Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah.
"Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby.
"Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti.
"Sebel tau harus jauhan gini."
"Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu."
"Oh ya, bentar."
Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama.
"Nak Alby udah mau berangkat?"
"Iya, Om."
"Nggak papa malem-malem berangkat sendirian?"
"Om Mahesa tenang aja. Aku berangkat sama beberapa teman lain. Nanti aku ke rumah mereka dulu. Lagian cuma ke Jakarta doang, Om. Ini juga kan baru abis magrib. Belom malem banget."
"Ya udah hati-hati ya, Nak. Jangan kebut-kebutan. Om doain kerjaannya lancar di sana. Rezekinya ngalir terus."
"Aamiin. Makasih, Om. Aku berangkat dulu." Alby mencium tangan Pak Mahesa.
"Hati-hati, ya." Giliran Ranti yang mencium tangan Alby.
Alby melambaikan tangan kepada anak dan ayah itu sambil tersenyum. Lalu dia bergegas melajukan motornya. Sementara Ranti melepas kepergian Alby dengan tatapan sedih. Ayahnya pun mengusap lengannya sambil tersenyum.
***
Melihat ruang kerja Vino yang terus tertutup, menandakan bahwa Vino masih sibuk menyelesaikan pekerjaan di dalam membuat Vanella berinisiatif untuk membuatkan minuman dan camilan untuknya.
Belum tahu betul apa yang disukai oleh sang suami, Vanella melihat catatan yang diberikan Vino terlebih dahulu.
"Jadi dia nggak suka kopi. Berarti bikinin teh aja, ya. Kalau camilan dia nggak suka pedes dan nggak suka makan banyak gorengan. Kalau dikit nggak papa kan, ya? Tapi nanti kalau dia jadi batuk bisa gawat. Oh ya, buah aja deh. Kalau buah, dia suka banyak buah. Pilih dua aja deh. Semangka sama apel aja ah."
Vanella bergegas ke dapur. Di sana ada beberapa ART-nya.
Saat tengah memotong semangka, Vanella teringat sesuatu.
"Bi Sasti, mau tanya."
"Ada apa, Nyonya?" sahut Bi Sasti yang tengah memotongi sayuran.
"Obat flu yang alami apa, ya? Bibi tau nggak? Tadi lupa mau cari di internet. HP saya ada di kamar. Kalau gampang kan bisa saya bikin."
"Nyonya sakit? Kalau gitu Nyonya istirahat aja. Biar saya yang nyiapin makanan sama minuman buat tuan."
"Enggak kok, Bi. Justru Vino yang sakit. Dia lagi flu kayanya."
"Flu? Kayanya tuan sehat-sehat aja, Nyonya."
"Tapi dari tadi seharian dia pake masker, Bi. Di rumah aja pake masker. Berarti kan lumayan parah flunya. Eh flu apa batuk, ya. Kalau batuk kayanya nggak denger dia batuk."
Dahi Bu Sasti mengernyit. Dia berhenti memotong sayuran. "Kapan tuan pake masker, Nyonya? Tadi tuan beberapa kali ke dapur nggak pake kok."
Vanella menengok ke belakang dengan ekspresi terkejut. "Serius, Bi? Dia nggak pake masker?"
"Iya, Nyonya. Beneran."
"Terus kenapa dia pake masker di depan gue? Tunggu, tadi waktu ketemu sama Pak Dito maskernya juga dilepas. Artinya beneran cuma di depan gue doang dia pake masker," gumam Vanella.
"Mungkin Tuan Malvin nganggep Nyonya virus kali," sahut Bi Dara.
Vanella terbelalak mendengar ucapan Bi Dara. Bahkan beberapa ART di sana pun ikut terkejut. Mereka langsung berbisik memarahi Bi Dara. Sementara Bi Dara yang menyadari kesalahan ucapannya langsung menepuk-nepuk mulutnya sendiri.
"Bi, itu masak aja sayuran-sayurannya, ya. Malam ini jangan masak yang lain selain sayuran."
"Siap, Nyonya."
"Mampus lo. Kan lo nggak suka sayuran. Malem ini lo nggak akan dapet daging, ayam, atau telur. Cuma akan ada sayur. Biar sekalian nggak makan. Siapa suruh nganggep gue virus," gumam Vanella dengan seringai liciknya.
Dengan menahan kesal, Vanella membawa piring berisi irisan semangka dan apel, juga segelas teh menuju ruang kerja Vino. Beberapa kali dia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia membukanya.
Tampak Vino masih fokus pada laptopnya. Sama sekali tidak menganggap ada Vanella yang masuk ke sana. Semakin menambah kekesalan Vanella saja. Namun, ada yang menjadi fokus utama Vanella. Yaitu wajah Vino tanpa masker. Dia menatap sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi.
"Ini teh sama buah-buahan," ujar Vanella sambil meletakkan nampan di meja.
"Hmm."
"Cepet diminum. Keburu dingin."
"Hmm."
"Oh ya, jangan lupa turun. Bentar lagi udah jam makan malem."
"Hmm." Selalu sesingkat itu jawaban Vino sehingga membuat Vanella meliriknya dengan tatapan kesal.
Sebelumnya Vino tidak terlalu peduli dengan kehadiran Vanella, lalu tiba-tiba dia seperti panik mencari sesuatu. Dia pun meraih masker dari laci dan langsung memakainya. Hal itu membuat Vanella semakin geram.
"Kenapa kamu selalu pake...."
"Nyonya, ada temen Nyonya yang dateng," panggil Bi Lina, membuat ucapan Vanella terhenti.
"Iya, Bi."
Tanpa melanjutkan kata-katanya, Vanella bergegas keluar dari ruang kerja Vino. Sang suami yang kepo pun mengikutinya.
Begitu turun dan keluar di depan pintu, Vanella terkejut. Dia melihat lelaki berambut ikal tersenyum menatapnya.
"Alby. Ngapain ke sini malem-malem?"
"Gue dateng. Bukannya disuruh masuk kek. Kan gue pengin ngobrol-ngobrol."
"Ya ta—tapi kan...."
"Gue mau pamit. Kan mau pergi lama."
"Lho jadi lo mau berangkat ke Jakarta sekarang? Gue kira besok."
"Temen-temen gue ngajak berangkat malem. Makanya gue mampir ke sini dulu buat pamitan."
"Emang pantes buat seorang laki-laki malem-malem datang ke rumah wanita yang sudah bersuami untuk berpamitan? Nggak ada wanita lain buat dipamitin?" sahut Vino yang tiba-tiba muncul dari balik pintu tanpa mengenakan masker dan langsung merangkulkan tangannya di pundak Vanella.
"Segitunya ya cemburu ke istri sampai melarang sahabat istrinya mampir sebentar ke sini?"
"Setelah wanita menikah, antara suami dan sahabat, yang paling kuat ikatannya, yang paling berhak untuk dekat itu antara dia dan suaminya," tegas Vino.
"Van, suami lo kok posesif banget sih. Gue kan cuma...."
"Belum selesai juga acara pamitannya? Mau saya panggilkan security?"
"Nggak perlu. Gue bisa pergi sendiri." Alby menatap Vino sengit.
"Van, gue berangkat dulu, ya. Gue titip Ranti. Lo juga jaga diri baik-baik." Alby mengalihkan pandangannya pada Vanella dan menatap dengan lembut.
"Iya, Al. Hati-hati, ya."
Setelah itu Alby segera pergi meninggalkan rumah Vanella. Vino pun langsung melepaskan tangannya dari pundak Vanella dan menutup pintu. Mulailah terjadi perdebatan antara sepasang suami istri itu.
"Apa-apaan sih tadi? Dia Alby sahabat aku. Di depan dia kamu nggak perlu pura-pura bersikap seperti kita ini pasangan suami istri yang saling mencintai. Nggak perlu marah-marah berlebihan kek gitu."
"Aku cuma melakukan apa yang suami lain lakukan ketika ada seorang laki-laki menemui istrinya malem-malem. Aku juga nggak marahin dia. Ada nada aku yang membentak? Nggak, kan? Aku bicara dengan santai karena ketegasan nggak harus ditunjukkan dengan bentakan."
"Ya tapi kamu bisa kan nggak usah nyinggung perasaan dia?"
Vino menyeringai. "Dari tadi kamu cuma protes soal kemarahan aku ke dia tanpa protes soal larangan aku ke dia. Berarti kamu juga membenarkan itu, kan? Tau kan kalau yang dia lakuin salah?"
Dengan santainya Vino melenggang pergi meninggalkan Vanella.
"Alby emang salah dateng ke sini malem-malem. Ya walaupun cuma sekadar pamitan, tapi lebih baik kan ke Ranti aja. Ngapain ke sini segala? Apa dia ke rumah Tara juga? Harusnya dia menghargai status gue sebagai seorang wanita yang sudah bersuami, tapi Vino juga nggak seharusnya sekasar itu. Alby pasti tersinggung. Besok pagi gue harus chat minta maaf ke dia," gumam Vanella.
Di tengah keributan yang terjadi sebelumnya, ternyata para ART sibuk bergunjing di ruang makan sambil menyiapkan makanan untuk Vanella dan Vino.
"Tuh kan tuan dan nyonya ribut pasti gara-gara laki-laki yang tadi," ujar Bi Lina.
"Emang siapa sih laki-laki itu?" tanya Bi Dara penasaran.
"Itu lho yang pernah ke sini sama temen-temennya nyonya yang lain. Jangan-jangan dia naksir lagi sama nyonya."
"Bukannya pas ke sini itu dateng sama pacarnya, ya? Masa naksir nyonya juga," ujar Bi Dara.
"Huss. Udah. Kalian ini. Malah ngomongin majikan sendiri. Lagian mau naksir kek enggak kek. Nyonya nggak mungkin berpaling ke yang lain. Punya suami udah sesempurna itu, mana ada celah untuk lirik-lirik ke yang lain. Mereka itu udah paket komplit. Pasangan sempurna sepanjang masa," sahut Bi Sasti.
Tanpa para ART itu sadari, Vanella dan Vino sudah tiba di ruang makan dan mematung mendengar perkataan Bi Sasti. Bi Lina yang melihat pun langsung memberi kedipan mata pada Bi Sasti dan Bi Dara sehingga mereka menengok ke belakang.
"Eh Tuan, Nyonya, mari silakan makan. Sudah kami siapkan makanannya."
Mereka berdua langsung duduk. Saat menatap lauk di hadapannya, Vino terkejut. "Ini kenapa sayur semua?"
"Lho tadi Nyonya Vanella yang minta untuk kami biar masak sayur saja, Tuan," jawab Bi Lina.
Vino menghela napas. "Saya itu nggak suka sayur."
"Maaf, Tuan. Kami nggak tau," ujar Bi Dara ketakutan.
Vanella berusaha menahan tawa. Dia senang karena berhasil membuat Vino kesal. Dia pikir dia juga akan berhasil membuat Vino terpaksa memakan makanan yang tidak disukainya. Namun, ternyata Vanella salah. Vino malah membuka aplikasi pesan makanan di ponselnya.
"Saya pesen makanan dari luar aja. Yang ada di sini semua biar Nyonya Vanella yang habiskan, Bi. Sepertinya memang Nyonya Vanella ini penggemar berat sayuran. Jadi biarkan semua ini untuk Nyonya Vanella," ujar Vino santai sambil menyeringai licik.
Vanella melongo dibuatnya.
Gue emang doyan sayur, tapi bukan berarti suka. Kalau sebanyak ini yang ada gue nggak nafsu makan. Apaan sih ini. Mau ngerjain cowok nyebelin ini malah gue yang disuruh ngabisin.
"Biar romantis, sini aku suapin," ujar Vino sambil mengulurkan sesendok nasi lengkap dengan sayur ke arah mulut Vanella.
Melihat di sekelilingnya ada para ART, Vanella terpaksa membuka mulut dan pura-pura tersenyum menikmati makanan dari suapan Vino.
"Kayanya kurang banyak tadi sayurnya. Nih lagi." Vino kembali menyuapi Vanella dengan sesendok penuh sayuran.
Akhirnya mulut Vanella dipenuhi oleh sayuran. Dia yang hanya sekadar doyan makan sayur, tetapi tidak menyukainya pun merasa kesal.
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Tawa bahagia Vanella hanya berlangsung sesaat. Dia kembali menjadi pendiam begitu Ranti pulang. Sosok Vanella yang dikenal ceria dan cerewet semasa sekolah seakan telah lenyap bersamaan dengan kepergian Malvin. Kini dia lebih banyak diam dan memilih menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di rumah meski dia sudah memiliki beberapa ART. Keceriaan itu hanya muncul kembali saat dia bersama para sahabatnya. Tidak ada ruang untuk tertawa bahagia saat dia bersama orang lain. Meski itu suaminya sekalipun.Melihat Vanella yang sibuk membersihkan berbagai perabotan dengan kemoceng, para ART mulai saling berbisik."Nyonya Vanella rajin banget, ya. Biarpun udah ada kita, tapi tetep mau ngerjain pekerjaan rumah tangga," celetuk Bi Dara."Rajin atau haus pujian? Kan ada kita di sini. Dia kan tau kita sering lapor apa-apa ke Tuan Vino. Pasti ini biar dipuji Tuan Vino aja." Bi Lina melirik ke arah Vanella dengan sinis.
Dengan tergesa-gesa lelaki yang memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam itu keluar dari lift dan segera menuju ke ruangannya, diiringi sapaan para karyawannya. Namun, jangankan tersenyum, Vino hanya melirik mereka sekilas sembari terus melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memasang earphone di telinganya.Sambil membuka pintu, lelaki dingin itu mulai berbicara dengan seseorang yang diteleponnya."Halo, Kak.""Iya. Ada apa, Vin? Aku masih di taksi nih. Perlu bantuan?"Vino mendudukkan dirinya di singgasana kebanggaannya sembari menarik napas panjang. Matanya terarah pada foto dirinya yang ada di meja."Bukannya harusnya ini foto sang CEO sama istrinya, ya?" gumam Vino sambil meraih foto dirinya dan dilihatnya lebih dekat."Vin? Kenapa? Foto apa? Suara kamu nggak begitu jelas."Foto it
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir
Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n
Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari
Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi