Mall terbesar di kota itu menjadi tujuan Rafa untuk mengajak Shofi menuju lantai ke tiga gedung itu. Di mana sebuah toko perlengkapan rumah tangga yang menjadi tujuan Rafa. Rafa mendatangi toko tersebut karena ia memerlukan beberapa perlengkapan makan yang unik untuk kebutuhan restoran. Namun, selain hak tersebut, Rafa juga bertujuan mengajak sang adik untuk berjalan-jalan. Rafa sedikit terganggu dan merasa cemas melihat wajah Shofi yang terus murung beberapa hari terakhir.
"Kakak sering ke toko ini?" Shofi melempar pertanyaan pada Rafa yang sibuk mengamati beberapa contoh piring saji dengan macam- macam bentuk. Kakak beradik itu tengah berada di lorong yang terdapat rak perabotan di kedua sisinya.
Rafa menoleh pada Shofi. "Bagus yang mana, Dek?" Rafa malah menjawab pertanyaan Shofi dengan melempar pertanyaan. Laki-laki itu menunjukkan dua buah piring di tangannya.
Shofi mengamati sekilas dua buah piring tersebut. "Yang kanan." Shofi menunjuk piring berbentuk pe
Suasana dalam kamar hotel yang mewah itu terasa sunyi, tapi sungguh menegangkan kala para penghuninya tenggelam dengan amarah yang membelenggu diri mereka masing masing.Sorot mata tajam dari Tiara terus membidik ke arah sang kekasih. Dadanya masih naik turun setelah mengeluarkan segala kemarahan dan rasa cemburunya.Sedang Rafa, laki-laki itu terlihat sedang mengalihkan perhatian dengan memilih mengutak-atik ponsel. Ia hanya berusaha meredam amarah usai pertengkarannya dengan Tiara. Ia tak ingin lepas kendali menghadapi kemarahan wanita itu atas tuduhan yang dilayangkan untuknya."Kamu mau bilang sendiri siapa wanita itu atau aku akan cari tahu sendiri?" desis Tiara.Tak mendapat jawaban dari Rafa dan merasa diabaikan oleh laki-laki itu, Tiara segera menghampiri Rafa kemudian merampas ponsel di tangan sang kekasih lalu tak segan untuk melempar be
Rintik hujan turun di kawasan restoran mengiringi langkah Rafa yang baru saja datang. Memasuki restoran, tak ada senyum simpul yang terulas di bibirnya untuk membalas sapaan dari semua pegawai seperti biasanya, hanya wajah datar yang ia suguhkan. Rafa lekas memasuki ruang kerjanya. Beberapa tumpukan map di meja kerja menyambut dan semakin membuat dirinya pusing. Rafa berdiri di samping jendela, bersedekap sambil menatap ke arah jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Hati dan pikirannya berkecamuk. Ada rasa marah dan lelah teramat sangat atas hubungannya dengan Tiara. Rafa berfikir dirinya kali ini harus segera mengambil tindakan agar tak terus terjebak dalam hubungan tanpa tujuan. Rafa segera menghampiri meja kerjanya lalu mengambil paperbag bertuliskan merk sebuah ponsel. Ia lekas mengoperasikan ponsel barunya lalu menyelipkan simca
Malam semakin larut. Rintik hujan sejak sore lalu terus mengguyur seolah turut menangisi kesedihan gadis malang yang terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Suasana dalam ruang rawat gadis itu begitu sunyi hingga suara helaan nafas dari orang yang berjaga di sana cukup jelas terdengar.Akbar yang tak beranjak sedikitpun dari ranjang Shofi dan terus menatap sedih pada sang adik yang baru bisa terlelap dengan tenang. Shofi tak lagi histeris saat bayangan kejadian mengerikan itu terlintas di benaknya. Ia hanya menangis sesenggukan dalam pelukan Akbar jika kembali dihantui kejadian mengerikan itu. Pelukan dari Akbar benar-benar memberikan ketenangan untuk Shofi.Akbar mengusap dengan sayang kepala Shofi yang terbungkus hijab instan berwarna baby blue itu. Ingatannya menerawang pada beberapa tahun yang lalu saat mengingat Shofi kecil. Hati Akbar gerimis saat teringat jika hidup Shofi sejak kecil selalu berteman dengan kesedihan. Dan kali ini ia gagal menjaga Shofi dan malah
"Mas ... Mbak!"Akbar dan Alya menghentikan langkah lalu berbalik menatap Rafa."Jika hanya pernikahan yang dapat menyelamatkan Shofi ... izinkan aku untuk menikahinya," ucap Rafa penuh kesungguhan.Akbar yang terkejut mendengar hal tersebut segera memasang wajah tenang meski dadanya bergemuruh. Ia menangkap sebuah jalan keluar dari pernyataan Rafa. Berkebalikan dengan Akbar, Alya tak menutupi keterkejutannya. Terperangah hingga tanpa sadar mulutnya menganga."Kau mulai melihat Shofi bukan sebagai Adikmu? Sejak kapan?" tanya Akbar. "Kau mencintainya?"Pertanyaan Akbar sedikit membuat Rafa terkesiap, tapi dengan cepat ia menguasai diri. "Masih jauh untuk merasakan hal itu, tapi aku selalu tidak bisa melihatnya menangis dan aku selalu ingin melindunginya.""Aku yakin putra Kyai Sholeh juga sanggup melindungi Shofi. Dia bahkan berulang kali meminta Shofi untuk menjadi istrinya," tutur Akbar. Ia menatap penuh
"Aku ... aku setuju untuk menikah dengan Kak Rafa."Hening. Semua terpaku di tempatnya, masih berusaha mencerna apa yang sudah Shofi sampaikan. Hal itulah yang ditunggu oleh semua, tapi kenapa sulit sekali untuk menunjukkan kelegaan."Alhamdulillah." Hingga ucapan Heni memecah keheningan yang menguar. Wanita itu menunduk sambil mengusap air mata bahagia yang menyeruak dan jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan. Keinginannya untuk menjadikan Shofi menantu sebentar lagi terwujud.Alya dan Akbar saling pandang lalu melempar senyum sebelum kemudian menoleh pada Shofi."Semoga ini menjadi awal kebahagiaan kamu, Dek." Alya berdiri dari duduknya lalu memeluk Shofi yang hanya mampu mengulas senyum lemah.Sedangkan Rafa, laki-laki itu masih tak bisa berkomentar, tapi terus memindai Shofi yang menghindari tatapannya."Tapi sebelum itu ... aku ingin memastikan sesuatu, Kak," ujar Shofi. Ia memberanikan diri menatap Raf
Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarokatuh.Ucapan salam menutup rokaat terakhir sholat Dzuhur yang dilakukan pengantin baru itu terdengar. Untuk pertama kalinya, Rafa menjadi imam untuk sang istri. Setelah mengucapkan doa, Rafa menoleh pada Shofi di belakangnya. Masih dengan suasana yang canggung, ia mengulurkan tangan dan disambut oleh Shofi juga yang tak kalah canggung.Mencium punggung tangan sang suami untuk kedua kalinya. Shofi tersenyum malu usai mencium tangan Rafa."Semoga pernikahan kita membawa banyak kebahagiaan dan keberkahan ya, Dek?" ucap Rafa penuh pengharapan."Amin," ucap Shofi pelan. "Kakak, tidak menyesal 'kan menikahiku?" Pertanyaan dari Shofi membuat Rafa mengernyit."Kenapa bilang seperti itu?"Shofi menggeleng. "Aku hanya takut tidak bisa menjadi istri yang baik buat kamu, Kak.""InsyaAllah kamu bisa, Dek. Kamu wanita Sholihah. Malah Kakak yang harus lebih ber
Suara gesekan daun pohon mangga yang tertiup angin malam menjadi pemecah keheningan di dalam kamar Shofi. Perempuan itu sedang beradu pandang dengan sang suami yang baru tersadar dari tidurnya. Keduanya masih terpaku dengan apa yang mereka dengar barusan. Bibir Shofi bergetar saat ingin melempar pertanyaan. Apa yang ia dengar membuat tanda tanya besar dalam benaknya."Ra?" tanya Shofi. "Ra siapa, Kak?"Meski jantungnya berdebar, Rafa memilih untuk menutupi kegugupannya dengan mengulas senyum. "Maaf, Dek. Kakak beberapa hari ini banyak berinteraksi dengan Client baru yang bernama Mira. Jadi sampai terbawa mimpi," kilah Rafa. Ia sengaja menutupi kebohongannya."Kenapa kamu bangun?" Ia segera menyela saat Shofi terlihat hendak bertanya kembali. "Kamu terbangun apa belum tidur sama sekali?"Meski merasa masih belum puas dengan jawaban sang suami, Shofi tak ingin bertanya lebih detail. Ia memilih mengangguk atas pertanyaan Rafa
Rafa yang sudah rapi terlihat baru menuruni anak tangga saat matahari sudah beranjak semakin naik. Ia terlambat bangun karena rasa kantuk yang tak dapat ditahan usai melaksanakan sholat subuh. Sang istri yang sejak semalam meneteskan air mata membuatnya juga terjaga. Rafa kemudian mempercepat langkah sambil mengulas senyum ketika melihat sang istri yang sudah tampak sibuk di dapur."Kamu lagi apa, Dek?" Pertanyaan sederhana dari Rafa ternyata membuat Shofi terlonjak."Astaghfirullah!" pekik Shofi. "Maaf, Kak. Aku kira siapa?"Rafa mengulas senyum. "Di rumah ini cuma ada Kakak dan kamu," jelasnya. "Oh iya, hari ini Mbak Yayuk sepertinya datang lebih siang. Dia sedang menghadiri acara wali murid anaknya. Kamu ikut ke restoran saja, ya?"Sesaat Shofi berpikir sebelum kemudian menggeleng. "Aku di rumah saja," jawabnya."Kamu nggak apa sendirian sampai Mbak Yayuk datang?""InsyaAllah nggak apa, nanti setelah Ka
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa