Kemewahan terlihat jelas di rumah besar berwarna putih itu. Rumah dengan tiga lantai yang belum lama selesai dibangun. Itulah rumah yang disiapkan Malvin untuk Vanella.
Malam itu Vanella memijakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Namun, bukan dengan Malvin, melainkan dengan Marvino.
Beberapa asisten rumah tangga menyambut kedatangan mereka dengan sapaan dan senyuman ramah. Mereka bergegas membawakan beberapa koper barang-barang yang dibawa sepasang pengantin baru itu.
Bola mata Vanella berputar mengamati setiap detail rumah itu sambil dia terus memeluk boneka beruang pemberian Malvin. Kini kakinya menuntunnya ke lantai dua. Dia membuka pintu salah satu kamar. Dia pun dibuat tercengang dengan warna merah muda yang mendominasi kamar itu. Hampir seratus persen benda di kamar itu berwarna merah muda.
Vino yang berdiri di belakang Vanella dibuat heran. Tatapannya menunjukkan kegelian. Bagi dirinya tentu saja warna merah muda itu aneh, tidak enak dilihat, terlalu kewanita-wanitaan. Tatapannya pun tertuju pada boneka yang dipeluk Vanella. Dia manggut-manggut. Dia baru mengerti kenapa kamar ini sengaja dipenuhi warna merah muda. Tentu saja karena Vanella menyukai warna itu.
Di kamar yang luas itu ada sofa panjang, meja, dan dua buah lemari besar yang berwarna merah muda dan biru. Vanella tidak heran melihatnya karena dulu Malvin memang pernah mengatakan akan meletakkan dua buah lemari di rumah mereka nanti. Malvin sangat memahami sifat perfeksionis Vanella. Gadis itu sangat menjaga kerapian barang-barangnya. Untuk pakaian pun dia akan menatanya beraturan sesuai warna dan jenis masing-masing. Berbeda dengan Malvin yang suka asal-asalan menyimpan barang. Malvin tidak ingin Vanella merasa tidak nyaman melihat pakaian Malvin yang berantakan jika pakaian mereka berada dalam satu lemari sehingga dia ingin pakaian mereka diletakkan dalam lemari yang berbeda.
Vanella membuka lemari yang berwarna biru. Dia terkejut saat melihat beberapa baju Malvin tergantung di dalamnya. Sepertinya beberapa hari sebelumnya saat Malvin masih sehat dia sudah memindahkan sebagian pakaiannya di sana. Vanella mengambil salah satu kaus berwarna hitam yang dulu sering dipakai Malvin. Dia mencium kaus itu. Vanella mengetahui kebiasaan Malvin yang suka menyemprotkan parfum di pakaiannya sebelum dimasukkan ke lemari. Hal itu diceritakan sendiri oleh Malvin. Benar, memang ada wangi parfum Malvin yang terendus oleh hidungnya.
Vanella duduk di tempat tidur sambil memeluk dan mencium kaus itu. Melihat itu Vino bergegas mengambil baju-baju Malvin yang masih ada di lemari.
"Mau kamu apain baju-baju itu?" tanya Vanella tanpa menatap Vino.
"Mau aku simpen di tempat lain aja."
"Jangan! Biarin nanti aku simpen di lemariku."
Vino tidak menentang. Diam-diam dia melirik ke arah Vanella yang terus memeluk kaus Malvin dengan raut wajah sedih. Dia sebenarnya merasa kasihan. Dia tidak ingin pakaian Malvin semakin membuat Vanella teringat akan saudara kembarnya itu, tetapi dia juga tidak bisa memaksa Vanella menyingkirkan pakaian itu.
Puas melepas kerinduannya pada Malvin dengan memeluk kaus itu, Vanella meletakkannya di atas tempat tidur. Lalu dia mengambil salah satu bantal dan memindahkannya di sofa.
"Buat apa?" Vino mengernyit.
"Buat tidur. Ini kan udah malem."
"Kamu mau tidur di sofa?"
Vanella mengangguk.
Lelaki itu memindahkan bantal kembali ke tempat tidur. "Kita akan sama-sama tidur di sini. Nggak akan ada yang tidur di sofa, di lantai, atau di kamar lain."
"Ta—tapi aku...."
"Kamu nggak usah khawatir. Nggak akan terjadi apa-apa. Di tempat tidur ini kita cuma akan tidur. Walaupun seranjang, aku nggak akan sentuh kamu sedikit pun. Lagian aku nggak ada perasaan apa-apa sama kamu. Denger ya, kamu ini amanah dari saudara kembarku. Aku nggak mau jadi adek yang buruk dengan biarin cewek yang dia suka tidur di sofa," jelas Vino dengan tatapan dinginnya.
Vanella mematung. Dia bingung harus setuju dengan perintah Vino atau tidak.
"Udah sana cepet pindahin baju-bajunya Malvin ke lemari kamu terus tidur. Beresin pakaian dan barang-barang lain yang ada di koper besok aja."
Tidak ingin melawan perintah lelaki ketus itu, Vanella bergegas merapikan pakaian Malvin dan meletakkannya di lemari merah muda miliknya. Dia mengambil satu setelan pakaian tidurnya, lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.
Sementara itu Vino duduk di tempat tidur sambil menghela napas panjang dan bergumam sendiri. "Takdir macam apa ini. Aku yang nggak pernah pacaran tiba-tiba harus menikah. Aku nggak tau gimana caranya memperlakukan wanita, gimana caranya jadi suami, apa yang disukai wanita dan enggak. Bodo amat lah. Toh ini cuma sekadar status. Nggak ada cinta di antara kami. Jalani hari-hari seperti biasa aja. Yang penting tuh cewek baik-baik aja di sini jadi aku nggak akan merasa bersalah sama Malvin. Gimanapun jangan sampai aku nyakitin dia. Semua ini demi Malvin."
Sambil menunggu Vanella yang masih di kamar mandi, Vino dengan terburu-buru berganti pakaian. Dengan cepat dia memakai pakaian tidurnya, lalu mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur.
Usai berganti pakaian dan mencuci muka, Vanella keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba dia berteriak.
Sang suami yang baru saja memejamkan mata sontak terkejut dan langsung duduk menyalakan lampu. Saat itu dia melihat Vanella sudah duduk di lantai dengan wajah ketakutan.
"Kamu kenapa?" tanya Vino.
"Aku fobia gelap. Maaf kalau jadi ganggu tidur kamu."
"Oh. Aku nggak tau. Kalau pake lampu tidur aja bisa?"
"Enggak. Kurang terang."
Vino berpikir sejenak. "Ya udah kalau gitu biarin aja lampunya nyala. Aku tidur dulu."
Vanella mengangguk. Dia masuk kembali ke kamar mandi menggantungkan handuk di sana, lalu berjalan perlahan menuju tempat tidur. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil melirik ke arah Vino yang tidur memunggunginya.
Perlahan Vanella membaringkan tubuhnya dan berbalas memunggungi Malvin. Berusaha memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Rasanya aneh. Pada hari di mana dia kehilangan lelaki yang dicintainya, dia justru kini tidur seranjang dengan lelaki lain sebagai seorang istri. Sama seperti Vino, Vanella juga heran dengan takdirnya.
Tidak jauh berbeda dengan Vanella, Vino juga tidak bisa tidur. Dia yang biasa tidur dalam keadaan gelap kali ini kesusahan karena lampu menyala begitu terang. Namun, mau tidak mau dia harus mengalah pada sang istri. Harga dirinya akan jatuh kalau dia egois.
Mengira Vanella sudah tidur, Vino membalikkan badan menghadap Vanella. Sosok itu begitu asing di matanya, tetapi tiba-tiba saja malam ini harus tidur bersamanya.
Tanpa diduga Vino, Vanella juga tiba-tiba membalikkan badan menghadapnya hingga manik mereka pun bertemu. Serentak mereka berbalik badan sambil memejamkan mata sesaat menahan malu.
"Kamu belum tidur? Kenapa?" tanya Vino.
"Malam ini aku tidur dengan orang asing. Wajar, kan? Kalau kamu kenapa?"
"A—aku juga sama."
"Kamu jawabnya gagap. Pasti bohong, kan? Apa ada alasan lain?"
"Sebenernya aku nggak bisa tidur karena lampunya menyala terang. Biasanya aku tidur tanpa lampu."
"Kenapa nggak bilang tadi? Ya udah matiin aja lampunya."
"Enggak. Nanti kamu nggak bisa tidur. Suami macam apa yang mentingin keinginannya sendiri."
"Tenang aja. Aku akan belajar tidur dengan lampu mati."
"Enggak. Udah nggak usah dipikirin. Nanti juga lama-lama aku bisa tidur."
Vanella meraih ponselnya yang ada di meja. Dia menyalakan senter, lalu mematikan lampu.
"Lho kok dimatiin?" Vino berbalik menghadap Vanella.
"Aku udah nyalain senter di HP. Ini akan nyala sampai pagi. Jadi aku bakalan bisa tidur. Nyalanya lebih terang dari lampu tidur."
"Oh ya udah."
"Boleh minta tolong?"
"Apa?"
"Tolong menghadap ke sana lagi. Aku nggak bisa tidur kalau dilihatin."
Vino menggerutu. Dia kembali memunggungi Vanella. "Siapa juga yang mau lihatin kamu. Tembok lebih menarik."
Vanella tidak peduli. Dia berusaha memejamkan mata.
Sementara itu Vino masih saja mengeluh dalam hatinya.
Apa-apaan dia ngatur-ngatur. Aku kan kalau tidur bolak-balik. Masa sampai pagi harus menghadap ke sini. Apa besok aku kasih pembatas aja ya di tempat tidur. Ribet juga punya istri. Tempat tidur dikuasai.
Awalnya sama-sama kesulitan untuk tidur, satu jam kemudian akhirnya Vino bisa terlelap. Sementara Vanella masih terjaga tanpa rasa kantuk. Dia berbalik badan memastikan apakah suaminya sudah tidur. Setelah yakin bahwa Vino sudah tidur lelap, Vanella turun dari tempat tidur. Dia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada tempat tidur. Dibukalah galeri ponselnya. Ada banyak foto-foto dirinya bersama Malvin dan para sahabatnya. Ada juga video tingkah konyol Malvin saat masih SMA.
Kerinduan itu semakin dalam, tetapi Vanella enggan mengabaikan. Dia justru semakin menggali rasa itu dengan membuka foto-foto kenangan mereka. Namun, kali ini dia menahan diri untuk tidak menangis.
"Setelah hari ini, aku akan berusaha untuk mengenang kamu dengan kerinduan dan cinta tanpa kesedihan. Kamu kan nggak suka lihat aku sedih. Iya kan, Vin?" gumam Vanella sembari mengusap foto itu.
Terus menggeser layar melihat berbagai koleksi fotonya bersama Malvin, sampailah Vanella pada sebuah video lucu kekonyolan Malvin dulu. Dia tertawa kecil melihatnya.
Tanpa sadar Vanella mengantuk saat terus menatap layar ponselnya melihat video-video kenangannya bersama Malvin. Dia pun tertidur dengan ponsel masih dalam genggamannya.
***Dibangunkan oleh suara alarm ponselnya, Vino mengerjap beberapa kali sambil tangannya mematikan alarm itu. Perlahan dia duduk dan membuka lebar matanya. Dia hampir panik mendapati Vanella tidak ada di tempat tidur.
Saat menoleh, Vino melihat Vanella yang tergeletak di lantai sambil menggenggam ponsel. Bahkan senternya masih menyala.
"Nih cewek ngapain tidur di bawah. Apa dia gelundung tadi malem? Jangan-jangan aku tidurnya berantakan. Apa dia kesenggol aku? Malu-maluin banget kalau sampai bener."
Hendak membangunkan sang istri, Vino akhirnya menarik kembali tangannya yang sedikit lagi menyentuh bahu Vanella. Dia mengambil ponsel di tangan Vanella untuk mematikan senter. Namun, Vino justru melihat video yang sepertinya ditonton oleh Vanella tadi malam. Saat dia memutarnya, tampak Malvin tengah bernyanyi di kelas sambil naik ke atas meja dan menggoyangkan pinggulnya. Lalu turun dan menjahili Vanella. Di video tersebut terlihat betapa Vanella dan Malvin bahagia tertawa bersama.
Tanpa sadar Vino tersenyum. Dia yang tidak pernah merasakan momen-momen kebersamaan bersama saudara kembarnya itu tiba-tiba saja merasakan rindu dan cemburu. Dia iri pada Vanella sebagai orang asing justru sering menghabiskan waktu bersama Malvin. Dia juga iri pada Malvin yang dengan mudahnya bisa membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa.
Vino tidak ingin ikut merasa sedih. Dia pun mematikan layar ponsel Vanella dan meletakkannya di meja. Setelahnya dia bingung.
"Dibangunin nggak, ya? Apa dibiarin tidur? Ini kan di lantai. Gawat kalau nanti ada ART masuk bersihin kamar dan lihat ini. Dikira aku yang nyuruh dia Vanella tidur di lantai. Habis nama baikku. Kalau diangkat ke tempat tidur... Nggak! Nanti tiba-tiba dia bangun dan ngira aku mesum lagi karena pegang-pegang dia. Gimana ya caranya bangunin tanpa nyentuh dia?"
Vino mencoba mencari ide. Lalu lampu seperti menyala di atas kepalanya. Dia pun bangkit dan menyalakan musik di ponselnya dengan volume tinggi sambil pura-pura melakukan gerakan loncat-loncat di tempat dan meregangkan badan.
Terganggu oleh suara musik yang begitu keras, Vanella terjaga. Dia duduk secara perlahan dengan mata yang sepertinya masih enggan terbuka. Vino sedikit melirik ke arahnya.
Katanya secantik apa pun cewek, kalau bangun tidur pasti rambutnya akan berantakan kaya singa. Ini kok tetep lurus rapi gitu. Dia pake produk shampo apa, ya.
Saat matanya telah benar-benar terbuka, Vanella mengernyit melihat Vino yang pagi-pagi sudah berolahraga. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Vanella keluar dari kamar.
Setelah pintu kamarnya ditutup dari luar oleh Vanella, Vino duduk dan meluruskan kakinya. "Akhirnya keluar juga. Masih ngantuk juga harus pura-pura olahraga. Kapan penderitaan ini akan berakhir? Jadi rindu masa lajang."
Dengan pendengarannya yang tajam, Vino dapat mendengar langkah kaki Vanella yang sepertinya berjalan mendekati kamar. Dia pun bangkit dan kembali pura-pura berolahraga. Kali ini dia melalukan push up.
Dugaan Vino tidak salah. Vanella memang kembali masuk ke kamar. Dia datang dengan membawa tiga gelas minuman.
"Aku bawain minuman. Kalau capek istirahat dulu, terus minum. Aku nggak tau kamu suka teh, kopi, atau susu. Jadi aku bawain semuanya."
Sejenak Vino menghentikan gerakan push up-nya. "Hmm."
"Kamu mau dimasakin apa?"
"Terserah," jawab Vino singkat sambil mengubah posisi untuk melakukan sit up.
"Nggak ada makanan terserah dan aku nggak suka jawaban terserah."
"Padahal biasanya cewek yang hobi jawab terserah," gumam Vino.
"Kamu ngomong apa?"
"Eh enggak. Masakin aja nasi goreng sama telur. Nanti aku bikinin list makanan apa aja yang aku suka dan enggak. Sekalian minumannya. Biar kamu nggak perlu bawain tiga gelas minuman lagi."
Vanella tidak menjawab dan langsung keluar kamar. Seketika Vino menghentikan sit up-nya dan menuju meja yang ada di depan sofa. Dia menepuk jidat.
"Ada ya istri macam ini. Bikinin minuman sampai tiga gelas isinya beda-beda. Nanya dulu kek aku mau minum apa."
Sebenarnya Vino hanya suka minum teh, tetapi karena ada tiga gelas minuman di depannya, dia pun meminum semuanya. Setelah itu dia mengambil handuk untuk mandi. Saat melewati tempat tidurnya, Vino baru sadar bahwa ada baju, celana, dan jas yang telah disiapkan Vanella. Dia pun mengambilnya dan membawa ke kamar mandi.
"Enak sih ada yang nyiapin pakaian, tapi jadi harus pake di kamar mandi. Padahal biasanya aku habis mandi cuma pake celana dalam doang dan baru pake baju kalau mau berangkat. Gak bisa bebas sekarang."
Sementara Vino mandi, Vanella sibuk membuatkan sarapan untuk Vino. Beberapa ART memperhatikannya dengan rasa kagum.
"Kenapa Nyonya yang masak? Nyonya duduk aja di ruang makan. Kan ada kami, Nyonya."
"Saya kan seorang istri. Ini sudah tugas saya, Bi."
"Wah beruntung sekali ya Tuan Vino dapet istri cantik, perhatian, pinter masak lagi."
Vanella hanya terdiam mendengar pujian itu karena kenyataannya jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat. Baginya segala yang dia lakukan hanyalah sekadar untuk memenuhi kewajibannya sebagai istri, bukan karena dia benar-benar perhatian pada sang suami.
Selesai memasak, Vanella segera menata makanan di meja makan. Baru setelahnya dia kembali naik ke atas untuk memanggil Vino.
Begitu pintu dibuka, tampak Vino sedang mengusap rambutnya yang basah dengan handuk sambil duduk di sofa. Dia sepertinya sibuk membalas pesan di ponselnya.
Melihat hal itu, Vanella mengambil pengering rambut miliknya, lalu berdiri di belakang Vino dan mengeringkan rambut suaminya itu. Tentu saja Vino yang fokus pada ponselnya terkejut.
"Ngapain?"
"Rambut kamu basah. Kamu kan harus berangkat pagi. Ini hari pertama kamu ke kantor. Pake ini biar cepet kering."
"Nggak usah. Pake handuk juga bakalan kering."
"Lama keringnya. Udah diem aja."
Akhirnya Vino pasrah. Dia menikmati saja perawatan salon gratis ini. Tidak pernah sebelumnya ada yang mengeringkan rambutnya di pagi hari.
"Makanan udah aku siapin. Cepet turun dan makan," ujar Vanella setelah meletakkan kembali pengering rambutnya.
"Kamu nggak makan?"
"Nanti. Belum laper."
Vanella mengambil sisir di meja riasnya, lalu mulai merapikan rambut sang suami. Benar-benar Vino dimanjakan oleh istri barunya itu. Walaupun Vanella melakukannya tanpa senyuman sedikit pun. Lagipula Vino juga sama dinginnya. Terasa seperti suasana romantis di tengah badai salju.
"Kita ini pengantin baru dan di rumah kita banyak ART. Apa kata mereka nanti kalau lihat aku makan sendirian."
"Ya udah nanti aku ikut sarapan. Oh ya, maaf aku nggak tau cara make dasi, jadi aku nggak bisa makein."
"Aku bisa make sendiri."
Vino dengan cepat memakai dasinya, lalu berjalan keluar. Namun, dia berhenti di depan pintu dan berbalik mendekati Vanella.
"Ayo. Jangan sampai orang lain melihat seperti apa hubungan kita sebenarnya," ujar Vino sambil merenggangkan tangannya agar Vanella mau menggandengnya.
Dengan ragu akhirnya Vanella menggandeng tangan suaminya. Mereka pun turun bersama sambil bergandengan mesra layaknya pengantin baru normal lainnya. Ya memang mereka bisa dibilang bukan pasangan normal.
Para asisten rumah tangga saling berbisik ketika Vanella dan Vino menuruni tangga dengan tangan yang bertaut erat. Mereka tersenyum sendiri melihatnya. Apalagi kali ini sepasang pengantin baru itu memperlihatkan senyum mereka seolah-olah kebahagiaan itu memang benar adanya.Saat hendak makan, keromantisan itu kembali terlihat. Vanella mengambilkan nasi dan lauk ke piring Vino. Mengetahui para ART itu memperhatikannya, Vino pun menyuapi Vanella. Awalnya Vanella diam sejenak, lalu perlahan dia membuka mulutnya."Bener-bener pengantin baru yang romantis, ya," ujar Bi Dara, salah satu ART di ruma Vanella."Iya. Cocok banget. Ganteng dan cantik," jawab Bi Sasti.Bisikan itu terdengar di telinga Vanella dan Vino. Hal itu membuat Vino menyeringai puas."Aku ada perlu. Jadi keluar bentar. Kalau papa dateng, tolong bilang suruh nunggu, ya," ujar Vino setelah menghabiskan makanan di
Sebelumnya rumah yang sangat luas itu dipenuhi tawa Vanella dan para sahabatnya. Namun, malamnya setelah ketiga sahabat Vanella itu pulang, rumah kembali sepi. Vanella pun kembali ke mode diam dan murung.Bingung akan melakukan apa sambil menunggu sang suami pulang, Vanella akhirnya memutuskan untuk melihat-lihat isi rumahnya. Dia belum tahu persis setiap ruangan di rumah itu, terutama di lantai tiga.Ternyata yang ada di lantai tiga bukanlah kamar seperti yang Vanella pikirkan sebelumnya, melainkan lapangan olahraga. Saat memasuki ruangan pertama, Vanella melihat ada net dan beberapa raket yang tergantung di sana. Jelas itu adalah lapangan bulutangkis.Begitu memasukinya, Vanella bisa melihat dengan jelas isi dalamnya. Dia tercengang karena isi ruangan itu mirip seperti lapangan bulutangkis dalam ruangan yang digunakan untuk ekskul di SMA-nya dulu di mana dia, Malvin, Ranti, dan Alby biasanya bermain bulutan
Sama seperti hari biasanya, pagi itu Vanella hendak ke dapur untuk membuatkan sarapan bagi sang suami. Dia tengah mengikat rambutnya di depan cermin. Baru saja akan melangkah ke luar, Vino yang keluar dari kamar mandi mengadangnya. "Tunggu!" Vino mengambil kertas yang ada di meja dan memberikannya pada Vanella. "Ini daftar makanan dan minuman yang aku suka dan nggak suka." Bukannya fokus pada daftar isi, Vanella malah terheran-heran dengan Vino yang mengenakan masker. Karena wajah Vino tertutup masker, Vanella berani menatapnya. "Kenapa? Sakit? Flu? Batuk? Biar aku ambilin obat, ya." "Nggak usah. Aku nggak biasa minum obat." "Nggak usah nolak. Kalau sakit harus diobatin. "Aku nggak sakit." Vino memalingkan wajahnya. "Terus kenapa pake masker?" "Terserah aku. Inget ya, pernikahan
Selama di perjalanan, Vanella hanya menatap ke luar kaca jendela mobil. Tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, sopir taksi itu menghentikan lamunannya."Mbak, abis ketemu pacarnya ya tadi?"Vanella terkejut. "Bukan. Itu temen saya, Pak. Saya sudah menikah.""Oh saya kira pacarnya, Mbak. Emang suami Mbak nggak marah kalau Mbak ketemu temen laki-laki?""Enggak. Saya juga sudah izin sama suami.""Wah pengertian banget ya suami Mbak. Jarang lho ada lelaki kaya gitu. Kebanyakan malah pencemburu banget sama istri."Vanella hanya terdiam karena apa yang dipikirkan sopir itu tidaklah sama dengan kenyataan. Vino bukan melarang karena pengertian, tetapi karena tidak peduli. Sama seperti dia yang juga tidak akan peduli kalau Vino bertemu atau dekat dengan wanita lain.Baru turun dari taksi, Vanella sudah dihadang oleh Vino yang berdiri di depan
Malam itu, Alby yang hendak pergi ke Jakarta mampir ke rumah Ranti untuk berpamitan. Di jok belakang motornya sudah ada tas besar yang berisi pakaian dan beberapa barang lainnya. Buru-buru akan berangkat, Alby tidak bisa lama-lama di sana. Sehingga mereka hanya berbincang sebentar di depan rumah."Cepet pulang, ya. Janji abis pulang langsung nikah," rengek Ranti sambil memegang erat lengan Alby."Iya iya. Sabar dong. Kan aku kerja juga buat bahagiain kamu. Aku pasti cepet pulang. Aku kan bakalan kangen terus sama lesung pipi ini." Alby mengusap lesung pipi Ranti."Sebel tau harus jauhan gini.""Kan nggak lama. Tenang aja. Ya udah ya aku mau berangkat. Mana tadi ayah kamu.""Oh ya, bentar."Ranti melepas tangan Alby, lalu masuk memanggil ayahnya. Mereka pun keluar bersama."Nak Alby udah mau berangkat?""Iya, Om."
Pagi itu Ranti mengunjungi butik miliknya, Ranti's Boutique. Dia berusaha menyibukkan diri agar tidak dibayangi kesedihan karena kepergian Alby. Sesekali bahkan Ranti membantu melayani para pengunjung yang datang.Mengetahui Ranti baru saja ditinggal Alby merantau kembali, Tara datang ke butik untuk menghibur Ranti. Dia pun mengejutkan Ranti dari belakang dengan menepuk bahu gadis berambut ikal sebahu itu. Melihat Tara ada di depannya, Ranti tersenyum hingga terlihat lesung pipinya."Tara! Ngapain lo pagi-pagi ke butik gue?""Gue udah nebak pasti lo ke sini buat menghibur diri, kan? Gue sengaja dateng karena gue tau pasti lo lagi galau, lagi mewek bombay.""Ih enggak lah. Nih buktinya gue senyum.""Ya itu kan karena lo di sini. Coba kalau di rumah. Pasti udah ngabisin tisu sekardus.""Gue mah kalau sedih ya nangis aja. Nggak peduli tempat. Gue bukan Vanella y
Sejak di mobil hingga tiba di rumah, Vanella beberapa kali mengecek ponselnya. Dia resah karena Pak Dito belum juga mengiriminya email. Ditambah masalah persahabatannya dengan Tara.Begitu fokus pada ponselnya, Vanella sampai terkejut saat melihat Vino yang ternyata sedari tadi duduk di sofa yang ada di depannya."Kok udah pulang?"Lelaki beralis tipis itu melipat tangan di depan dada. Dia mengernyit menatap sang istri sambil sesekali membetulkan maskernya."Kenapa kelihatan nggak tenang gitu? Ada masalah?"Vanella meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk sembari menghela napas. "Aku cuma lagi nungguin email Pak Dito. Padahal katanya cerpen yang buat aku edit mau dikirim pagi ini. Kok nggak ada email ya sampai sekarang? Apa aku salah nulis alamat emailku kemarin?""Pak Dito udah ngirim ke emailku.""Apa? Kenapa ke email kamu?"&
Berbagai jenis lauk memenuhi piring Vanella yang memang porsi makannya selalu banyak. Apalagi semenjak kepergian Malvin. Kesedihan selalu membuatnya banyak makan. Berbeda dengan kebanyakan orang yang justru tidak nafsu makan saat suasana hati sedang buruk.Meski sepiring nasi lengkap dengan lauk itu tersaji di hadapannya, tetapi mata Vanella justru fokus pada ponselnya. Kali ini dia tidak makan dengan lahap seperti biasanya. Beberapa kali dia menatap layar ponselnya yang tidak kunjung menyala menampilkan notifikasi yang dia tunggu.Pagi itu Vanella memang sedang menantikan email dari Pak Dito. Dia terus saja khawatir kalau dia ditolak untuk bekerja di perusahaan Pak Dito.Vino yang sesekali melirik ke arah Vanella merasa risih melihat istrinya itu tak kunjung makan dengan benar dan fokus pada hal lain. Ingin rasanya menegur, tetapi dia memilih mengurungkan niatnya setelah keributan yang terjadi di antara mereka kem
Seperti kembali ke masa-masa sebelum menikah, Vanella menjalani hari seorang diri tanpa sosok suami. Meski ada banyak ART di rumahnya, dia merasakan kesepian yang dia sendiri tidak mengerti mengapa. Sebelumnya dia berpikir bahwa ketika Vino akan disibukkan dengan kegiatan aktingnya suatu hari, dia akan merasa senang dan bebas tanpa ada lelaki itu di rumah. Namun, apa yang dirasakannya kini justru berbanding terbalik.Terbangun tanpa melihat Vino di sampingnya saja sudah membuat Vanella merasakan rasa kehilangan yang aneh. Dia bahkan tanpa sadar beberapa kali mengecek ponselnya, berharap lelaki itu akan meneleponnya atau sekadar mengirim pesan, tetapi ternyata tidak sama sekali.Tidak ingin larut dalam kesepiannya, Vanella memutuskan untuk pergi ke kantor. Dia berharap itu akan dapat mengalihkan pikirannya. Lagipula dia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman di kantornya.Dengan diantar sopir, Vanella pergi ke perusahaan penerbitan tempatnya bekerj
Bersikap sebagai suami siaga yang selalu membantu pekerjaan istrinya di saat tangan istrinya masih sakit membuat Vino dan Vanella semakin dekat. Meski lelaki itu masih selalu memasang ekspresi datar dan sikap dingin, tetapi dari setiap yang dilakukannya menunjukkan sisi lain dirinya yang begitu perhatian. Hingga akhirnya tangan Vanella telah sembuh dan dia bisa kembali melakukan segala pekerjaan sendiri. Bersamaan dengan itu, Vino berusaha kembali menjaga jarak. Terlebih ketika dia mulai disibukkan dengan persiapannya untuk bermain di film pertamanya.Vanella yang tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami tiba-tiba termenung ketika kepalanya tertunduk mengambil sendok yang jatuh di bawah meja dan rambut panjangnya terurai. Dia teringat bagaimana Vino selalu membantunya mengikat rambut setiap saat ketika tangannya masih terluka. Dalam lamunan itu tanpa diduga ada sebuah telapak tangan besar yang menyibakkan rambutnya hingga membuat Vanella langsung menegakkan tubuhnya. Matany
Saat tiba waktunya untuk sarapan, Vanella bersiap duduk di depan meja makan. Meski Vino memintanya berbaring saja di kamar, tetapi Vanella tetap bersikeras untuk makan sendiri di ruang makan seperti biasa. Bagi Vanella, luka di tangannya hanya luka kecil yang tidak perlu terlalu dimanjakan.Melihat Vanella makan sambil sesekali menyibakkan rambut panjangnya yang terurai membuat Vino merasa risih. Lalu dia meninggalkan kursinya dan pergi ke kamar. Hal itu membuat Vanella bingung, tetapi dia tetap melanjutkan menikmati makanannya.Begitu kembali, Vino langsung berdiri di belakang Vanella dengan sisir dan ikat rambut di tangannya. Dengan pelan-pelan Vino menyisir rambut Vanella, lalu mengikatnya. Hal itu membuat Vanella membatu. Dia meletakkan kembali sendoknya."A—apa yang kamu lakuin?""Jangan makan dengan rambut berantakan kaya gini. Risih lihatnya.""Aku bisa ngiket sendir
Bab 19. Over ProtektifVanella dan Vino duduk berdampingan di depan meja kerja Vanella. Tangan Vino pun sedari tadi sibuk mengetik sembari diarahkan oleh Vanella. Sesekali Vanella menggaruk kepala karena gemas melihat Vino beberapa kali melakukan kesalahan. Ingin sekali rasanya dia mengetik sendiri.Melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya dan tidak pernah dia lakukan sebelumnya memang membuat Vino kesulitan. Dia juga tidak akan mungkin mau melakukannya kalau bukan karena keadaan Vanella yang mendesaknya menggantikan pekerjaan itu."Akhirnya selesai juga ngoreksi satu naskah. Ribet banget. Harus banget sedetail itu." Vino meregangkan tangan dan lehernya."Ya kan harus bener-bener selektif biar naskah yang dipilih emang naskah yang menarik dan layak terbit.""Terus gimana keputusannya buat naskah ini tadi?""Ditolak.""Apa? Tapi selama n
Diminta untuk diam oleh sang suami, Vanella menurut saja. Dia tidak ingin kembali diomeli atau ditatap dengan mata yang setajam mata elang itu.Tanpa ada percakapan lagi yang terjadi membuat Vanella perlahan merasa mengantuk. Apalagi Vino juga berjalan semakin pelan. Tak bisa lagi menahan kantuknya, akhirnya dia tertidur. Kepalanya pun bersandar di punggung Vino. Rambut Vanella yang terurai tertiup angin dan membelai lembut wajah Vino."Lain kali kalau olahraga rambutnya diiket," ujar Vino.Tidak ada jawaban terdengar. Vino menghentikan langkahnya. "Kamu tidur?"Vanella masih membisu. Berarti Vanella memang benar tidur. Vino pun berusaha berjalan dengan sedikit lebih cepat agar mereka bisa segera sampai ramah dan Vanella bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur. Vino khawatir suara kendaraan yang beberapa kali lewat akan membangunkan istrinya itu.Tiba di depan rumahhya, sang sopir langsung berlari
Mulai disibukkan dengan pekerjaannya sebagai seorang editor, Vanella bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan sejak matahari terbit, dia sudah menatap layar laptopnya usai mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Tinggal memasak saja yang belum. Dia sengaja menunggu suaminya bangun karena sang suami tidak suka makan makanan yang sudah dingin.Sesekali Vanella menguap, tetapi dia berusaha memfokuskan matanya karena menilai satu per satu naskah butuh ketelitian tingkat tinggi. Baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan penerbitan yang besar, tentu saja dia tak ingin hasil kerjanya mengecewakan sang atasan.Merasa lelah, wanita berambut panjang itu menyenderkan punggungnya pada kursi, lalu meregangkan tangan dan kepalanya. Dia melirik ke arah tempat tidur."Mentang-mentang udah nggak jadi CEO lagi, dia seenaknya tidur. Dari habis salat sampai sekarang udah setengah delapan belum juga bangun. Mana aku laper banget. Apa aku masak sedikit buat sarap
Saat tiba di rumah, Vanella yang berjalan mengekori suaminya masih berniat untuk mencegah Vino mengambil keputusan yang menurutnya salah itu. Namun, lagi-lagi lidahnya kelu. Satu kali pun dia belum pernah menyebut nama sang suami. Vanella pun mempercepat langkahnya agar lebih dekat sehingga dia berani langsung berbicara, tetapi tanpa sengaja wajahnya justru menabrak punggung suaminya yang tiba-tiba berhenti di depan tangga itu. Vino langsung berbalik badan."Pak Dito sampai WA aku minta kamu untuk buka email. Ada pekerjaan yang harus kamu lakuin. Kamu nggak aktifin notifikasi email? Atau kamu nggak denger waktu HP kamu bunyi? Inget, kamu udah dikasih kepercayaan sebagai editor di salah satu perusahaan besar. Lakukan tanggung jawab kamu dengan baik. Jangan bikin aku malu kaya gini lagi.""Maaf. Aku nggak buka HP dari tadi.""Minta maaf sama Pak Dito, bukan ke aku. Sekarang mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Jangan
Melihat sang ayah mertua, Vanella mempercepat langkahnya untuk menyapa. Namun, sang suami mengadang langkahnya."Tunggu! Siapa yang ngizinin kamu duduk di sana? Kamu duduk di sebelah sana. Pesen makanan. Belum sarapan, kan?" ujar Vino sambil menunjuk sebuah tempat duduk yang lumayan jauh dari tempat duduk Pak Gibran, ayahnya."Tapi papa....""Aku yang ada perlu sama papa. Bukan kamu. Aku akan jelasin nanti waktu pulang. Udah sana duduk. Istri harus nurut kata suami."Sebenarnya kesal, tetapi Vanella tidak ingin ribut di tempat umum. Jadi dia memilih untuk menurut saja dengan duduk di tempat duduk lain."Pagi, Pa. Udah nunggu lama, ya? Maaf aku lama," sapa Vino sambil menarik kursi di depan ayahnya, lalu duduk."Belum terlalu lama kok. Sebenernya apa yang ingin kamu omongin sampai ngajak papa ketemu di sini? Gak bisa di rumah aja? Terus kenapa kamu gak k
Bab 14.Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Vino terlihat santai. Lama dia duduk di sofa yang ada di balkon sambil menyeduh teh buatan istrinya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dari sorot matanya terlihat kegundahan.Vanella yang sedari tadi memperhatikan suaminya sambil merapikan tempat tidur sebenarnya merasa penasaran. Tentu saja aneh. Sang suami yang selalu disiplin akan waktu, berangkat pagi-pagi ke kantor, kali ini malah seperti pengangguran tanpa beban. Beberapa kali Vanella menoleh ke arah jam dinding, tetapi enggan untuk bertanya. Kakinya ingin menghampiri, tetapi hatinya menahan.Tiba-tiba Vino beranjak dari sofa dan melangkah masuk. Dengan cepat Vanella mengalihkan fokusnya. Dia merapikan posisi bantal dan guling."Udah hampir setengah sembilan. Nggak ke kantor?" Vanella akhirnya memberanikan diri bertanya sambil berjalan ke arah lemari Vino, hendak menyi