"Tante boleh minta tolong satu hal, Nak?"
Shofi mengangguk. "Boleh, Tante. Mau minta tolong apa?"
Heni menggeser duduknya untuk lebih mendekat pada Shofi. Sorot mata renta itu penuh pengharapan. "Tante minta tolong buat kamu ... kamu bisa menyayangi Kak Rafa," pinta Heni. "Kamu bisa 'kan, Sayang?"
Shofi terdiam sesaat mencerna permintaan dari Heni yang terasa janggal menurutnya. Namun, Shofi pun memilih mengangguk. "Iya, Tante. Selama ini Shofi menyayangi Kak Rafa ... sama seperti Shofi menyayangi Kak Akbar."
Sorot mata dan senyum Heni yang penuh harapan itu hilang seketika mendengar jawaban Shofi. Remasan Heni di tangan Shofi melemah dengan segala kekecewaan. Bukan! Bukan itu yang ingin Heni inginkan. Wanita itu segera melepaskan tangannya pada tangan Shofi. Membuang muka menghindari tatapan Shofi yang terlihat bingung dengan perubahan sikapnya.
"Tante?" Shofi tampak cemas saat melihat wajah Heni tiba-tiba sangat pucat seolah tak ada aliran darah
"Katakan!" kata Akbar. Laki laki itu berdiri di dekat jendela kaca ruang kerjanya. Melipat tangan di dada sambil melihat rintik hujan yang masih turun mengalir beriringan di permukaan kaca jendela.Akbar segera berbalik saat tak mendapat jawaban yang sudah ia tunggu sejak beberapa hari yang lalu. "Kamu tidak punya alasan?" tanya Akbar.Suasana semakin terasa tegang saat lawan bicara Akbar tak segera memberi jawaban. Alya yang juga berada di sana terlihat resah. Ia tahu suaminya tampak tak sabar dan menahan marah. Ia melirik sekilas pada lawan bicara Akbar yang duduk di sebelahnya. Laki-laki di sebelahnya terlihat juga tak kalah keras kepala dengan memberi reaksi diam."Dek ...." Alya berucap lirih lalu menyenggol lengan Rafa."Aku sebenarnya nggak punya alasan, Mas." Akhirnya Rafa membuka suara. "Aku hanya tidak tega saat Shofi memohon untuk bekerja di restoran.""Itu bukan alasan yang ingin aku dengar, Rafa!""Itu memang kenyataannya. Meman
Pagi ini Rafa terlihat sangat buru-buru setelah mendapat telfon dari restoran barunya. Berita tentang kedatangan Tiara di restoran tak terlalu mengejutkan baginya, tapi keadaan wanita itu yang membuat Rafa berlarian panik."Nona Tiara tak sengaja terkena pecahan kaca saat pekerja membetulkan jendela. Lengan kirinya sobek dan berdarah."Laporan dari salah satu pekerja sesaat lalu terus terngiang di telinga Rafa. Jalanan yang ia lalui seolah terasa sangat jauh hingga lama sekali dirinya sampai. Jantungnya terus berdegub dilanda kecemasan. Untuk apa Tiara sampai di restoran?" pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan.Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mobil yang dikendarai Rafa sampai di depan bangunan bergaya Eropa dengan warna putih yang mendominasi setiap sisi dinding bangunan. Matanya menatap sekeliling mencoba mencari keberadaan Tiara tapi tak ia temukan. Rafa meneruskan langkah masuk ke d
"Makasih ya, Dek, traktirannya," ucap Rafa setelah menghentikan mobil di halaman rumah Alya.Shofi tersenyum mengangguk. Ia hendak membuka pintu mobil tapi tertahan dengan kalimat Rafa."Terima kasih juga untuk hari ini."Shofi mengernyit tak paham dengan maksud Rafa dan pria itu hanya tersenyum. "Ayo turun," ajaknya pada Shofi.Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Baru selangkah menapaki teras rumah, Shofi lekas berhenti saat melihat sosok pria yang ia kenali tengah duduk di kursi teras rumah."Pak Nico?" wajah Shofi berubah tegang penuh kecemasan. Ia mundur satu langkah hingga membentur Rafa yang berada di belakangnya saat Nico berdiri lalu hendak menghampiri."Shofia.""Jangan berani Anda menyentuh adikku!" Suara dari laki-laki yang duduk di sebrang Nico terdengar mengancam.Wajah Akbar jelas terlihat tak r
Malam ini suasana restoran cukup ramai pengunjung, membuat semua pegawai tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Disaat semua pegawai adu cepat untuk melayani pesanan para tamu, lain lagi dengan Shofi, gadis itu lebih banyak diam dan terlihat tak fokus. Pertemuannya dengan Nico beberapa jam lalu masih mengusik hati dan pikirannya.Sejak sore Shofi telah mendapat tugas di dapur untuk membantu koki menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dan ia berulang kali melakukan kesalahan. Salah memotong ukuran sayuran, salah mengambil piring dan terakhir gadis itu menumpahkan sebotol minyak goreng."Pak Deni, maafkan saya," ucap Shofi penuh sesal pada Deni, koki di restoran Rafa."Kamu sakit, Shofi?" tanya Deni. Pria paruh baya itu dapat melihat perubahan pada Shofi yang tidak bersemangat seperti biasanya.Shofi dengan cepat menggeleng."Shofi biar ikut nganterin pesanan saja, Pak." Yuli yang baru datang segera menggeser Shofi untuk menggantikan pekerjaanny
Mall terbesar di kota itu menjadi tujuan Rafa untuk mengajak Shofi menuju lantai ke tiga gedung itu. Di mana sebuah toko perlengkapan rumah tangga yang menjadi tujuan Rafa. Rafa mendatangi toko tersebut karena ia memerlukan beberapa perlengkapan makan yang unik untuk kebutuhan restoran. Namun, selain hak tersebut, Rafa juga bertujuan mengajak sang adik untuk berjalan-jalan. Rafa sedikit terganggu dan merasa cemas melihat wajah Shofi yang terus murung beberapa hari terakhir."Kakak sering ke toko ini?" Shofi melempar pertanyaan pada Rafa yang sibuk mengamati beberapa contoh piring saji dengan macam- macam bentuk. Kakak beradik itu tengah berada di lorong yang terdapat rak perabotan di kedua sisinya.Rafa menoleh pada Shofi. "Bagus yang mana, Dek?" Rafa malah menjawab pertanyaan Shofi dengan melempar pertanyaan. Laki-laki itu menunjukkan dua buah piring di tangannya.Shofi mengamati sekilas dua buah piring tersebut. "Yang kanan." Shofi menunjuk piring berbentuk pe
Suasana dalam kamar hotel yang mewah itu terasa sunyi, tapi sungguh menegangkan kala para penghuninya tenggelam dengan amarah yang membelenggu diri mereka masing masing.Sorot mata tajam dari Tiara terus membidik ke arah sang kekasih. Dadanya masih naik turun setelah mengeluarkan segala kemarahan dan rasa cemburunya.Sedang Rafa, laki-laki itu terlihat sedang mengalihkan perhatian dengan memilih mengutak-atik ponsel. Ia hanya berusaha meredam amarah usai pertengkarannya dengan Tiara. Ia tak ingin lepas kendali menghadapi kemarahan wanita itu atas tuduhan yang dilayangkan untuknya."Kamu mau bilang sendiri siapa wanita itu atau aku akan cari tahu sendiri?" desis Tiara.Tak mendapat jawaban dari Rafa dan merasa diabaikan oleh laki-laki itu, Tiara segera menghampiri Rafa kemudian merampas ponsel di tangan sang kekasih lalu tak segan untuk melempar be
Rintik hujan turun di kawasan restoran mengiringi langkah Rafa yang baru saja datang. Memasuki restoran, tak ada senyum simpul yang terulas di bibirnya untuk membalas sapaan dari semua pegawai seperti biasanya, hanya wajah datar yang ia suguhkan. Rafa lekas memasuki ruang kerjanya. Beberapa tumpukan map di meja kerja menyambut dan semakin membuat dirinya pusing. Rafa berdiri di samping jendela, bersedekap sambil menatap ke arah jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Hati dan pikirannya berkecamuk. Ada rasa marah dan lelah teramat sangat atas hubungannya dengan Tiara. Rafa berfikir dirinya kali ini harus segera mengambil tindakan agar tak terus terjebak dalam hubungan tanpa tujuan. Rafa segera menghampiri meja kerjanya lalu mengambil paperbag bertuliskan merk sebuah ponsel. Ia lekas mengoperasikan ponsel barunya lalu menyelipkan simca
Malam semakin larut. Rintik hujan sejak sore lalu terus mengguyur seolah turut menangisi kesedihan gadis malang yang terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Suasana dalam ruang rawat gadis itu begitu sunyi hingga suara helaan nafas dari orang yang berjaga di sana cukup jelas terdengar.Akbar yang tak beranjak sedikitpun dari ranjang Shofi dan terus menatap sedih pada sang adik yang baru bisa terlelap dengan tenang. Shofi tak lagi histeris saat bayangan kejadian mengerikan itu terlintas di benaknya. Ia hanya menangis sesenggukan dalam pelukan Akbar jika kembali dihantui kejadian mengerikan itu. Pelukan dari Akbar benar-benar memberikan ketenangan untuk Shofi.Akbar mengusap dengan sayang kepala Shofi yang terbungkus hijab instan berwarna baby blue itu. Ingatannya menerawang pada beberapa tahun yang lalu saat mengingat Shofi kecil. Hati Akbar gerimis saat teringat jika hidup Shofi sejak kecil selalu berteman dengan kesedihan. Dan kali ini ia gagal menjaga Shofi dan malah
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa