Inge terus saja berjalan cepat. Dia membiarkan Bu Emma menghadapi Lucas sendirian. Terserah Bu Emma akan memberi cerita apa kepada Lucas. Bagi Inge, yang terpenting amplopnya harus disembunyikan terlebih dahulu, sebab akan menjadi lebih susah jika Lucas menemukan benda itu.Setelah meletakkan amplop tersebut, Inge duduk gelisah di depan meja rias. Dia melihat pantulan dirinya sendiri. Terlihat rambutnya sedikit berantakan, mungkin efek tadi dia memakai kaos terburu-buru dan keluar tanpa menyisir.Secara reflek, Inge mengambil sisir. Dia mulai menyisir dan mengelus rambutnya sendiri. Rasa gelisah yang menyelimuti dirinya, terasa sedikit memudar perlahan. Napas Inge pun kembali menjadi normal, setelah sebelumnya terasa menderu tidak beraturan.Akan tetapi kedamaian itu musnah seketika, saat mendengar ketukan di pintu. Sisirnya hampir saja jatuh dari tangan. Kini terdengar pintu dibuka, dan dia mulai sedikit gemetar, ketika sosok Lucas hadir seutuhnya di depan mata.“Inge,” panggil Luca
Meskipun hati dag dig dug tidak karuan, tetapi Inge membawa mobilnya dengan mulus. Pembawaan mobil mahal memang beda sekali. Jauh berbeda dengan mobil yang biasa dia kendarai satu tahun belakangan ini. Sebuah mobil jenis MVP yang banyak bersliweran di jalan-jalan, yang seharusnya menjadi harta gono gini baginya, tetapi sekarang dikuasai oleh Armand seorang diri.“Sepertinya mobil ini memang diciptakan untuk kamu, Inge,” puji Lucas.Inge hanya melirik sedikit, dan mengurai senyum kecil yang segera memudar. Ada rasa tidak karuan yang menohok jantungnya. Kebaikan Lucas yang ditandingkan dengan kenyataan bahwa dia sudah memutuskan akan meninggalkan kota ini besok siang, membuatnya bingung, sedih sekaligus merasa bersalah.Sampai di sekolah, mereka mendapatkan Naomi sedang menangis. Tampak Jesica berjongkok, sedang menenangkannya. Ketika Naomi melihat Inge, dia segera berlari dan menubruk kaki Inge. Lalu dia mengadu jika dia baru saja jatuh karena didorong oleh seorang teman laki-lakinya.
“Tidak, Pak Lucas. Saya tidak bisa menerimanya,” tolak Inge. Dia mengulurkan tas itu kepada Lucas.“Pakailah waktu mendampingi aku di pernikahan asistenku.”Inge tetap menggeleng. Tangannya pun masih terulur meski Lucas sedari tadi tidak bersedia menerimanya. Dengan rasa putus asa, Inge meletakkan tas tersebut di dekat kaki Lucas.Lucas menghela napas, tampak berpikir sejenak. Mendadak dia mempunyai ide yang dia yakin, dapat membuat Inge pada akhirnya mengikuti kemauannya. Menerima perhiasan itu.“Inge, aku tidak mungkin meminjamkan perhiasan Karina ke kamu kan?” kata Lucas seraya tersenyum. Namun senyumannya memudar cepat saat Inge tetap menolak. Idenya gagal.Inge justru mulai meneteskan air mata.“Ada apa, Inge?” Lucas pias. Lelaki itu buru-buru mendekat, lalu memegang kedua bahu Inge.Inge menatap Lucas dengan air mata yang tumpah ruah. Dia sudah akan pergi besok, kenapa hari ini Lucas memberi dia mobil, perhiasan, dan yang paling membuatnya bergetar adalah panggilan baru dari Na
Inge masih meneteskan air mata sepeninggal Lucas. Kepalanya menjadi ribut sendiri. Bagaimana dia akan pergi dengan tenang, jika sikap Lucas begitu baik. Bahkan lelaki itu berniat untuk membawanya pergi ke pernikahan asistennya. Bukankah itu berarti Lucas mempunyai rencana untuk memperkenalkan Inge kepada lingkungan kerjanya?Inge menutup wajahnya. Sejak semula Inge sudah merasa sedikit keanehan pada diri Lucas. Dia berpikir, pernikahan yang mereka lakukan secara mendadak dan diam-diam, akan menjadi rahasia antara mereka saja. Nyatanya Lucas dengan gamblang menunjukkan pada dunia bahwa dia adalah istri keduanya.Inge mendengar telepon genggamnya berbunyi. Apakah dari Bu Emma lagi? Dia menatap tas di sampingnya, yang di dalamnya ada gawai yang berdering itu. Sedikit malas, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengambil telepon tersebut. Ternyata Pak Andrew.Perempuan itu menghela napas, menyusut hidungnya dengan tisu. Pada dering kedua, Inge baru meresponnya.“Inge, saya senang menden
Lucas berdiri di ambang pintu. Mungkin tadi Lucas sudah mengetuk pintu tetapi Inge yang tidak mendengar. Sebab seluruh fokusnya sedang ada di monitor laptop, pada rapat yang sedang berlangsung.Inge masih terpaku memandang Lucas. Wajah tampan yang dingin sudah terpampang di sana. Wajah yang dahulu sering kali Inge lihat , sebelum dia menjadi istrinya.“Bu Inge, halo, Bu!” Suara Bu Indira yang terdengar dari laptopnya membuat Inge tersadar.Inge pun buru-buru menghadap kepada laptop kembali. Dia berusaha tersenyum seperti biasa.“Mohon maaf, Pak Andrew dan teman-teman semua,” kata Inge, dia berhenti sebentar untuk menelan ludah. Mata Inge melirik gelisah saat melihat gambar Lucas bergerak mendekat.“Beliau adalah s-suami saya,” lanjutnya.Inge melihat raut wajah para rekan kerja barunya menyeringai, ada yang sampai menahan tawa. Mungkin lucu bagi mereka. Namun jelas bukan bagi Pak Andrew. Wajah lelaki dewasa yang cukup tampan itu terlihat kaget, ekspresi matanya yang membola sedetik se
Inge segera meletakkan telepon genggamnya. Namun saat telepon itu terus berdering, dia mengambilnya kembali, lalu dengan cepat mengubah status notifikasinya menjadi senyap. Berjaga-jaga jika Pak Andrew tetap gigih untuk terus mencoba meneleponnya.“Pak Lucas!” Inge berseru. Dia melempar gawainya ke sofa. Segera dia mengejar langkah Lucas yang lebar dan cepat. Tampaknya menuju ke kamarnya sendiri.“Pak Lucas, tunggu! Saya mohon!”Lucas berhenti. Bukan karena seruan Inge, tetapi karena dia sudah sampai di depan kamarnya. Lelaki itu menoleh, membiarkan Inge mendekati dirinya.“Tolong beri saya waktu untuk menjelaskan semua ini, Pak Lucas,” Inge memohon. Napasnya menderu, antara kelelahan mengejar Lucas dan menahan gemuruh di dada.“Saya tidak perlu penjelasan kamu, Inge. Saya hanya menunggu jawaban kamu dari pertanyaan saya,” kata Lucas pelan. “Apakah harus kuulang sampai ketiga kalinya?”Inge menunduk. “Y-ya t-tentu saja, Pak. Anda adalah suami saya, suami yang sah.”Lucas tertawa sumba
“Sekolah saya terbuka kapan pun untuk kamu, Inge, tapi tidak kali ini. Perjanjian kerja terpaksa saya batalkan sepihak,” tegas Pak Andrew.“Baik, saya mengerti, Pak Andrew,” jawab Inge lemah. Pak Andrew terdengar menghela napas panjang. “Inge, percayalah padaku, yang terbaik untukmu sekarang adalah di sisi Lucas.”Hati Inge mencelos mendengar semua itu. Setelah meminta maaf dan berbasa basi sejenak, Inge menutup teleponnya.Tidak terasa wajahnya telah basah. Inge memegang dadanya, seakan dia ingin menahan air mata dari bagian situ. Kemudian dia menjumput tisu dan mulai mengelap.“Mama Inge nangis?” Naomi tiba-tiba sudah di dekatnya.Inge tersenyum. “Iya, Sayang. Mama Inge minta peluk sama Mimi, boleh?”Naomi spontan merentangkan tangan, dia maju lebih dekat, lalu mereka berpelukan.“Nangis karena Papa marah?” tanya Naomi dengan polosnya.“Enggak, Sayang. Papa kan udah enggak marah, Papa Lucas kan baik.”Naomi menggeleng. “Galak. Papa Lucas galak!”“Loh, siapa yang beliin es krim? Si
“Pak Lucas, bolehkah kita pindah ruangan dulu?” Inge terbatuk kecil. Murni karena bau rokok yang menggelitik hidungnya.Lucas menatap tajam kepada Inge. Tidak bersuara, tidak bergerak. Hanya menatap tanpa berkedip. Dahinya sedikit berkerut, seperti sedang dipakai untuk berpikir.Hal itu membuat Inge menunduk, dia berpikir kalau Lucas marah lagi. Mungkin dia tersinggung dengan kalimat Inge.“Kamu betul, Ing. Kita memang perlu udara segar.” Akhirnya Lucas bersuara. Dia berdiri. Lalu Lucas menarik kemejanya hingga keluar dari celana panjang, setelah itu dia mulai membuka kancing bajunya satu per satu.“Maksud Pak Lucas—”“Kita pergi keluar, tapi berdua saja,” kata Lucas lagi. Kemudian dia masuk ke kamar mandi. “Bersiaplah, Ing.”Inge segera bangkit, lalu keluar dari kamar Lucas.Sepanjang kaki Inge melangkah menuju kamarnya, dia terus berpikir. Apa yang harus dia katakan kepada Lucas nanti? Lucas tadi sudah sempat melihat nama Pak Andrew plus foto lelaki itu di layar telepon genggamnya.
“Temuilah Lucas, coba kalian bicara dulu dengan lebih tenang. Apa pun keputusanmu, Mama akan mendukungmu.”Inge bergerak memeluk sang mama. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi satu detik kemudian perempuan itu terisak. Ketika Mama Niken terlihat cemas, Inge justru mengeluarkan tawa kecil. Tentu saja Mama Niken mengernyit heran.“Kamu kenapa? Jangan bikin Mama bingung, Ing.” Nada suara perempuan yang melahirkan Inge itu menjadi naik.Inge justru tertawa lebih kencang.“Inge!” Mama Niken menjerit tertahan. Untung saja semua pegawainya sedang sibuk di depan, menata katering di dalam mobil, untuk segera diantar pada para pelanggan.“Aku tiba-tiba ingat , Ma. Dulu waktu Mama nganter aku sekolah naik sepeda, Mama pernah bilang kan kalau besok suamiku adalah orang yang sangat kaya, jadi aku bisa diantar kemana-mana naik mobil. Terus suamiku punya restoran di mana-mana… . Ingat kan?” Mama Niken memandang Inge dengan lurus. Senyumnya merekah. “Mama rasa kamu enggak perlu cocoklogi begitu. D
Inge yang masih memandangi pesan gantung di telepon Lucas, menjadi sangat terkejut ketika tiba-tiba mendengar Lucas berdehem tepat di belakang punggungnya.“Pak Lucas.” Inge salah tingkah. Dia merasa seperti tertangkap basah sedang melakukan hal yang kurang sopan. Dengan sedikit gemetar dia menyodorkan telepon itu kepada si empunya.Lucas menerima, kemudian memeriksa telepon tersebut. Dua detik kemudian dia merekahkan senyum. “Apa kamu baca pesan dari Mama ini?”“Maaf, benar-benar tidak sengaja, Pak.” Inge menunduk lebih dalam.Lucas tertawa kecil. “Baguslah. Jadi aku enggak perlu repot memberitahu kamu kalau Mama menunggumu di rumah. Ayo kembalilah ke rumah kita.”“Maksudnya… .” Inge sengaja menggantung ucapannya. Dia beranikan diri untuk menatap wajah Lucas.“Ini sedikit memalukan, Ing. Ternyata selama ini Mamaku menyewa orang untuk menyelidiki kamu.” Lucas bergerak mendekat. Dia mengambil kedua tangan Inge, lalu tersenyum melihat wajah sang istri yang tampak lucu dengan mata membel
Naomi memandang wajah Inge sejenak, sebelum akhirnya mengangguk samar. Dia pun menurut saat dibawa masuk ke dalam kamar.“Mimi,” panggil Karina dari layar telepon Lucas. Tampak wajah cantiknya masih sedikit pucat. Latar belakang ranjang rumah sakit juga ikut terekam dalam panggilan video. Tampaknya Karina sedang sendirian di ruang tersebut.Inge mengajarkan Naomi untuk melambaikan tangan sekaligus mengucapkan salam pada ibu kandungnya itu. Lagi-lagi Naomi menurut, meski dengan sedikit canggung.“Mimi senang ya main sama Mama Inge?” ujar Karina.“Iya.” Naomi yang dipangku Lucas menyahut dengan menundukkan kepala .“Mimi sayang sama Mama Inge?” tanya Karina lagi.Naomi spontan memandang Inge, sehingga Inge sekuat tenaga melempar senyum. Segumpal perasaan bersalah menyergap hatinya. Dia begitu tertohok dengan pertanyaan Karina.Lucas cepat menguasai keadaan. Dia pun bersuara dengan meminta Naomi untuk menjawab ujaran sang ibu. Sementara tangan Lucas perlahan mengulur untuk menyentuh ping
Inge menunduk. Perasaannya berkecamuk.“Pak Lucas, boleh saya bicara dengan Bu Karina?” Alih-alih menjawab, Inge justru melempar pertanyaan. Lehernya bergerak sehingga kepala Inge kini tegak dan memandang Lucas yang duduk di sampingnya.“Saya ingin menjelaskan hubungan kita,” ucap Inge.Respon pertama kali Lucas adalah menghela napas. Kemudian dia mereguk susunya kembali, sebelum akhirnya menyahut, “Tentu saja boleh. Tapi tolong jangan terus merasa aku dan Karina bercerai karena kamu.”Inge mengulas senyum. “Tapi pikiran dan pandangan orang pasti akan seperti itu. Bayangkan saja, Bu Karina baru bangun setelah koma empat tahun, tiba-tiba diceraikan, lalu Pak Lucas melanjutkan hidup bersama saya sebagai suami istri. Apa kata orang nanti?”Lucas meraih tangan Inge. Dia remas sedikit sembari memberi tepukan kecil.“Apakah anggapan orang sangat berarti buat kamu?” tanya Lucas. Nadanya tegas. “Kita sudah melewati sejauh ini bukan?”Inge kembali menunduk. Tanpa sadar dia membalas remasan Luc
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a
Karina buru-buru menyeka air matanya. Dia memandang sejenak kepada Papa Benny. Saat ayahnya mengangguk, perempuan cantik itu ikut pun melakukan hal yang sama. Kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Lucas, sembari menahan debaran di dadanya.Entah mengapa Karina melihat serpihan diri Edward dalam wajah Lucas. Dan di sinilah dia menjadi lebih paham apa yang Papa Benny maksudkan tadi. Karina mungkin tidak dapat melepaskan dirinya dari bayang-bayang Edward. Itu akan seperti mengantongi bom yang dapat meledak sewaktu-waktu, yang mungkin saja ledakannya lebih hebat dari pada empat tahun yang lalu.“Aku juga punya kabar yang harus kamu dengar, Luc,” kata Karina lirih.Mendengar hal tersebut, Papa Benny memberi kode kepada Mama Emma untuk keluar. Ketika sang istri terlihat masih terpaku, Papa Benny berjalan memutari ranjang Karina untuk mendapatkan tangan perempuan itu. Dalam diam, dia membawa Mama Emma keluar ruangan.Lucas tersenyum samar serta mengangguk pada kedua mertuanya, s
“Di sini juga ada Lucas, yang bisa ikut mendengar,” tambah Pak Benny.Inge tercekat. Dia menggigit halus bibir bawahnya sendiri. Berusaha untuk tidak memperdengarkan sesuatu yang bisa menampakkan kegugupannya, meskipun jantung dalam dadanya berdebar begitu kencang.“Dengar baik-baik, Inge. Saya ingin membatalkan perjanjian di antara kita,” kata Pak Benny. Suaranya serak tetapi diucapkan dengan mulus tanpa getaran. “Pernikahan antara kamu dan Lucas itu sah, hanya kamu dan Lucas yang berhak menentukan kelanjutannya.”Telinga Inge dapat mendengar suara Lucas terpekik kecil menyerukan kata ‘papa’ di belakang suara Pak Benny. Sebenarnya dia pun sama terkejutnya dengan Lucas, tetapi dia dapat mengendalikan diri. Inge telah belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan Pak Benny atau Bu Emma selalu saja muncul hal-hal tidak terduga.“Apa kamu dengar, Ing?” tanya Pak Benny.“I-iya, Pak.”Inge pun terbata-bata kembali mengiyakan ketika Pak Benny menanyakan apakah dia paham dengan yang dimaksu
Keluar dari ruang perawatan Karina, Lucas langsung menuju ke arah barat rumah sakit. Di situ ada taman dengan kolam ikan yang suasananya lumayan sejuk, sebab beberapa pohon rindang berjajar melingkupi area tersebut. Beruntung taman tampak tidak seramai biasanya.Lucas duduk di salah satu kursi di situ, dia menghela napas. Kesejukan dan kedamaian suasana taman, sama sekali tidak dapat meredakan panas di hatinya. Rasa sakit pada pagi hari itu, empat tahun lalu, bahkan masih terasa sampai sekarang. Siapa yang tidak sakit jika ternyata istri yang dicintai menyimpan rasa untuk lelaki lain. Apalagi jika lelaki tersebut adalah orang yang selama ini tidak dia sukai.Ya, Lucas menganggap Edward pengkhianat. Edward Kavell adalah sepupu dari papa kandungnya, yang artinya masih paman Lucas. Dia menikahi Mama Helen tepat tiga bulan setelah kematian papanya. Ada desas desus yang beredar di kalangan keluarga besarnya sendiri, bahwa Mama Helen telah hamil dengan Edward. Namun seiring berjalannya wakt