Suara gesekan daun pohon mangga yang tertiup angin malam menjadi pemecah keheningan di dalam kamar Shofi. Perempuan itu sedang beradu pandang dengan sang suami yang baru tersadar dari tidurnya. Keduanya masih terpaku dengan apa yang mereka dengar barusan. Bibir Shofi bergetar saat ingin melempar pertanyaan. Apa yang ia dengar membuat tanda tanya besar dalam benaknya.
"Ra?" tanya Shofi. "Ra siapa, Kak?"Meski jantungnya berdebar, Rafa memilih untuk menutupi kegugupannya dengan mengulas senyum. "Maaf, Dek. Kakak beberapa hari ini banyak berinteraksi dengan Client baru yang bernama Mira. Jadi sampai terbawa mimpi," kilah Rafa. Ia sengaja menutupi kebohongannya."Kenapa kamu bangun?" Ia segera menyela saat Shofi terlihat hendak bertanya kembali. "Kamu terbangun apa belum tidur sama sekali?"Meski merasa masih belum puas dengan jawaban sang suami, Shofi tak ingin bertanya lebih detail. Ia memilih mengangguk atas pertanyaan RafaRafa yang sudah rapi terlihat baru menuruni anak tangga saat matahari sudah beranjak semakin naik. Ia terlambat bangun karena rasa kantuk yang tak dapat ditahan usai melaksanakan sholat subuh. Sang istri yang sejak semalam meneteskan air mata membuatnya juga terjaga. Rafa kemudian mempercepat langkah sambil mengulas senyum ketika melihat sang istri yang sudah tampak sibuk di dapur."Kamu lagi apa, Dek?" Pertanyaan sederhana dari Rafa ternyata membuat Shofi terlonjak."Astaghfirullah!" pekik Shofi. "Maaf, Kak. Aku kira siapa?"Rafa mengulas senyum. "Di rumah ini cuma ada Kakak dan kamu," jelasnya. "Oh iya, hari ini Mbak Yayuk sepertinya datang lebih siang. Dia sedang menghadiri acara wali murid anaknya. Kamu ikut ke restoran saja, ya?"Sesaat Shofi berpikir sebelum kemudian menggeleng. "Aku di rumah saja," jawabnya."Kamu nggak apa sendirian sampai Mbak Yayuk datang?""InsyaAllah nggak apa, nanti setelah Ka
Dibantu oleh sopir Nico, akhirnya laki-laki itu berhasil lepas dari serangan Rafa yang sama sekali tak memberi ampun. Nico masih sempat menyunggingkan senyum meski tubuhnya sudah disangga oleh sopirnya."Kau cukup kuat anak muda dalam melawanku," ujar Nico. "Urusan kita belum selesai. Aku akan tetap mencari cara agar Shofi bisa ikut denganku!""Kakak, cukup!" Shofi segera menahan lengan Rafa yang hendak kembali menyerang Nico.Nafas Rafa tampak terengah dengan mata tajam yang menusuk pada Nico. "Sebelum itu akan kupastikan lebih dulu jika kau menyesal telah menyakiti istriku!"Tatapan kedua laki-laki yang penuh kebencian itu akhirnya terputus ketika Nico tidak lagi menanggapi ucapan Rafa dan memilih segera pergi.Rafa menoleh pada Shofi, kedua tangannya menangkup kedua sisi pipi Shofi. Hatinya berdenyut ketika melihat mata Shofi basah, tapi wanita itu malah mengulas senyum."A
Senja menghiasi langit sore dengan semilir angin yang menerbangkan ujung pasmina milik wanita yang sedang duduk di balkon kamar. Wanita itu terlihat sibuk dengan sesuatu di tangannya. Manik mata indah itu fokus pada setiap gerakan tangannya yang sedang memberi hiasan pada selembar kain. Begitu seriusnya sampai tak menyadari kehadiran seseorang dalam kamar.Rafa yang baru pulang dari restoran segera mencari sang istri ketika salamnya tak mendapat jawaban. Rafa yang sempat cemas akhirnya menghembuskan nafas lega ketika menemukan Shofi di balkon. Rafa berjalan mendekat, ia mengurungkan niatnya yang akan mengejutkan Shofi saat melihat apa yang dilakukan sang istri."Assalamualaikum, Dek," ucapnya sepelan mungkin agar tak mengagetkan, tapi ternyata Shofi masih saja berjingkat kaget."Astaghfirullahhaladzim!" pekik Shofi. "Wa'alaikumsalam. Kakak sudah pulang?" tanya Shofi gugup, ia hendak berdiri, tapi ia urungkan saat sang su
Shofi merasa kali ini tubuhnya benar-benar remuk. Matanya terpejam, tapi tubuhnya menggeliat berusaha mencari posisi ternyaman untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan sejak semalam. Shofia mengeratkan selimut sampai ke leher saat merasa pundaknya tertiup angin dan kembali menikmati tidurnya.Tidurnya yang tidak nyenyak itu semakin terasa ketika ia mendapat sentuhan yang terus bergerak lembut dari pipi hingga turun ke lehernya. Kelopak mata yang terpejam itu perlahan bergerak lalu terbuka. Membelalak sempurna ketika menatap wajah tampan sang suami yang berada sejengkal dari wajahnya."Selamat pagi," ucap Rafa dengan senyuman secerah mentari yang mulai bersinar.Shofi segera menarik selimut lalu menutup sebagian wajahnya. Ia benar-benar merasa malu apalagi ketika ingat kejadian semalam. "K--Kakak ngapain?" tanyanya gugup.&
Rafa terus mengetuk pintu kamar mandi di mana Shofi sekarang berada, semakin tak sabar ketika mendengar wanita itu seperti sedang muntah."Dek! Kamu baik-baik saja?" Rafa kembali mengetuk pintu.Tak lama pintu terbuka dan Shofi muncul dengan wajah yang sangat pucat. Wanita itu menutup mulutnya mencoba meredakan rasa mual yang tak kunjung hilang meski telah puas memuntahkan isi dalam perutnya."Kamu kenapa?" Rafa kembali bertanya sambil memindai keseluruhan tubuh Shofi."Aku merasa pusing dan tiba-tiba mual sampai tidak bisa aku tahan, Kak."Rafa mengambil tisu lalu mengusap buliran keringat di kening Shofi. "Kamu sepertinya tidak baik-baik saja. Kita istirahat ke ruanganku dulu.""Tapi, Kak Susan---""Masih banyak waktu buat kamu bertem
Ramainya lalu lalang di bandara seketika terasa begitu tegang bagi Alya ketika menatap wanita bergaya stylist yang menggunakan kaca mata hitam itu. Ia melirik ke arah sang adik ipar lalu ke arah sang suami yang sudah cukup jauh meninggalkan dirinya.Alya menelan ludah, merasa gugup dengan situasi ini. Ia maju selangkah mendekati wanita itu."Tiara," panggilnya.Wanita itu segera menoleh pada Alya lalu membuka kaca mata hitamnya. "Kak Alya?" Tiara masih tampak memastikan. Hingga tak lama ia menyunggingkan senyum ketika Alya mengangguk."Astaga, Kak. Nggak nyangka kita bakal ketemu di sini?" Tiara lekas memeluk Alya sebelum kemudian melepaskannya. Ia begitu senang bertemu Alya kembali setelah sekian lama tidak berjumpa."Kabar kamu bagaimana?" tanya Alya sambil mengurai senyum dan sorot mata keresahan kala meliri
Malam ini, usai melaksanakan sholat isya sendiri di rumah, Shofi tak beranjak dari kamar. Wanita itu tengah sibuk dengan sebuah kue tart berukuran kecil yang sempat ia beli ketika perjalanan pulang dari rumah Alya. Shofi tak ingin melewatkan ulang tahun sang suami meski hanya kejutan sederhana.Usai menancapkan sebuah lilin di tengah kue, Shofi beralih menuju meja rias. Ia membuka hijab lalu melepas ikatan rambutnya. Menyisir dengan rapi rambut panjangnya yang terurai indah. Semua itu dilakukan Shofi atas permintaan Rafa. Suaminya itu selalu menggerutu ketika di dalam kamar ia kadang terlupa untuk melepas hijabnya.Setelah semua selesai, Shofi melihat ponselnya yang menunjukkan tidak ada notif pesan masuk dari Rafa yang menandakan jika laki-laki itu mungkin masih sibuk dengan pekerjaan. Sembari menunggu, Shofi memilih untuk mengemasi beberapa hijab yang masih layak pakai, tapi lebih banyak yang masih baru yang ia punya dari dalam lemari. Ia masukkan m
Setelah selesai dengan mengukur satu persatu badan anak panti, Shofi dan Tika terlihat begitu lega. Apalagi Tika, ia terlihat begitu senang sebab Shofi sangat membantu. Tanpa banyak pertanyaan, Shofi bisa cepat memahami dan melaksanakan apa yang di instruksikan Tika hingga pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai. Tak lama, Shofi pun segera meminta izin untuk menemui Nimas yang telah menunggunya dan Kartika sama sekali tak keberatan akan hal tersebut . Usaiberpamitan dengan ibu panti, Kartika beserta timnya pamit lebih dulu. Sedangkan Shofi lekas menemui Nimas dan Bu nYai Fatimah."Maaf jadi merepotkan Umi dan Nimas," ujar Shofi lalu duduk di sebelah Nimas. Ia lekas menggeser duduknya ketika Bu Nyai memberi isyarat agar dirinya duduk di samping wanita itu."Kamu sehat, Nak?" tanya Bu Nyai Fatimah sambil mengusap kepala Shofi."Alh
Maaf untuk kali ini aku lama sekali Up nya. Seminggu terakhir aku sedang berduka jadi benar-benar nggak bisa nulis. Dan Alhamdulillah, hari ini bisa menyelesaikan bab terakhir dari kisah Rafa dan Shofi ini. Semoga kalian suka😘🤗***Kini Shofi disibukkan menjadi seorang mama muda yang merawat putri semata wayangnya yang kini telah menginjak usia delapan bulan. Nia tumbuh menjadi balita yang cantik, semakin hari wajah Nia bukan mirip kedua orang tuanya tapi lebih mirip pada almarhum neneknya---Monica Larasati. Tingkah balita itu sangat aktif, Nia sudah bisa berdiri sendiri meski belum berani melangkah terlalu jauh, lebih gesit ketika merangkak kesana kemari dan sudah mulai tidak mau digendong. Apalagi jika bermain dengan Rafa, balita itu pasti sering tertawa dan berceloteh sekenanya.Meski Nia sangat aktif, Shofi masih bisa membagi waktu untuk terus mengikuti kelas desain yang semakin ia tekuni. Mesin jahit yang sempat terabaikan beberapa bulan
Langit biru membentang indah tanpa onggokan awan putih sedikitpun di atas sana. Udara dingin sisa semalam telah berubah menghangat terkena terpaan sinar mentari pagi menyambut para tamu yang mulai berdatangan di kediaman Rafa dan Shofi. Sepasang orang tua baru itu tengah menggelar acara Aqiqah untuk sang putri yang hari ini genap berumur 40 hari.Suasana bahagia sungguh terasa sejak memasuki halaman rumah mewah tersebut. Apalagi di ruang tengah di mana Shofi bersama Alya dan Heni terus menyunggingkan senyum menikmati keindahan dan kecantikan dua malaikat kecil yang berada di box bayi yang tengah tertidur pulas.“Ellea sangat sehat, ya, Kak. Pipinya gembul banget,” puji Shofi pada bayi Alya. Ia masih terpaku memandangi Ellea yang baru berumur 1 bulan, tapi pipinya sudah mulai meluber. Benar-benar menggemaskan.“Dedek Nia nanti juga bakalan nyusul gendut kaya Kakak Ellea ya, Nak.” Alya mengusap lemb
Semilir angin yang berembus menerbangkan gaun putih gading yang tengah dikenakan wanita cantik dengan perut buncit yang baru saja turun dari mobil bersama laki-laki yang menggunakan setelan jas berwarna senada. Keduanya hendak menghadiri sebuah acara pernikahan. Suasana mewah dan hangat langsung terasa ketika keduanya memasuki tempat acara ketika langsung disambut oleh suguhan tata ruang yang penuh dengan bunga-bunga beraneka rupa yang di dominasi warna putih. Bibir kedunya mengulas senyum ketika melihat sepasang pengantin yang berada di atas pelaminan melambaikan tangan padanya.“Kak Susan cantik banget, ya, Kak,” puji Shofi pada sang pengantin wanita. Ia melambaikan tangan pada Susan.Rafa hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Shofi. Ia menoleh sekilas pada Susan di atas pelaminan lalu kembali menatap sang istri, tangannya terulur mengusap perut buncit Shofia yang sebentar lagi akan segera melahirkan. “Istriku p
Rintihan dan desahan yang keluar dari mulut wanita yang tengah merasakan sakit di perut dan pinggangnya itu terdengar sungguh pilu dan menyayat hati. Sudah hampir satu jam Alya berada di rumah sakit dengan kondisi tak berdaya. Air matanya terus merembes keluar merasakan desakan hebat di punggungnya seolah tulang-tulangnya patah.Sedangkan Rafa yang sejak tadi berada di samping kakaknya tersebut berulang kali menyeka keningnya yang terus berembun. Pertama kalinya ia menunggui seorang yang akan melahirkan dan itu adalah kakaknya sendiri. Bukan tanpa alasan dirinya berada di ruangan yang mencekam baginya saat ini, karena ia sedang menggantikan tugas Akbar yang masih dalam perjalanan usai melakukan business trip di luar negeri. Melihat kondisi sang kakak, Rafa merasa tubuhnya tercabik dan ikut merasakan perih ketika mendengar rintihan Alya yang kesakitan."Dek, telfon Mas Akbar lagi. Sudah sampai mana? Mbak nggak kuat ini," pinta Alya dengan terbata. Wanita i
"Bagaimana Adik saya dan kandungannya, Dok?" tanya Akbar. Laki-laki itu menghadang langkah Dokter Anggun yang baru saja menutup pintu kamar Shofi.Akbar yang mendapat kabar dari Alya segera menuju rumah Rafa sebab Shofi menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Wanita itu terus menangis sambil menahan sakit di perut dan enggan bertemu banyak orang."Bu Shofi mengalami syok, Pak. Tekanan darahnya langsung turun bersamaan kram di perutnya disertai gerakan janin yang kuat. Untuk itu beliau mengalami sakit yang hebat di perutnya," tutur Dokter Anggun."Lalu bagaimana dengan janinnya, Dok?" tanya Alya yang tak kalah khawatir."Detak jantungnya normal, Bu. Namun, sebaiknya Bu Shofi segera dibawa kerumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Saya harus melakukan USG pada janinnya. Saya juga sudah berpesan pada Pak Rafa untuk lebih menjaga Bu Shofi, jika melihat reaksi Bu Shofi barusan, sepertinya beliau punya satu trauma terhadap sesuatu. Bu Sho
Malam semakin larut, udara semakin dingin menyelimuti bumi mengajak semua manusia untuk beristirahat dalam mimpi yang indah.Tak terkecuali Shofi, wanita itu tampak begitu lelap dalam tidurnya. Usapan di kepala yang diberikan sang suami membuat wanita itu terlihat semakin nyaman dan pulas. Rafa memang masih terjaga sebab dirinya tengah memikirkan kabar yang disampaikan Akbar sesaat lalu."Nico dan David tertangkap di pelabuhan sebelum melarikan diri. Polisi sudah lama mengincarnya dengan kasus pencucian uang dan aku juga telah membuat laporan perihal penyalahgunaan kepemilikan aset milik almarhum Ibunya Shofi," tutur Akbar. Laki-laki itu duduk di sofa berhadapan dengan Rafa di depannya."Katamu kau mengajukan dua kasus, Mas? lalu satu lagi kasus apa?" Rafa tampak menatap dalam pada Akbar. "Jangan bilang kau melaporkan tentang kejadian dulu," tebak Rafa."Itu rahasia yang tidak mungkin aku buka lagi. Kau pikir aku secerobo
Semilir angin pagi yang berembus menggoyangkan helaian daun tanaman palm yang berjejer rapi di halaman rumah Akbar. Beberapa mobil mewah juga turut berjajar rapi harus terparkir di sepanjang jalan perumahan sebab halaman rumah yang besar itu sudah dipenuhi oleh tenda berwarna putih yang mewah dan indah. Beberapa security dan pengawal berbaju serba hitam tampak mengawasi sekitar agar acara majikannya tersebut berjalan lancar tanpa gangguan. Para tamu undangan juga yang mulai datang tampak menggunakan busana muslim senada berwarna serba putih mulai memenuhi kursi tamu yang sudah disediakan.Tujuh bulan bagi Shofi dan selisih satu bulan bagi Alya memasuki usia kehamilannya, untuk itu Akbar dan Rafa sengaja menggelar acara pengajian yang cukup besar. Sebagai wujud rasa syukur akan datangnya dua malaikat kecil dalam keluarganya. Kedua laki-laki itu mengundang seluruh saudara, kerabat, tetangga, beberapa kolega dan banyak anak yatim yang juga sudah berkumpul sejak pagi.
"Jangan lari, Dek!"Entah sudah keberapa kalinya Rafa mengucapkan kalimat peringatan tersebut pada Shofi sejak keduanya menapaki lantai bandara. Tangisan Shofi sesaat lalu akhirnya meluluhkan Rafa. Mau tak mau ia memilih menuruti sang istri untuk mengejar Tiara. Namun, sebelumnya Rafa telah memastikan jika Shofi tidak akan berbuat sesuatu yang dapat mengguncang kembali rumah tangganya atau kembali lari dari dirinya. Tanpa pikir panjang Shofi mengiyakan.Shofi yang merasa panik karena takut melewatkan Tiara sebelum menyampaikan sesuatu terlihat tak sabar. Ia bahkan terus berlari kecil dengan menoleh ke sana kemari mencari keberadaan Tiara di antara banyaknya pengunjung di bandara.Rafa segera mencekal tangan Shofi untuk menghentikan langkah wanita tersebut. "Kalau kamu nggak nurut, Kakak bakalan gendong kamu biar nggak lari lagi." Ancaman Rafa berhasil membuat Shofi berhenti dan menatap takut padanya.
Beberapa hari sejak kedatangan Rafa di vila, akhirnya laki-laki itu berhasil membawa pulang kembali istri kecil yang amat ia cintai tersebut. Rafa membawa Shofi menuju rumah Alya terlebih dahulu, sebab Heni begitu menunggu kedatangan Shofi. Wanita itu sangat bahagia juga sangat khawatir dengan kehamilan menantunya. Begitu juga dengan Shofi yang sangat merasa bersalah pada mertuanya tersebut."Maafkan Shofi, ya, Bu? Maaf telah membuat Ibu sakit karena memikirkan rumah tangga Shofi," ucap Shofi penuh rasa bersalah. Matanya sudah berkaca-kaca, tapi tak sampai menangis.Heni segera membawa sang menantu dalam pelukan. "Enggak, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf. Malah Ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak pergi dari Rafa. Terima kasih, Nak."Heni kemudian menghela tubuh Shofi. Ia pandangi wajah cantik sang menantu yang tampak lebih berisi tersebut. "Mau 'kan janji sa