Share

Keinginan

Author: SHAL SYALA
last update Last Updated: 2021-07-08 16:16:55

Rumah yang dulu begitu sederhana saat ini sudah tampak direnovasi menjadi lebih mewah meski tak merubah tata ruangnya. Ingatan masa lalu Shofi mulai berhamburan saat dirinya begitu bahagia pernah tinggal di rumah itu.

"Ayo, masuk, Dek." Alya lekas menggandeng tangan Shofia untuk masuk ke rumah kemudian segera disambut wanita bergamis hitam dengan senyum yang teduh menatap keduanya.

"Assalamualaikum, Tante Heni," sapa Shofi pada wanita bernama Heni itu.

"Walaikumsalam," jawab Heni dengan senyum mengembang. "Bagaimana kabar kamu, Nak?" tanya Heni yang tak lain ibu dari Alya. Wanita mulia yang pernah ikut merawat Shofi saat masih anak-anak.

"Alhamdulillah baik, Tante," jawabnya setelah mencium punggung tangan Heni.

"Kamu akhirnya kembali, kita semua sangat menanti kehadiran kamu, Shofi," ucap Heni dengan tatapan yang masih sama seperti dulu, masih lembut dan menenangkan.

Seluruh keluarga kemudian masuk ke dalam rumah saling bercengkeramah melepas rindu pada Shofia. Gadis sembilan belas tahun yang memiliki kecantikan yang sungguh menawan itu secara visual terlihat lebih dewasa dari umurnya. Shofi merasa sangat bersyukur saat kembali ke rumah keluarga ini karena masih disambut dengan hangat.

"Dek, mulai sekarang kamu tidurnya di kamar kamu ini, ya." Alya menuju salah satu kamar lalu membuka pintunya.

Shofi yang mengekor di belakang menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar. Ia melihat sekilas dalam kamar yang tak jauh berbeda dengan terakhir ia meninggalkannya. Hanya seprei dan cat temboknya saja yang sudah berubah. Letak perabotan masih di tempat yang sama. Tiba-tiba saja ia teringat pemilik sebenarnya kamar itu.

"Kenapa, Dek?" tanya Alya.

"Kamar ini milik, Kak Rafa, Kak," ucap Shofi. Bayangan pemuda tampan yang ia panggil dengan sebutan 'Kakak' itu kembali melintas di benaknya.

Rafa Ardian Putra yang tak lain adik dari Alya. Sosok pemuda yang memiliki wajah rupawan, berkulit putih, postur tubuh tinggi, tapi tak terlalu berisi dengan rambut pendek yang selalu tersisir rapi itu, masih melekat di ingatan Shofi meski bertahun-tahun tak lagi bertemu.

Alya tersenyum sambil mengajak Shofi masuk ke dalam kamar. "Rafa jarang pulang, Dek. Dia sudah punya rumah sendiri. Kamar ini selalu Kakak bersihin buat kamu nanti kalau pas pulang. Hari ini," ucap Alya dengan senyum meyakinkan.

"Kak Rafa, sudah nikah, Kak?" Shofi lebih terlihat ingin tahu mengenai Rafa.

"Belum, Dek. Kakak kamu itu susah banget disuruh nikah. Padahal sudah sering kakak jodohin sama anak relasinya, Kak Akbar. Tapi nggak ada yang cocok," ujar Alya.

Shofi hanya mengangguk samar, entah kenapa tiba-tiba ia merasa rindu dengan pemuda itu. Entah bagaimana sekarang tampilan dari seorang Rafa Ardian Putra yang dulu selalu melindungi dari orang lain yang mengolok jati dirinya, pemuda yang selalu mengantar jemputnya ke sekolah untuk beberapa waktu, sebelum kemudian pemuda itu pergi dan tak lagi kembali untuk waktu yang lama karena menempuh pendidikan di negeri orang.

"Nanti aku kabarin Kak Rafa kalau kamu sudah pulang, pasti dia seneng," kata Alya. "Kakak tinggal, ya. Kamu bisa istirahat dulu." Alya kemudian berlalu setelah mengusap pucuk kepala Shofia.

Setelah kepergian Alya, Shofi duduk di pinggir ranjang, matanya menyapu seluruh sudut kamar hingga berhenti pada sebuah bingkai foto yang tergantung di dinding. Ia berdiri lalu menghampiri foto itu.

Bocah kecil dengan senyum merekah dengan bibir belepotan penuh es krim coklat dan mata bening tanpa dosa dan beban, terbingkai di foto itu. Senyumnya tertahan saat melihat dirinya tujuh tahun yang lalu begitu imut, lucu dan menggemaskan.

Cukup lama bernostalgia dengan dirinya sendiri, Shofi kemudian segera mengambil tas yang berisikan baju-bajunya yang tidak terlalu banyak. Matanya melebar saat membuka lemari yang ternyata sudah penuh dengan baju-baju yang tertata rapi. Kemudian ia menutupnya kembali, mengurungkan niatnya untuk menata baju di sana, kemudian ia meletakkan tas di sudut ranjang. Mengambil mukenah dan peralatan mandinya lalu menuju kamar mandi.

***

Suasana malam kali ini terasa begitu ramai dan menyenangkan di kediaman Alya dan Akbar. Kembalinya Shofi membuat semua tampak bahagia. Dan yang paling terlihat bahagia adalah Akbar, laki-laki itu jarang menunjukkan senyum dan hanya wajah dingin yang selalu ditampilkan, tapi kali ini senyum berulang kali tersungging di bibir Akbar kala menatap Shofi.

“Ayo, Dek, tambah lagi dong ikannya,” pinta Alya.

"Sudah, Kak. Ini sudah cukup," tolak Shofi dengan sopan.

Heni terus tersenyum memandang Shofi. Rona bahagia terpancar di wajah wanita tua itu. Matanya yang selalu sendu termakan usia itu kali ini tampak berbinar. "Shofi ... kamu sungguh cantik, Nak," pujinya tiba-tiba dan membuat Shofi hanya tersenyum lalu menundukkan pandangannya.

Alya dan Akbar saling pandang mendengar pujian Heni. Keduanya seolah mempunyai dugaan yang sama, tapi memilih untuk diam.

"Oh, iya, Dek. Kakak, sudah memilihkan kamu untuk kuliah di kampus terbaik di kota ini. Biar kamu bisa belajar dengan baik di sana," tutur Akbar.

Shofi tak memberi tanggapan dan sesaat hanya diam, tak urung ia pun tersenyum mengangguk. "Aku ikut apa kata Kak Akbar saja," ucapnya.

"Kakak, memberi kamu pilihan untuk jurusan yang akan kamu pilih. Tapi, saran Kakak lebih baik kamu ambil jurusan Managemen Business."

"Mas ...." Alya tampak tak setuju dengan ucapan Akbar saat melihat raut wajah Shofi yang terlihat tak nyaman.

Akbar menoleh pada sang istri, ia memberi isyarat mengerti lalu menoleh kembali pada Shofi menanti jawaban gadis itu.

"Aku setuju, Kak. Aku ikut saran dari Kak Akbar."

...***...

Malam semakin larut dan seluruh penghuni rumah juga sudah memasuki kamar masing-masing. Suasana yang hening membuat Shofi tak bisa memejamkan mata. Jika di pesantren, hampir dua puluh empat jam selalu terdengar samar-samar para santriwati mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an, hal itu seolah menjadi musik penghantar tidurnya. Dan kali ini keheningan membuatnya sulit terpejam.

Shofi pun memilih untuk mengambil air wudhu untuk sholat malam, ia keluar dari kamar karena tak ada kamar mandi di dalam kamarnya. Ia melewati salah satu kamar yang ia tahu adalah kamar Alya dan Akbar. Sayup-sayup terdengar percakapan sepasang suami istri itu. Bukan berniat menguping, hanya saja saat namanya disebut, ia menghentikan langkah.

"Kamu kenapa nggak ngasih pilihan Shofi untuk memilih sih, Mas?" tanya Alya. "Aku tahu dia terpaksa menyetujui tentang jurusan yang kamu ambil sepihak itu."

"Aku tidak memaksanya, Sayang. Di awal aku sudah memberinya pilihan, tapi Shofi dengan cepat menyetujui saran dariku. Salahku dimana?" tanya Akbar.

"Itu bukan pilihan ... aku melihat Shofi terpaksa menyetujui itu. Aku hanya tidak ingin memaksa dia lagi. Cukup kemarin kita memaksa dia untuk pulang. Dan sampai saat ini aku masih merasa bersalah untuk hal itu," sesal Alya. Wanita itu kemudian naik keatas ranjang seusai merapikan diri di depan meja rias.

"Aku harus menjadikannya orang besar agar tak selalu mendapat hinaan dari orang lain. Kelak, dia harus bisa memimpin perusahaan yang sudah menjadi haknya. Dengan seperti itu, aku bisa menunjukkan pada dunia bahwa Adikku orang yang hebat dan tak ada satu orang pun yang boleh menghina atau memandangnya sebelah mata lagi."

Diluar kamar, Shofi masih berdiam diri. Percakapan sepasang suami istri itu membuat hatinya gerimis. Ia pun melanjutkan kembali langkah menuju kamar mandi, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat malam dilanjutkan dengan Dzikir. Memohon ampunan atas segala dosa dosanya dan kedua orang tuanya. Memohon kekuatan untuk segala yang menyesakkan hatinya.

"Ya Allah, jagalah hati, ucapan dan sikap hamba agar tak melukai orang lain. Aamiin." Sepenggal doa itu menutup munajatnya pada Sang Khalik.

Tanpa melepas mukenah, Shofi mengambil tas lalu mengambil sebuah buku tebal di dalamnya. Gambar desain-desain baju muslim terdapat di buku itu. Ingatannya mengulang kembali perbincangan kedua kakaknya sesaat lalu. Jika merelakan apa yang ia inginkan membuat kakaknya bahagia, meski berat tapi ia bertekad akan melakukannya.

Related chapters

  • Bukan Orang Ketiga   Mama

    🍂Seburuk apapun ibumu ... tapi ternyata Allah sudah meletakkan surgamu di telapak kakinya. Dan tak ada seorang pun yang dapat mengingkari hal itu.🍂 Suara Adzan subuh baru saja berkumandang bersamaan dengan Shofi yang baru menyelesaikan beberapa persiapan untuk masak sarapan sesaat lagi. Menanak nasi di magic com, mengupas bawang, mencuci gelas kotor bekas semalam yang belum sempat tercuci. Meski telah bertahun-tahun meninggalkan rumah itu, tapi Shofi masih ingat betul letak barang-barang di sana hingga ia tak kebingungan melakukan semua itu. Setelah selesai, ia segera kembali ke kamar untuk menunaikan sholat subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh, Shofi segera kembali ke dapur. Terlihat Alya sudah berada di sana tengah mencuci sayuran di wastafel. "Kamu yang mengerjakan ini semua, Dek?" Alya menunjuk magic com dengan tombol Cook yang menyala. "Iya, Kak. Aku nggak bisa tidur terus cari pe

    Last Updated : 2021-07-08
  • Bukan Orang Ketiga   Bertemu

    Setiap waktu nama itu tersebut dalam setiap untaian doa, berharap semua kebaikan akan Allah limpahkan untuk sang pemilik nama ... juga sebuah harapan jika Allah akan mengijinkan untuk bertemu dalam kesempatan yang indah. 🍂🍂🍂Isakan tangis yang beberapa saat lalu keluar dari bibir gadis berhijab itu kini tak lagi terdengar dan hanya suara jangkrik yang memecah keheningan suasana di area pemakaman. Ia bukan tertidur, hanya terlalu mendalami masa lalunya hingga tak menyadari jika langit sudah mulai menampakkan senja.Setelah mengusap sisa air matanya, Shofi tersenyum sedih menatap pusara sang Mama. ia usap nisan itu dengan lembut seolah tengah mengusap wajah cantik sang Mama."Shofi pamit pulang dulu, ya, Ma?" Ia lekas berdiri dan dengan berat hati Shofi mulai mel

    Last Updated : 2021-07-09
  • Bukan Orang Ketiga   Masih Canggung

    Mobil yang membawa Shofi bergerak pelan menyusuri jalan berpaving perumahan di mana dirinya dan laki-laki yang berada di balik kemudi itu tinggal.Shofi yang tak menolak ajakan Rafa memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Tak ada obrolan dari keduanya, tapi sesekali pandangannya bertemu dengan sorot mata Rafa di spion tengah.Rafa memang sengaja terus mencuri pandang ke arah Shofi saat ia merasa tak asing dengan wajah cantik gadis itu. "Rumah kamu di blok apa?" tanyanya memecah keheningan."Rafles Garden blok KL nomor 47," jawab Shofi menyebutkan alamat rumah Alya.Rafa kembali memusatkan pandangan ke spion tengah saat alamat yang Shofi katakan sama dengan alamat rumah kakaknya. "Kamu tidak salah?" tanya Rafa dan langsung mendapat gelengan dari Shofia.Rafa memilih diam dan melanjutkan laju mobilnya hingga tak lama berhenti tepat di mana alamat yang disebutkan oleh Shofia. Ia menatap ke arah teras rumah, terlihat wanita manis yang tak lain

    Last Updated : 2021-07-09
  • Bukan Orang Ketiga   Antar Jemput

    Setelah melewati jalanan yang cukup lengang, mobil yang dikendarai Rafa akhirnya berhenti di parkiran kampus. Pria itu menoleh pada gadis yang duduk manis di sebelahnya setelah mematikan mesin mobil."Kenapa?" tanya Rafa saat melihat wajah tak nyaman dari Shofi.Shofi menggeleng lalu membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Gadis itu tampak heran saat Rafa mengantarnya sampai parkiran, bukankah di gerbang kampus saja sudah cukup. "Makasih, ya, Kak. Aku masuk dulu," ucapnya lalu kemudian turun setelah Rafa mengangguk."Kak Rafa ngapain ikut turun?" tanya Shofi saat pria itu sudah berada di luar mobil lalu menghampiri dirinya."Kakak anterin sampai kelas kamu," jawab Rafa kemudian berjalan mendahului Shofi yang masih tertegun di tempatnya. "Ayo, Dek!" Rafa mengulurkan tangan meski ia tahu jika tak akan mendapat sambutan."Kak ... aku bukan anak kecil lagi. Aku udah gede," ucap Shofi lirih sambil menatap takut ke arah Rafa, tak lama ia mengang

    Last Updated : 2021-07-09
  • Bukan Orang Ketiga   Penolakan

    Kedatangan Shofi membuat suasana di ruang tamu menjadi hening. Shofi yang menerima tatapan dari beberapa orang di sana segera menundukkan pandangannya. Ia segera berjalan menghampiri salah satu dari mereka. Wanita paruh baya bergamis hitam dengan hijab coklat yang menutupi kepala hingga dada itu menjadi tujuan Shofi. "Assalamualaikum, Bu Nyai," ucap Shofi lalu mencium punggung tangan Nyai Fatimah beberapa saat, sebelum kemudian ia lepaskan dan segera disambut pelukan erat oleh wanita paruh baya itu. "Umi, kangen kamu, Nak," ucap Nyai Fatimah setelah melepaskan pelukannya. Sorot mata wanita itu benar-benar memancarkan kerinduan meski baru beberapa hari kepergian Shofi dari pesantren. "Kamu sehat-sehat 'kan?" tanyanya memastikan. Shofi mengangguk. "Alhamdulillah, Umi." "Umi ...." Panggilan dari Kyai Sholeh segera mengalihkan pandangan dua perempuan itu. Shofi memberi salam pada Kyai Sholeh, juga Gus Ikhsan yang duduk di sebelah

    Last Updated : 2021-07-09
  • Bukan Orang Ketiga   Cantik dan Berharga

    Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya."Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman."Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah."Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.Rafa memberi isyarat

    Last Updated : 2021-07-09
  • Bukan Orang Ketiga   Penghinaan

    Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc

    Last Updated : 2021-07-10
  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Nyaman

    Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka

    Last Updated : 2021-07-12

Latest chapter

  • Bukan Orang Ketiga   Anugerah di Akhir

    Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan

  • Bukan Orang Ketiga   Bahagia

    Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb

  • Bukan Orang Ketiga   Kamila Aghnia

    Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p

  • Bukan Orang Ketiga   Kelahiran dan Kehilangan

    Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i

  • Bukan Orang Ketiga   Memaafkan

    "Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho

  • Bukan Orang Ketiga   Kabar Mengejutkan

    Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo

  • Bukan Orang Ketiga   Bersyukur

    Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.

  • Bukan Orang Ketiga   Takdir Keikhlasan

    "Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.

  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Beruntung

    Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status