Dika mengunjungi ruang rawat Satria walaupun memakai tongkat berjalan, tetapi itu hanya pormalitas agar dokter tidak segera memulangkannya. "Bagaimana kabar kamu?" Dia tetap menjadi Dika yang Satria kenal, tetapi sedikitnya Dika juga bisa menghancurkan Satria dari belakang karena perasaannya pada Isabella."Kamu bisa lihat sendiri." Satria terkekeh saat satu kakinya digantung."Kamu harus tetap bersyukur kaki kamu masih ada. Wkwk!" Dika berkelakar sebagaimana Dika yang dulu."Mereka tidak akan bisa memotong kaki saya. Senjata mereka tumpul. Ck!" Satria memiliki amarah paling besar dibandingkan kawan-kawannya."Apa teman-teman kamu tahu? Apa sekarang mereka akan datang untuk membantu?" Dika penasaran. Langkah apa yang akan diambil si ketua geng."Teman-teman sudah tahu, tapi mereka tidak akan menyerang sekarang karena kasus kita sedang menjadi perhatian polisi." "Saya dengar dua orang dari mereka berhasil diamankan, mereka sudah dipenjara karena sering membegal orang-orang yang lewat
Sudah empat hari Satria dirawat di rumah sakit, dia memiliki perkembangan dalam kesehatannya, tetapi polisi memeriksa catatan kesehatannya secara berkala hingga Satria merasa tidak nyaman. "Saya tidak akan kabur!" Namun, siang ini Satria diamankan karena polisi menganggap kondisi Satria sudah memungkinkan. Dia dimintai keterangan dan Satria mengatakan yang sebenarnya jika mereka diserang, tetapi bukan berarti Satria dibebaskan karena mereka sempat mengadakan pesta minum-minuman keras. Bukan hanya Satria yang ada di sini, tapi juga beberapa kawannya termasuk Dika dan Dito. "Pa, Satria tidak mau dipenjara," ucapnya pada Haris kala mereka saling menatap di antara jeruji besi. "Tunggu sebentar lagi." Haris merasa iba, tetapi dia juga kesal dan ingin membuat Satria jera, tapi tidak ada seorang ayah yang akan membiarkan anaknya dalam kesulitan. "Satria tunggu, Pa ...." Satria berada satu jeruji dengan Dika, mereka juga bersama tahanan lain yang lebih senior maka dari saat masuk mereka s
Isabella menyampaikan semua amanah dari Satria, termasuk pada Haris. "Pa, Satria meminta bantuan papa ...." Suaranya selalu santun. "Bantuan apa, Nak?" Haris sedang menikmati teh hangat bersama Mia dan Isabella di halaman. "Satria dipenjara bersama teman-temannya, tapi ada satu teman Satria yang tidak memiliki pengacara."Haris mengerutkan dahinya heran, "Memangnya kenapa?" "Satria meminta papa menyewa satu pengacara lagi untuk temannya." Tiba-tiba saja suasana hening karena setelah Isabella mengatakannya, Haris dan Mia hanya saling menatap. "Papa tidak bisa melakukannya." Terang-terangan Haris menolak hingga membuat Isabella kecewa karena sama halnya dengan Satria, dia juga merasa iba pada Dika. Sekarang, Mia bertanya untuk mendapatkan informasi lebih jelas, "Apa temannya Satria tidak memiliki orangtua hingga tidak ada yang menyewakan pengacara untuknya?" "Abel tidak tahu, Ma." Isabella tidak ingin mengatakan yang sebenarnya jika Dika diabaikan orangtuanya. Mia berkata lembut
Malam ini kaki Satria berdenyut brutal maka dia mengerang kesakitan, jadi Dika berteriak memanggil bantuan dan akhirnya Satria kembali dilarikan ke rumah sakit. Namun, kabar ini tidak disampaikan pada keluarga Satria. Jadi, Isabella baru saja mendengarnya saat pagi hari. "Jadi Satria tidak di sini!" Gadis ini sangat kaget hingga kalang kabut."Mohon maaf kami tidak memberi kabar karena kejadiannya tengah malam," ucap santun pria berseragam ini. Maka, segera Isabella menuju ke rumah sakit tempat Satria dirawat. Tidak lupa, dia juga mengabari Haris dan Mia. Namun, dalam kegelisahan Isabella pada Satria, dia juga mengingat nasib Dika. "Dika bagaimana, apa dia tidak punya keluhan?" Sulit untuk tidak memberikan perhatian lebih pada Dika karena Isabella sudah menganggap Dika sebagai saudaranya.Setibanya di rumah sakit, Isabella segera melihat keadaan Satria yang ternyata lukanya kembali terbuka. "Apa yang terjadi?" "Seseorang menyerang saya saat tidur!" Satria mendengus kesal, tetapi ju
Keluarga Naura menemui Devan, tetapi saat ini Satria sudah keluar melalui pintu lain. "Kenapa Naura di sini, apa Naura tahu saya di sini? Tapi saya sudah bebas ...." Hal ini membingungkan untuk Satria sekaligus meresahkan karena dia berharap Naura tidak tahu dia dipenjara. Sementara, Devan tidak mengatakan nama Satria saat Ginanjar menanyakan siapa yang sebelumnya menjenguknya. Satria kembali ke dalam mobil, dia diantar sopir. "Apa ada saudara Naura yang dipenjara di sini? Tapi keluarga Naura keluarga baik-baik, rasanya tidak mungkin saudaranya dipenjara." Satria mencoba menerka tetapi tidak menemukan terkaan yang tepat. Kali ini Satria tidak kemanapun lagi karena kondisinya tidak memungkinkan, pun kondisi teman-temannya sama dengannya. Jadi, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon. Setibanya di rumah, Satria disambut hangat oleh Mia, "Terimakasih ya, Sayang karena kamu cepat pulang. Mama sangat khawatir ...."Satria tersenyum lembut. "Mama tidak perlu khawatir." Satria menggunak
"Sanak saudara kami kuliah di kampus yang sama dengan kamu?" Ginanjar berkata pada Satria hingga lelaki ini sedikit mengerjap. "Semoga tidak sampai dihukum, Om. Apalagi masih kuliah, kasihan dan pasti masa depannya hancur." Senyuman santun Satria, tetapi di hatinya sangat hambar dan cemas. 'Semoga yang dimaksud papanya Naura bukan Devan!'Bukan hanya Satria yang berkata di dalam hati, tetapi juga Haris. 'Kamu tahu jika dipenjara maka masa depan akan hancur, tapi kenapa kamu seolah sengaja menghancurkan masa depan kamu! Jika tidak ada papa, mungkin kamu sudah berakhir menjadi orang bernasib malang!'Ginanjar mendesah, "Pengacara sedang mengusahakan supaya Devan terbebas." Desahnya sangat sendu karena keluarga adalah segalanya. Namun, saat ini Satria terkejut. 'Apa, Devan! Jadi, Devan dan Naura bersaudara!'"Pasti bisa bebas." Haris terkekeh kecil, tetapi hatinya menyimpan kesal pada Satria. Naura juga berkata di dalam hatinya. 'Pasti Satria tahu.'Saat ini Mia muncul dari dapur deng
Isabella segera berkumpul dengan keluarga Naura, kemudian mereka melakukan shalat magrib berjamaah termasuk Satria walaupun laki-laki ini shalat tidak seperti biasanya, dia duduk. Hal yang dilakukan Satria bisa dianggap aneh karena biasanya dia tidak shalat, tetapi sekarang tiba-tiba melakukan shalat, tetapi di mata keluarganya ini adalah anugerah, mereka semua merasa bahagia termasuk Isabella. Haris yang menjadi imam dalam shalat. Lalu, Naura dan Isabella berdiri bersebelahan saat shalat hingga membuat Naura semakin gugup, tetapi dia selalu berusaha tetap khusu hingga shalat selesai. "Alhamdulillah ...," ucap Isabella dengan wajah berseri, lalu menatap Naura. "Alhamdulillah, kita masih diberi umur dan kita diberi kesempatan shalat berjamaah." "Iya ...." Naura mengangguk kecil dan tersenyum kecil, tetapi aura wajahnya tidak kalah sejuk dan berseri dari Isabella.Mereka tidak meninggalkan mushola. tetapi membaca Al-Qur'an bergilir sebagaimana dalam pengajian yang biasa dihadiri oleh
Pukul sembilan, Satria dan Isabella baru saja kembali ke kamar setelah mengantar keluarga Naura ke halaman. Laki-laki ini tidak mengatakan apapun, tetapi kali ini Isabella yang berkata, "Saya berterimakasih pada Naura dan keluarganya karena menjenguk kamu. Tapi ... apa kalian tidak malu saling memandang di depan keluarga?" Suaranya terjaga, tetapi ekspresinya sangat serius. "Apa maksud kamu?" Ekspresi dingin Satria. "Saya memperhatikan kalian. Saya tahu, kalian tidak menganggap saya ada, tapi jangan lupakan keberadaan mama dan papa kamu, lalu mama dan papanya Naura. Apa yang akan mereka pikirkan jika kalian sengaja melakukan hal tidak pantas?" Satria memandangi Isabella, tetapi tatapannya sangat dingin. "Tidak ada yang mempermasalahkan ini selain kamu." Pun, suaranya dingin dan datar."Karena saya istri kamu." "Kamu cemburu?" Tatapan Satria tidak berubah. "Tidak." Ekspresi dan nada suara Isabella tidak berubah. "Jadi apa masalahnya?" Satria segera memalingkan tubuhnya dan hendak
Hari demi hari berganti, ucapan Satria bukan hanya bualan karena dia membuktikannya lewat sikap yang tulus walaupun Haris tidak melihatnya secara langsung karena pasangan suami dan istri ini tinggal terpisah dengan pria itu.Setiap malam, Satria menemani Isabella menyusui Attar, dia juga sering membantu mengganti popok atau pakaian basah Attar.Satria melakukannya diiringi senyuman lembut, tutur kata senada, serta belaian penuh kasih sayang pada Attar dan Isabella.Kini, usia Attar sudah dua minggu. “Nanti kita adakan acara potong rambut sama aqiqah. Saya sudah coba bicara sama Mama, tapi belum secara langsung,” ucap lembut Satria pada Isabella.Namun, bagaimanapun sikap Satria, nyatanya Isabella tetap bersikap datar. “Iya.”“Saya sudah menabung, semoga cukup buat acara besar.” Kini Satria terkekeh. Kemudian menyodorkan uang belanja sekalian uang susu dan pempers pada Isabella. “Kalau uangnya nggak sampai minggu depan, jangan sungkan minta lagi ya, Sayang.” Tatapannya sangat lembut.“
Ini adalah malam pertama Isabella dan Satria tidur bersama bayi mereka. Bayi merah itu terlentang di tengah-tengah pasangan suami istri ini. Tidak henti Satria menatapnya diiringi senyuman.Isabella menyadarinya, tetapi dia masih bersikap dingin dan datar. “Saya akan tidur, lagian Attar tidur. Ini kesempatan saya untuk ikut tidur.”“Ya, Sayang. Kamu tidur saja, biar nanti aku yang menjaga Attar.”Isabella tidak pernah meminta, tetapi tidak mungkin menolak perhatian Satria pada bayi mereka.Jadi saat Attar menangis tengah malam, Satria yang menjaga dan mengasuh. Dia juga menghangatkan asi yang sudah tersedia di dalam botol. Tidak lupa menyuruh Isabella kembali tidur setelah sempat terbangun karena tangisan Attar.Hingga saat pagi hari Satria terlambat bangun, tetapi Isabella membiarkan suaminya tanpa peduli aktivitas apa yang menanti Satria.Satria tersentak saat melihat jam dinding. “Hah, serius sudah jam sembilan!”“Ya,” jawab datar Isabella.“Harusnya saya kuliah pagi. Sekarang saya
Suana hening sangat lama, hingga Satria kembali bicara. “Apa kamu tetap akan melanjutkan perceraian, apa kamu akan mengubah keputusan kamu?”Isabella menjawab santun, “Saya yang harus menanyakan itu pada kamu.”“Kalau saya tetap melanjutkan?”“Saya juga ....” Hati Isabella seakan sudah kebal pada rasa sakit. Bahkan yang ini. “Kalau kamu memilih berpisah, sebelumnya kamu harus beri nama anak kita.” Ini adalah permintaan sederhana Isabella, tetapi diwajibkan pada Satria.Satria memandangi Isabella karena tatapan istrinya seolah tanpa keraguan walaupun mereka bercerai.Satria kembali menunduk, tetapi tidak melepaskan tangan Isabella. Lalu berkata lirih, “Naura pergi. Dia mencampakan saya. Apalagi yang harus saya lakukan karena andai berpisah sama kamu, saya tidak yakin Naura akan bersama saya ....”Isabella menjawab datar, “Itu urusan kamu. Jangan menjadikan saya cadangan karena kamu gagal mendapatkan Naura!”Satria kembali memandangi wajah Isabella. Kini, dalam tatapan Isabella terdapat
Satria masuk ke kamar rawat, jadi dia bertemu dengan orangtuanya dan orangtua Isabella yang sedang berkumpul.Semua orang menyambut kedatangan Satria dengan hangat, termasuk Isabella. Mia segera menggiring putranya menuju tempat mereka duduk berkumpul. “Alhamdulillah kamu sudah datang ....” Senyumannya menunjukan kebahagiaan, tetapi hatinya sangat kesal pada Satria setelah mengetahui sikap buruknya pada Isabella dan bayi mereka yang belum diberi nama.Tanpa persetujuan Isabella, Mia segera meraih amplop cokelat yang berisi laporan hasil test DNA hingga gadis ini terkejut.Namun, ternyata Mia menyampaikannya sangat bijak di hadapan suaminya, anaknya dan kedua mertuanya. “Ini hasil test DNA anak kalian. Dokter yang memberikannya karena Isabella seorang perawat walaupun bukan di rumah sakit ini, jadi Abel memiliki hak istimewa, yaitu mendapatkan test DNA tanpa perlu meminta.”Mia
Isabella hanya menatap sendu pada langit-langit. “Bukan perpisahan yang Abel mau karena sebelum itu Satria harus tahu jika selama ini saya mengandung anaknya ....”Pun, hatinya semakin lebur saat memikirkan bayi mereka. “Sabar ya, Sayang ... pasti akhirnya Papa kamu akan menerima kamu ....”Bayi mungil itu berada di dalam box yang sangat hangat, wajahnya sangat polos dan murni.Namun, ternyata hari ini Satria tidak datang ke rumah sakit dan dia juga tidak terlihat di rumah. Maka Haris sangat murka.Saat ini, hanya Mia yang menemai Isabella hingga ketukan pintu memecah keheningan dan membuat wanita ini bersemangat. “Pasti itu Satria! Mama buka dulu ya, pintunya.” Mia segera meletakan pisau di atas piring saat buah yang dikupasnya belum selesai.Isabella hanya memandangi punggung Mia yang semakin mendekati pintu, tetapi dia tidak yakin itu Satria. “Kalau itu Satria, harusnya tidak usah mengetuk pintu.”Mia tersenyum bahagia saat membukakan pintu, tetapi senyumannya perlahan redup karena
Satria berjuang demi menghentikan kepergian Naura, tapi sudah terlambat karena Naura sudah berjalan hendak masuk ke dalam pesawat. Namun, Satria juga melihat Devan yang berjalan di belalang Naura. Devan sempat melirik dan menyadari kehadiran Satria, tetapi dia memilih abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Saat ini kepala Satria dipenuhi pertanyaan. "Kenapa Naura bersama Devan?" Sekaligus, dia harus rela saat hatinya sakit dan hancur karena harus menyaksikan kepergian Naura. "Nay ...." Rintih Satria. Naura menoleh karena panggilan lemah Satria membuat dadanya berdebar, tetapi sayangnya keberadaan Satria terhalangi oleh lalu lalang. Naura menundukan wajahnya sangat sendu. "Pasti cuma perasaan karena tidak mungkin Satria mencegah saya pergi ...."Maka, akhirnya Naura terbang keluar negeri meninggalkan semua kenangannya bersama Satria. Pun, Satria harus menyaksikan hari-harinya dengan Naura berakhir dan mungkin tidak akan pernah terulang.Satria termenung cukup lama di bandara ka
“Satria bilang kamu bersedia bercerai setelah melahirkan. Saya mohon, jangan lakukan itu ....” Naura tidak enggan mengatakan hal ini karena jika benar dia penyebabnya, gadis ini tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga Satria dan Isabella.Namun, saat ini Isabella hanya memandang kosong ke arah Naura. ‘Semalam dan tadi pagi Satria sangat perhatian. Jadi Satria punya maksud terselubung. Apa Satria ingin membahagiakan saya sebelum perceraian?’“Abel. Saya mohon ... jangan pernah bercerai dengan Satria.” Naura mengulang kalimatnya bahkan lebih tatapannya lebih dalam.Saat ini Isabella tersadar, lalu tersenyum kecil. “Ini rumah tangga saya dan Satria.” Isabella menjawab dengan bijak, tetapi berhasil menyentil Naura.Naura mendesah. “Saya memang tidak punya hak apapun, dan tidak sepantasnya saya mencampuri rumah tangga kamu dan Satria. Tapi ... kalau alasan kamu bersedia bercerai karena saya, saya akan merasa sangat bersalah. Jadi tolong jangan bercerai, karena walaupun kalian b
Pagi ini Satria menuntun Isabella hingga tiba di ruang makan. Mia sudah di sana, maka salah satu telapak tangannya dipakai menutup mulutnya yang menganga.“Pagi, Ma ....” Satria menyapa ibunya dengan hangat tanpa melepaskan telapak tangan Isabella. Laki-laki ini memperlakukan istrinya dengan lembut, dia juga yang menggeser kursi hingga Isabella duduk nyaman.Mia membalas sapa Satria dengan suasana hati berjuta bahagia karena ini adalah pagi yang sangat indah. “Pagi, Sayang ....”“Kok Mama sendiri? Mana Papa?” Bukan hanya hangat dan perhatian pada Isabella, tetapi Satria melakukannya pada ibunya juga.“Papa masih di halaman. Sebentar lagi nyusul,” kekeh Mia. Perubahan Satria membuatnya linglung karena terlalu mendadak, tetapi sangat disyukuri.“Satria panggil Papa dulu deh, Mama di sini saja sama Abel.”“Iya, Sayang ....” Mia tidak bisa berhenti tersenyum atas perubahan baik Satria.Saat Satria berlalu, Mia segera bertanya pada Isabella untuk menjawab penasarannya, “Apa yang terjadi pa
Malam ini Satria menjamah Isabella. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa bulan istrinya diabaikan. Saat ini Isabella melayani suaminya dengan baik, tetapi tidak berharap Satria berubah menjadi lebih baik karena dirasa tidak seinstan itu atau tidak mungkin.Setelah memuaskan nafsunya, Satria berkata jahat saat mereka masih berada di bawah selimut yang sama, “Saya kira anak itu sudah tidak ada!”Isabella segera menegur, “Jangan asal bicara!”Satria tidak merespon karena segera meninggalkan kamar, tapi rupanya Haris masih berada di ruang tengah. Maka pria ini segera mengatakan isi hatinya saat bertemu putranya, “Apa yang kamu dapatkan setelah meninggalkan anak dan istri kamu selama dua bulan?” Wajahnya datar.Satria tahu ayahnya tidak mungkin menyambut hangat kepulangannya. “Satria butuh waktu sendiri.”“Lalu, apa hikmah yang kamu dapat?”Sejenak, Satria tidak bisa mengatakan apapun. “Mendinginkan kepala.”“Abel adalah istri salihah. Kamu harus tahu jika selama kamu menghilang, Ab