Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin.
Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!"
Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka."
Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya.
"Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya."
"Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat."
"Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin.
"Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya.
"Terus kenapa pake masker?"
"Terserah aku. Inget ya, pernikahan kita cuma kesepakatan di atas amanah, jadi jangan saling mengganggu privasi masing-masing. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu mau tanpa aku berhak ikut campur, begitu juga aku."
"Terserah," jawab Vanella cuek. Dia lalu mengambil handuk kecil di kamar mandi.
"Mau ngapain? Mulai sekarang nggak usah ngeringin rambut aku lagi. Aku bisa sendiri," ujar Vino ketus sambil merebut handuk dari tangan Vanella.
Bingung dengan tingkah Vino, Vanella memutuskan untuk langsung ke dapur. "Ya udah aku siapin sarapan dulu. Kalau udah selesai siap-siapnya turun aja."
"Hmm."
"Oh ya, aku izin nanti mau keluar ketemu temen," ucap Vanella yang berhenti di depan pintu.
"Hmm." Lagi-lagi Vino hanya menjawab dengan berdeham.
"Orang aneh. Lagi PMS kali," gumam Vanella sambil berjalan keluar kamar.
Setelah Vanella keluar, Vino melepas maskernya dan duduk di sofa sambil mengeringkan rambutnya. Dia hanyut dalam lamunannya sendiri.
"Nyonya, maaf sebelumnya, tapi Nyonya dan tuan kan baru saja menikah. Apa nggak berencana melakukan bulan madu gitu? Masa pengantin baru malah jarang menghabiskan waktu bersama. Kemarin aja tuan pulangnya malem," celetuk Bi Sasti yang memasak di dapur bersama Vanella.
Vanella terdiam sejenak. Lalu dia pura-pura tersenyum. "Suami saya kan sibuk, Bi. Lagian saya juga nggak tertarik untuk bulan madu. Di rumah pun udah cukup."
Ketika membicarakan itu, Vino yang berjalan menuruni tangga menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Dia tampak berpikir sesaat. Lalu melanjutkan langkahnya dan langsung menuju dapur.
"Aku buru-buru. Jadi nggak sarapan. Maaf, ya," ucap Vino pada Vanella.
"Ya udah aku bawain buat bekal aja, ya."
"Ya, boleh."
Vanella mengambil wadah bekal makanan di lemari atas, lalu memasukkan nasi dan lauk yang dimasaknya.
"Nih. Nanti dimakan pas makan siang," ujar Vanella.
Vino menerima wadah bekal itu. "Makasih. Ya udah aku berangkat."
Vanella mencium tangan Vino. "Iya. Hati-hati. Aku anter sampai depan."
Vino berjalan dengan tergesa-gesa, diikuti oleh Vanella. Setelah mereka berdua keluar, Bi Dara dan Bi Lina berlari menghampiri Bi Sasti.
"Eh, aneh nggak sih tuan dan nyonya? Kok kaya kaku gitu, ya," celetuk Bi Dara.
"Iya. Nggak pernah bercanda. Sama-sama dingin gitu kayanya. Bahkan kalau lihat mereka gandengan aja kaya aneh. Kelihatan banget kalau nggak beneran romantis aslinya. Jangan-jangan mereka menikahnya terpaksa," imbuh Bi Lina.
"Huss kalian ini. Pagi-pagi udah bergosip. Kalau tuan Vino denger bisa gawat. Udah sana balik kerja." Bu Sasti berusaha menyela.
"Ih nggak asyik banget sih, Sasti." Bi Lina kesal dengan jawaban Bi Sasti.
Sementara itu, Vino yang sudah berada di kantor termenung sendiri sambil memutar pena dengan jari-jari tangan kanannya beberapa kali. Tak lama kemudian pintu diketuk. Dia pun tersadar.
"Masuk aja."
Lelaki berkacamata yang mengetuk pintu itu pun masuk dan duduk di depan Vino setelah mereka berjabat tangan.
"Selamat pagi, Pak Vino."
"Duh apaan sih. Panggil Vino aja. Lagian Kak Harris kan lebih tua dari aku. Eh maksudnya lebih dewasa umurnya."
"Ya tetep aja ini kan kantor, Pak."
"Masih aja manggil pak. Jujur aku nggak suka dipanggil pak. Kelihatan tua banget. Di sini aja terpaksa aku mau dipanggil pak. Kak Harris kan bakalan jadi manajer aku, nggak kerja di kantor, jadi nggak usah panggil pak. Tolong, ya."
"Oke deh. Jadi gimana, Vin? Kapan aku bisa mulai kerja?"
"Mulai besok, ya. Nomor telepon sama email Kakak juga udah aku tulis di akun i*******m aku. Jadi kalau ada yang mau nawarin syuting film, series, atau iklan nanti bisa langsung menghubungi Kakak. Nanti aku seleksi dulu. Pokoknya Kakak atur jadwal aku sebaik mungkin. Jangan sampai satu bulan terlalu padet ya jadwal syutingnya."
"Iya, aku ngerti. Pengantin baru pasi penginnya di rumah terus."
"Pengantin baru apanya."
"Emang bener, kan? Udah nggak usah malu."
"Ini bukan pernikahan seperti yang Kakak kira."
Harris mengernyit. "Maksudnya?"
"Nanti aku ceritain. Kayanya selain jadi manajer, Kakak juga bakalan jadi penasihat pribadi nantinya. Ya aku butuh seenggaknya satu orang yang bisa aku percaya untuk aku ceritain semuanya."
"Oke. Kapan pun aku siap dengernya. Santai aja kalau mau cerita. By the way, aku nggak nyangka akhirnya kerja jadi manajer calon aktor terkenal yang dulu juniorku di SMA."
"Aku lebih nggak nyangka lagi. Kakak kenapa mau jadi manajer? Lowongan pekerjaan lain kan banyak. Daripada jadi manajer aktor, apa nggak lebih baik kerja di perusahaan? Kenapa bukan ngelamar kerja di perusahaan ini?"
"Ya setiap orang punya pilihannya masing-masing dan ini pilihanku. Lagian kayanya lebih enak jadi manajer aktor. Kalau kamu ke luar negeri atau paling nggak ke luar kota kan otomatis aku ikut. Kapan lagi coba ada kesempatan buat sering jalan-jalan gratis. Ditambah lagi bisa ketemu banyak aktor dan aktris lainnya. Aku udah capek dulu kerja di perusahaan. Sekarang mau nyoba pekerjaan baru yang nggak terlalu berat dan banyak bonusnya. Ya itu salah duanya, jalan-jalan gratis dan ketemu banyak entertainer lain."
"Dasar. Ada-ada aja."
Saat Vino sedang berdiskusi dengan calon manajer barunya, Vanella justru tengah bersiap untuk mencari jawaban dari tanda tanya yang terus berkeliaran dalam otaknya. Dia menelepon sahabatnya, Ranti.
"Halo, Van. Ada apa? Pagi-pagi udah nelpon aja," ujar Ranti yang langsung mengangkat telepon.
"Gini, Ran. Sebenernya ada beberapa hal yang mau gue tanyain secara pribadi ke Alby soal Malvin. Kalau lo nggak keberatan, gue boleh pinjem Alby bentar?" terang Vanella sambil mondar-mandir di ruang tamu.
Ranti malah tertawa. "Ya ampun, Van. Kita ini udah sahabatan dari bayi. Lo kaya sama orang asing aja. Nggak papa kali. Nggak perlu izin sama gue. Lagian gue kan belum jadi istrinya dia. Udah jadi istri pun mana mungkin gue ngelarang dia ketemu sama lo."
"Ya gue kan nggak mau ada salah paham nanti dan gimana pun gue harus jaga perasaan lo. Jadi bener nih lo nggak papa?"
"Iya, Vanella. Santuy aja lah."
"Ya udah. Thanks, ya. Kalau gitu gue mau nelpon Alby dulu."
"Oke. Hati-hati, ya."
"Iya, Ran."
Usai meminta izin Ranti, kini giliran Vanella untuk menelepon Alby. Untung saja Alby langsung mengangkatnya.
"Halo, Al. Sorry ya ganggu pagi-pagi."
"Iya nggak papa, Van. Tumben. Ada apa? Lo nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Enggak kok. Sebenarnya ada hal yang mau gue omongin sama lo. Penting. Bisa nggak kita ketemu dan ngobrol? Gue udah minta izin sama Ranti kok."
"Yaelah. Emangnya Ranti emak gue sampai lo harus izin ke dia dulu? By the way, hal penting apa nih?"
"Nanti juga lo tau. Gimana? Bisa nggak? Besok kan lo udah berangkat ke Jakarta. Takutnya hari ini lo sibuk ngurus keberangkatan lo."
"Bisa kok bisa. Gue kan cowok. Nggak ribet kalau mau pergi. Apalagi cuma ke Jakarta doang. Ya udah mau ketemu di mana?"
"Di kafe, ya. Nanti gue kirim di chat alamatnya."
"Oke. Tunggu, ya."
"Yoi."
Setelah menutup telepon, Vanella berlari keluar rumah. Di depan sudah ada taksi online yang dia pesan. Vanella pun segera masuk.
Di sebuah kafe yang telah ditentukan, Vanella dan Alby saling bertatap muka. Alby begitu santai sambil menyeruput minumannya. Sedangkan Vanella terlihat begitu serius.
"Ada apaan sih? Kelihatannya serius banget," tanya Alby setelah meletakkan segelas jus nanas yang dipesannya.
Bukannya langsung bicara serius, mata Vanella malah tertuju pada perut buncit Alby. Dia sedikit tertawa.
"Hamil berapa bulan, Al? Makin gede aja tuh perut. Sampai diminumin jus nanas segala."
Mendengarnya, Alby langsung menegakkan badannya. "Sembarangan. Lo kira gue lagi hamil?"
"Abisnya perut lo bisa segede itu sekarang. Bahagia banget kayanya sama Ranti."
"Gue bahagia karena diri gue sendiri. Bukan karena orang lain."
"Elaah. Masih aja gengsi ngakuin perasaan lo. Oke, sekarang kita ngomong serius nih. Gue mau tanya tentang Malvin dan Marvino. Lo kan sahabatnya Malvin dari kecil. Pasti tau dong soal mereka? Lo tau dari dulu kan kalau Malvin punya saudara kembar?"
Ekspresi wajah Alby berubah menjadi serius. "Iya, Van. Sorry gue juga nyembunyiin ini dari lo. Gue nggak tau banyak sih. Yang gue tau dari dulu Malvin nggak suka sama saudara kembarnya. Dia bahkan menganggap dia hanyalah anak tunggal. Dia nggak mau ngomongin soal Vino apalagi ke orang lain yang belum tau soal Vino. Jadi ya banyak orang yang mengira kalau Malvin itu satu-satunya anak dari Tante Kirana dan Om Gibran."
Vanella mengerutkan dahi. "Emang kenapa sih Malvin sampai segitu bencinya sama Vino? Bukannya mereka udah nggak tinggal bareng dari kecil? Otomatis nggak pernah berantem dong. Jadi apa masalahnya?"
"Neneknya sering nelpon Tante Kirana dan nyeritain soal Vino yang semuanya berbanding terbalik dengan Malvin. Dari SD Vino selalu dapet peringkat satu, sering memenangkan berbagai perlombaan, dikenal sebagai murid teladan, bahkan S1 dan S2-nya aja di luar negeri. Beda sama Malvin yang selalu males belajar dan dikenal sebagai siswa yang bandel, bad boy, nggak punya prestasi apa-apa. Itu bikin Tante Kirana sering banding-bandingin Malvin sama Vino. Setiap kali Malvin abis berantem di sekolah, Tante Kirana selalu marah sampai bilang kalau beliau nyesel milih Malvin sebagai anak yang dirawatnya sendiri dan menyerahkan Vino ke neneknya. Selalu bilang kaya gitu. Itu yang bikin Malvin merasa seperti anak yang nggak diinginkan. Akhirnya dia jadi benci dan dendam sama Vino yang selalu dipuji-puji dan bikin dia semakin jelek di mata semua orang."
"Jadi gitu. Apa Vino juga benci sama Malvin? Kok kayanya yang aku lihat justru Vino sayang banget sama Malvin. Dia juga mau nikah sama gue kan demi menjalankan amanah Malvin."
"Kalau Vino sih enggak. Dia dari kecil pendiem, penurut, dan hampir nggak pernah benci sama orang. Setiap kali nelpon mama dan papanya, Vino sering nanyain Malvin dan pengin ngobrol sama Malvin, tapi Malvin selalu nolak."
"Eh tapi kalau Malvin sebenci itu sama Vino, kenapa dia malah minta Vino buat gantiin dia dan nikah sama gue?"
Alby mendekatkan wajahnya sambil berbicara dengan lirih. "Jujur gue juga ngerasa aneh. Kaya nggak masuk akal. Malvin yang selalu cemburu sama Vino, kenapa malah ngasih cewek yang dia cintai ke Vino. Cuma gue berusaha mikir positif aja sih. Mungkin aja karena dia udah ngerasa umurnya nggak lama lagi, jadi dia juga udah nggak benci sama Vino."
"Malvin bukan orang yang akan cepat berubah pikiran seperti itu, Al. Apalagi untuk urusan kebencian. Entah kenapa gue merasa ada yang janggal."
"Apa lo mau nyelidiki soal ini?"
Vanella menghela napas. "Gue juga nggak tau. Ngelupain Malvin aja udah berat. Kayanya belum bisa kalau harus nyelidikin hal itu untuk saat ini. But, thanks udah ceritain ke gue."
"Sama-sama. Gimana pun lo harus tetep hati-hati, Van. Jangan gampang terpengaruh sama sikap sok baiknya Vino itu. Walaupun dari kecil dia dikenal sebagai anak yang baik, belum tentu kan sekarang kaya gitu."
"Iya, Al. Lagian gue mau nikah sama dia juga cuma demi Malvin."
"Oke. Kalau ada apa-apa, lo boleh nanya atau cerita ke gue lagi."
"Iya. Makasih sekali lagi."
Vanella terdiam memikirkan apa yang diceritakan oleh Alby sambil meminum minumannya. Dia jadi meragukan kebenaran tentang amanah Malvin. Di tengah kesenyapan itu, ponsel Vanella berdering. Tertera nama Marvino.
"Halo. Ada apa?"
"Kamu lagi di mana?"
"Aku masih di luar, belum pulang."
"Cepet pulang, ya. Bentar lagi aku jemput."
"Mau ke mana?"
"Nanti kamu juga akan tau. Penting."
"Oke."
Vino menutup teleponnya. Dia mengernyit.
"Kenapa, Van?" tanya Alby.
"Vino nyuruh gue cepet pulang. Dia mau jemput ngajak gue pergi."
"Ke mana?"
"Gue juga nggak tau."
"Apa dia mau ngajakin lo jalan-jalan? Wah keterlaluan sih kalau gitu. Saudara kembarnya baru meninggal masa udah seneng-seneng. Jadi ragu apa dia beneran sedih atas meninggalnya Malvin."
"Entah, Al. Ya gue ikutin aja dulu semuanya. Apa pun kebenaran yang tersembunyi, pasti nanti akan terungkap."
"Ya udah gue anterin pulang, yuk." Alby bangkit dari tempat duduknya.
"Nggak usah. Ini gue udah pesen taksi online kok. Nggak enak kalau dianterin lo. Kan gimana pun gue udah nikah."
Ekspresi wajah Alby terlihat lesu dan dia kembali duduk.
"Apa dia ngelarang lo buat temenan sama temen lo yang cowok?"
"Enggak. Vino malah bilang kalau gue bebas nglakuin apa yang gue mau tanpa dia ikut campur."
Alby manggut-manggut. "Ya udah lo pulang gih. Ini biar gue yang bayar."
"Thank, ya."
Setelah itu taksi yang dipesan Vanella pun tiba.
"Eh itu deh kayanya."
Vanella menghampiri taksi itu. Sang sopir pun turun.
"Dengan Mbak Vanella, ya?"
"Iya, Pak."
Vanella menoleh ke belakang. "Al, gue pulang dulu, ya."
"Yoi. Take care."
Vanella mengangguk, lalu masuk ke mobil.
Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Tawa bahagia Vanella hanya berlangsung sesaat. Dia kembali menjadi pendiam begitu Ranti pulang. Sosok Vanella yang dikenal ceria dan cerewet semasa sekolah seakan telah lenyap bersamaan dengan kepergian Malvin. Kini dia lebih banyak diam dan memilih menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di rumah meski dia sudah memiliki beberapa ART. Keceriaan itu hanya muncul kembali saat dia bersama para sahabatnya. Tidak ada ruang untuk tertawa bahagia saat dia bersama orang lain. Meski itu suaminya sekalipun.Melihat Vanella yang sibuk membersihkan berbagai perabotan dengan kemoceng, para ART mulai saling berbisik."Nyonya Vanella rajin banget, ya. Biarpun udah ada kita, tapi tetep mau ngerjain pekerjaan rumah tangga," celetuk Bi Dara."Rajin atau haus pujian? Kan ada kita di sini. Dia kan tau kita sering lapor apa-apa ke Tuan Vino. Pasti ini biar dipuji Tuan Vino aja." Bi Lina melirik ke arah Vanella dengan sinis.
Dengan tergesa-gesa lelaki yang memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam itu keluar dari lift dan segera menuju ke ruangannya, diiringi sapaan para karyawannya. Namun, jangankan tersenyum, Vino hanya melirik mereka sekilas sembari terus melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memasang earphone di telinganya.Sambil membuka pintu, lelaki dingin itu mulai berbicara dengan seseorang yang diteleponnya."Halo, Kak.""Iya. Ada apa, Vin? Aku masih di taksi nih. Perlu bantuan?"Vino mendudukkan dirinya di singgasana kebanggaannya sembari menarik napas panjang. Matanya terarah pada foto dirinya yang ada di meja."Bukannya harusnya ini foto sang CEO sama istrinya, ya?" gumam Vino sambil meraih foto dirinya dan dilihatnya lebih dekat."Vin? Kenapa? Foto apa? Suara kamu nggak begitu jelas."Foto it
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir
Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n
Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari
Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi