Satria tiba di restoran, dia baru saja bekerja selama satu jam. Tapi Saat ini Isabella dan dua orang kawannya mengunjungi restoran. "Ini pertama kalinya jam istirahat kita telat, tapi untungnya dokter berbaik hati memberikan uang makan lebih dari saku pribadinya, padahal bukan beliau yang bertugas memberikan gaji," kekeh salah satu perawat saat baru saja duduk.
Isabella menyahut dengan kekeh, "Seharusnya tadi kita lebih banyak berterimakasih."
"Kita harus berterimakasih lagi setelah ini."
Satria menyadari kehadiran mereka, tapi tidak menyadari jika salah satunya adalah Isabella karena dia duduk memunggunginya. Maka, saat ini Satria berjalan ke meja mereka untuk mencatat pesanan saat salah satu perawat melambaikan tangan. "Selamat siang, mau pesan ...." Saat ini dia baru saja menyadari kehadiran Isabella saat tatapannya menyebar pada ketiga perawat, "apa?" Kini, suaranya cukup canggung karena kaget.
Satria tiba di kampus lebih awal hanya untuk menunggu kedatangan Naura. Jadi, dia segera menghampiri si gadis yang baru saja berpamitan pada ayahnya. "Nay." Lagi, Naura menghindar. "Pagi Satria. Eu ... saya duluan ya. Saya sudah ada janji." Hendak Naura berlalu, tetapi Satria menahan tangannya hingga langkahnya terhenti."Kenapa kamu menghindari lagi?" Tatapan Satria sangat lembut walaupun di dalamnya terdapat sendu."Saya biasa saja, kok." Senyuman hambar Naura. "Nay, jangan menghindari saya terus ..., jangan karena saya sudah menikah, kamu jadi menghindari saya seperti ini." Tidak sungkan Satria memohon. Naura tidak nyaman, tetapi dia tetap berkata di hadapan Satria, "Kamu sudah menikah, kita tidak pantas masih dekat walaupun bersahabat karena bagaimanapun kamu harus menjaga perasaan Abel." "Itu tidak masalah ..., persahabatan tidak akan mengganggu pernikahan." Sebenarnya dia mengharapkan hal berkebalikan, tetapi kali ini dia harus merangkai kata yang pas untuk membujuk Naura."
Devan berkata santai saat menyahut permintaan Satria, "Saya tidak mengerti rumah tangga. Usia saya belum sampai kesana." "Kamu pikir saya megerti! Ck!" Saat ini bukan hanya perasaannya yang campur aduk, tetapi moodnya sedang tidak baik."Saya akan menemani kamu di restoran." Devan bergegas meninggalkan duduknya saat Satria masih menatap tercengang."Mau apa?" "Menemani kamu saja. Tidak boleh?" Devan menyodorkan tangannya untuk melakukan salam tinju dengan Satria hingga kawannya menyahut. "Kita kawan satu geng. Kita menjunjung tinggi solidaritas." Satria menyukai cara Devan yang berhasil memperbaiki setengah mood buruknya. Maka, kini keduanya meluncur menuju restoran. Di sana, Devan mendapatkan meja khusus. Dia duduk bermain game dan makan di sana selama Satria bekerja. "Bapak boleh melaporkan ini pada papa!" ucap angkuh Satria di hadapan Galih hingga Galih tersenyum ramah, tetapi hatinya merasa seolah Satria sedang menuduhnya bahwa dia melaporkan semua yang Satria lakukan, bahkan u
Pagi ini Haris dan Mia mengajak anak dan menantunya berolahraga kecil. Mereka berlari kecil menyusuri jalanan daerah, tetapi Hendri dan Mia berhenti di lapangan untuk mengikuti senam maka kini hanya menyisakan Satria dan Isabella yang masih berlari kecil. "Ternyata daerah ini sangat luas." Isabella menyukai kegiatan ini, pun wajahnya berseri-seri.Namun, berlainan dengan Satria yang justru membenci kegiatan seperti ini. Langkahnya tiba-tiba saja terhenti setelah jarak dengan lapangan cukup jauh. "Kamu sendiri saja.""Saya tidak tahu daerah ini. Bagaimana saya akan pulang ...." Isabella menolak halus."Di daerah ini tidak ada yang tidak tahu papa dan mama!" Suara dingin Satria seiring menatap ke arah lain."Tapi kan ... saya juga sedikit malu kalau berjalan sendiri ..., bagaimanapun saya ini pendatang."Satria berdecak tipis. "Duduk saja di sini!" Dia menyalakan rokokn
Adzan magrib sudah berkumandang, tetapi Satria masih belum kembali. "Kebiasaan. Nongkrong sampai tidak tahu waktu!" Maka, Haris kembali mendengus kesal karena perbuatan Satria tidak tahu adab. Putranya tidak bisa membedakan sebelum menikah dan sesudah menikah. Dia juga malu pada menantunya. Namun, Mia sedikit membela putranya. "Tidak apa, pa ... sesekali. Lagipula ini week end, biasanya Satria sibuk di kampus dan restoran. Apa salahnya memberikan waktu bermain, yang penting tidak balapan. Motor Satria tetap di garasi.""Kasihan Abel ...." Haris mendesah. "Sejak tadi Abel sama mama. Mama rasa Abel juga tidak keberatan jika hanya sesekali memberikan me time pada Satria," kekeh Mia yang sedang memakai alat shalat. Hendri tidak lantas melakukan ibadah. "Panggil Abel. Kita shalat bersama." Jadi, ketiganya shalat di mushola yang terletak di samping kamar Haris dan Mia. Mereka tetap bersama hingga menyelesaikan shalat isha. Kemudian Mia dan Isabella mulai menata meja makan. "Ma, Abel tel
Isabella tahu jika ucapan dokter tidak bisa disampaikan pada Satria maka alasan dibuat. "Saya ingin fokus pada pekerjaan." "Fokus memang penting, tapi kesejahteraan rumah tangga juga sangat penting. Jangan karena kamu ingin berkarier, terus kamu mengabaikan masa depan rumah tangga kamu." Dokter wanita ini masih memberikan nasihat. "Saya sudah membicarakan hal ini dengan suami saya." Bukan maksud Isabella tidak ingin menerima masukan baik.Dokter tidak bisa mengatakan pendapatnya lagi. "Keputusan ada pada kalian. Saya hanya mencoba mengingatkan." Jadi, saat ini dokter menyarankan Isabella untuk mencoba kb pil dibandingkan mencoba kb yang berat. Maka, segera Isabella mendapatkannya di bagian farmasi, lalu mendesah."Apa keputusan saya benar?" Pil kb dipandangi karena obat ini akan menghambat anugerah Tuhan walaupun manusia tidak ada yang tahu takdirnya akan seperti apa.Sementara, Satria sedang duduk bersebelahan dengan Naura. Dia mencoba melanjutkan hubungan baik mereka. "Semalam say
Gadis ini segera merasa tidak aman menghadapi tatapan Satria, tetapi ternyata tuan muda pergi begitu saja. Satria memang tidak berminat berdebat dengan seorang gadis selain Isabella karena harga dirinya di mata umum akan hilang. Namun, Satria segera mengembalikan senyuman ramahnya lagi kepada semua pelanggan walaupun moodnya sangat buruk. Galih menyaksikan interaksi Satria dengan gadis itu, dan memperhatikan sikap propesional Satria. Itu adalah nilai plus yang akan dilaporkannya karena dia hanya mengatakan hal positif tentang Satria, tanpa berminat mengatakan sikap negatif Satria padanya dan kawan-kawannya. Galih sadar diri dirinya hanya karyawan Hendri.Namun, Galih memberikan peringatan kepada gadis itu supaya tidak mengkritik Satria karena dia tidak ingin akhirnya Satria bersikap buruk padanya. Hari ini Satria berniat tidak pulang, tetapi kemarin Haris sudah memberikan peringatan, maka dia menunjukan wajahnya saat makan malam, tetapi berniat pergi setelahnya. Malam ini tidak ad
Satria kembali ke rumah walaupun tidak ingin. Dia kembali pukul sepuluh, satu jam setelah Mia dan Isabella. Haris mendesah cukup panjang. "Kamu dari mana saja?" Tidak ada marah. "Satria nongkrong, Pa. Terus pas mau jemput mama sama Abel, ternyata sudah pulang." Kali ini Satria tidak berdusta karena memang itu kenyataan yang dia lakukan. "Mama sama Abel pulang jam sembilan. Ya sudah, temui Abel." Haris tidak menasihati apalagi menegur karena setidaknya Satria tidak pulang terlalu larut. Lampu-lampu murah segera dimatikan, tetapi saat ini Satria mulai menyeringai. "Kalau papa tidur, saya bisa keluar diam-diam!" Satria bergegas menuju garasi, tetapi anehnya pintu garasi terkunci walaupun sudah berulang dia mencoba masuk lewat dapur. "Apa papa yang kunci pintunya?" Kemudian dia keluar rumah mencoba membuka garasi dari luar, tetapi ayahnya mengunci pintu besar itu dan hanya bisa dibuka dari dalam. "Ck. Apa Abel mengadu kalau saya akan pergi!" Membawa wajah berang, dia menemui istrinya.
Satria segera menghampiri ayahnya dan mencoba menjauhkan ayahnya dari kawan-kawannya. "Pa, Papa yang sedang apa di sini?" Dia tersenyum saat bersikap santun. "Papa akan memeriksa lahan yang akan Papa bangun sebagai cabang restoran, tapi Papa mendengar lahan itu sudah didirikan bangunan ilegal, padahal Papa sudah membeli tanah itu lima tahun lalu." Haris menatap tegas pada putranya. "Eu ..., di daerah mana itu, Pa?" Satria berbasa-basi dengan senyuman canggung sekaligus malu pada teman-temannya. "Tidak jauh dari sini. Di belakang tempat ini." Satria segera menyadari lahan yang dimaksud Haris. 'Itu ... markas!' Dia terkesiap, tetapi mencoba berpikir positif. 'Ada banyak lahan kosong di sana, mungkin bukan yang itu.'"Kamu belum menjawab pertanyaan Papa." Hendri mulai memicingkan matanya pada Satria, lalu pada para pemuda yang semuanya memiliki tatto atau tindikan. "Eu ... Satria ... cuma sedang berjemur, Pa." Senyuman lebarnya. "Kamu pikir siapa di hadapan kamu ini. Heuh!" Haris m