Share

Penghinaan

Author: SHAL SYALA
last update Last Updated: 2021-07-10 15:08:19

Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.

Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu.

"Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya.

"Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.

Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat bocah tampan itu tak segera melepaskan pelukannya pada sang mami. Ia merasa begitu rindu.

"Gendongnya ke Papi, tapi pelukannya buat Mami," celetuk Akbar dan membuat Aska segera melepaskan pelukannya beralih menatap sang Papi.

"Kasian Mami kalau mau gendong aku, Pi. Aku udah gede, berat," ujar Aska dan segera mendapat usapan lembut di pipi dari Alya, sang mami.

Puas memeluk Alya, kini giliran Akbar, Heni juga Rafa yang mendapat pelukan dari Aska. Keluarga itu seolah larut dalam bahagia bertemu Aska kembali hingga sejenak mengabaikan Shofi yang tengah tertegun.

Mata indah itu meredup sayu kala menatap seorang wanita paruh baya bergamis tosca senada dengan yang Shofi pakai tengah berjalan menuju ke arahnya. Shofi merasa jantungnya seolah diremas hebat hingga terasa sesak saat wanita yang dulu sering ia panggil 'Mama Tari' itu semakin mendekat. Tubuh Shofi bergetar menahan takut, rindu dan malu. Air matanya mulai menggenang, tapi tak sampai jatuh.

"Mama Tari," lirih Shofi berucap tanpa melepas sorot matanya pada Tari. Shofi mundur satu langkah saat wanita itu berhenti tepat di hadapannya dengan senyum yang sungguh sangat ia rindukan.

Namun, Fokus Tari bukan pada Shofi, wanita tersebut lekas memeluk Heni, menyambut kedatangan besannya. Kemudian bergantian menyapa Rafa lalu pandangan Tari jatuh pada Shofi. Tari mengembangkan senyum, mencoba mengenali siapa gadis cantik di hadapannya. Wajah Shofi terasa tak asing bagi Tari, tapi ia kesulitan mengenali. Tari pun memilih untuk bertanya.

"Ini siapa, Al? cantik banget," tanya Tari pada Alya.

Pujian itu terdengar begitu tulus, tapi sungguh sangat menyembilu hati Shofi. Betapa tidak, saat Shofi tak lagi dikenali oleh Tari. Mungkinkah wanita itu telah lama melupakan dirinya.

"Ma ...." Panggilan dari Akbar membuat Tari menoleh menanti jawaban. "Dia Shofi, Ma."

Senyum dan binar kebahagiaan yang tergambar di wajah Tari seketika lenyap kala mendengar ucapan Akbar. Tatapannya lekat menatap ke arah Shofi. Memindai kembali wajah Shofi yang berbeda dengan terakhir kali ia melihatnya. Tentunya wajah cantik yang terbingkai hijab pink itu yang membuat gadis itu terlihat berbeda.

"Assalamualaikum, Mama Tari," ucap Shofi dengan nada bergetar. Pandangan Shofi sudah kabur karena air mata yang tiba-tiba menyeruak berdesakan ingin keluar.

Tangan hangat yang selalu membelai pipi Shofi setiap malam dulu, kini terulur dan bergetar mengusap pipi Shofi. "Anakku ... kamu Shofi? Anak Mama?" Air mata Tari tumpah seketika saat Shofi mengangguk.

Tari segera memeluk Shofi dengan erat dengan tangis yang tersedu-sedu. "Kamu pulang, Nak? Akhirnya kamu pulang. Mama sangat rindu," ucap Tari di sela tangisnya. Ia melepas sejenak pelukannya lalu berganti memandangi raut wajah Shofi yang juga berurai air mata, kemudian memeluk gadis itu kembali dengan erat seolah tak ingin kehilangan Shofi kembali.

Rasa sayangnya pada Shofi tulus sejak gadis itu masih kecil. Meski ibu dari Shofi pernah merebut suaminya, tapi Tari sama sekali tak pernah membenci gadis itu. Dan malah semakin mencintai Shofi saat ternyata gadis itu bukan darah daging dari suaminya. Kelicikan ibu kandung Shofi telah memalsukan jati diri gadis tersebut hingga akhirnya terungkap. Tari merasa nasib Shofi sungguh malang karena harus terlahir dari hubungan rumit dan salah.

Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun yang lebih banyak terwakilkan oleh air mata kerinduan itu terasa begitu emosional. Shofi hanyut dan tenggelam oleh hangatnya pelukan Tari yang sangat ia rindukan. Matanya terpejam menikmati aroma yang menguar dari tubuh wanita itu yang sungguh menenangkan jiwa. Hingga ia kemudian membuka mata. Tubuhnya tiba-tiba menegang saat melihat pria berbaju koko putih tengah berdiri menatap ke arahnya.

Merasakan pergerakan Shofi, Tari segera menghela tubuh gadis itu. Ia menatap wajah cantik itu yang berubah panik, sorot mata Shofi menyimpan ketakutan. "Kenapa, Sayang?" tanya Tari.

Tak mendapat jawaban dari Shofi, Tari lekas mengikuti sorot mata gadis itu hingga akhirnya Tari melihat suaminya yang juga menatap ke arahnya. Tari kembali menatap ke arah Shofi.

"Nggak apa-apa, Sayang. Kita sapa Papa dulu." Tari meggandeng lengan Shofi kemudian berjalan menuju ke arah sang suami, Pratama Hendarsyah.

"Pa!" Panggilan dari Tari tak mendapat respon dari laki-laki yang biasa dipanggil Tama itu. Tama malah memilih berlalu menaiki tangga, sengaja menghindari pertemuannya dengan Shofi. Bagaimana pun, kehadiran Shofi masih mengingatkannya dengan kejahatan Monic, ibu dari gadis itu di masa lalu terhadap dirinya.

***

Acara pengajian yang digelar keluarga Tari dan Tama akhirnya selesai. Semua tamu undangan yang terdiri dari ibu-ibu pengajian sudah undur diri dan hanya menyisakan beberapa sanak saudara dan keluarga inti yang kini berada di ruang tengah.

Tari tampak sungguh bahagia, ia terus menempel pada Shofi. Wanita itu terus mengajukan banyak pertanyaan pada Shofi. Mengabaikan sekitar yang kini tengah memandang ke arah mereka dengan tatapan haru.

"Shofi sudah nggak balik lagi ke pesantren 'kan, Sayang?" tanya Tari.

"Kak Akbar, maunya Shofi kuliah di sini, Ma." Jawaban Shofi membuat Tari semakin melebarkan senyum.

"Mama juga seneng kalau Shofi tinggal di sini terus. Biar Mama bisa dekat kamu terus, Nak," ucap Tari. Wanita itu terus menggenggam jemari Shofi, benar-benar tak ingin lagi jauh dari gadis itu.

"Mama!"

Semua yang ada di sana segera melihat ke arah tangga saat mendengar panggilan itu. Terlihat wanita muda nan cantik dengan balutan kaftan berwana baby pink yang membungkus tubuhnya berjalan mendekat ke arah Tari. Diikuti laki-laki berbaju koko yang tak lain calon suami dari wanita itu.

"Itu Kak Nana sama Kak Andra, Sayang," ujar Tari pada Shofi. Wanita itu lekas berdiri lalu menghampiri Nana. "Na, Shofi datang, Sayang. Adik kamu sudah pulang." Tari menuntun Nana menuju ke arah Shofi.

Tak ada ekspresi di wajah cantik Nana, tapi Shofi dapat melihat jelas jika sorot mata tajam itu masih menggambarkan kebencian terhadap dirinya. Shofi lekas memberikan senyum terbaik lalu mengulurkan tangan memberi salam, tapi tak mendapat sambutan.

"Kenapa kamu harus kembali?!" Nana berucap lirih, tapi menghujam tepat di hati Shofia.

"Nana!" Akbar dan Tari bersamaan menegur Nana yang sudah keterlaluan.

Nana melirik malas ke arah Akbar yang sudah tersulut emosinya. "Belum apa-apa, kamu akan kembali merebut Kakak juga Mamaku!" Nana kembali manatap tajam pada Shofi yang mematung di tempatnya. Tanpa peduli lagi, Nana beranjak meninggalkan ruang tengah lalu berlalu menaiki tangga.

"Dek ...." Akbar mendekat ke arah Shofi.

Shofi menghirup udara dalam-dalam meredakan sesak di dadanya. "Aku permisi mau ke kamar mandi ya, Kak, Ma." Shofi lekas berlalu meninggalkan semua. Ia berusaha untuk tak menangis di hadapan semua orang.

Suasana tiba-tiba terasa begitu tegang di rumah Tari. Sedang Shofi, gadis itu menahan isak tangis di kamar mandi agar tak sampai pecah. Tak berlama-lama ia segera mengambil air wudhuu untuk meredakan segala apa yang bergejolak di dalam hati. Setelahnya is segera keluar dari kamar dan hendak kembali.

Saat membuka pintu kamar mandi, langkah Shofi terhenti ketika melihat Rafa yang berdiri di depannya.

Sorot mata yang biasa lembut itu kini terlihat menahan marah membuat Shofi kembali takut. Mungkinkah Rafa juga sedang marah pada dirinya karena membuat keluarga malu dengan kehadirannya di rumah Tari.

"Kita sebaiknya pulang, Dek." Ajak Rafa lalu berbalik meninggalkan Shofi. Bukan marah, tapi Rafa sungguh tak tega melihat mata indah milik adiknya itu basah, dan itu air mata.

"Kak, kamu marah sama aku?" Pertanyaan dari Shofi menghentikan langkah Rafa. Laki-laki itu berbalik menatap Shofi.

"Marah untuk apa?" Rafa menjawab dengan balik melemparkan pertanyaan, dan Shofi hanya diam tak bisa memberi jawaban.

"Aku tunggu di mobil!" ucap Rafa kemudian meneruskan langkahnya kembali.

Sebelum mengikuti Rafa, Shofi berbelok menuju arah dapur saat merasa tenggorokannya sangat haus. Di dapur ia tak sengaja bertemu dengan Andra, calon suami dari Nana. Laki-laki itu seperti tengah meracik kopi. Melihat hal itu, Shofi hendak mengurungkan niat untuk mengambil air minum, tapi tertahan saat Andra memanggil.

"Dek!"

"Iya." Shofi berbalik menatap Andra.

"Kamu Shofi---Adeknya Nana---yang ada di pesantren itu 'kan?" tanya Andra. Laki-laki itu kemudian mendekat sambil membawa cangkir di tangannya.

"Aku Andra, Dek. Calon suaminya Kakak kamu." Andra memperkenalkan diri lalu mengulurkan tangan.

Shofi mengangguk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. "Iya, Kak. Aku--"

"Jangan dekat-dekat dia!"

Andra dan Shofi segera menoleh ke arah Nana yang tiba-tiba datang dan terlihat marah, wajahnya merah padam. Nana berjalan cepat lalu menepis tangan Andra yang masih menggantung di udara.

"Kamu ngapain mau kenalan sama dia?!" tanya Nana dengan suara yang meninggi. Wanita itu melempar tatapan tajam pada Shofi yang terlihat ketakutan.

"Sayang, kamu ini kenapa? Aku cuma kenalan sama Shofi. Dia 'kan, Adek, kamu juga." Andra mencoba menenangkan Nana.

"Enggak! Dia bukan Adikku!" Nana kembali berteriak. Matanyaterus memindai diri Shofi dari atas hingga e bawah. Selain dendam masa lalunya, Nana juga tak suka melihat kecantikan yang dimiliki Shofia. "Oke, Sayang, kamu sebaiknya harus tahu siapa dia agar kamu lebih berhati-hati. Jangan sampai kamu tertipu," ucapnya pada Andra.

"Maksud kamu apa, Sayang?"

"Kamu tahu peribahasa jika buah jatuh pasti tak akan jauh dari pohonnya bukan? Sama seperti dia, dia sama seperti ibunya yang menjebak banyak lelaki dengan kecantikan yang dimiliki."

"Nana, Sayang. Sudah-sudah jangan bicara yang tidak-tidak, ayo kita ke depan," ucap Andra yang tak ingin ada pertengkaran. Ia mencoba menuntun Nana untuk pergi dari sana.

Nana menepis tangan Andra dan malah kembali menatap Shofi. "Dia bukan Adikku, dan dia juga bukan bagian dari keluarga ini! Dia hanya anak dari seorang wanita jahat yang telah menghancurkan keluargaku. Merebut Papaku, merebut kasih sayang Mama juga Kakakku. Dan dia juga hanya anak haram hasil--"

PLAKK!

Tamparan keras yang mendarat di pipi Nana seketika membuat Andra, Nana terlebih Shofi begitu terkejut. Suasana berubah hening seketika dengan ketegangan yang tercipta. Rasa sakit yang Nana rasakan membuat air matanya jatuh begitu saja. Suasana semakin mencekam saat Nana menyadari siapa yang telah berani melayangkan tamparan padanya.

Sorot mata tajam itu kini terus membidik ke arah Nana hingga membuat tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Seumur hidup baru kali ini ia mendapati sang Papa terlihat murka.

"Papa memberimu pendidikan tinggi hingga kamu menjadi wanita terhormat seperti sekarang, tapi Papa tidak menyangka jika kamu sanggup mengeluarkan kata-kata tak pantas seperti itu!" ucap Tama dengan terus menatap tajam pada Nana.

"Pa ... Papa nampar aku cuma karena dia?" tabya Nana lirih. Di sela wajah terkejut menahan sakit, terlukis jelas kekecewaan yang teramat dalam pada wajah Nana.

"Kamu pantas mendapatkannya," jawab Tama. "Jangan bicara serendah itu lagi! sama saja kau merendahkan dirimu sendiri!" imbuh Tama lalu menoleh pada Andra. "Pikirkan kembali untuk menjadikan Nana istri jika dia tidak bisa mengontrol bicaranya!"

Andra hanya mengangguk ragu, lebih tepatnya laki-laki itu masih sangat terkejut saat tak bisa melindungi Nana dari tamparan Tama. Andra masih menatap kepergian Tama yang menghilang di balik pintu.

Kalimat Tama untuk Andra membuat Nana kembali menatap penuh kebencian pada Shofi yang berdiri menunduk tak bisa berbuat apa-apa. Takut yang berselimut rasa bersalah kini mendera diri Shofi. Kedatangannya di rumah Tari ternyata menjadi kesalahan besar. Ia terlalu percaya diri jika dirinya akan kembali diterima di sana, terutama Nana. Ia salah telah datang, ia salah.

"Aku sangat membencimu! Aku benci dirimu, aku benci Ibumu!" Nana terus berteriak meluapkan kekesalannya, bahkan Andra yang berusaha menenangkan calon istrinya tersebut terlihat kualahan.

Shofi yang hanya bisa menangis seketika tersentak kaget saat sebuah lengan kokoh melingkari pundaknya. "Kau sungguh keterlaluan, Na!" cetus Rafa penuh peringatan.

Rafa mengeratkan rangkulan di pundak Shofi. "Kita pulang, Dek!"

Rafa yang sejak tadi menyaksikan penghinaan yang dilontarkan Nana untuk Shofi hanya bisa menahan amarah saat dirinya hendak menegur Nana dan terhalang oleh Tama.

"Tapi, aku belum pamit---" Shofi segera mengatupkan bibirnya saat mendapat sorot mata tajam milik Rafa. Ia pun tak bisa melawan saat Rafa merangkulnya sangat erat keluar dari rumah itu.

Saat Rafa dan Shofi sudah memasuki mobil, Akbar dan Alya yang tak tahu mengenai kejadian barusan tampak panik lalu menghampiri mobil Rafa. Sepasang suami istri itu bertambah panik saat melihat bekas air mata di wajah Shofi. Rafa yang marah tak memperdulikan keduanya meski berulang kali baik Alya maupun Akbar bertanya kenapa?

"Rafa!" sentak Alya.

"Jangan lagi mengajak Shofi menginjakkan kaki di rumah ini!"

Setelah mengucapkan kalimat peringatan itu pada Alya, Rafa segera membawa mobil keluar dari halaman rumah meninggalkan Akbar dan Alya yang masih bingung.

Related chapters

  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Nyaman

    Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka

    Last Updated : 2021-07-12
  • Bukan Orang Ketiga   Bekerja

    Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant

    Last Updated : 2021-07-13
  • Bukan Orang Ketiga   Sebuah Permintaan

    Heningnya malam di kediaman Alya terusik oleh deru mobil yang baru saja masuk dan berhenti di halaman rumah. Shofi yang berada dalam mobil itu hendak turun, tapi tertahan saat menoleh pada Rafa yang diam dengan tatapan kosong ke depan. Shofi sendiri enggan bertanya meski selama perjalanan laki-laki itu tiba-tiba berubah diam seribu bahasa."Kakak nggak turun?" tanya Shofi dengan hati-hati."Kakak masih ada urusan di luar, Dek. Kamu masuk gih. Kunci semua pintunya."Shofi melirik ke arah jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Kakak nggak pulang?" tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba Shofi merasa cemas dengan kediaman Rafa.Rafa terlihat ragu untuk menjawab. Ia hanya menatap Shofi dengan tatapan kosong."Aku turun dulu, Kak. Assalamualaikum." Shofi memilih untuk pamit saat sang kakak sepertinya tak berniat memberi jawaban. Ia lalu segera turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Sh

    Last Updated : 2021-07-16
  • Bukan Orang Ketiga   Jodoh

    "Tante boleh minta tolong satu hal, Nak?"Shofi mengangguk. "Boleh, Tante. Mau minta tolong apa?"Heni menggeser duduknya untuk lebih mendekat pada Shofi. Sorot mata renta itu penuh pengharapan. "Tante minta tolong buat kamu ... kamu bisa menyayangi Kak Rafa," pinta Heni. "Kamu bisa 'kan, Sayang?"Shofi terdiam sesaat mencerna permintaan dari Heni yang terasa janggal menurutnya. Namun, Shofi pun memilih mengangguk. "Iya, Tante. Selama ini Shofi menyayangi Kak Rafa ... sama seperti Shofi menyayangi Kak Akbar."Sorot mata dan senyum Heni yang penuh harapan itu hilang seketika mendengar jawaban Shofi. Remasan Heni di tangan Shofi melemah dengan segala kekecewaan. Bukan! Bukan itu yang ingin Heni inginkan. Wanita itu segera melepaskan tangannya pada tangan Shofi. Membuang muka menghindari tatapan Shofi yang terlihat bingung dengan perubahan sikapnya."Tante?" Shofi tampak cemas saat melihat wajah Heni tiba-tiba sangat pucat seolah tak ada aliran darah

    Last Updated : 2021-07-17
  • Bukan Orang Ketiga   Memberi Izin

    "Katakan!" kata Akbar. Laki laki itu berdiri di dekat jendela kaca ruang kerjanya. Melipat tangan di dada sambil melihat rintik hujan yang masih turun mengalir beriringan di permukaan kaca jendela.Akbar segera berbalik saat tak mendapat jawaban yang sudah ia tunggu sejak beberapa hari yang lalu. "Kamu tidak punya alasan?" tanya Akbar.Suasana semakin terasa tegang saat lawan bicara Akbar tak segera memberi jawaban. Alya yang juga berada di sana terlihat resah. Ia tahu suaminya tampak tak sabar dan menahan marah. Ia melirik sekilas pada lawan bicara Akbar yang duduk di sebelahnya. Laki-laki di sebelahnya terlihat juga tak kalah keras kepala dengan memberi reaksi diam."Dek ...." Alya berucap lirih lalu menyenggol lengan Rafa."Aku sebenarnya nggak punya alasan, Mas." Akhirnya Rafa membuka suara. "Aku hanya tidak tega saat Shofi memohon untuk bekerja di restoran.""Itu bukan alasan yang ingin aku dengar, Rafa!""Itu memang kenyataannya. Meman

    Last Updated : 2021-07-19
  • Bukan Orang Ketiga   Terlalu Mencintai

    Pagi ini Rafa terlihat sangat buru-buru setelah mendapat telfon dari restoran barunya. Berita tentang kedatangan Tiara di restoran tak terlalu mengejutkan baginya, tapi keadaan wanita itu yang membuat Rafa berlarian panik."Nona Tiara tak sengaja terkena pecahan kaca saat pekerja membetulkan jendela. Lengan kirinya sobek dan berdarah."Laporan dari salah satu pekerja sesaat lalu terus terngiang di telinga Rafa. Jalanan yang ia lalui seolah terasa sangat jauh hingga lama sekali dirinya sampai. Jantungnya terus berdegub dilanda kecemasan. Untuk apa Tiara sampai di restoran?" pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan.Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Rafa sampai di depan bangunan bergaya Eropa dengan warna putih yang mendominasi setiap sisi dinding bangunan. Matanya menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Tiara tapi tak ia temukan. Rafa meneruskan langkah masuk ke d

    Last Updated : 2021-07-21
  • Bukan Orang Ketiga   Penawaran

    "Makasih ya, Dek, traktirannya," ucap Rafa setelah menghentikan mobil di halaman rumah Alya.Shofi tersenyum mengangguk. Ia hendak membuka pintu mobil tapi tertahan dengan kalimat Rafa."Terima kasih juga untuk hari ini."Shofi mengernyit tak paham dengan maksud Rafa dan pria itu hanya tersenyum. "Ayo turun," ajaknya pada Shofi.Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Baru selangkah menapaki teras rumah, Shofi lekas berhenti saat melihat sosok pria yang ia kenali tengah duduk di kursi teras rumah."Pak Nico?" wajah Shofi berubah tegang penuh kecemasan. Ia mundur satu langkah hingga membentur Rafa yang berada di belakangnya saat Nico berdiri lalu hendak menghampiri."Shofia.""Jangan berani Anda menyentuh adikku!" Suara dari laki-laki yang duduk di sebrang Nico terdengar mengancam.Wajah Akbar jelas terlihat tak r

    Last Updated : 2021-07-22
  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Takut

    Malam ini suasana restoran cukup ramai pengunjung, membuat semua pegawai tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Disaat semua pegawai adu cepat untuk melayani pesanan para tamu, lain lagi dengan Shofi, gadis itu lebih banyak diam dan terlihat tak fokus. Pertemuannya dengan Nico beberapa jam lalu masih mengusik hati dan pikirannya.Sejak sore Shofi telah mendapat tugas di dapur untuk membantu koki menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dan ia berulang kali melakukan kesalahan. Salah memotong ukuran sayuran, salah mengambil piring dan terakhir gadis itu menumpahkan sebotol minyak goreng."Pak Deni, maafkan saya," ucap Shofi penuh sesal pada Deni, koki di restoran Rafa."Kamu sakit, Shofi?" tanya Deni. Pria paruh baya itu dapat melihat perubahan pada Shofi yang tidak bersemangat seperti biasanya.Shofi dengan cepat menggeleng."Shofi biar ikut nganterin pesanan saja, Pak." Yuli yang baru datang segera menggeser Shofi untuk menggantikan pekerjaanny

    Last Updated : 2021-07-23

Latest chapter

  • Bukan Orang Ketiga   Anugerah di Akhir

    Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan

  • Bukan Orang Ketiga   Bahagia

    Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb

  • Bukan Orang Ketiga   Kamila Aghnia

    Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p

  • Bukan Orang Ketiga   Kelahiran dan Kehilangan

    Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i

  • Bukan Orang Ketiga   Memaafkan

    "Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho

  • Bukan Orang Ketiga   Kabar Mengejutkan

    Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo

  • Bukan Orang Ketiga   Bersyukur

    Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.

  • Bukan Orang Ketiga   Takdir Keikhlasan

    "Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.

  • Bukan Orang Ketiga   Merasa Beruntung

    Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status