Gadis ini segera merasa tidak aman menghadapi tatapan Satria, tetapi ternyata tuan muda pergi begitu saja. Satria memang tidak berminat berdebat dengan seorang gadis selain Isabella karena harga dirinya di mata umum akan hilang. Namun, Satria segera mengembalikan senyuman ramahnya lagi kepada semua pelanggan walaupun moodnya sangat buruk. Galih menyaksikan interaksi Satria dengan gadis itu, dan memperhatikan sikap propesional Satria. Itu adalah nilai plus yang akan dilaporkannya karena dia hanya mengatakan hal positif tentang Satria, tanpa berminat mengatakan sikap negatif Satria padanya dan kawan-kawannya. Galih sadar diri dirinya hanya karyawan Hendri.Namun, Galih memberikan peringatan kepada gadis itu supaya tidak mengkritik Satria karena dia tidak ingin akhirnya Satria bersikap buruk padanya. Hari ini Satria berniat tidak pulang, tetapi kemarin Haris sudah memberikan peringatan, maka dia menunjukan wajahnya saat makan malam, tetapi berniat pergi setelahnya. Malam ini tidak ad
Satria kembali ke rumah walaupun tidak ingin. Dia kembali pukul sepuluh, satu jam setelah Mia dan Isabella. Haris mendesah cukup panjang. "Kamu dari mana saja?" Tidak ada marah. "Satria nongkrong, Pa. Terus pas mau jemput mama sama Abel, ternyata sudah pulang." Kali ini Satria tidak berdusta karena memang itu kenyataan yang dia lakukan. "Mama sama Abel pulang jam sembilan. Ya sudah, temui Abel." Haris tidak menasihati apalagi menegur karena setidaknya Satria tidak pulang terlalu larut. Lampu-lampu murah segera dimatikan, tetapi saat ini Satria mulai menyeringai. "Kalau papa tidur, saya bisa keluar diam-diam!" Satria bergegas menuju garasi, tetapi anehnya pintu garasi terkunci walaupun sudah berulang dia mencoba masuk lewat dapur. "Apa papa yang kunci pintunya?" Kemudian dia keluar rumah mencoba membuka garasi dari luar, tetapi ayahnya mengunci pintu besar itu dan hanya bisa dibuka dari dalam. "Ck. Apa Abel mengadu kalau saya akan pergi!" Membawa wajah berang, dia menemui istrinya.
Satria segera menghampiri ayahnya dan mencoba menjauhkan ayahnya dari kawan-kawannya. "Pa, Papa yang sedang apa di sini?" Dia tersenyum saat bersikap santun. "Papa akan memeriksa lahan yang akan Papa bangun sebagai cabang restoran, tapi Papa mendengar lahan itu sudah didirikan bangunan ilegal, padahal Papa sudah membeli tanah itu lima tahun lalu." Haris menatap tegas pada putranya. "Eu ..., di daerah mana itu, Pa?" Satria berbasa-basi dengan senyuman canggung sekaligus malu pada teman-temannya. "Tidak jauh dari sini. Di belakang tempat ini." Satria segera menyadari lahan yang dimaksud Haris. 'Itu ... markas!' Dia terkesiap, tetapi mencoba berpikir positif. 'Ada banyak lahan kosong di sana, mungkin bukan yang itu.'"Kamu belum menjawab pertanyaan Papa." Hendri mulai memicingkan matanya pada Satria, lalu pada para pemuda yang semuanya memiliki tatto atau tindikan. "Eu ... Satria ... cuma sedang berjemur, Pa." Senyuman lebarnya. "Kamu pikir siapa di hadapan kamu ini. Heuh!" Haris m
Pada tengah hari, Haris bersama Satria tiba di restoran. Haris ingin melihat secara langsung perkembangan restoran yang didirikan belum lama. Galih melaporkannya secara berkala, tetapi ini kali kedua kalinya Haris berkunjung. "Siapa yang mengatur dekorasi ruangan?""Kami, Tuan. Semua team ikut menyalurkan ide," tutur Galih dengan sangat santun. "Saya suka dekorasi sederhana, tetapi elegan," pujian Haris yang tidak pernah meminta hal-hal sulit kepada semua karyawannya. "Terimakasih, Tuan." Pun, Galih selalu merasa dihargai. Sementara, Satria hanya mendengarkan obrolan formal ini, tetapi isi kepalanya banyak terbagi pada markas mereka. 'Saya tidak bisa membiarkan papa menggusur markas, tapi bagaimana caranya karena tidak mungkin saya menahan papa melakukan pembangunan dan tidak mungkin juga kita membeli lahan itu. Harga tanah sangat mahal, apalagi papa akan mempertahankan tanah miliknya, papa juga bisa saja menaikan harga andai papa melepaskan lahan itu.'"Nak?" Ini adalah ketiga kal
Isabella sudah tidak memiliki tanggungjawab setelah pasien tiba di rumah sakit jadi, dia tidak ikut ke ruangan pemeriksaan. Sebelum pergi, dia menyapa Satria yang berdiri di depan pintu. "Assalamualikum ... maaf, saya baru bisa menyapa kamu." Tangannya mengulur, meminta tangan kanan Satria. Satria memberikan tangan kanannya untuk disun oleh Isabella, tetapi dalam keadaan tidak sadar karena tatapan dan pikirannya tertuju pada temannya yang sudah masuk ke dalam ruangan. "Bagaimana teman saya, apa bisa selamat?" Suaranya terdengar sangat khawatir. "Insyaallah. Tadi teman-temannya sudah melakukan pertolongan pertama untuk menghentikan darah." Satria memegangi pelipisnya, sedangkan Devan tidak bicara bahkan dia berdiri cukup jauh untuk memberi waktu pada pasangan suami dan istri ini. Satria memandangi Isabella. "Saya akan tetap di sini." "Iya ...." Anggukan santun Isabella bersama suara lembutnya."Katakan saja papa dan mama. Saya di rumah sakit menunggu teman saya." "Iya ...." Sikap
"Nay." Satria meraih tangan Naura dan menggenggamnya bersama tatapan lembut. Namun, Naura segera melepaskan genggaman tangan Satria. Lalu berpamitan, "Saya tidak bisa keluar rumah lama-lama karena ini sudah setengah sembilan. Tidak enak juga sama sopir.""Besok kamu kuliah?" Satria tidak bisa menahan kepergian Naura walaupun dia sangat ingin bersamanya lebih lama."Iya." Naura bersikap datar, kemudian pergi. Saat ini Satria mendesah panjang. "Kenapa Tuhan tidak mempersatukan saya dengan Naura, padahal Tuhan yang sudah membiarkan kami saling mencintai?"Di sisi lain, Isabella sedang mengingat sikap Satria tadi. Dia tahu saat Naura berpapasan dengan mereka, tetapi Isabella pura-pura tidak melihat. "Apa Naura juga mencintai kamu, hingga kamu harus menjaga perasaan Naura?" Hari berganti, tetapi ternyata Satria sudah pulang hanya saja meringkuk di sofa di ruang tengah. Isabella menatap Satria sesaat, kemudian membangunkannya. "Kalau kamu tidur di sini, mungkin papa akan marah dan berpik
Isabella memeriksa pasien yang ada di sebelah kamar Dika hingga suaranya terdengar jelas oleh Dika. "Itu dia, perawat cantik yang saya maksud!" kekeh sumringahnya.Sekali mendengarkan saja, Satria juga tahu jika itu Isabella. 'Apa Dika suka Abel?' Matanya sedikit memicing, kemudian berpamitan, "Saya ke toilet dulu.""Eh, tunggu dong. Kamu tidak mau tahu perawat cantik itu?""Tidak. Saya sudah tidak tahan harus ke toilet." Suara datar Satria yang segera pergi meninggalkan Dika sebelum Isabella masuk.Benar saja. Isabella memeriksa Dika setelah dia pergi, tetapi Satria tidak benar-benar ke toilet, dia hanya berdiri di sisi pintu masuk ruang rawat. Maka, dia dapat mendengar sikap propesional Isabella sekalian kekeh bahagia Dika. "Ck!" Satria berdecak karena ternyata seseorang di luar sana mengagumi istrinya, dan yang paling tidak terduga, orang itu kawannya sendiri. Entah harus marah, kesal atau tidak p
Isabella memeluk perut Satria sepanjang perjalanan, tetapi dia tidak tega melihat Satria terkena hujan apalagi tadi pagi suaminya demam. "Kita menepi saja, hujan masih deras ...." Isabella meninggikan suaranya supaya terdengar oleh Satria yang memakai helm full face.Satria mendengar suara Isabella, tetapi mengabaikannya karena pakaiannya sudah basah jadi lebih baik segera pulang. Maka setibanya di rumah, Satria mandi air hangat dan segera memakai pakaian hangat.Bukan hanya Satria yang grasah-grusuh mempedulikan tubuhnya karena Isabella segera menyodorkan air hangat dan sup. "Habiskan ini agar kamu tidak kedinginan ...." Suara lembutnya, tetapi Isabella belum mengganti pakaian basahnya karena menunggu Satria keluar dari kamar mandi, sekalian menuju dapur untuk menjamu suaminya.Satria tidak mengatakan apapun walau dia segera menerima jamuan dari istrinya, pun Isabella menyediakan obat yang sama seperti