🍂Seburuk apapun ibumu ... tapi ternyata Allah sudah meletakkan surgamu di telapak kakinya. Dan tak ada seorang pun yang dapat mengingkari hal itu.🍂
Suara Adzan subuh baru saja berkumandang bersamaan dengan Shofi yang baru menyelesaikan beberapa persiapan untuk masak sarapan sesaat lagi. Menanak nasi di magic com, mengupas bawang, mencuci gelas kotor bekas semalam yang belum sempat tercuci. Meski telah bertahun-tahun meninggalkan rumah itu, tapi Shofi masih ingat betul letak barang-barang di sana hingga ia tak kebingungan melakukan semua itu. Setelah selesai, ia segera kembali ke kamar untuk menunaikan sholat subuh.
Setelah menyelesaikan sholat subuh, Shofi segera kembali ke dapur. Terlihat Alya sudah berada di sana tengah mencuci sayuran di wastafel.
"Kamu yang mengerjakan ini semua, Dek?" Alya menunjuk magic com dengan tombol Cook yang menyala.
"Iya, Kak. Aku nggak bisa tidur terus cari pekerjaan biar nggak bosen."
Alya meletakkan baskom sayur di meja lalu menatap Shofi dengan pandangan sedih. "Kamu nggak nyaman, ya, pindah ke rumah ini lagi?" tanya Alya.
"Bukan seperti itu, Kak," sahut Shofi. "Aku terbiasa di pesantren jam dua sudah bangun, sudah beraktifitas. Di sini jam dua masih sepi, jadi aku nggak bisa tidur lagi," jawab Shofi lalu melempar senyum yang seketika meredakan kegelisahan dan rasa bersalah dari Alya.
"Kamu bilang, ya, kalau nggak nyaman atau butuh apapun itu."
"Iya, Kak. Aku pasti bilang, kok."
Selanjutnya Alya dan Shofi meneruskan kegiatan memasaknya sambil berbagi cerita. Lebih tepatnya, Alya yang tampak lebih mendominasi untuk memberi pertanyaan pada Shofi untuk membuat gadis belia itu nyaman dan tak lagi merasa asing.
"Aku dari kemarin nggak lihat Aska, Kak? Sudah sebesar apa sekarang dia?" Pertanyaan pertama dari Shofi yang membuat Alya mematung sejenak.
Alya menoleh pada Shofi yang duduk di kursi dapurnya. Wajahnya kembali terlihat cemas. "Aska sudah kelas lima SD, Dek." Alya menghentikan kalimatnya sejenak, otaknya tengah memilih kata yang tepat untuk mengatakan keberadaan Aska yang adalah putra semata wayangnya. "Aska sedang liburan, Dek."
"Liburan? Sama siapa, Kak?"
Alya kembali terlihat ragu-ragu. "Sama ... sama Mama Tari dan Papa---"
"Aww! Astagfirullahhaladzim!"
"Dek! Kamu nggak apa-apa?" Alya segera menghampiri Shofi yang terlihat menahan sakit saat jari gadis itu tiba-tiba terkena pisau. Alya lekas membawa ke wastafel dan mengguyur jari yang berlumur darah itu dengan air kran.
"Aku nggak apa-apa, Kak. Cuma luka gores saja kok," ujar Shofia pada Alya yang tengah membalut lukanya dengan plester.
"Sakit?"
Pertanyaan dari Alya membuat Shofi segera menggeleng.
"Tapi kamu nangis, Dek." Meski tak terdengar isakan, tapi Alya sejak tadi melihat lelehan bening membasahi pipi mulus gadis itu. Ia bukan tidak tahu jika Shofi tengah bergelut dengan hatinya sendiri saat mendengar nama Tari yang tak lain adalah ibu mertuanya sendiri.
"Aku ke kamar dulu, ya, Kak." Bukannya menjawab, Shofi memilih untuk undur diri. Ia berlari kecil menuju kamarnya.
"Ya Allah, Ya Allah, Astagfirullahhaladzim."
Hanya kata itulah yang terus berulang keluar dari bibir Shofi. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamar. Perasaan rasa bersalah segera mengepung hatinya saat nama wanita mulia yang sempat ia panggil mama itu terdengar. Lestari yang dulu sering ia panggil mama Tari.
Lestari, sosok Ibu yang melebihi kata mulia menurut Shofi. Setelah ribuan sembilu yang terbungkus oleh sebuah penghianatan yang dilakukan oleh Ibu kandungnya pada Lestari, tapi dengan kasih sayang dan keikhlasan wanita mulia itu masih mau merawat dirinya yang membawa kemelut di rumah tangga Lestari. Mencurahi kasih sayang yang bahkan tak pernah ia dapat dari sosok ibu kandungnya sendiri.
Shofi merasa rindu, ingin memeluk wanita itu. Merasakan lagi pelukan hangatnya, mendengarkan senandung merdu yang selalu mengantar ia tidur. Namun, semua itu ia batasi dengan rasa bersalah terhadap apa yang telah ibu kandungnya lalukan pada Lestari.
Mengingat wanita yang telah melahirkannya, Shofi lekas menghapus air matanya lalu menuju tas dan mengambil beberapa potong baju dan segera berganti pakaian.
***
"Pak Cipto yang akan mengantarkan kamu untuk melihat kampus kamu, Dek." Kalimat Akbar memecah keheningan yang sempat menguar di meja makan.
"Iya, Kak. Habis sarapan aku langsung kesana," jawab Shofi. Ia lekas kembali menunduk pada sisa makanan di piring.
Alya tampak melempar pandang pada suaminya yang telah menyelesaikan sarapan. Laki-laki itu mengangguk samar saat mengerti arti tatapan Alya.
"Dek," panggil Akbar. Shofi pun segera menoleh. "Kamu tidak merindukan, Mama Tari?" Akbar melempar pertanyaan yang membuat gadis belia itu menghentikan mulutnya yang tengah mengunyah.
"Mama, ingin sekali ketemu kamu," imbuh Akbar. Sorot mata tajamnya berubah sendu melihat wajah sang adik yang berubah pias.
Shofi masih diam. Entah apa yang akan ia katakan. Ia sangat rindu pada Tari. Namun, rasanya ia masih tak sanggup melihat senyum wanita itu dan malah akan menambah beban hatinya yang sudah sangat berat ia pikul selama ini.
"Minggu depan Kak Nana mau nikah, Dek," sela Alya yang mencoba mencairkan suasana. "Lusa acara pengajian. Kita kesana bareng-bareng, ya?" bujuk Alya.
Mendengar nama 'Nana' membuat tangan Shofi tiba-tiba gemetar. Bukan tanpa alasan, Nana, Kirana Pratama yang tak lain adik kandung dari Akbar adalah gadis yang amat membencinya. Bahkan di masa lalu, Nana tak segan mengeluarkan kata-kata pedas untuk memojokkan dirinya.
"Shofi ... " Panggilan lembut dari Akbar membuat mata yang jauh menerawang masa lalu kembali menatap ke arah Akbar. "Tidak usah takut, Dek. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kakak sudah sering mengatakan, kamu tidak bersalah," imbuh Akbar.
Senyum terpaksa lagi-lagi harus Shofi berikan untuk menunjukkan jika dirinya baik-baik saja. "Iya, Kak."
***
Setelah menyelesaikan sarapan, sesuai rencana, Shofi pergi ke kampus yang telah dipilihkan Akbar. Kesan megah dan mewah yang pertama kali terlihat dari bangunan kampus. Shofi tidak turun dari mobil, ia hanya melintasi depan Lobby kampus lalu segera kembali. Tak ada yang perlu ia urusi sebab semua registrasi sudah di selesaikan oleh Akbar.
Mobil yang ia tumpangi kini berhenti di tengah jalan tepat saat lampu merah.
"Pak Cipto, sebelum pulang apa bisa mengantar saya ke suatu tempat?" pintanya pada laki-laki tua yang masih terlihat sehat itu.
Cipto lekas mengangguk. "Baik, Non."
Setelah menyebutkan tempat yang ingin ia tuju, tak lama mobil melewati jalan berpaving yang tak terlalu lebar.
"Berhenti di sini saja, Pak," perintah Shofi. "Saya agak lama, Pak. Bapak bisa pulang lebih dulu."
"Tidak apa, Non. Saya tunggu di sini," tolak Pak Cipto.
Shofi pun turun dari mobil dan mulai menyusuri jalan berpaving yang mulai mengerucut dan hanya bisa di lewati satu orang. Langkahnya semakin pelan sambil matanya mencari nama yang akan ia kunjungi.
Tak lama, senyum sedih terulas di bibir gadis itu kala membaca nama 'Monica Larasati' yang terukir dengan tinta emas di atas nisan yang terbuat dari batu marmer hitam.
"Assalamualaikum, Mama," sapanya. Jemari lentik Shofi mengusap dengan lembut nisan sang Mama. "Maafkan Shofi, Ma ... lama tidak berkunjung."
Tangannya kemudian menengadah lalu bibirnya mengucapkan doa. Air mata yang jarang sekali ia keluarkan kali ini merembes di sudut matanya dan mulai menganak sungai di pipi kala teringat Almarhum ibu kandungnya, Monica Larasati. Hampir enam tahun wanita itu meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini dengan goresan luka yang teramat pedih.
Air mata Shofi semakin berdesakan keluar kala mengingat pertemuan terakhirnya dengan sang Mama.
***
Flashback On
Mobil yang tengah di tumpangi Shofia melesat dengan kencang dari pesantren tempatnya berada menuju rumah sakit di mana sang Mama dikabarkan tiba-tiba tak sadarkan diri. Tangan Shofi saling meremas dengan jantung yang berdebar saat ia hanya bisa menerka-nerka kondisi sang mama.
Setibanya di rumah sakit, ia tak bisa langsung menemui Monic, sebab ia harus melewati beberapa pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang berjaga di sekitar ruangan Monic. Kasus penipuan dan penggelapan dana yang dilakukan Monic membuat wanita itu mendapat penjagaan ketat meski tengah sakit karena statusnya masih sebagai tahanan.
Setelah pemeriksaan selesai dan benar dipastikan jika Shofi adalah keluarga dari Monic, polisi akhirnya mengijinkan Shofi masuk dalam ruangan dan bertemu.
Langkah yang tergesa itu kemudian berhenti, satu langkah di depan ranjang. Lututnya bergetar tak bisa meneruskan langkah untuk menghampiri Monic yang tak berdaya di atas ranjang. Tubuh wanita itu kurus, kulitnya yang biasa putih kini pucat melekat pada tulang. Wajah yang biasanya sungguh cantik meski tak ber make-up kali ini terlihat mengerikan dengan mata yang cekung menghitam. Shofi menggigit bibir bawahnya meredakan semua rasa yang bergejolak dalam dada saat melihat tepat di dada Monic bengkak disertai darah segar merembes yang menguarkan bau menyengat.
Menyadari kehadiran Shofi, Monic menoleh lalu berucap lirih, "Anakku ...."
"Mama ...!" tak kuat menahan kesedihan Shofi segera berlari lalu merengkuh sang Mama. "Mama kenapa? Jangan tinggalin Shofi, Ma," ucapnya di sela tangis yang pecah.
"Saakiit ...." Rintihan tertahan dari Monic membuat Shofi segera memberi jarak. Matanya awas menatap dada sang Mama yang tak sengaja tersenggol tubuhnya. Shofi hendak memanggil dokter, tapi ditahan oleh Monic.
"Dengarkan Mama, Nak," ucap Monic dengan terbata. "Tumbuhlah menjadi wanita yang kuat ... dunia ini kejam. Mama mohon padamu." Monic menghela nafas berat meredakan sakit yang teramat menyiksa di sekujur tubuh yang berpusat di dadanya, "hiduplah dalam kebahagiaan yang kamu ciptakan sendiri, tanpa mengambil dan merusak kebahagiaan orang lain. Jangan pernah mengambil yang bukan hak kamu ... apapun itu," pinta Monic. Tangan wanita itu bergetar terulur berusaha menyentuh pipi Shofi yang basah karena air mata.
Shofi lekas mengangguk cepat lalu menggenggam jemari Monic. "Mama jangan tinggalin Shofi ya, Ma," pintanya dengan isakan tangis yang terdengar memilukan.
Monic tersenyum getir sambil memejamkan mata sejenak lalu terbuka kembali. "Maafkan Mama yang tidak bisa jadi orang tua dan panutan yang baik untuk kamu. Juga ... sampaikan maaf Mama pada Mama Tari. Mohonkan ampunan untuk Mama pada Mama Tari, Nak." Kalimat terakhir yang diucapkan Monic hampir tak terdengar bersamaan wanita itu memejamkan mata. Helaan nafas berat berulang dilakukan Monic hingga dada yang naik turun itu kemudian tak lagi bergerak.
"Mama! Jangan tinggali Shofi, Ma!"
"Innalillahi wainnailaihi rojiun."
***
Setiap waktu nama itu tersebut dalam setiap untaian doa, berharap semua kebaikan akan Allah limpahkan untuk sang pemilik nama ... juga sebuah harapan jika Allah akan mengijinkan untuk bertemu dalam kesempatan yang indah. 🍂🍂🍂Isakan tangis yang beberapa saat lalu keluar dari bibir gadis berhijab itu kini tak lagi terdengar dan hanya suara jangkrik yang memecah keheningan suasana di area pemakaman. Ia bukan tertidur, hanya terlalu mendalami masa lalunya hingga tak menyadari jika langit sudah mulai menampakkan senja.Setelah mengusap sisa air matanya, Shofi tersenyum sedih menatap pusara sang Mama. ia usap nisan itu dengan lembut seolah tengah mengusap wajah cantik sang Mama."Shofi pamit pulang dulu, ya, Ma?" Ia lekas berdiri dan dengan berat hati Shofi mulai mel
Mobil yang membawa Shofi bergerak pelan menyusuri jalan berpaving perumahan di mana dirinya dan laki-laki yang berada di balik kemudi itu tinggal.Shofi yang tak menolak ajakan Rafa memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Tak ada obrolan dari keduanya, tapi sesekali pandangannya bertemu dengan sorot mata Rafa di spion tengah.Rafa memang sengaja terus mencuri pandang ke arah Shofi saat ia merasa tak asing dengan wajah cantik gadis itu. "Rumah kamu di blok apa?" tanyanya memecah keheningan."Rafles Garden blok KL nomor 47," jawab Shofi menyebutkan alamat rumah Alya.Rafa kembali memusatkan pandangan ke spion tengah saat alamat yang Shofi katakan sama dengan alamat rumah kakaknya. "Kamu tidak salah?" tanya Rafa dan langsung mendapat gelengan dari Shofia.Rafa memilih diam dan melanjutkan laju mobilnya hingga tak lama berhenti tepat di mana alamat yang disebutkan oleh Shofia. Ia menatap ke arah teras rumah, terlihat wanita manis yang tak lain
Setelah melewati jalanan yang cukup lengang, mobil yang dikendarai Rafa akhirnya berhenti di parkiran kampus. Pria itu menoleh pada gadis yang duduk manis di sebelahnya setelah mematikan mesin mobil."Kenapa?" tanya Rafa saat melihat wajah tak nyaman dari Shofi.Shofi menggeleng lalu membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Gadis itu tampak heran saat Rafa mengantarnya sampai parkiran, bukankah di gerbang kampus saja sudah cukup. "Makasih, ya, Kak. Aku masuk dulu," ucapnya lalu kemudian turun setelah Rafa mengangguk."Kak Rafa ngapain ikut turun?" tanya Shofi saat pria itu sudah berada di luar mobil lalu menghampiri dirinya."Kakak anterin sampai kelas kamu," jawab Rafa kemudian berjalan mendahului Shofi yang masih tertegun di tempatnya. "Ayo, Dek!" Rafa mengulurkan tangan meski ia tahu jika tak akan mendapat sambutan."Kak ... aku bukan anak kecil lagi. Aku udah gede," ucap Shofi lirih sambil menatap takut ke arah Rafa, tak lama ia mengang
Kedatangan Shofi membuat suasana di ruang tamu menjadi hening. Shofi yang menerima tatapan dari beberapa orang di sana segera menundukkan pandangannya. Ia segera berjalan menghampiri salah satu dari mereka. Wanita paruh baya bergamis hitam dengan hijab coklat yang menutupi kepala hingga dada itu menjadi tujuan Shofi. "Assalamualaikum, Bu Nyai," ucap Shofi lalu mencium punggung tangan Nyai Fatimah beberapa saat, sebelum kemudian ia lepaskan dan segera disambut pelukan erat oleh wanita paruh baya itu. "Umi, kangen kamu, Nak," ucap Nyai Fatimah setelah melepaskan pelukannya. Sorot mata wanita itu benar-benar memancarkan kerinduan meski baru beberapa hari kepergian Shofi dari pesantren. "Kamu sehat-sehat 'kan?" tanyanya memastikan. Shofi mengangguk. "Alhamdulillah, Umi." "Umi ...." Panggilan dari Kyai Sholeh segera mengalihkan pandangan dua perempuan itu. Shofi memberi salam pada Kyai Sholeh, juga Gus Ikhsan yang duduk di sebelah
Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya."Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman."Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah."Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.Rafa memberi isyarat
Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc
Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka
Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa