Satria mengantarkan Naura kembali ke kampus walaupun materi telah usai karena sopir akan menjemput Naura di sana. "Maaf, saya tidak bisa antar kamu ke rumah atau mengajak kamu pulang bersama. Saya harus segera ke restoran setelah kuliah ...." Tatapan Satria menunjukan isi hatinya, dia tidak ingin berjauhan dengan Naura. "Iya, tidak apa." Saat ini Naura tidak meladeni arti tatapan Satria karena dia pikir Satria sama dengan beberapa laki-laki di luar sana yang tidak cukup dengan satu wanita. Namun, Satria tidak meninggalkan Naura hingga gadis itu pergi dengan sopir. "Saya bersyukur karena hubungan kita kembali membaik, tapi sampai saat ini hubungan kita memang hanya sebatas ini ...." Satria meluncur ke markas sebelum ke restoran karena dia harus bertemu dengan kawan-kawan gengnya. Semua kawannya menyetujui pemindahan markas, hanya saja ini hanya markas sementara tidak ada markas permanen, mereka hanya akan menyewa rumah yang jaraknya jauh dari markas sebelumnya untuk memastikan keama
"Kalau kurang pesan lagi saja," ucap lembut Satria karena ini tempat umum jadi tidak mungkin memperlihatkan sikap dinginnya."Satu mangkok sudah cukup, kasihan mama kalau nanti kita tidak makan malam," kekeh Isabella. "Ya." Satria tersenyum kecil, tetapi cukup teduh walaupun ini hanya akting. Langit menggelap seiring dengan adzan magrib, Isabella menikmatinya karena Tuhan masih memberinya umur dan kesempatan memperbaiki diri serta memperbaiki ibadahnya walaupun setiap hari dia harus terlambat beribadah karena perjalan. Satria memperhatikan wajah sejuk Isabella dan sedikit banyak dia juga tahu jika Isabella tidak memiliki banyak masalah dan mungkin satu-satunya masalah Isabella hanya karena dirinya yang selalu menyukai Naura tanpa memikirkan posisi Isabella yang juga tidak ingin menikah dengannya. "Mau jus?" Tawaran Satria yang ini cukup tulus karena sedang menyadari kesalahannya pada Isabella. "Sudah disediakan teh hangat sih ..., tapi pasti jus juga enak," kekeh Isabella. "Pesa
Isabella mendengar suara Satria yang bervolume cukup kuat, tetapi dia hanya mendesah. "Ternyata mama masih menganggap kami berjina ...." Hal ini membuka luka lama yang belum sembuh. Mia menyahut lembut dan hati-hati, "Maaf sayang ... mama yakin kalian tidak melakukan itu, tapi mama melihat posisi insten kalian." Wajahnya dipenuhi sendu."Apa yang mama lihat belum tentu benar." Satria bersuara datar. Mia menggenggam tangan Satria. "Hanya kami dan orangtua Abel yang tahu. Tolong, jaga nama baik kalian karena itu juga akan berpengaruh pada nama baik keluarga. Dan sekali lagi Mama minta maaf ...." Mia selalu menghargai Satria walaupun dia banyak menasihati. "Iya, Ma ...." Satria tidak kesal pada ibunya, tapi dia marah pada keadaan, kenapa orangtuanya harus melihat posisi instennya dengan Isabella hingga menimbulkan fitnah dan salah paham? "Mama dan papa akan selalu melindungi kamu. Dan mama harap kamu tidak pernah menganggap papa jahat ...." Tatapannya dipenuhi berbagai macam perasaan
Grasah-grusuh, Satria segera ke kampus supaya tidak tertinggal materi karena pasti absennya yang jelek akan kembali diketahui Haris. "Pagi, Pak," sapa Satria pada dosen yang sudah memulai pelajaran. "Kamu mahasiswa pindahan. Kamu harus disiplin, jangan membawa kebiasaan buruk kamu di kampus sebelumnya!" ucap dingin dosen yang sudah mendapatkan perintah dari petinggi kampus supaya Satria lebih memperhatikan absennya dan prestasinya."Saya minta maaf. Tadi motor saya mogok." Satria segera beraliby. Alasannya memang bisa menyelamatkannya dari dosen, tetapi tidak dengan tatapan sebagian besar kawan satu kelasnya karena mereka semua orang pintar dan menjunjung tinggi pelaturan di universitas favorit ini. Satria duduk di kursi paling belakang, tetapi semua dosen sudah diperintahkan untuk memberikan perhatian lebih pada murid seperti Satria. "Duduk di depan. Apa kamu tidak melihat kursi kosong yang baru saja kamu lewati!" Cara penyampaiannya selalu dingin karena ini salah satu cara mendidi
Devan berada di kantin, tetapi ke sekian kalinya dia tidak ingin terlibat dalam percintaan Satria yang rumit. Maka, walaupun perbuatan kawannya salah, tetapi Devan tidak akan mengingatkan atau menegur. Namun, dia merasa prihatin pada Isabella yang adalah istri sah Satria.Di sisi lain, Isabella kembali menjenguk Dika di sela-sela senggangnya. "Saya membeli makanan dari kantin. Kamu mau?" tawaran ramah dan hangatnya."Mau, tentu mau!" Dika terlihat bersemangat. "Saya bosan makan makanan dari rumah sakit karena menunya diatur," ungkap Dika sedikit mengeluh."Itu demi kesehatan ... kamu harus menghabiskan menu apapun yang disediakan rumah sakit," nasihat Isabella dengan pembawaan santai."Kamu bawa apa?" Dika menjeda sesaat. "Yank." Kemudian tersenyum lebar.Namun, tentu saja panggilan itu membuat Isabella tidak nyaman. "Kamu tidak boleh memanggil saya dengan
Malam ini Isabella tidak bisa tidur walaupun Satria sudah terlelap sejak tadi. "Perasaan saya tidak tenang. Apa yang Dika katakan? Apa Dika tidak tahu saya istrinya Satria? atau mungkin ...." Tatapannya mengarah pada suaminya yang tidur di sisinya, "Apa Satria tidak mengatakan kalau saya istrinya?" Gadis ini mulai berwajah sendu, tetapi sebenarnya tidak heran jika Satria tidak mengakuinya karena Satria tidak ingin orang-orang tahu jika mereka sudah menikah.Isabella terjaga hingga akhirnya terlelap pada pukul dua pagi, maka dia bangun kesiangan. Pukul tujuh Isabella barusaja membuka mata. "Astagfirulahalladzim ...." Ini pertama kalinya setelah menikah dia bangun kesiangan, tetapi beruntungnya saat ini dia sedang menstruasi maka tidak menjadi dosa walaupun melewatkan shalat subuh.Isabella segera membangunkan Satria. "Sudah pukul tujuh. Kamu kuliah pukul berapa ...." Suaranya lembut dan mengalun maka tidak berhasil membangunkan Satria.
Saat ini Satria mampir ke rumah sewa yang sekarang menjadi markas, dia memeriksa persenjataan. "Banyak yang hilang.""Iya, cuma ini yang kita temukan. Mungkin sudah ada yang memungut senjata terbaik kita!" Mata Dito memicing mencurigai karena semua senjata berharga mahal hilang, padahal senjata itu yang lebih efektif dipakai berperang.Satria mencurigai orang-orang proyek yang telah merobohkan bangunan, tetapi kecurigaannya juga mengarah pada bawahan Haris. 'Jangan sampai pria itu melapor!' Namun, kecurigaannya belum bisa dipatenkan karena Haris bersikap biasa saja padanya."Saya akan mencari tahu kemana hilangnya senjata kita.""Bagaimana cara kamu mencari tahu?" Dito masih memicingkan mata penuh curiga."Intinya, nanti saya akan memberi kabar.""Ya."Satria berlalu karena jadwal kuliah yang memaksanya, tetapi Dito selalu memicin
Satria tidak berkata jika dirinya adalah anggota geng, tapi dia segera bertanya ke intinya. "Sebagian senjata kami hilang!" Tatapannya masih memicing tajam.Pria ini menanggapi sangat tenang. "Saya tidak tahu apapun." "Berapa papa membayarmu?" Tatapan Satria masih memicing tajam walaupun dia tidak bisa mematenkan prasangkanya jika pria ini terlibat dalam hilangnya persenjataan milik gengnya. "Sesuai dengan yang tertulis di kontrak kerja."Satria berdecak. "Jangan coba-coba menyembunyikan apapun!"Pria ini tersenyum santai. "Saya pernah ada di posisi Tuan. Jadi Tuan tidak bisa menginterograsi satu orang saja. Lagipula seorang tukang pernah berkata, jika rumah tidak terkunci dan isinya berantakan."Satria kembali memicingkan matanya. "Kamu pikir saya percaya!""Percaya atau tidak, keputusan ada pada Tuan. Tapi jika boleh saya bicara, kalian mengambil keputusan salah karena membiarkan markas kosong setelah peperangan, itu memberikan kesempatan pada musuh!"Satria mendengus, kemudian be