegaduhan. Meski saat itu yang hadir hanyalah beberapa kerabat dekat saja. Tidak ada para tetangga dan orang asing lainnya.

Bu Selina yang duduk di belakang pak penghulu mendengarnya hingga bibirnya ternganga. "A—apa maksud kamu?"

"Malvin sedang kritis di rumah sakit karena penyakit kankernya. Jadi Marvino yang akan menggantikan posisi Malvin. Dia adalah kembaran Malvin yang sedari kecil tinggal bersama neneknya di Jakarta," terang Bu Kirana dengan lirih.

"Apa-apaan ini! Mana bisa Malvin digantikan orang lain? Walaupun wajah mereka sama, tapi mereka adalah orang yang berbeda. Yang dicintai anak saya itu Malvin, bukan Marvino. Kenal dia aja enggak. Mana mungkin saya akan membiarkan anak saya menikahi laki-laki yang gak dia kenal," protes Bu Selina sambil meneteskan air mata.

Bu Kirana menggenggam tangan Bu Selina. "Saya mohon, Bu. Jangan cegah pernikahan ini. Ini juga atas permintaan Malvin. Saya akan Vanella akan mengerti itu."

"Nggak! Saya nggak akan membiarkan pernikahan ini terjadi tanpa persetujuan Vanella. Dia harus tau soal ini." Bu Selina beranjak dari duduknya dan bergegas menaiki tangga menuju kamar Vanella.

Para tamu yang hadir mulai saling berbisik. Mereka bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Vanella, cepet ikut ibu turun ke bawah," ujar Bu Selina yang langsung masuk ke kamar putrinya dan menarik tangan gadis itu.

"Ada apa ini, Bu? Ibu kenapa? Apa yang terjadi?"

Ranti dan Tara mengikuti kedua orang itu dengan bingung.

Bu Selina baru melepaskan tangan Vanella setelah sampai di hadapan penghulu.

"Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Vanella menatap orang-orang di sekitarnya.

"Bu Kirana, tolong jelaskan semuanya pada Vanella dan seluruh tamu yang hadir di sini!" tegas Bu Selina.

"Biar saya yang bicara," sahut Marvino yang berdiri di hadapan Vanella.

"Saya bukan Malvin Prawira, tapi Marvino Prawira, saudara kembar Malvin."

Fokus Vanella langsung tertuju pada lelaki itu. Dia mengamati dengan detail dari atas sampai bawah. Terlihat sama seperti Malvin, tetapi memang model rambutnya sedikit berbeda, apalagi tatapannya. Malvin selalu terlihat konyol hingga dengan melihat tatapannya saja bisa membuat Vanella tertawa, tetapi lelaki ini terlihat begitu dingin.

"Ka—kamu bukan Malvin? Enggak! Kamu pasti bercanda kan, Vin? Tolong jangan bercanda di momen sakral ini. Lagian Malvin gak punya saudara kembar."

Marvino menyeringai menatap Vanella. "Kalian harusnya menikah hari ini, tapi dia belum jujur sepenuhnya sama kamu. Aku benar-benar Marvino, saudara kembarnya Malvin. Aku dari kecil memang tinggal bersama nenekku di Jakarta karena nggak ada lagi anak nenek yang nemenin nenek di sana. Beda sama Malvin yang dari dulu tinggal sama mama papa. Mungkin Malvin nggak pernah cerita karena dia selalu benci sama aku. Dia nggak pernah menganggap aku ada. Udah cukup itu aja yang aku ceritain."

"Vino benar, Vanella. Dia memang anak mama, saudara kembar Malvin," sahut Bu Kirana.

"Terus di mana Malvin? Kenapa laki-laki ini yang ada di sini? Aku mau nikah sama Malvin, Ma. Bukan orang lain."

"Malvin ada di rumah sakit. Sebenarnya saat dia pulang dari luar negeri dan nemuin kamu waktu itu, penyakit kankernya belum sembuh. Sudah berada di stadium 4 dan dokter menyatakan bahwa kecil kemungkinan untuk dia sembuh. Malvin begitu egois sampai dia menutupi itu demi bisa menikahi kamu. Dia pikir kalau dia jujur ke kamu, kamu akan ninggalin dia. Dia mau memiliki kamu setidaknya sebelum dia meninggal, tapi justru di H-3 pernikahannya kondisinya drop. Karena Vino datang ke sini untuk hadir di pernikahan kalian, Malvin meminta Vino untuk menggantikan posisi dia. Malvin nggak mau kamu sedih di hari di mana seharusnya kamu bahagia," jelas Bu Kirana sambil sesekali terisak yang kemudian berusaha ditenangkan oleh Marvino.

Mendengar hal mengejutkan itu, Vanella terduduk lemas. Air mata membanjiri pipinya. Bahkan Ranti, Tara, dan Alby juga ikut menangis mengetahui fakta mencengangkan itu.

"Nggak! Malvin nggak mungkin kritis! Hari ini dia mau nikah sama aku!" teriak Vanella.

Sang ibu memeluk putri tunggalnya yang tengah terisak itu.

"Bu, kenapa lagi-lagi Malvin mau ninggalin aku?"

"Van, mama ngerti perasaan kamu, tapi tolong lanjutkan pernikahan ini," pinta Bu Kirana.

"Gimana mungkin aku menikah dengan orang lain saat orang yang aku cintai sedang berjuang antara hidup dan mati, Ma? Nggak! Aku nggak bisa! Aku harus ke rumah sakit sekarang. Aku harus nemenin Malvin." Vanella bangkit dan hendak berlari keluar.

Tangan Bu Kirana menahannya. "Mama mohon, Van. Kabulkan permintaan terakhir Malvin. Dia udah banyak berkorban untuk kamu, kan? Kali ini tolong kamu juga berkorban buat dia. Malvin baru akan pergi dengan tenang kalau dia melihat kamu berada di tangan yang tepat untuk dijaga. Tolong jangan mengulur waktu lagi. Kamu pengin cepet-cepet ke rumah sakit nemuin Malvin, kan? Kita nggak tau berapa lama lagi dia akan bertahan. Tolong penuhi amanah Malvin."

Vanella berpikir sejenak. Dia terharu karena lagi-lagi Malvin berkorban demi kebahagiaannya. Bahkan di saat kondisinya memburuk seperti ini. Vanella pun mengusap air matanya. Dia menghela napas berat. "Oke. Aku akan menikah dengan Marvino, tapi ini cuma demi Malvin. Pak penghulu, tolong dipercepat karena saya harus segera ke rumah sakit."

Para tamu terkejut mendengar keputusan Vanella.

"Karena sebelumnya yang didaftarkan adalah pernikahan kamu dan Malvin, jadi hari ini aku baru menikahi kamu secara siri. Secepatnya kita akan menikah resmi secara negara," ujar Marvino.

"Aku nggak peduli. Aku cuma peduli soal Malvin. Bahkan pernikahan ini pun nggak ada artinya sama sekali buat aku," jawab Vanella dengan ketus.

Tanpa menunggu lebih lama, akad segera dilangsungkan. Akhirnya hari itu Vanella sah menjadi istri Marvino. Selama doa dibacakan, Vanella terus terisak. Sesekali dia melirik ke lelaki yang duduk di sampingnya. Hatinya semakin teriris. Yang dia harapkan adalah Malvin yang menikahinya pada hari itu, tetapi malah orang lain. Apalagi wajah mereka sama, membuat Vanella semakin terpukul menatap wajah lelaki itu.

Setelah selesai, Vanella langsung bangkit dari duduknya. "Bu, Ma, ayo kita segera ke rumah sakit."

"Aku akan anter kalian," sahut Marvino.

"Guys, ayo kita juga ikut," ajak Alby, kekasih Ranti.

Ranti dan Tara yang masih menangis mengangguk serentak.

Setibanya di rumah sakit, Vanella, Bu Selina, Bu Kirana, dan Marvino berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruangan tempat Malvin dirawat selama tiga hari ini.

Kaki yang semula melangkah dengan cepat itu kini terhenti. Tatapan Vanella tertuju pada lelaki paruh baya yang menangis di depan Malvin yang tidak lain adalah Pak Gibran, ayah Malvin.

"Pa, ada apa? Malvin baik-baik aja, kan?" tanya Vanella yang kini berdiri di samping sang ayah mertua.

Tidak ada jawaban. Tangisan Pak Gibran malah semakin menjadi. Padahal yang Vanella tahu Pak Gibran mirip dengan Malvin, senang bercanda dan tidak pernah terlihat sedih apalagi menangis.

"Papa tolong jawab, Pa," tanya Vanella lagi yang kali ini suaranya terdengar lirih karena dia mulai curiga dengan arti tangisan Pak Gibran.

"Malvin udah nggak ada. Dia tidur untuk selamanya," jawab Pak Gibran di sela tangisannya.

Air mata yang semula terbendung langsung meluap membanjiri pipi Vanella.

"Nggak! Nggak mungkin. Malvin nggak akan ninggalin aku."

Ranti dan Tara yang baru sampai lekas menghampiri Vanella dan mengusap punggung sahabat mereka itu.

Vanella yang tidak percaya berusaha memastikan sendiri. Dia mengusap wajah Malvin yang tampak seperti tertidur pulas. 

"Vin, kamu masih hidup, kan? Aku datang, Vin. Kamu pasti lagi ngerjain aku, ya? Kamu kan seneng bercandain aku. A—aku udah sering lihat wajah kamu yang kaya gini. Dulu kan kamu sering tidur di kelas. Vin, bangun. Apa kamu lupa kalau hari ini kita akan menikah? Aku udah pake kebaya yang kamu pilihin waktu itu. Vin, kamu denger aku, kan?"

Bibir yang pucat itu masih terkatup tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Vanella tidak menyerah. Dia memeluk Malvin dan mendekatkan telinganya di dada kiri Malvin. Vanella pun terisak.

"Enggaaaak....!!! Malvin nggak mungkin ninggalin aku. Ranti, Tara, coba dengerin detak jantungnya Malvin. Masih ada, kan? Pasti telinga aku aja kan yang nggak denger?"

Tangisan Ranti dan Tara ikut meledak. Ranti langsung memeluk erat Vanella. "Dia udah nggak ada, Van. Lo harus ikhlas."

Vanella melepaskan pelukan sahabatnya itu. "Apa-apaan ini. Kenapa Malvin selalu jahat sama aku? Dulu dia nggak ngungkapin perasaan dia dan malah biarin aku pacaran sama sahabatnya yang playboy itu. Setelah aku tau pengorbanan dia dan aku jatuh cinta sama dia, dia pergi ninggalin aku. Sekarang saat kami mau menikah pun, lagi-lagi dia pergi. Kenapa Malvin sejahat ini, Ran? Kenapaaa....!!!" 

Ranti kembali memeluk Vanella. "Malvin nggak jahat. Dia sayang banget sama lo. Dia pergi pun bawa cintanya buat lo. Jangan bikin Malvin pergi dengan sedih, Van. Ikhlasin dia."

Bu Selina, Bu Kirana, dan Pak Gibran hanya bisa menahan sesak melihat terpukulnya Vanella yang kehilangan Malvin di hari seharusnya mereka menikah.

Bahkan Alby dan Marvino pun ikut menitikkan air mata meski mereka berusaha menyembunyikan kesedihan mereka.

Dalam pelukan Ranti, Vanella terus menatap wajah Malvin. Rasanya dia tidak ingin melepaskan pandangannya dari lelaki yang sangat dicintainya itu karena setelah hari ini dia tidak akan bisa menatap wajah itu lagi. Wajah yang dulu selalu membuatnya tertawa saat menatap, yang terkadang juga membuatnya kesal, kini tanpa pernah dia bayangkan memandang wajah itu membuat dadanya sesak dan air matanya terus mengalir.

Raga kamu boleh pergi, Vin. Kamu boleh sekali lagi ninggalin aku, tapi aku nggak akan pernah ninggalin cinta kamu. Makasih untuk semua kenangan indah yang pernah kamu kasih. Aku akan selalu ingat itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suryanti
lanjutkan.. penasaran nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 2. Hari Terakhir

    Indahnya bunga-bunga di taman yang mengelilingi bangku tampak seperti gambaran suasana hati kedua sejoli yang tengah meneguk minuman sembari saling bertatapan itu. Mereka tertawa setelahnya."Gila lo. Sebotol langsung abis?" ucap Vanella."Iya lah. Namanya juga capek abis jogging. Lo apaan minum cuma segitu. Pantes badan lo kurus dan lembek kaya agar-agar," ledek Malvin.Vanella memukul lengan Malvin. "Kata siapa gue lembek? Gimana pukulan gue? Sakit, kan?"Malvin mengusap lengannya sambil meringis. "Sakit lah. Gak berubah ya dari dulu masih aja galak. Jadi ngeri mau nikah sama lo. Apa gak jadi aja, ya."Gadis berambut cokelat panjang itu menarik telinga Malvin dengan kuat sembari kembali memukuli lengan Malvin. "Bisa gak sih gak usah ngomong aneh-aneh? Kan gue udah bilang dijaga omongannya. Kan omongan itu doa. Pokoknya kalau terjadi apa-apa lo yang salah."

    Last Updated : 2021-06-25
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 3. Tanggung Jawab Baru

    Kemewahan terlihat jelas di rumah besar berwarna putih itu. Rumah dengan tiga lantai yang belum lama selesai dibangun. Itulah rumah yang disiapkan Malvin untuk Vanella.Malam itu Vanella memijakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Namun, bukan dengan Malvin, melainkan dengan Marvino.Beberapa asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka dengan sapaan dan senyuman ramah. Mereka bergegas membawakan beberapa koper barang-barang yang dibawa sepasang pengantin baru itu.Bola mata Vanella berputar mengamati setiap detail rumah itu sambil dia terus memeluk boneka beruang pemberian Malvin. Kini kakinya menuntunnya ke lantai dua. Dia membuka pintu salah satu kamar. Dia pun dibuat tercengang dengan warna merah muda yang mendominasi kamar itu. Hampir seratus persen benda di kamar itu berwarna merah muda.Vino yang berdiri di belakang Vanella dibuat heran. Tatapannya menunjukkan kegelian. Bagi dirinya ten

    Last Updated : 2021-06-25
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 4. Obat Kesedihan

    Para asisten rumah tangga saling berbisik ketika Vanella dan Vino menuruni tangga dengan tangan yang bertaut erat. Mereka tersenyum sendiri melihatnya. Apalagi kali ini sepasang pengantin baru itu memperlihatkan senyum mereka seolah-olah kebahagiaan itu memang benar adanya.Saat hendak makan, keromantisan itu kembali terlihat. Vanella mengambilkan nasi dan lauk ke piring Vino. Mengetahui para ART itu memperhatikannya, Vino pun menyuapi Vanella. Awalnya Vanella diam sejenak, lalu perlahan dia membuka mulutnya."Bener-bener pengantin baru yang romantis, ya," ujar Bi Dara, salah satu ART di ruma Vanella."Iya. Cocok banget. Ganteng dan cantik," jawab Bi Sasti.Bisikan itu terdengar di telinga Vanella dan Vino. Hal itu membuat Vino menyeringai puas."Aku ada perlu. Jadi keluar bentar. Kalau papa dateng, tolong bilang suruh nunggu, ya," ujar Vino setelah menghabiskan makanan di

    Last Updated : 2021-06-27
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 5. Kejutan dalam Kenangan

    Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutan

    Last Updated : 2021-06-27
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 6. Keingintahuan

    Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan

    Last Updated : 2021-07-01
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 7. Pekerjaan Impian

    Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan

    Last Updated : 2021-07-01
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 8. Merantaunya Kembali Alby

    Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."

    Last Updated : 2021-07-08
  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 9. Pacar Baru Tara

    Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y

    Last Updated : 2021-07-08

Latest chapter

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 22. Misteri Si Kucing Hitam

    Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 21. Beratnya Berpisah

    Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 20. Bersih-Bersih Rumah Bersama

    Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 19. Over Protektif

    Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 18. Kelembutan Sang Lelaki Dingin

    Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 17. Bersepeda Bersama Suami

    Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 16. Manajer Menjadi Sahabat Baru

    Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 15. Berhenti Menjadi CEO

    Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k

  • (Bukan) Pernikahan Impian   Bab 14. Permintaan Sang Ibu Mertua

    Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status