Mama Helen tertawa.“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa melarang Mama bertemu dengan seseorang,” katanya.“Ada!” Lucas bicara pelan, tetapi penuh dengan penekanan dan penegasan. Dia menepuk dada kirinya dua kali menggunakan tangan kanan.“Aku sudah kasih tau Mama semalam. Inge adalah istriku yang sah, Ma.”Lucas melewati Mama Helen, untuk kemudian dia pergi ke ruang kerjanya. Dia tidak terlalu mengkuatirkan perilaku mamanya. Sepanjang yang sudah dia alami sampai saat ini, mulut mamanya memang tajam, tetapi Mama Helen tidak akan bertindak aneh-aneh. Lucas tahu, mamanya masih selalu memandangnya sebagai anak kecil yang perlu diarah-arahkan, akibat rasa sayang Mama Helen yang berlebihan. Bahkan mungkin sudah masuk katergori kebablasan. Lucas segera menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Ini hari senin, dia perlu melihat agenda besar, untuk kemudian mendetailkan menjadi rencana pelaksanaan untuk satu minggu ini. Lelaki itu tidak lupa mengirim pesan melalui e-mail yang berisi
Tiga minggu telah berlalu, dan Naomi masih sesekali mengingat peristiwa yang menyenangkan bersama Opa Ed-nya. Pada waktu-waktu tertentu si kecil masih mengulang-ulang cerita tentang pelampung flamingo, kalung berliontin kelinci, serta bermain trampolin di mall yang seru dengan Edward.Respon Lucas masih terlihat sama. Lelaki itu tampak sangat enggan menanggapi. Dia hanya mengeluarkan senyum tipis. Terkadang jika Naomi terus mengoceh, Lucas mengalihkan pembicaraan dengan halus.Tentu saja Inge tetap bersikap pura-pura tidak peka akan kelakuan Lucas tersebut. Meski hatinya menerbitkan tanda tanya, tetapi tidak sedikit pun Inge membuka pertanyaan untuk itu. Lagi pula Inge hanya bertemu dengan Pak Edward sekali, dan itu pun berlangsung beberapa menit.Jika mengingat hal tersebut, Inge menjadi bersyukur. Dia harus berada di rumah sakit bertepatan dengan kedatangan Bu Helen dan Pak Edward. Tidak bisa dia bayangkan jika dia kemarin ada di rumah saat kedua orang tua Lucas itu juga berada di
Inge terus saja berjalan cepat. Dia membiarkan Bu Emma menghadapi Lucas sendirian. Terserah Bu Emma akan memberi cerita apa kepada Lucas. Bagi Inge, yang terpenting amplopnya harus disembunyikan terlebih dahulu, sebab akan menjadi lebih susah jika Lucas menemukan benda itu.Setelah meletakkan amplop tersebut, Inge duduk gelisah di depan meja rias. Dia melihat pantulan dirinya sendiri. Terlihat rambutnya sedikit berantakan, mungkin efek tadi dia memakai kaos terburu-buru dan keluar tanpa menyisir.Secara reflek, Inge mengambil sisir. Dia mulai menyisir dan mengelus rambutnya sendiri. Rasa gelisah yang menyelimuti dirinya, terasa sedikit memudar perlahan. Napas Inge pun kembali menjadi normal, setelah sebelumnya terasa menderu tidak beraturan.Akan tetapi kedamaian itu musnah seketika, saat mendengar ketukan di pintu. Sisirnya hampir saja jatuh dari tangan. Kini terdengar pintu dibuka, dan dia mulai sedikit gemetar, ketika sosok Lucas hadir seutuhnya di depan mata.“Inge,” panggil Luca
Meskipun hati dag dig dug tidak karuan, tetapi Inge membawa mobilnya dengan mulus. Pembawaan mobil mahal memang beda sekali. Jauh berbeda dengan mobil yang biasa dia kendarai satu tahun belakangan ini. Sebuah mobil jenis MVP yang banyak bersliweran di jalan-jalan, yang seharusnya menjadi harta gono gini baginya, tetapi sekarang dikuasai oleh Armand seorang diri.“Sepertinya mobil ini memang diciptakan untuk kamu, Inge,” puji Lucas.Inge hanya melirik sedikit, dan mengurai senyum kecil yang segera memudar. Ada rasa tidak karuan yang menohok jantungnya. Kebaikan Lucas yang ditandingkan dengan kenyataan bahwa dia sudah memutuskan akan meninggalkan kota ini besok siang, membuatnya bingung, sedih sekaligus merasa bersalah.Sampai di sekolah, mereka mendapatkan Naomi sedang menangis. Tampak Jesica berjongkok, sedang menenangkannya. Ketika Naomi melihat Inge, dia segera berlari dan menubruk kaki Inge. Lalu dia mengadu jika dia baru saja jatuh karena didorong oleh seorang teman laki-lakinya.
“Tidak, Pak Lucas. Saya tidak bisa menerimanya,” tolak Inge. Dia mengulurkan tas itu kepada Lucas.“Pakailah waktu mendampingi aku di pernikahan asistenku.”Inge tetap menggeleng. Tangannya pun masih terulur meski Lucas sedari tadi tidak bersedia menerimanya. Dengan rasa putus asa, Inge meletakkan tas tersebut di dekat kaki Lucas.Lucas menghela napas, tampak berpikir sejenak. Mendadak dia mempunyai ide yang dia yakin, dapat membuat Inge pada akhirnya mengikuti kemauannya. Menerima perhiasan itu.“Inge, aku tidak mungkin meminjamkan perhiasan Karina ke kamu kan?” kata Lucas seraya tersenyum. Namun senyumannya memudar cepat saat Inge tetap menolak. Idenya gagal.Inge justru mulai meneteskan air mata.“Ada apa, Inge?” Lucas pias. Lelaki itu buru-buru mendekat, lalu memegang kedua bahu Inge.Inge menatap Lucas dengan air mata yang tumpah ruah. Dia sudah akan pergi besok, kenapa hari ini Lucas memberi dia mobil, perhiasan, dan yang paling membuatnya bergetar adalah panggilan baru dari Na
Inge masih meneteskan air mata sepeninggal Lucas. Kepalanya menjadi ribut sendiri. Bagaimana dia akan pergi dengan tenang, jika sikap Lucas begitu baik. Bahkan lelaki itu berniat untuk membawanya pergi ke pernikahan asistennya. Bukankah itu berarti Lucas mempunyai rencana untuk memperkenalkan Inge kepada lingkungan kerjanya?Inge menutup wajahnya. Sejak semula Inge sudah merasa sedikit keanehan pada diri Lucas. Dia berpikir, pernikahan yang mereka lakukan secara mendadak dan diam-diam, akan menjadi rahasia antara mereka saja. Nyatanya Lucas dengan gamblang menunjukkan pada dunia bahwa dia adalah istri keduanya.Inge mendengar telepon genggamnya berbunyi. Apakah dari Bu Emma lagi? Dia menatap tas di sampingnya, yang di dalamnya ada gawai yang berdering itu. Sedikit malas, tetapi dia tetap memaksakan diri untuk mengambil telepon tersebut. Ternyata Pak Andrew.Perempuan itu menghela napas, menyusut hidungnya dengan tisu. Pada dering kedua, Inge baru meresponnya.“Inge, saya senang menden
Lucas berdiri di ambang pintu. Mungkin tadi Lucas sudah mengetuk pintu tetapi Inge yang tidak mendengar. Sebab seluruh fokusnya sedang ada di monitor laptop, pada rapat yang sedang berlangsung.Inge masih terpaku memandang Lucas. Wajah tampan yang dingin sudah terpampang di sana. Wajah yang dahulu sering kali Inge lihat , sebelum dia menjadi istrinya.“Bu Inge, halo, Bu!” Suara Bu Indira yang terdengar dari laptopnya membuat Inge tersadar.Inge pun buru-buru menghadap kepada laptop kembali. Dia berusaha tersenyum seperti biasa.“Mohon maaf, Pak Andrew dan teman-teman semua,” kata Inge, dia berhenti sebentar untuk menelan ludah. Mata Inge melirik gelisah saat melihat gambar Lucas bergerak mendekat.“Beliau adalah s-suami saya,” lanjutnya.Inge melihat raut wajah para rekan kerja barunya menyeringai, ada yang sampai menahan tawa. Mungkin lucu bagi mereka. Namun jelas bukan bagi Pak Andrew. Wajah lelaki dewasa yang cukup tampan itu terlihat kaget, ekspresi matanya yang membola sedetik se
Inge segera meletakkan telepon genggamnya. Namun saat telepon itu terus berdering, dia mengambilnya kembali, lalu dengan cepat mengubah status notifikasinya menjadi senyap. Berjaga-jaga jika Pak Andrew tetap gigih untuk terus mencoba meneleponnya.“Pak Lucas!” Inge berseru. Dia melempar gawainya ke sofa. Segera dia mengejar langkah Lucas yang lebar dan cepat. Tampaknya menuju ke kamarnya sendiri.“Pak Lucas, tunggu! Saya mohon!”Lucas berhenti. Bukan karena seruan Inge, tetapi karena dia sudah sampai di depan kamarnya. Lelaki itu menoleh, membiarkan Inge mendekati dirinya.“Tolong beri saya waktu untuk menjelaskan semua ini, Pak Lucas,” Inge memohon. Napasnya menderu, antara kelelahan mengejar Lucas dan menahan gemuruh di dada.“Saya tidak perlu penjelasan kamu, Inge. Saya hanya menunggu jawaban kamu dari pertanyaan saya,” kata Lucas pelan. “Apakah harus kuulang sampai ketiga kalinya?”Inge menunduk. “Y-ya t-tentu saja, Pak. Anda adalah suami saya, suami yang sah.”Lucas tertawa sumba
“Gimana keadaanmu, Ma?” tanya Lucas begitu panggilan tersambung. “Maksudku, kamu baik-baik saja kan setelah perjalanan jauh?”Inge tidak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam terlebih dahulu. Entahlah, dia merasa tidak karuan saat Lucas ternyata masih juga memanggilnya dengan panggilan ‘Mama’.“Saya baik, Pak Lucas. Baby boy juga baik.”“Syukurlah… ,” sahut Lucas cepat. Namun setelah itu dia seperti kehilangan kata-kata lagi, sehingga mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Inge berinisiatif memutus panggilan terlebih dahulu dengan alasan sang mama memanggilnya.Inge begitu terkejut saat ternyata mamanya benar-benar sedang berdiri di belakangnya saat dia menutup telepon.“Maaf, Ing, enggak ada maksud Mama menguping. Mama hanya mau ambil baju,” ujar Mama Niken. “Tapi… sepertinya kamu berutang penjelasan sama Mama ya. Apa ada sesuatu dengan pernikahanmu?”Inge mengangguk. “Ya, Ma. Ini cerita panjang. Sebaiknya Mama mandi dulu, aku beresin kamarku ya.”Mama Niken ganti meng
“Jangan membuat posisiku bertambah salah,” ucap Lucas. Dia memandang Inge. Namun tiga detk kemudian, dia memalingkan wajahnya.Lucas menghela napas. “Maafkan aku… . Aku tidak akan menyembunyikan status kita pada Karina, aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat.”“Saya hanya ingin ketemu Mama saya, tidak ada hubungannya dengan Bu Karina.” Inge menekan suaranya sedemikian rupa. “Saya ingin mengambil momen ini, sebab antara saya dan mama saya memang sudah kurang baik sejak saya bercerai dulu. Mumpung hati Mama saya lagi baik, jadi tidak ada salahnya. Iya kan?”Mereka berdua saling memandang beberapa saat. Sampai akhirnya Lucas berkata, “Oke. Pergilah, tapi diantar Pak Ali. Aku akan menjemputku.”Inge menunduk, lalu mengiyakan dengan suara pelan.“Saya akan pergi malam ini,” pamit Inge. Ditahan isaknya dengan sekuat tenaga.Lucas menghela napas lagi. Dia bisa saja mendebat lagi, tetapi lelaki itu berpikir mungkin Inge sedang benar-benar membutuhkan kebersamaan dengan ibunya.Dan bagian
Diantar oleh Pak Ali, Inge kembali ke rumah sakit dengan banyak pertanyaan di benaknya. Bagaimana mungkin Karina bisa mencari dirinya? Bukankah mereka tidak pernah saling mengenal?Tiba-tiba jantung Inge berdebar keras. Jangan-jangan, Lucas atau Pak Benny telah memberitahu tentang statusnya ini. Astaga! Inge memegangi dada kirinya yang semakin berdenyut. Dia pun mulai memikirkan kalimat-kalimat yang harus dia ucapkan pada Karina. Tentu saja serangkaian kalimat yang dia rasa tidak akan membuat situasi bertambah keruh.Sampai di rumah sakit, Inge berjalan di koridor dengan langkah terasa mengambang. Otaknya kosong sekarang setelah sepanjang perjalanan ke mari ribut sendiri. Mendadak dia sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang apa yang akan Karina tanyakan padanya.Dari kejauhan, Inge melihat Bu Emma yang tampak mondar mandir gelisah. Begitu ibu kandung Karina itu melihat kedatangan Inge, dia terlihat berlari menyongsong. Seolah-olah sudah tidak sabar untuk bi
“Ing, Karina sadar!” Lucas setengah berteriak. Setelah itu dia berlari ke arah mereka datang tadi.Inge melihat betapa Lucas menghilang sangat cepat, bahkan lelaki itu sempat menabrak pot bunga yang menjadi pembatas antara trotoar dan lahan parkir. Beruntung tidak sampai terjadi apa-apa.Sejenak Inge tercenung. Dia menjadi bingung, apakah dia harus balik ke ruangan Karina atau kembali ke rumah? Dia menoleh ke belakang. Naomi tampak amat lelap. Rasanya Inge pun tidak mungkin menggendong Naomi sejauh itu. Kandungannya sudah besar, dan dia merasa tenaganya tidak sekuat dulu. Dia juga gampang sekali lelah. Untuk membangunkannya, tampak lebih tidak mungkin.Inge menghela napas, mencoba menunggu sejenak. Barangkali Lucas akan kembali, atau setidaknya menelepon untuk memberitahu apa yang harus dia lakukan. Namun detik-detik berlalu, tidak ada tanda-tanda kabar dari Lucas. Inge akhirnya memilih keluar dari mobil, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk duduk di belakang kemudi.M
“Pap, Adik ternyata baby boy, bukan baby girl,” ucap Naomi sedikit kecewa, setelah tawa mereka berdua habis.Lucas membeliak. Dadanya mengembang, demikian pula dengan senyumnya. Perasaan bahagia mendengar kabar itu seperti arus listrik yang cepat menjalar, dari ujung kakinya lalu naik melesat.“Oh iya?” jawabnya dengan nada gembira.“Mimi baru tengok Adik di komputer, fotonya dibawa Mama Inge tuh, Papa mau liat?” tutur Naomi sembari menunjuk Inge yang mematung, sekitar sepuluh langkah dari mereka.Senyum Lucas menghilang seketika. Apalagi saat dia menoleh pada Inge, dan melihat tangan perempuan itu yang berada ke wajahnya sendiri, terlihat seperti sedang menghapus air mata. Lucas menjadi amat bersalah telah lupa dengan janjinya hari ini. Seharusnya dia ada di samping Inge tadi.Lucas menurunkan Naomi perlahan. Gadis cilik itu kembali berlari kepada Inge, lalu terlihat meminta amplop besar yang dipegang oleh Inge.“Ini gambar Adik, Pap!” Naomi berteriak seraya berbalik badan dan kembal
Dengan tangan bergetar, Inge merespon panggilan tersebut.“Inge… .”Suaranya terdengar amat lembut. Membuat Inge memejam, dan spontan menggulirkan air mata. Setelah sekian lama sengaja menutup diri dari Inge, akhirnya… .“Mama,” desis Inge. Dia mendengar ibu kandungnya mengisak di seberang. Sementara dia sendiri pun memperdengarkan sedu sedan. Beberapa jenak mereka berdua bertangisan, tangis yang sama-sama tertahan.“Maafkan Mama, Ing. Armand baru saja cerita semuanya, dia sampai bersujud di kaki Mama untuk minta maaf,” ucap Mama, suaranya bergetaran.“Maksud Mama, Mas Armand ke rumah?” tanya Inge tidak percaya.“Iya, baru aja dia pergi, mungkin sekitar lima menit yang lalu,” lirih sekali Mama menjawab. “Dia bilang akan balik ke kota asalnya.”Inge menghela napas. Begitu niatnya Armand bertemu mamanya, padahal kota asal Armand ada di barat, sedang mama tinggal di arah yang berlawanan. Sudah terbayang bagaimana capeknya, apalagi jika Armand menyetir sendiri.“Ing, maafkan Mama ya.” Ibu
Setelah mengambil bungkusan dari Armand, Inge naik. Di ujung tangga dia bertemu dengan Bi Yati yang tengah mencarinya.“Miss, saya kira ke mana. Saya sampai cari ke kamar Nyonya Karina. Lupa kalau Nyonya udah nggak di situ lagi, karena biasanya Miss Inge jam segini ada di kamar Nyonya,” ucap Bi Yati panjang lebar.Inge tersenyum menanggapinya. Entah mengapa sudut hatinya kembali tercubit mendengar nama Karina.“Saya ambil ini dulu, Bi. Tadi lupa dibawa turun sekalian dari mobil,” sahut Inge.“Harusnya Miss tadi tinggal telpon ke pos, biar diambilkan sama Pak Ali.”Inge hanya tersenyum saja.“Oh iya, buah potongnya sudah saya taruh di atas meja, Miss. Saya bawakan kroket juga, semoga Miss Inge berkenan,” ujar Bi Yati. Dia tahu jika istri kedua majikannya ini belum sarapan, sebab tadi terburu-buru mengantar Naomi.Inge mengucapkan terima kasih, tetapi menolak saat Bi Yati berniat untuk memberikan bantuan dengan membawakan bungkusan besar yang ada di tangannya. Dia pun kembali berjalan m
“Ya, Sayang. Ayo sebelum bobo kita sama-sama berdoa biar Mama Karina cepat bangun dan bisa main sama Mimi, bisa—”“Mimi enggak mau!” tukas Naomi. “Mimi mau sama Mama Inge aja, sama Adik. Kenapa Adik lama banget enggak keluar-keluar, Ma?”Inge tersenyum. “Sebentar lagi, Kakak. Udah enggak sabar main sama Adik ya?”Naomi mengangguk. Selanjutnya dia memeluk pinggang Inge, menciumi perut Inge beberapa kali sambil tertawa-tawa senang.“Oh iya, besok kita tengok Adik ya,” kata Inge. Dia baru saja teringat bahwa besok dia ada janji dengan dokter Yoda. Pada pemeriksaan minggu kemarin jenis kelamin bayinya belum terlihat sebab posisi sang bayi, sehingga dokter Yoda menjadwal ulang, sebelum beliau pergi ke luar negeri untuk berlibur selama satu bulan.“Tengok Adik di komputer ya, Ma?” tanya Naomi antusias.“Iya, Sayang, setelah Mimi pulang sekolah,” jawab Inge. “Sekarang kita bobo yuk.”Naomi menurut. Dia kembali ke posisi tidurnya dengan lurus, tidak meringkuk seperti yang baru saja dia lakuka
Inge tersenyum. Kebiasaan Naomi, kalau dia sudah mengantuk sekali, pasti akan meletakkan kepalanya di sembarang tempat. Naomi memang belum istirahat sejak pulang sekolah tadi. Jadi sangat wajar kalau gadis cilik ini kelelahan.“Kita pulang?” tanya Inge. Dia meraih dagu bocah itu, dan dia gemas pipinya sekejap.Naomi mengangguk lesu. Matanya tampak sudah tidak kuat untuk dia buka.Inge terpaksa meminta agar sotonya dibungkus saja. Entah nanti termakan olehnya atau tidak. Dia hanya tidak ingin si pemilik warung tersinggung jika soto yang baru dia cicipi kuahnya itu ditinggalkan begitu saja.Dibantu seseorang yang ada di situ, Inge membawa Naomi yang sudah terlelap ke dalam mobil. Rencana untuk jalan-jalan sudah hangus. Inge pun melajukan mobilnya menuju pulang. Sesekali dia melihat pada Naomi yang rebah di jok belakang, untuk memastikan anak tiri kesayangannya itu aman.Sampai di rumah, Pak Husen yang terlihat tengah mengobrol dengan penjaga keamanan segera mendekat ketika Inge memanggi