Pada tengah hari, Haris bersama Satria tiba di restoran. Haris ingin melihat secara langsung perkembangan restoran yang didirikan belum lama. Galih melaporkannya secara berkala, tetapi ini kali kedua kalinya Haris berkunjung. "Siapa yang mengatur dekorasi ruangan?""Kami, Tuan. Semua team ikut menyalurkan ide," tutur Galih dengan sangat santun. "Saya suka dekorasi sederhana, tetapi elegan," pujian Haris yang tidak pernah meminta hal-hal sulit kepada semua karyawannya. "Terimakasih, Tuan." Pun, Galih selalu merasa dihargai. Sementara, Satria hanya mendengarkan obrolan formal ini, tetapi isi kepalanya banyak terbagi pada markas mereka. 'Saya tidak bisa membiarkan papa menggusur markas, tapi bagaimana caranya karena tidak mungkin saya menahan papa melakukan pembangunan dan tidak mungkin juga kita membeli lahan itu. Harga tanah sangat mahal, apalagi papa akan mempertahankan tanah miliknya, papa juga bisa saja menaikan harga andai papa melepaskan lahan itu.'"Nak?" Ini adalah ketiga kal
Isabella sudah tidak memiliki tanggungjawab setelah pasien tiba di rumah sakit jadi, dia tidak ikut ke ruangan pemeriksaan. Sebelum pergi, dia menyapa Satria yang berdiri di depan pintu. "Assalamualikum ... maaf, saya baru bisa menyapa kamu." Tangannya mengulur, meminta tangan kanan Satria. Satria memberikan tangan kanannya untuk disun oleh Isabella, tetapi dalam keadaan tidak sadar karena tatapan dan pikirannya tertuju pada temannya yang sudah masuk ke dalam ruangan. "Bagaimana teman saya, apa bisa selamat?" Suaranya terdengar sangat khawatir. "Insyaallah. Tadi teman-temannya sudah melakukan pertolongan pertama untuk menghentikan darah." Satria memegangi pelipisnya, sedangkan Devan tidak bicara bahkan dia berdiri cukup jauh untuk memberi waktu pada pasangan suami dan istri ini. Satria memandangi Isabella. "Saya akan tetap di sini." "Iya ...." Anggukan santun Isabella bersama suara lembutnya."Katakan saja papa dan mama. Saya di rumah sakit menunggu teman saya." "Iya ...." Sikap
"Nay." Satria meraih tangan Naura dan menggenggamnya bersama tatapan lembut. Namun, Naura segera melepaskan genggaman tangan Satria. Lalu berpamitan, "Saya tidak bisa keluar rumah lama-lama karena ini sudah setengah sembilan. Tidak enak juga sama sopir.""Besok kamu kuliah?" Satria tidak bisa menahan kepergian Naura walaupun dia sangat ingin bersamanya lebih lama."Iya." Naura bersikap datar, kemudian pergi. Saat ini Satria mendesah panjang. "Kenapa Tuhan tidak mempersatukan saya dengan Naura, padahal Tuhan yang sudah membiarkan kami saling mencintai?"Di sisi lain, Isabella sedang mengingat sikap Satria tadi. Dia tahu saat Naura berpapasan dengan mereka, tetapi Isabella pura-pura tidak melihat. "Apa Naura juga mencintai kamu, hingga kamu harus menjaga perasaan Naura?" Hari berganti, tetapi ternyata Satria sudah pulang hanya saja meringkuk di sofa di ruang tengah. Isabella menatap Satria sesaat, kemudian membangunkannya. "Kalau kamu tidur di sini, mungkin papa akan marah dan berpik
Isabella memeriksa pasien yang ada di sebelah kamar Dika hingga suaranya terdengar jelas oleh Dika. "Itu dia, perawat cantik yang saya maksud!" kekeh sumringahnya.Sekali mendengarkan saja, Satria juga tahu jika itu Isabella. 'Apa Dika suka Abel?' Matanya sedikit memicing, kemudian berpamitan, "Saya ke toilet dulu.""Eh, tunggu dong. Kamu tidak mau tahu perawat cantik itu?""Tidak. Saya sudah tidak tahan harus ke toilet." Suara datar Satria yang segera pergi meninggalkan Dika sebelum Isabella masuk.Benar saja. Isabella memeriksa Dika setelah dia pergi, tetapi Satria tidak benar-benar ke toilet, dia hanya berdiri di sisi pintu masuk ruang rawat. Maka, dia dapat mendengar sikap propesional Isabella sekalian kekeh bahagia Dika. "Ck!" Satria berdecak karena ternyata seseorang di luar sana mengagumi istrinya, dan yang paling tidak terduga, orang itu kawannya sendiri. Entah harus marah, kesal atau tidak p
Isabella memeluk perut Satria sepanjang perjalanan, tetapi dia tidak tega melihat Satria terkena hujan apalagi tadi pagi suaminya demam. "Kita menepi saja, hujan masih deras ...." Isabella meninggikan suaranya supaya terdengar oleh Satria yang memakai helm full face.Satria mendengar suara Isabella, tetapi mengabaikannya karena pakaiannya sudah basah jadi lebih baik segera pulang. Maka setibanya di rumah, Satria mandi air hangat dan segera memakai pakaian hangat.Bukan hanya Satria yang grasah-grusuh mempedulikan tubuhnya karena Isabella segera menyodorkan air hangat dan sup. "Habiskan ini agar kamu tidak kedinginan ...." Suara lembutnya, tetapi Isabella belum mengganti pakaian basahnya karena menunggu Satria keluar dari kamar mandi, sekalian menuju dapur untuk menjamu suaminya.Satria tidak mengatakan apapun walau dia segera menerima jamuan dari istrinya, pun Isabella menyediakan obat yang sama seperti
Pagi ini, Isabella kembali ke rumah sakit begitupun Satria karena dia harus menjenguk Dika, tetapi sebelum tiba di ruang rawat tanpa sengaja dia mendengar ayah kawannya sedang mengatakan hal tidak pantas. "Kamu selalu menyusahkan. Kapan kamu akan berhenti menjadi anak motor dan mulai menjadi anak baik dan berprestasi yang bisa papa banggakan pada semua orang! Apa kamu masih buta, lihat mama sakit-sakitan karena kamu!"Satria hanya mampu terpaku di balik dinding karena kehidupannya dengan kawan-kawannya tidak berbeda. Lalu, dia kembali mendengar hal yang akan sangat menyakiti Dika."Kamu dilahirkan sebelum papa dan mama menikah. Kamu anak kami, tapi saat itu kehadiran kamu tidak diinginkan. Apa karena dosa kami di masa lalu akhirnya kami harus dibuat kesulitan oleh kelakuan kamu!"Tidak lama setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Satria melihat wajah ayahnya Dika setelah pria itu keluar dari ruangan. Pria itu
Devan menghubungi Satria, maka saat ini dia mendengar hal mengejutkan yang terjadi pada Satria. Lalu, menawarkan dirinya untuk menjemput kawan-kawan geng di perbatasan kota. Sementara, Satria masih merasa malu karena kejadian tadi. Hanya segelintir orang yang percaya jika pria berjas hitam dan berdasi adalah penagih cicilan motor, jadi masih banyak orang yang sengaja memanggilnya tuan muda walaupun panggilan itu disisipkan dalam candaan. Naura menyaksikan raut wajah Satria yang terlihat tidak nyaman, tapi jika harus diungkapkan Satria memang cocok dengan panggilan itu karena entah sampai mana kekayaan Haris. Pria itu sangat kaya, tetapi keluarga Haris hidup membaur tanpa memperlihatkan seberapa banyak kekayaannya. Sama halnya dengan keluarga Naura. Materi telah usai, Satria segera menyusul Naura yang sudah meninggalkan kelas lebih dulu. "Nay, pulang sama siapa?" "Dijemput sopir. Kenapa?" Sikap datar Naura. "Tidak apa. Cuma bertanya." Senyuman kecil Satria, kemudian berawajah kecu
Isabella menghampiri Satria, dia membawa dua gelas teh hangat. "Tadi, mama sempat meminta tolong pada saya untuk membantu kamu belajar," kekeh kecilnya.Satria memandang datar. "Jurusan yang kita ambil beda.""Iya. Tapi saya juga sering mempelajari banyak hal yang berbeda dengan jurusan yang saya ambil saat kuliah." "Tidak usah." Suara Satria selalu datar."Kalau perlu bantuan jangan sungkan," kekeh Isabella lagi tanpa bermaksud menjatuhkan harga diri Satria. Jika Satria membutuhkannya, dia akan membantu dengan tulus. Hanya seperti itu. Satria membuang asap rokoknya ke udara, kemudian menatap Isabella. "Kamu memakai alat kontrasepsi sesuai aturan?" Isabella mengerjap kecil karena pembahasan Satria kini. "Iya ...." "Jangan sampai hamil. Saya tidak bisa jadi ayah!" ucap dingin Satria. Kalimat ini mengandung banyak makna dalam. Satria seorang brandalan dan tidak berprestasi, dia juga menjadi beban orangtuanya, lalu kisah cintanya yang rumit dan banyak lagi hal-hal yang membuatnya tid