Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.
Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya.
"Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman.
"Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah.
"Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.
Rafa memberi isyarat untuk Shofi keluar dari dalam kamar. "Temenin Kakak, Dek," pintanya kemudian.
Shofi pun mengangguk, ia menutup kembali jendela kamarnya lalu keluar kamar melewati pintu belakang. Tak lupa ia mengambil selimut lalu ia berikan pada Rafa saat menyadari jika laki-laki itu hanya mengenakan kaos tipis.
"Kamu saja yang pakai," tolak Rafa, tapi dengan cepat Shofi menolak. Menurutnya, udara di kota terasa lebih hangat sepagi ini karena gadis itu telah terbiasa merasai dinginnya udara di pesantren yang terletak di desa.
Keduanya duduk berdampingan dengan tetap menjaga jarak. Hening menyergap saat tak ada obrolan. Shofi pun tak tahu harus berkata apa. Hingga pergerakan Rafa yang menoleh ke arahnya membuat Shofi juga menoleh.
"Laki-laki tadi cocok loh, Dek, sama kamu," ujar Rafa. "Tampan dan Sholeh sudah cukup memenuhi kriteria jadi calon suami."
"Oh ... jadi benda jatuh di kamar Aska tadi ... Kakak nguping?" tuduh Shofi dengan polosnya hingga membuat Rafa tertawa, menertawai dirinya sendiri. Ia tak membantah dengan tuduhan gadis itu, saat dirinya tak sengaja mendengar, tapi bukannya menjauh malah semakin mencuri dengar obrolan Shofi dan Ikhsan sore tadi. Hingga ia tak hati-hati lalu menyenggol tumpukan buku pelajaran milik Aska.
"Kamu nggak sayang, melepaskan dia?" tanya Rafa kembali dan segera mendapat gelengan dari Shofia. Hal itu membuat Rafa memusatkan pandangannya kembali pada gadis itu dan bertanya "Kenapa?"
"Bukankah Kak Rafa mendengar semua obrolan ku tadi dengan Gus Ikhsan. Aku sudah mengatakan alasannya."
"Aku sependapat dengan Kak Akbar. Aku tidak menyukai alasanmu itu." Nada suara Rafa berubah menjadi serius. Ia menatap lekat pada gadis berkerudung hitam itu dengan tatapan penuh sendu. Entah kenapa ia lebih menyukai Shofi kecil yang tak tahu apa-apa dibanding Shofi saat ini yang membatasi diri karena tahu banyak hal. Jati diri yang dimiliki gadis itu salah satunya. "Berikan alasan lain," pintanya kemudian.
"Gus Ikhsan sangat dikagumi para santriwati di pesantren, semua santriwati ingin beruntung sepertiku saat Gus Ikhsan ternyata memilihku. Aku juga sempat tidak tahu malu lalu memintanya setiap malam dalam doaku." Shofi tersenyum kecil mengingat hal itu.
"Dan Allah mengabulkan itu," tebak Rafa. "Lalu kenapa kamu tolak?"
Shofi tersenyum lalu menggeleng, "Dia tak terlihat dalam sholatku, Kak." Jawaban Shofi membuat Rafa terdiam. Ia mulai menyadari jika gadis dihadapannya ini benar-benar taat pada Sang Pencipta.
Shofi menegakkan punggungnya sambil menghirup udara lalu menghembuskannya pelan. Ia tersenyum menatap Rafa yang sedang tertegun. "Memang kadang yang baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah. Gus Ikhsan melihatku baik, tapi mungkin bagi Allah enggak. Juga ... apa yang terlewatkan dalam hidup kita, maka itu bukanlah takdir kita, dan yang menjadi takdir kita tidak akan pernah terlewatkan."
Lagi-lagi kalimat Shofi berhasil menampar diri Rafa. Sorot matanya mengarah pada paras cantik sang adik yang tengah mengulas senyum. "Umur kamu baru sembilan belas tahun 'kan?" tanya Rafa dan mendapat anggukan sebagai jawaban.
"Tapi kenapa pemikiranmu sungguh sangat dewasa?"
"Aku kira dulu, dewasa itu tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur, tapi setelah aku melalui banyak hal, ternyata dewasa tumbuh berdampingan dengan masalah hidup."
Senyum simpul di bibir gadis itu kemudian menutup perbincangannya dengan sang kakak yang masih tertegun. Entah apa yang tengah di pikirkan lelaki itu. Shofi pun berpamitan masuk ke dalam rumah. Sementara Rafa, laki-laki itu masih duduk termenung di tempatnya sambil memikirkan apa yang di sampaikan Shofi.
Benda pipih yang sesaat lalu menjadi fokusnya dalam cahaya remang taman, kini terasa bergetar. Foto wanita berambut kecoklatan dengan senyum yang membuat kedua matanya menyipit tergambar di layar. Rafa lekas membuka layar ponselnya.
[Maaf, membuatmu menunggu lama. Aku masih sangat sibuk. Nanti akan aku hubungi lagi. Aku mencintaimu.]
Rafa tersenyum getir usai membaca sepenggal pesan yang berisi hal yang selalu sama. Ia berdiri dari duduknya. Menghembuskan nafas berat lalu menengadah menatap kemerlip bintang di langit. Merasai kegundahan hatinya dalam sebuah penantian yang seperti tak akan pernah berujung.
***
Pagi harinya, susana rumah Alya kembali ramai. Wanita itu terus saja mengomel pada sang suami yang tanpa sengaja membuat kancing baju koko yang sudah disiapkan sejak semalam itu terlepas, dan hal itu membuat Alya sibuk menjahit sepagi ini.
"Makanya kalau bangun itu agak pagi dikit, Mas. Biar apa-apanya nggak buru-buru gini. Kancing sampek lepas! Tiap hari aku ngomel, apa kamu nggak bosen?" omel Alya seraya sibuk dengan jarum dan benang di tangannya.
Akbar yang hanya memakai celana panjang dan kaos dalam itu tersenyum gemas menatap sang istri. "Iya, Sayang. Besok aku bangun sebelum subuh. Pokoknya kamu nggak mancing-mancing saja," goda Akbar dan segera mendapat pukulan di lengan oleh sang istri hingga membuat laki-laki itu kemudian tertawa.
Kedatangan Rafa dengan mata sembab dan rambut acak-acakan membuat Alya kembali mengomel. "Ini juga! Kenapa baru bangun? Sana cepetan mandi!" omelnya kembali.
Rafa tak terusik dengan omelan sang kakak, ia malah kemudian duduk di sebelah Akbar. Terus saja menguap dan mata yang akan terpejam kembali.
"Kamu ngapain duduk di situ?" tanya Alya. "Sana! Buruan mandi. Ntar kita telat loh," omelnya kembali.
"MasyaAllah, Mbak. Masih pagi ini. Ngomel mulu," gerutu Rafa. Tak ingin mendengar ocehan sang kakak yang pasti akan panjang, ia kemudian berdiri dari duduknya lalu menuju kamar mandi.
Usai menyelesaikan mandinya, ia kembali pada Alya dan bertanya baju apa yang akan ia pakai dalam acara yang akan mereka hadiri. Pengajian yang digelar sebelum pernikahan Nana, adik dari Akbar membuat Alya merancang seragam keluarga untuk acara itu.
Setelah mendapat baju koko yang sama dengan milik Akbar, Rafa kemudian kembali masuk ke kemar Aska. Usai bersiap ia segera bergabung dengan Akbar yang duduk sendiri di ruang keluarga.
"Ibu sama Mbak Alya kemana, Mas?" tanya Rafa pada Akbar seraya sibuk memasang jam tangan di tangannya.
"Ibu masih di kamar. Mbak kamu masih bantuin Shofi siap-siap."
Belum sempat menanggapi ucapan kakak iparnya, suara dari salah satu pintu kamar berdecit membuat ke dua lelaki itu menoleh ke arah sumber suara. Akbar sesaat tertegun menatap sang adik yang tampak sungguh cantik dan menawan dengan balutan gamis tosca muda dan sesuatu yang baru pertama kalinya di pakai Shofia. Make up tipis di wajah gadis itu, ia kemudian segera melempar senyum.
Berbeda lagi dengan Rafa, laki-laki itu terdiam, tapi dengan sorot mata yang terus membidik ke arah Shofi, membuat gadis itu salah tingkah dan malu.
"Kedip." Heni yang baru keluar dari kamar segera melambaikan tangan di depan wajah Rafa saat melihat putranya tengah terpesona.
Rafa pun turut salah tingkah menyadari dirinya memang benar tengah terpesona oleh kecantikan Shofi. Ia pun mengusap tengkuknya sambil tersenyum malu.
"Ayo, Mbak, berangkat. Ntar telat ngomel lagi." Rafa lekas berjalan menuju mobil meninggalkan semuanya yang masih berada di ruang tengah.
"Aku malu, Kak," ucap Shofi lirih. "Apa aku aneh pakai make-up gini?" tanyanya ketika merasa tatapan semua orang terlihat seolah menatap dirinya aneh.
Alya tersenyum sambil menggeleng, tangannya kemudian merapikan pasmina yang dikenakan Shofi. "Kamu aslinya sudah cantik, dikasih make-up tipis malah jadi tambah cantik kok, Dek. Kamu yang PD dong," ucap Alya menyemangati.
"Kamu cantik, sungguh cantik," puji Akbar. Laki-laki itu mendekat dan berdiri disamping Alya menatap ke arah Shofi. "Dan harus kamu ingat, Dek. Kamu berharga dan kamu tidak bersalah." Meski terdengar lembut, tapi sorot mata Akbar menunjukkan ketegasan yang harus Shofi ingat.
Suara klakson dari mobil di halaman depan rumah membuat mereka segera menyusul Rafa yang sudah standby di mobil dan bersiap untuk berangkat.
Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc
Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka
Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant
Heningnya malam di kediaman Alya terusik oleh deru mobil yang baru saja masuk dan berhenti di halaman rumah. Shofi yang berada dalam mobil itu hendak turun, tapi tertahan saat menoleh pada Rafa yang diam dengan tatapan kosong ke depan. Shofi sendiri enggan bertanya meski selama perjalanan laki-laki itu tiba-tiba berubah diam seribu bahasa."Kakak nggak turun?" tanya Shofi dengan hati-hati."Kakak masih ada urusan di luar, Dek. Kamu masuk gih. Kunci semua pintunya."Shofi melirik ke arah jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Kakak nggak pulang?" tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba Shofi merasa cemas dengan kediaman Rafa.Rafa terlihat ragu untuk menjawab. Ia hanya menatap Shofi dengan tatapan kosong."Aku turun dulu, Kak. Assalamualaikum." Shofi memilih untuk pamit saat sang kakak sepertinya tak berniat memberi jawaban. Ia lalu segera turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Sh
"Tante boleh minta tolong satu hal, Nak?"Shofi mengangguk. "Boleh, Tante. Mau minta tolong apa?"Heni menggeser duduknya untuk lebih mendekat pada Shofi. Sorot mata renta itu penuh pengharapan. "Tante minta tolong buat kamu ... kamu bisa menyayangi Kak Rafa," pinta Heni. "Kamu bisa 'kan, Sayang?"Shofi terdiam sesaat mencerna permintaan dari Heni yang terasa janggal menurutnya. Namun, Shofi pun memilih mengangguk. "Iya, Tante. Selama ini Shofi menyayangi Kak Rafa ... sama seperti Shofi menyayangi Kak Akbar."Sorot mata dan senyum Heni yang penuh harapan itu hilang seketika mendengar jawaban Shofi. Remasan Heni di tangan Shofi melemah dengan segala kekecewaan. Bukan! Bukan itu yang ingin Heni inginkan. Wanita itu segera melepaskan tangannya pada tangan Shofi. Membuang muka menghindari tatapan Shofi yang terlihat bingung dengan perubahan sikapnya."Tante?" Shofi tampak cemas saat melihat wajah Heni tiba-tiba sangat pucat seolah tak ada aliran darah
"Katakan!" kata Akbar. Laki laki itu berdiri di dekat jendela kaca ruang kerjanya. Melipat tangan di dada sambil melihat rintik hujan yang masih turun mengalir beriringan di permukaan kaca jendela.Akbar segera berbalik saat tak mendapat jawaban yang sudah ia tunggu sejak beberapa hari yang lalu. "Kamu tidak punya alasan?" tanya Akbar.Suasana semakin terasa tegang saat lawan bicara Akbar tak segera memberi jawaban. Alya yang juga berada di sana terlihat resah. Ia tahu suaminya tampak tak sabar dan menahan marah. Ia melirik sekilas pada lawan bicara Akbar yang duduk di sebelahnya. Laki-laki di sebelahnya terlihat juga tak kalah keras kepala dengan memberi reaksi diam."Dek ...." Alya berucap lirih lalu menyenggol lengan Rafa."Aku sebenarnya nggak punya alasan, Mas." Akhirnya Rafa membuka suara. "Aku hanya tidak tega saat Shofi memohon untuk bekerja di restoran.""Itu bukan alasan yang ingin aku dengar, Rafa!""Itu memang kenyataannya. Meman
Pagi ini Rafa terlihat sangat buru-buru setelah mendapat telfon dari restoran barunya. Berita tentang kedatangan Tiara di restoran tak terlalu mengejutkan baginya, tapi keadaan wanita itu yang membuat Rafa berlarian panik."Nona Tiara tak sengaja terkena pecahan kaca saat pekerja membetulkan jendela. Lengan kirinya sobek dan berdarah."Laporan dari salah satu pekerja sesaat lalu terus terngiang di telinga Rafa. Jalanan yang ia lalui seolah terasa sangat jauh hingga lama sekali dirinya sampai. Jantungnya terus berdegub dilanda kecemasan. Untuk apa Tiara sampai di restoran?" pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan.Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Rafa sampai di depan bangunan bergaya Eropa dengan warna putih yang mendominasi setiap sisi dinding bangunan. Matanya menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Tiara tapi tak ia temukan. Rafa meneruskan langkah masuk ke d
"Makasih ya, Dek, traktirannya," ucap Rafa setelah menghentikan mobil di halaman rumah Alya.Shofi tersenyum mengangguk. Ia hendak membuka pintu mobil tapi tertahan dengan kalimat Rafa."Terima kasih juga untuk hari ini."Shofi mengernyit tak paham dengan maksud Rafa dan pria itu hanya tersenyum. "Ayo turun," ajaknya pada Shofi.Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Baru selangkah menapaki teras rumah, Shofi lekas berhenti saat melihat sosok pria yang ia kenali tengah duduk di kursi teras rumah."Pak Nico?" wajah Shofi berubah tegang penuh kecemasan. Ia mundur satu langkah hingga membentur Rafa yang berada di belakangnya saat Nico berdiri lalu hendak menghampiri."Shofia.""Jangan berani Anda menyentuh adikku!" Suara dari laki-laki yang duduk di sebrang Nico terdengar mengancam.Wajah Akbar jelas terlihat tak r
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa