Hana tersenyum ketika melihat mobil suaminya yang baru saja masuk ke halaman rumah. Ia beranjak dari duduknya sambil memegang perut bagian bawah. "Aku tunggu di sini aja, nggak enak jadi obat nyamuk." Nara enggan untuk beranjak dari duduknya. Ia lebih memilih duduk di kursi, daripada harus menjadi saksi kemesraan sahabatnya."Yang ngajak siapa?" Hana menjulurkan lidahnya dan berjalan dengan pelan menuju ke arah mobil suaminya yang sudah terparkir.Nara hanya diam dengan mulut yang sedikit terbuka. "Ternyata, apa yang dikatakan Cinta benar." Nara semakin menyadari, keusilan Hana.Hana tersenyum ketika melihat suaminya turun dari mobil. Diambilnya tangan Daffin dan kemudian menciumnya. "Maaf ya anak-anak, tadi di jalan macet. Lama ya, nunggu papi bawa bakso beranak nya?" Daffin tersenyum dan mengusap perut buncit Hana. Pria itu kemudian mencium kening istrinya.Hana tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa papi, sore memang macet." "Senangnya punya istri dan anak-anak yang
Nara hanya duduk diam di samping kursi kemudi. Sedangkan pria yang duduk di sebelahnya, tampak fokus mengemudikan mobil. Hanya sekali-sekali Fatan memandang, sambil mengusap kepalanya.Ingin sekali bertanya, namun, niat itu harus dibatalkannya. Mengingat, ia yang bukan siapa-siapa. Namun, apa yang dikatakan sahabatnya, selalu saja terngiang di telinganya. Nara tahu, bawa Hana bukan tipe teman yang suka mengarang ataupun sok ingin tahu."Abang, kita mau ke mana?" Nara bertanya ketika menyadari bahwa mobil yang dikemudikan Fatan tidak menuju ke arah rumahnya."Mau ngajak makan, tapi sudah kenyang. Kita duduk nyantai di taman sebentar ya." Fatan tersenyum dan mengusap kepala Nara."Iya." Nara menganggukkan kepalanya. Meskipun air matanya tidak menetes, tapi hatinya menangis. Sebenarnya Fatan menganggapnya seperti apa. Sikap pria itu lebih cenderung ke sikap Abang terhadap adiknya. Fatan yang selalu sopan dan santun seperti ini, yang membuatnya jatuh cinta. Selama mereka dekat, tidak p
"Kenapa rasa eskrim Nara enak, gak seperti yang tadi, padahal merek dan rasa sama." Fatan berkata dalam hati sambil menjilat eskrim nya. Mereka sudah tidak banyak berbicara dan menikmati es krimnya masing-masing."Sebenarnya ada yang ingin Abang omongin." Fatan berkata, ketika es krim ditangan Nara sudah habis, begitu juga dengan eskrim yang ditangannya. Jantungnya berdegup dengan sangat hebatnya. Ia berharap, apa yang didengarnya, merupakan kejelasan tentang kedekatan mereka. Dipandangnya wajah tampan milik Fatan, Sambil menunggu pria itu berbicara. Apapun yang akan didengarnya nanti, ia berharap tidak akan sakit hati. Nara tahu dan sadar, bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Fatan diam sejenak dan menatap wajah gadis yang duduk depannya. Diselipkannya jari di dagu lancip milik Nara, hingga wajah gadis itu sedikit mendongak ke atas dan menatapnya. "Adek cinta abang gak?" Ditanya seperti ini, membuat Nara gugup dan salah tingkah. Dijawab iya, takut salah, dijawab tidak, tapi cinta. T
"Nanti kalau adek sudah kerja di kantornya pak Surya, gak boleh genit ya. Nggak boleh dekat-dekat juga sama karyawan laki-laki." Fatan menunjukkan rasa cemburunyaNara memandang Fatan dengan senyum tertahan. "Selesaikan dulu sama yang di sana, baru boleh cemburu." "Pokoknya abang nggak mau tahu, adek nggak boleh dekat sama karyawan manapun. Abang bakalan pantau di sana." Fatan berkata dengan dengan wajah serius. "Belum jelas status aja sudah posesif." Nara mencibir."Namanya juga cinta dek," jawab Fatan yang tersenyum dan menarik hidung Nara."Udah ayo, kita pulang." Nara memegang tangan Fatan."Iya ayo." Ia beranjak dari duduknya. Mereka kemudian berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir."Besok kalau mau antar lamaran ke perusahaan pak Surya, kasih tahu Abang, biar Abang antar." Fatan berkata, ketika sudah masuk ke dalam mobilnya dan duduk di kursi kemudian."Nggak usah, besok Nara bawa motor saja." Nara tersenyum "Kantor pak Surya dengan rumah adek, jauh. Abang jemput aja," jaw
"Hai anak-anak, kenapa bangun di jam sekarang. Lihatlah, hari sudah sangat malam. Papi kalian lagi tidur. Opah, omah, juga lagi tidur. Siapa coba yang mau main sama kalian, mami juga ngantuk." Hana mengusap-usap perutnya. Hana tersenyum, ketika kedua buah hatinya tidak mendengarkan ucapannya. Si kembar masih sibuk menendang-nendang dari dalam perutnya. "Hai, anak-anak yang super pintar, mami ngantuk." Dirasakannya bagian perut yang sedang menonjol. Walaupun kedua anaknya membuat perutnya terasa ngilu, namun ia sangat senang, ketika melihat tonjolan dan tonjolan yang berganti-ganti posisi. Daffin membuka matanya ketika mendengar istrinya berbicara sendiri. Dilihatnya Hana yang sedang terjaga dari tidurnya. "Adek nggak tidur?" tanyanya."Gimana mau tidur, ini si kembar dari tadi gerak. Mereka ngajak main, minta bergelut." Hana tersenyum dan mengambil tangan Daffin. Diletakkannya tangan calon si papi di atas perut yang saat ini sedang terasa berkedut-kedut.Meskipun nyawanya belum te
"Gendong yang besar dan buncit aja bisa, masak bawa ini nggak bisa." Daffin tersenyum ketika melihat istrinya manyun.Hana hanya diam sambil memajukan bibirnya. "Ini bibir di maju-majuin terus, mancing ya." Ditariknya tubuh istrinya hingga semakin merapat dengannya. Daffin mencium bibir Hana dan meletakkan tangannya di belakang tekuk leher, agar istrinya tidak bisa menolak. Pria itu baru melepaskan bibirnya, ketika merasakan cubitan halus di pinggang."Abang, cepat bawa bakinya." Hana tersenyum manja dan mengusap bibirnya yang basah karena ulah suaminya. Apa yang dilakukan Daffin, mengingatkannya dengan peristiwa dulu ketika mereka berada di dapur. Suaminya tidak malu dan dengan santainya melakukan hubungan suami-istri di dapur. Ia takut, lelakinya akan lepas kendali."Iya sayang." Daffin mengangkat Baki yang di yang sudah disiapkannya. Ia berjalan menuju ke ruang makan bersama dengan istrinya.Hana duduk di kursi sambil menunggu Daffin, menyuapkan nasi untuknya. "Sebentar ya ana
Nara menghubungi Fatan lewat sambungan telepon di aplikasi WhatsApp. Jantungnya berdegup cepat ketika mendengar suara Fatan dari dalam telpon seluler yang menempel di telinganya."Iya dek," jawab Fathan"Abang, uangnya sudah masuk ke rekening Nara." Nara memberi tahu. Meskipun hatinya senang melihat nominal yang masuk ke rekeningnya, namun tetap saja, ia takut akan mendengar kata pria tersebut, salah nulis nominal."Iya, nanti kalau mau ke mall ajak Mama ya." "Iya, tapi abang salah kirim.""Salah kirim gimana, tapi katanya masuk, kok salah kirim?" Fatan tidak mengerti dengan maksud dari gadis pujaan hatinya."Itu uangnya.""Enggaklah," jawab Fatan dengan yakin."Abang coba cek lagi nominal yang abang kirim." Nara mengingatkan.Fatan melihat laporan uang yang dikirimkannya ke Nara. "Iya sudah dilihat." "Cek lagi bang, itu yang abang kirim 15 juta, bukan satu setengah juta." "Iya, Abang memang kirim 15 juta." Fatan tersenyum ketika baru memahami maksud Nara. Tangan Nara gemetar meme
Hana merasakan jantungnya yang berdegup dengan hebat, ketika masuk ke dalam ruang pertemuan dengan para wartawan. Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya. Ia kemudian duduk di kursi yang sudah disiapkan dengan gaya elegan. Sedangkan Hana duduk sebelahnya. Didalam ruangan yang besar ini, sudah penuh, oleh para wartawan. Namun wartawan, tidak boleh mendekat ke meja. Fatan sudah mengatur, batas untuk wartawan. Bila ada yang maju ke depan, hanya perwakilan saja. Di atas meja, sudah ada mikrofon, kamera dan alat rekam lainnya. Melihat banyaknya wartawan yang ada, membuat jantung Hana berdegup dengan hebatnya. Ia tidak hanya berdua dengan Daffin. Namun ada 2 orang pengacara yang mendampingi, dan Fatan, yang merupakan orang kepercayaan di perusahaan suaminya. "Selamat pagi, bapak-bapak, ibu-ibu jurnalis semua. Terima kasih sudah datang ke kantor saya. Saya minta maaf, karena baru bisa memberikan klarifikasi. Berhubung, beberapa bulan ini saya sibuk mengurus istri saya. Jadi belum