Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.
Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.
Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.
Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutangkis bersama.
Saat mendekati beberapa raket yang digantung di dinding, mata Vanella berkaca-kaca. Dua di antara sepuluh raket tersebut adalah raket yang dulu selalu digunakan Malvin saat ekskul. Air mata Vanella jatuh mengenai pegangan raket yang diusapnya itu.
"Sebegitunya kamu mencintai aku sampai kamu berusaha menghidupkan lagi kenangan kita waktu SMA dulu di rumah ini. Lapangan ini, raket ini, semuanya mengingatkan kebersamaan kita waktu ekskul dulu, Vin. Biasanya kita akan main bulutangkis bareng, ketawa bareng, bercanda, sampai sering dimarahi pembina ekskul karena asyik makan dan bukannya latihan. Andai kamu masih hidup, kamu pasti akan ngasih aku kejutan ini sambil nunjukin ekspresi konyol kamu itu, kan? Kita akan mengenang kenangan semasa SMA itu sambil ketawa, tapi nyatanya hari ini aku harus mengenang itu sambil menangis. Kenapa aku harus melihat sendiri ruangan ini? Kenapa bukan kamu yang tunjukin ke aku?"
Sambil memeluk raket itu, Vanella menangis sesenggukan. Suara tawa Malvin ketika dulu bermain bulutangkis seakan berdengung di telinganya. Bayang-bayang Malvin yang duduk bercanda bersamanya seakan memenuhi ruangan itu. Vanella menutup telinganya. Lalu dia mengusap air matanya dan kembali menggantungkan raket ke dinding seperti semula.
"Aku udah bilang aku nggak akan mengenang kamu dengan kesedihan. Aku harus tepatin itu. Kamu datang dalam hidup aku membawa kebahagiaan. Pasti kamu pun pergi dengan harapan bahwa aku akan tetap bahagia, kan? Maaf, Vin. Maaf aku udah nangis lagi."
Tak ingin berlarut dalam kesedihannya, Vanella keluar dan memasuki ruangan di sebelahnya. Kali ini Vanella menemukan meja tenis. Vanella berjalan perlahan sambil mengusap meja tenis itu.
"Lagi-lagi benda kenangan kita. Aku inget dulu waktu kamu dateng pertama kali ke rumahku untuk minta maaf atas kejailan yang sering kamu lakuin, kamu ngajak aku main tenis meja dan berharap aku mau temenan sama kamu. Waktu itu aku nolak, tapi setelah tanpa sengaja kita semakin deket dan jadi sahabat baik, malah akhirnya aku yang ngajak kamu duluan untuk main tenis meja. Dulu pasti kamu yang selalu menang dan ngasih hukuman aneh-aneh ke aku yang selalu kalah." Vanella mengenang sambil tersenyum.
Setelah puas mengingat kenangannya bersama Malvin di ruangan itu, Vanella keluar. Dia bersandar di pintu sesaat sambil menghela napas. Dia merasa sesak karena hari ini dia menemukan berbagai kejutan Malvin yang disiapkan untuknya, tetapi tidak ada Malvin bersamanya.
Dalam kesedihan itu, tiba-tiba mata Vanella beralih memandang ke sebuah ruangan yang terlihat cukup kecil, tidak seluas ruangan lainnya. Dari luar saja Vanella sudah bisa menduga bahwa di dalam ruangan itu pasti bukan lapangan olahraga. Dia pun memutuskan untuk memeriksanya.
Saat pintu dibuka dan lampu dinyalakan, terlihat sebuah ruangan kecil yang di dalamnya hanya ada sofa, meja, dan satu rak buku. Vanella mengernyit saat mendekati rak buku yang kecil itu, di mana isinya bukan novel atau jenis buku cetak lainnya, melainkan buku tulis. Saat melihat isinya, barulah Vanella mengerti. Itu adalah kumpulan buku tulis Malvin semasa SMA di mana di dalamnya dipenuhi tulisan tangan Vanella. Dulu Malvin memang paling malas menulis. Apalagi ketika diminta guru untuk mencatat banyak. Selalu Vanella yang mencatatkan untuknya.
Vanella tersenyum sembari membuka setiap lembar buku yang dipegangnya. Lalu dia meletakkan kembali buku itu dan duduk di sofa.
"Bahkan buku-buku yang berisi tulisan tangan aku pun dia taroh di ruangan khusus kaya gini. Aku baru tau kalau ternyata Malvin sangat menghargai setiap kenangan dia sama aku. Aku juga baru tau kalau ternyata cinta yang dia miliki jauh lebih besar dari yang aku rasakan. Aku nggak banyak tau tentang Malvin, tapi Malvin justru sangat mengenal aku. Dia bahkan tau kalau aku lagi sedih, aku suka menyendiri di ruangan kecil seperti ini untuk menenangkan diri. Dia sampai nyiapin ruangan ini. Makasih, Vin. Aku janji akan sering dateng ke sini setiap kali aku sedih atau aku kangen kamu."
Saat menoleh ke kiri, Vanella terkejut. Dia baru menyadari bahwa di dinding sebelah kiri tergantung beberapa fotonya bersama Malvin. Dia pun melangkah mendekati foto-foto itu. Kini dia hanya bisa meraba wajah Malvin di foto.
"Sekali lagi makasih untuk cinta kamu yang sebesar ini," ujar Vanella sambil tersenyum dengan mata berkaca-kaca memandang Malvin yang tersenyum lebar di foto.
***Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Vino belum juga pulang. Vanella sampai beberapa kali melihat melalui jendela. Belum ada tanda-tanda kepulangan Vino. Padahal Vanella berniat membuatkan minuman saat Vino sampai di rumah nanti.
"Bi, kalau Tuan Vino pulang tolong bikinin minuman, ya. Tolong bikinin makanan juga kalau laper. Soalnya saya ngantuk banget, jadi mau tidur duluan," pesan Vanella pada Bi Dara.
"Baik, Nyonya. Sekarang Nyonya istirahat aja."
"Iya, Bi."
Vanella menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Karena sudah menguap beberapa kali, akhirnya Vanella memutuskan untuk tidur.
Tak lama setelah Vanella tidur, Vino pulang. Dia tampak begitu lelah.
"Tuan, akhirnya pulang. Mau saya buatkan minuman? Tadi Nyonya Vanella pesen untuk nyiapin makan dan minum untuk Tuan. Nyonya ngantuk jadi tidur duluan," ujar Bi Dara.
"Nggak usah, Bi. Saya mau langsung tidur. Ngantuk," jawab Vino sambil menguap.
"Ya sudah Tuan istirahat aja. Oh ya, Tuan, tadi Nyonya kayanya khawatir karena Tuan nggak pulang-pulang. Nungguin terus di depan jendela."
Vino mengernyit karena dia tahu Vanella tidak mencintainya. Jadi untuk apa kekhawatiran itu.
"Ya wajar dong, Bi. Suaminya pulang malem, istri pasti khawatir. Tadi banyak kerjaan yang harus saya urus karena ini kan hari pertama saya. Ya udah saya masuk dulu, Bi."
"Iya, Tuan."
Setelah masuk ke kamar, tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu, Vino langsung merebahkan diri di tempat tidur dalam posisi tengkurap usai melemparkan tas ke lantai. Dia pun tertidur.
Vanella yang merasakan getaran di kasurnya terbangun. Dengan mata yang mengantuk, Vanella menoleh ke belakang. Dilihatnya sang suami yang sudah tidur.
Melihat suaminya masih memakai sepatu, Vanella turun dari tempat tidur. Dia memindahkan tas Vino ke lemari, lalu melepaskan sepatu Vino. Saat hendak membetulkan posisi tidur Vino, tanpa sengaja mata Vanella menatap wajah Vino yang selama ini enggan ditatapnya. Wajah yang semakin membuatnya sakit karena persis seperti wajah lelaki yang sangat dicintainya.
Tidak jadi memindahkan posisi tidur Vino, Vanella justru tidur di samping Vino dan memandang wajah lelaki itu.
"Biasanya aku nggak mau natap kamu. Untuk sekali ini aja aku mau mandang kamu untuk mengobati kerinduanku. Aku kangen kamu, Malvin. Kenapa takdirku seburuk ini? Di saat aku harus lupain kamu, aku malah dihadapkan dengan wajah kamu setiap hari. Gimana bisa aku lupain kamu, Vin? Yang ada aku semakin sakit. Kenapa kamu tega ngasih amanah ini?"
FLASHBACK ONVanella meletakkan penanya usia mencatat begitu banyak. Dia meregangkan tangannya sesaat.
"Vin, udah selesai nih," ujar Vanella sambil menoleh ke belakang, ke tempat duduk Malvin yang berada di deretan duduk sebelah kirinya.
Saat itu Malvin sedang tidur. Lelaki itu memang suka tertidur di kelas. Vanella pun menarik kursinya dan memindahkan di samping Malvin. Dia ikut meletakkan kepalanya di meja dan menatap wajah lucu Malvin yang tidur sambil menganga.
"Vin, bangun," ucap Vanella sambil menggoyangkan tangan Malvin.
Dengan mata yang seperti direkatkan oleh lem, Malvin memaksakan diri untuk bangun.
"Apa sih, Van? Masih ngantuk nih."
Saat menyadari wajah Vanella berada dekat sekali dengan wajahnya, pipi Malvin memerah. Dia pun mengangkat kepalanya.
"Ngapain lo?"
Vanella ikut menegakkan kembali badannya. "Abisnya gue udah capek-capek nyatetin di buku lo eh lo malah tidur. Bukannya ngasih upah."
"Gue kasih upah cium mau?"
"Masih mesum lo? Ogah lah gue temenan sama lo."
"Eh jangan jangan. Canda doang. Terus mau apa?"
"Nyanyi di sini sambil joget terus nanti gue beliin keripik singkong pedes kesukaan lo, lo harus makan. Gue kan seneng lihat wajah lucu lo kalo makan kepedesan."
"Ada-ada aja nih cewek."
"Kalau nggak mau gue sobek nih buku lo."
"Iya deh iya."
"Cepetan bangun," Vanella merengek sambil menarik tangan Malvin.
"Eh guys, perhatiin sini! Gue mau nyanyi!" teriak Malvin hingga seisi kelas menoleh ke arahnya.
"Ngelindur lo, Vin? Bangun-bangun langsung mau nyanyi," sahut Alby.
"Ini nih demi permintaan tuan putri." Malvin melirik ke arah Vanella.
"Alah demi demi. Toh dia tetep nggak mau kan nerima cinta lo?" ledek Alby yang langsung diikuti tawa seluruh teman-teman sekelasnya.
Malvin mengabaikan itu. Dia menyalakan musik dan mengikuti nyanyian dangdut di musik itu sambil berjoget di atas meja. Vanella merekam momen lucu itu dengan ponselnya sambil tertawa bersama Ranti dan Tara.
Tiba-tiba Malvin loncat dan mengajak Vanella berdansa. Ranti pun merebut ponsel Vanella dan merekam mereka berdua.
"Malvin, stop! Lo ada-ada aja sih," ujar Vanella sambil tertawa dan berusaha melepaskan tangannya.
"Salah sendiri lo mintanya aneh-aneh. Lo mau bikin gue malu di depan anak-anak kelas, kan? Lo juga harus ikutan malu." Malvin menjulurkan lidahnya meledek Vanella.
"Duh serasi banget pasangan ini. Udah terima aja cintanya Malvin, Van. Udah dua tahun lho dia ngejar-ngejar lo," teriak Tara.
"Kan sekarang udah enggak. Gue sama Malvin kan sahabatan sekarang," sahut Vanella.
"Masih kok. Sampai kapan pun gue akan selalu suka sama cewek galak ini. Ya walaupun sebenarnya gue takut karena galaknya ngalahin mama gue."
Para siswa di kelas pun tertawa. Vanella langsung memukuli lengan Malvin.
"Tuh kan keluar galaknya," ledek Malvin lagi.
Vanella langsung menjewer kuat telinga Malvin. Mereka saling beradu mulut sambil sesekali saling menginjak dan menjewer. Momen itu pun juga diabadikan oleh Ranti dan Tara sambil mereka berdua tertawa.
FLASHBACK OFF
Vanella mengusap air matanya, lalu berbalik menghadap ke kiri memunggungi Vino. Saat itu Vino membuka matanya dan terdiam mendengar isak tangis istrinya.Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan
Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Tawa bahagia Vanella hanya berlangsung sesaat. Dia kembali menjadi pendiam begitu Ranti pulang. Sosok Vanella yang dikenal ceria dan cerewet semasa sekolah seakan telah lenyap bersamaan dengan kepergian Malvin. Kini dia lebih banyak diam dan memilih menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di rumah meski dia sudah memiliki beberapa ART. Keceriaan itu hanya muncul kembali saat dia bersama para sahabatnya. Tidak ada ruang untuk tertawa bahagia saat dia bersama orang lain. Meski itu suaminya sekalipun.Melihat Vanella yang sibuk membersihkan berbagai perabotan dengan kemoceng, para ART mulai saling berbisik."Nyonya Vanella rajin banget, ya. Biarpun udah ada kita, tapi tetep mau ngerjain pekerjaan rumah tangga," celetuk Bi Dara."Rajin atau haus pujian? Kan ada kita di sini. Dia kan tau kita sering lapor apa-apa ke Tuan Vino. Pasti ini biar dipuji Tuan Vino aja." Bi Lina melirik ke arah Vanella dengan sinis.
Dengan tergesa-gesa lelaki yang memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam itu keluar dari lift dan segera menuju ke ruangannya, diiringi sapaan para karyawannya. Namun, jangankan tersenyum, Vino hanya melirik mereka sekilas sembari terus melanjutkan langkahnya. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sedangkan tangan kirinya memasang earphone di telinganya.Sambil membuka pintu, lelaki dingin itu mulai berbicara dengan seseorang yang diteleponnya."Halo, Kak.""Iya. Ada apa, Vin? Aku masih di taksi nih. Perlu bantuan?"Vino mendudukkan dirinya di singgasana kebanggaannya sembari menarik napas panjang. Matanya terarah pada foto dirinya yang ada di meja."Bukannya harusnya ini foto sang CEO sama istrinya, ya?" gumam Vino sambil meraih foto dirinya dan dilihatnya lebih dekat."Vin? Kenapa? Foto apa? Suara kamu nggak begitu jelas."Foto it
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir
Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n
Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari
Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi