Para asisten rumah tangga saling berbisik ketika Vanella dan Vino menuruni tangga dengan tangan yang bertaut erat. Mereka tersenyum sendiri melihatnya. Apalagi kali ini sepasang pengantin baru itu memperlihatkan senyum mereka seolah-olah kebahagiaan itu memang benar adanya.
Saat hendak makan, keromantisan itu kembali terlihat. Vanella mengambilkan nasi dan lauk ke piring Vino. Mengetahui para ART itu memperhatikannya, Vino pun menyuapi Vanella. Awalnya Vanella diam sejenak, lalu perlahan dia membuka mulutnya.
"Bener-bener pengantin baru yang romantis, ya," ujar Bi Dara, salah satu ART di ruma Vanella.
"Iya. Cocok banget. Ganteng dan cantik," jawab Bi Sasti.
Bisikan itu terdengar di telinga Vanella dan Vino. Hal itu membuat Vino menyeringai puas.
"Aku ada perlu. Jadi keluar bentar. Kalau papa dateng, tolong bilang suruh nunggu, ya," ujar Vino setelah menghabiskan makanan di piringnya.
"Iya."
Nih cewek nggak tanya aku mau ke mana. Dia nggak peduli. Yah lagian ini juga bukan pernikahan sungguhan.
Vino segera keluar dengan buru-buru. Dia pun langsung tancap gas menuju rumah ibu Vanella.
"Dia udah nglakuin tugasnya sebagai seorang istri dengan baik walaupun aku tau sebenernya dia masih sedih. Kalau gitu aku juga harus lakuin sesuatu buat dia. Bentar lagi aku bakalan jadi aktor terkenal dan mungkin juga CEO sukses. Apa jadinya kalau nanti media mulai mengorek kehidupan rumah tangga kami. Vanella pasti akan bilang kalau selama ini cuma dia yang selalu perhatian sama aku, sedangkan aku nggak pernah nglakuin apa-apa buat dia. Nama baikku akan hancur. Aku nggak boleh kalah dari dia."
Sesampainya di rumah ibu Vanella, dia disambut senyuman hangat. Karena buru-buru akan ke kantor, Vino memilih mengajak ibu mertuanya berbincang di teras saja.
"Nak Vino ada apa pagi-pagi ke sini?"
"Begini, Bu. Sebenarnya ada yang mau saya tanyain."
"Silakan aja, Nak. Mau tanya apa?"
"Dulu Vanella kuliah, kan? Jurusan apa ya, Bu?"
"Sastra. Vanella itu emang hobi baca buku."
"Maaf, Bu. Apa Vanella pernah bilang pengin lanjut S2 atau apa gitu cita-citanya yang belum terwujud?"
"Kalau S2 sih enggak. Vanella itu nggak mau kuliah lagi kalau dia belum bisa menghasilkan uang sendiri. Dulu sih dia pernah bilang mau kerja aja, di perusahaan penerbitan buku gitu. Cuma ya belum sempat diwujudin. Malah dulu dia bantu ngurus restoran ibu."
Vino mendengarkan dengan saksama sambil mengerutkan dahi dan mengusap-usap dagunya.
"Nak Vino ada apa ya nanya-nanya itu?"
"Nggak papa, Bu. Cuma tanya aja," jawab Vino sambil menggaruk kepala.
"Oh iya, soal Malvin, apa Ibu tau makanan kesukaan Malvin apa? Terus olahraga apa yang sering dilakuin Vanella bareng Malvin, tempat yang sering dikunjungi mereka atau semacamnya?"
Bu Selina tersenyum. "Ibu mengerti sekarang. Kamu mau menjauhkan semua hal itu dari Vanella? Kamu berniat membuat Vanella melupakan Malvin, kan?"
Vino hanya terdiam.
"Kalau diem berarti bener. Nak Vino, daripada memaksa Vanella move on, lebih baik biarin aja. Wanita itu akan lebih suka kalau dimengerti daripada dipaksa. Semakin dipaksa untuk melupakan orang yang dicintai malah cinta itu akan semakin besar, tapi kalau dibiarkan dan dialihkan perlahan, cinta itu perlahan akan memudar dengan sendirinya. Kalau bisa dimengerti oleh pasangannya, wanita akan senang. Bahkan pengertian itu juga yang nantinya akan menumbuhkan cinta."
"Cinta? Saya nggak berpikir sejauh itu, Bu. Saya cuma nggak mau Vanella berlarut-larut sedih."
"Tapi memaksa dia melupakan Malvin itu justru langkah yang salah. Nanti kesibukan dia juga perlahan akan bikin dia move on. Bukan melupakan, cuma ya lebih ikhlas aja. Kalau lupa kan nggak mungkin kecuali amnesia."
"Jadi harus begitu ya Bu menghadapi wanita?"
"Iya, Nak. Kamu yang sabar, ya. Kasih Vanella waktu untuk ikhlas menerima takdir ini."
"Iya, Bu. Makasih untuk nasehatnya. Ya udah saya buru-buru mau ke kantor, Bu. Saya pamit dulu." Vino mencium tangan ibu mertuanya.
"Iya. Hati-hati, ya. Semoga dilancarkan pekerjaannya."
"Aamiin. Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam."
Saat hendak masuk mobil, Vino melihat Ranti yang tengah menyapu halaman rumahnya. Dia pun menghampirinya. Vino berdeham hingga Ranti menoleh ke arahnya.
"Eh ka—kamu?"
"Iya, aku Vino, suaminya Vanella. Kamu temennya Vanella itu, kan? Jadi rumah kamu di sini?"
"Iya. Ranti. Aku emang tinggal di sebelah rumah Vanella. Ada apa, ya?"
"Nggak papa. Sering-sering dateng ke rumah, ya. Vanella butuh dihibur sama temen-temennya."
Ranti terkejut. "Eh emang nggak papa?"
"Kenapa? Karena ada aku? Nggak usah sungkan. Vanella masih milik temen-temennya. Kalian bebas ketemu kapan aja. Lagian aku juga bakalan sibuk. Jadi jarang di rumah. Ya udah itu aja." Vino berlalu meninggalkan Ranti dan masuk mobil.
Ranti masih mematung. Dia bingung seperti apa sebenarnya sosok suami sahabatnya ini. Dari perkataannya tadi terdengar seperti seorang suami yang begitu peduli pada istrinya.
"Dia peduli sama Vanella? Cowok sedingin itu?" gumam Ranti yang merasa heran.
Saat kembali lagi ke rumah, sang ayah telah menunggu di sana. Mendengar suara mobil Vino pun Pak Gibran dan Vanella keluar.
"Vino, dari mana aja kamu? Ini hari pertama kamu masuk kantor. Masa CEO datengnya telat di hari pertama gini."
"Maaf, Pa. Tadi aku ada urusan bentar."
"Ya sudah. Ayo kita berangkat."
"Iya, Pa."
Vino hendak masuk mobil, tetapi ayahnya mencegah. "Tunggu. Ada yang lupa, ya?"
"Apa, Pa?" Vino bingung.
"Pamitan dulu sama istrimu. Doa istri itu yang bikin lancar rezeki suami."
Vino melemparkan tatapan pada Vanella yang lagi-lagi enggan menatapnya. Dia pun mendekati Vanella.
"Aku berangkat kerja dulu, ya."
"Iya. Hati-hati. Semoga dilancarkan kerjanya," ucap Vanella sambil mencium tangan Vino.
"Ada yang kurang satu lagi," ujar Pak Gibran lagi.
"Apa lagi, Pa?"
"Cium kening istri kamu."
Vino garuk-garuk kepala. "Ayo cepet berangkat aja, Pa. Nanti telat."
Lelaki itu enggan melakukan seperti perintah ayahnya. Dia bergegas masuk ke mobil. Sementara Pak Gibran tertawa.
"Malu ya karena ada papa? Ya udah papa berangkat ke kantor dulu ya, Vanella."
"Iya, Pa. Hati-hati," jawab Vanella sambil mencium tangan ayah mertuanya.
Tampil berwibawa dengan jas navy dan celana berwarna senada, dengan tutrtleneck putih yang terlihat dari balik jasnya, Vino memijakkan kaki di Prawira Group untuk pertama kalinya. Para karyawan yang menyambut kedatangannya pun saling berbisik, terutama para wanita. Mereka tampak tersenyum senang. Tentu saja. Sebentar lagi ada CEO tampan yang akan bisa mereka pandangi setiap harinya.
"Selamat pagi, semuanya," ucap Pak Gibran di depan para karyawan yang berdiri di depannya.
"Selamat pagi, Pak."
"Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, hari ini saya ingin memperkenalkan CEO baru kalian. Dia adalah Marvino Prawira, anak saya. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Kalau Marvino melakukan kesalahan, tolong tegur saja atau kalian bisa melaporkan ke saya. Walaupun dia adalah anak saya, saya akan bersikap profesional. Vino, silakan perkenalkan diri kamu."
"Selamat pagi. Saya Marvino Prawira, CEO baru kalian. Panggil saja Pak Vino. Karena saya masih baru, jadi masih banyak hal yang perlu saya pelajari. Jadi jangan sungkan untuk memberi masukan ke saya. Meskipun begitu, saya akan berusaha memajukan perusahaan ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Mohon bantuannya."
"Iya, Pak. Selamat datang, Pak Vino. Saya mewakili para karyawan di sini menyambut baik kehadiran Bapak. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk bersama-sama dengan Bapak memajukan perusahaan ini. Kami juga mohon bimbingannya, Pak," ucap salah satu karyawan di sana.
Hari itu Pak Gibran merasa senang karena Vino disambut baik oleh para karyawan di sana. Pak Gibran juga yakin bahwa Vino dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.
Usai berkenalan, Pak Gibran mengantarkan Vino ke ruangannya dan menjelaskan beberapa hal yang perlu dipahami Vino. Dengan cepat Vino dapat memahaminya.
Sementara Vino disibukkan dengan tugas barunya sebagai CEO Prawira Group, Ranti dan Alby datang ke rumah Vanella. Ranti mengikuti saran Vino sehingga dia mengajak Alby dan Tara untuk datang menghibur Vanella. Hanya saja Tara tidak datang bersama sepasang kekasih itu.
"Selamat datang, Mbak, Mas. Ada perlu apa dan dengan siapa, ya?" sapa Bi Lina, salah satu ART yang membukakan pintu.
"Saya Ranti dan ini Alby. Kami temennya Vanella. Tolong sampaikan ya kalau kami datang."
"Baiklah. Tunggu sebentar ya, Mbak. Biar saya panggilkan dulu. Maaf soalnya saya dilarang Pak Vino untuk menerima tamu sembarangan. Jadi harus dipastikan ke nyonya dulu."
"Iya nggak papa."
"Ketat juga penjagaan di sini. Tadi di depan aja ada tiga security. Pake dimintain KTP segala lagi. Lebay nggak sih suaminya Vanella itu?" bisik Alby.
"Jangan bisik-bisik di sini. Ada CCTV di atas. Nanti kita dikira ngrencanain sesuatu yang buruk lagi."
Alby mengembuskan napas kesal.
"Ranty, Alby, kalian dateng? Ayo masuk," ucap Vanella setelah membukakan pintu.
Meski memasang senyuman ramah di wajahnya, mata sembap dan kesedihan yang tampak di dalamnya itu tak dapat disembunyikan. Ranti bisa merasakan itu. Dia langsung memeluk Vanella.
"Eh ada apa ini?"
"Nggak papa. Kangen aja," jawab Ranti sambil melepas pelukannya.
"Yuk sini masuk. Bi, lain kali kalau mereka dateng langsung suruh masuk aja, ya. Mereka sahabat baik saya."
"Baik, Nyonya. Maaf tadi saya cuma khawatir."
Saat masuk ke rumah Vanella, bola mata Ranti terus berputar mengamati rumah mewah itu. Dia juga memperhatikan beberapa ART yang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.
"Ini rumah apa istana. Mewah banget. ART-nya banyak, pake seragam semua lagi. Waah...." ujar Ranti setelah dia duduk sambil terus mengamat sekelilingnya.
"Ini rumah pemberian Malvin."
Mendengar jawaban itu, mata Ranti langsung terfokus pada Vanella. "Eh sorry ya, Van. Gue nggak tau."
Vanella mengukir senyuman tipis. "Nggak papa kok. Malvin baik banget ninggalin rumah ini buat aku. Seenggaknya di sini gue bisa merasakan kehadiran Malvin."
"Sebagai temennya Malvin, gue juga sangat sedih kehilangan dia, tapi gue tau pasti lo lebih sedih lagi. Makanya gue dan Ranti dateng. Gue harap seenggaknya kami berdua bisa sedikit menghibur lo, tapi maaf kalau misalnya kedatangan kami justru bikin lo sedih atau terganggu," ucap Alby dengan raut wajah sedih.
"Apaan sih lo, Al. Santai aja. Sejak kapan lo jadi secanggung ini sama gue? Malah gue seneng tau kalian dateng. Gue bingung mau ngapain. Belum terbiasa tinggal di sini. Nggak ada ibu yang diajakin ngobrol lagi. Eh iya, Tara mana? Nggak ikut?"
"Gue udah ajak kok. Katanya mau dateng, tapi ada keperluan bentar katanya. Makanya gue sama Alby duluan."
"Permisi, Mbak, Mas. Ini silakan dinikmati camilan dan minumannya," ucap Bi Lina yang datang membawakan camilan dan tiga gelas minuman.
"Iya terima kasih, Bi."
"Iya, Mbak. Saya permisi dulu."
"Lho, Van, ART lo kok tau gue suka jus apel dan Alby suka kopi? Cenayang, ya?"
"Apaan sih, Ran. Kan gue yang ngasih tau."
"Tau nih Ranti emang suka aneh gitu kalau nanya," sahut Alby sambil mengetuk kening Ranty.
"Gitu gitu lo cinta kan, Al? Kapan mau bawa sahabat gue ini ke pelaminan?"
"Nanti lah. Secepatnya. Rencananya sih gue sama Ranti mau langsung nikah. Nggak pake tunangan dulu."
"Serius? Wah gue ikut seneng dengernya. Malah lebih cepet gitu. Ran, kayanya Alby udah nggak sabar nih." Vanella begitu antusias mendengar perkataan Alby.
"Halah orang dia mau pergi ke Jakarta lagi. Gue mau ditinggal lagi." Ranti memberi lirikan tajam pada Alby.
"Lho masih mau pergi lagi, Al?"
"Ya gimana lagi, Van. Gue kan cuma kerja di PT. Cuma karyawan biasa. Jadi nggak bisa kelamaan libur. Lusa gue berangkat. Abis ini gantian ya lo yang hibur Ranti. Kayanya dia bakalan ngabisin tisu tiap hari."
"Dih enggak, ya. Nggak bakalan gue kangen. Lagian di Jakarta doang." Ranti menjulurkan lidah pada Alby.
Kedua sejoli itu terus saja ribut dan saling meledek. Vanella hanya bisa tersenyum melihatnya. Lalu hanya dalam beberapa detik senyuman itu memudar saat muncul bayangan dirinya dan Malvin yang mungkin akan seperti itu juga andai saja Malvin masih ada. Sayangnya keceriaan itu telah dibawa pergi Malvin selamanya.
Menyadari raut wajah Vanella yang mendadak sedih, Alby menahan tangan Ranti yang hendak memukulnya. Matanya memberi kode pada Ranti.
"Eh Van, restoran lo yang dulu itu gimana? Nggak lo urusin sekarang?" Ranti berusaha mengalihkan kesedihan Vanella.
"Gue minta ibu yang ngelola restoran itu. Lagian itu kan dulu gue bangun buat Malvin. MV Spicy Resto. Semua menu makanan di sana adalah makanan-makanan pedes kesukaan Malvin. Kalau gue masih sering ke sana, yang ada makin sering nanti gue nangis." Vanella menunduk sedih.
Alby menatap kesal pada Ranti yang justru membuat Vanella semakin sedih.
Bunyi bel rumah Vanella akhirnya memecah keheningan yang terjadi.
"Bi, kalau itu Tara, langsung suruh masuk, ya. Itu temen saya."
"Baik, Nyonya."
Tak lama kemudian, Tara masuk sambil berlari dan langsung memeluk Vanella.
"Ya ampun anak ini dateng-dateng langsung heboh," ujar Vanella sambil menepuk-nepuk bahu Tara.
"Kaya nggak tau gue aja."
Tara langsung duduk di sofa dan mengambil salah satu camilan dan melahapnya.
"Eh nggak sopan dateng-dateng langsung makan," ujar Ranti.
"Biarin. Vanella pasti akan bilang, nggak papa anggep aja rumah sendiri. Iya kan, Van?"
"Iya bener. Udah biarin aja. Dia kan emang hobi makan dari dulu," jawab Vanella.
"Eh iya ini gue ganti model rambut lho. Gimana? Cantik nggak?" Tara mengibaskan rambut merah pendeknya.
"Model rambut apaan kek gini. Nggak banget. Gue nggak like," sahut Ranti.
"Makin ke sini makin pendek aja rambut lho, Tar. Lama-lama jadi botak nanti kepala lo. Tau nggak, dengan rambut sependek itu muka lo tambah bulet. Lebih bulet dari tahu bulet." Alby ikut memberi komentar mengesalkan sambil tertawa.
"Ih kok jahat sih kalian berdua. Bisa-bisanya dua orang ngeselin ini pacaran terus mau nikah. Gue gangguin ya kalian."
Tara berpindah posisi di antara Ranti dan Alby. Namun, Ranti terus mendorongnya hingga Tara terjatuh di lantai. Dia memegangi pantatnya yang sakit. Vanella pun tertawa menyaksikan tingkah para sahabatnya itu.
Melihat tawa itu, Ranti dan Alby bertukar pandang sambil tersenyum.
"Ih nyebelin banget. Malah dibully gue di sini. Eh eh minuman gue mana ini? Bibi, tolong ambilin jus lemon, ya!" Sambil duduk kembali di sofa, Tara berteriak memanggil ART Vanella seolah-olah dia adalah nyonya di rumah itu.
"Siap, Nyonya!" sahut Bi Lina.
"Nyonya? Gue dikira Vanella kali, ya. Berarti suara gue seimut suara Vanella kan?"
"Mana ada. Amit-amit yang bener." Vanella menolak jika suaranya disamakan dengan Tara.
"Oh ya, lo tadi ngapain aja? Kok nggak bareng sama Ranti dan Alby?" tanya Vanella.
"Sebenernya ada someone yang mau gue kenalin ke kalian. Gue nyamperin dia, tapi malah dia ada kesibukan. Jadi nggak bisa. Next time yah."
"Akhirnya si ratu jomlo menemukan pangerannya." Alby mengangkat tangan sambil berteriak.
"Nggak usah sombong lo mentang-mentang udah punya Ranti. Kalian kan juga belom lama. Awas aja nanti gue duluin ke pelaminan."
"Eh nggak bisa nggak bisa. Lo harus kenalin betul betul tuh calon lo. Paling nggak setahun. Baru nikah. Masa mau duluin yang udah lama berproses ini." Ranti tidak terima jika didahului Tara menikah.
"Udah-udah. Kalian ini ribut terus. Mending nikahnya bareng aja. Biar gue enak gitu kondangan sekali doang." Vanella memberi ide.
"Boleh. Nanti gue yang urus undangannya. WO dan lain-lainnya biar urusan Ranti sama Alby."
"Enak aja lo! Lo yang untung, gue yang buntung! Lo kira gue anak sultan apa?"
Kedua gadis itu terus saja ribut. Vanella menggeleng sambil tersenyum melihatnya.
"Al, mending lo nikahin aja deh mereka berdua. Kayanya seru kalau jadi madu. Jadi rame kan tuh nanti rumah lo," ujar Vanella.
"Vanella! Ogah gue dimadu. Apalagi madu gue Tara. Cih!"
"Gue juga ogah kali berbagi suami sama lo!" sahut Tara.
"Lo lihat sendiri kan, Van? Temenan aja mereka ribut terus. Apalagi kalau gue nikahin dua-duanya. Bisa mati muda gue."
Vanella tertawa. Sepanjang pertemuan itu beberapa kali Ranti dan Tara meributkan hal-hal sepele hingga Vanella dan Alby seperti penonton yang sedang menyaksikan film komedi.
Untuk sesaat Vanella bisa melupakan kesedihannya dan meloloskan tawa yang sebelumnya tak lagi terlihat sejak kepergian orang yang sangat dia cintai. Ranti, Alby, dan Tara sesekali saling memberi kode lewat mata. Mereka senang karena rencana mereka untuk menghibur Vanella berhasil.
Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutan
Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan
Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Tawa bahagia Vanella hanya berlangsung sesaat. Dia kembali menjadi pendiam begitu Ranti pulang. Sosok Vanella yang dikenal ceria dan cerewet semasa sekolah seakan telah lenyap bersamaan dengan kepergian Malvin. Kini dia lebih banyak diam dan memilih menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan di rumah meski dia sudah memiliki beberapa ART. Keceriaan itu hanya muncul kembali saat dia bersama para sahabatnya. Tidak ada ruang untuk tertawa bahagia saat dia bersama orang lain. Meski itu suaminya sekalipun.Melihat Vanella yang sibuk membersihkan berbagai perabotan dengan kemoceng, para ART mulai saling berbisik."Nyonya Vanella rajin banget, ya. Biarpun udah ada kita, tapi tetep mau ngerjain pekerjaan rumah tangga," celetuk Bi Dara."Rajin atau haus pujian? Kan ada kita di sini. Dia kan tau kita sering lapor apa-apa ke Tuan Vino. Pasti ini biar dipuji Tuan Vino aja." Bi Lina melirik ke arah Vanella dengan sinis.
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir
Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n
Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari
Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi