Janagn lupa vote dan komen ya kakak... biar author semangat, hehe.
“Sialan kau Hans.” Mendongak menatap Hans.”Cegah jangan sampai aku melakukan hal itu, kalau sampai itu terjadi, awas saja kau!” “Sepertinya mereka sudah selesai, saya lihat sebentar, Tuan Muda.” Hans mengalihkan emosi sesaat Andro yang baru saja muncul. “Hem…” Andro hanya memperhatikan dari tempatnya duduk, sepertinya pintu memang sudah terbuka. Dai menyentuh dadanya yang berbeda karena tegang. Masih memikirkan hal pertama yang akan ia lakukan setelah memasuki kamar. Sekretaris Hans mendekat ke arah pintu. Pengawal yang sedari tasi berdiri sigap mengawasi dua ahli kunci itu mendekat. Ia menyampaikan informasi kalau pintu sudah terbuka. Dia bertanya, “Apa polisi di luar sudah boleh pergi?” Sepertinya situasi cukup kondusif. “Tidak, tidak ada yang boleh pergi sebelum Tuan Muda keluar dari kamar ini nanti. Sekarang menyingkir. Ajak semuanya menunggu disana!” Hans menunjuk kursi taman di luar lantai satu yang terlihat dari jendela luas di depan kamar. Taman itu adalah radius aman yang
Di hotel, Hans juga sudah menyiapkan presidential suite room satu-satunya di hotel ini karena kunci pintu kamar Andro dan Raya yang masih diperbaiki. Malam semakin larut, Andro menarik selimut sampai ke bahu Raya. lalu dia mencium pipi dan kening istrinya itu berulang-ulang. “Bodohnya aku, kau pasti sangat sedih karena aku tidak muncul di pesta Oma ya?” Sorot mata lembut Andro memandang istrinya. “Maaf sudah membuatmu menangis,” jemarinya menyusuri wajah istrinya. “Aku benar-benar ingin melihat bagaimana wajahmu besok kalau kau ingat kejadian malam ini.” Andro terkikik sendiri. Memeluk Raya yang sedang tidur pulas sekali lagi. Sepertinya wanita ini sudah benar-benar kehilangan energi kehidupannya di pesta tadi, sampai bisa membuatnya tidur sepulas itu. Andro pun keluar kamar dan mendapati Hans sedang duduk sambil memegang ponselnya. Sekretaris itu masih saja sibuk bekerja di tengah malam seperti ini. Andro mendudukkan diri di samping Hans. “Panggil Pak Sam dan orang yang membantu
“Huam…” Raya menguap dan menarik selimut menutupi wajahnya. Sinar matahari masuk melalui jendela kamarnya yang sudah terbuka, bias cahayanya jatuh ke atas tempat tidur. Menghangatkan ruangan. Raya menggeliat pelan di bawah selimut. Terdengar suara pelan dari sana. Dia menggeliat lagi, menarik selimut dan menggulungnya dengan badan lalu bergoyang ke kanan dan ke kiri. Mengumpulkan separuh nyawanya dengan cara ini. “Kau sudah bangun?” Suara Andro terdengar berat di pagi hari. Raya menjatuhkan selimutnya ke lantai karena terlonjak kaget, dia mengambil bantal menutupi dirinya lalu mengintip. “Sayang.” Memanggil Andro dengan suara pelan, memastikan kalau itu benar suaminya. Mata Raya memindai sekitarnya, dia terheran. Aku dimana? Bukankah semalam aku ada dikamarku? Dan seharusnya aku juga sendirian karena aku mengunci pintunya. Raya panik, berusaha mengingat kejadian semalam. Raya masih mengintip di balik bantalnya. Suaminya sedang duduk di sofa memakai jubah handuk. Raya menggoyang
“Bagaimana kalau kita mulai dari sini.” menunjuk dada telanjang Raya dengan jarinya. Habislah aku! Tanpa aba-aba Andro meremas dada Raya, remasannya lembut. Namun mematikan bagi wanita itu. Andro mendekatkan wajahnya, meraih pinggang Raya untuk menariknya agar tak berjarak dengannya. Saat tangan Andro masih terus meremas lembut dada Raya sebelah kanan. Kini bibir Andro mulai mendekat, “aku harus memberimu pelajaran.” Bibir laki-laki itu pun begitu lembut melumat bibir Raya. Raya semakin tak kuasa menahan gejolak di dirinya ketika jemari Andro mulai memilin pucuk dadanya. “Akh!” Bibir itupun tak kuasa meloloskan suara pekikkan, membuat Andro semakin gemas dan menurunkan bibirnya ke titik sensitif dada Raya. Melumat dan menghisapnya penuh penghayatan. “Ssh!” sekali lagi Raya kelepasan. Seketika ia menutup bibirnya. Tapi suara-suara yang keluar dari bibir Raya tak bisa ditarik kembali, dan semua itu membuat hasrat Andro semakin menjadi. Respon otaknya membawa jemari miliknya untuk
Entah kenapa, tiba-tiba Andro meminta Pak Sam untuk menyiapkan makan malam di ruang kerja saja. Dia dan Raya akan makan malam disitu.Saat makanan sedang dihidangkan, Raya kembali diam dan berargumen dalam isi kepalanya sendiri. Andro yang melihatnya, mendekat untuk bicara dengan istrinya itu.“Aku butuh penjelasan, Raya.”“Terima kasih Pak Sam,” ucap Raya pada Pak Sam yang telah selesai menyiapkan makanan.Pak Sam menunduk untuk pamit dan segera pergi dari ruang kerja Andro.“Ayo kita makan.” Raya menyendok nasi ke dalam piring Andro.Yang Andro tidak suka, Raya terlihat ceria bersama Radit, tapi bersamanya Raya terlihat dingin dan masa bodoh. Kalau dipikir-pikir, Raya jarang tertawa. Lebih banyak diam tersipu dari pada tertawa seperti tadi.“Aku mau bicara.” Andro mengulangi kata-katanya.Raya menghentikan tangannya yang tadi sibuk menyiapkan makanan di piring mereka, dia menatap pria itu.“Tentang Kak Radit?”“Andro terkekeh. “Kau pandai sekali.”Raya menarik napasnya mendengar suar
Ketika berada di kamar mandi, Raya menatap pantulan dirinya di cermin. Dia merasa kalau dadanya semakin membengkak. “Astaga, ini kenapa semakin besar, apa karena Andro sering memainkannya?” Raya menarik napas dalam, dia duduk di atas closet. Merasakan pusing yang kembali melanda. “Kenapa ini? Kenapa aku merasa sangat pusing?” Tak lama, Raya merasa mual. Dia muntah, membuka mulut menghadap wastafel. Raya sengaja mengalirkan kran air supaya suara muntahnya tidak terdengar. Raya merasa lesu, dia duduk terdiam kembali di closet. Tanpa sadar Raya memegang perutnya. “Seharusnya aku sudah datang bulan, tapi ini belum juga…” gumamnya pelan. Ada rasa gelisah saat Raya membayangkan dirinya hamil, dia ketakutan. “Apa aku hamil?” Dia takut dirinya belum siap menjadi seorang ibu yang mana harus menjaga, melindungi dan membahagiakan anaknya. Namun di sisi lain, Raya bahagia jika itu benar terjadi. Artinya di telah diberi kepercayaan oleh Tuhan. “Apa aku benar-benar hamil?” “Raya Sayang, apa
Raya mendekat pada seorang perempuan yang membereskan dekorasi seorang diri. Wajahnya terlihat menahan kekesalan, rautnya seperti perempuan jutek yang enggan diajak bicara. Melihat kedatangan Raya saja, dia hanya menatap dan membisu. Bukan seperti tatapan sendu dan penuh keakraban, tapi tatapan dingin yang memperlihatkan seolah jiwa yang ada di dalam dirinya telah mati. “Halo, aku–” “Ada apa Nona, jika anda kemari untuk membantu, saya tidak butuh bantuan anda,” gadis itu langsung menyela sebelum kalimat Raya selesai diucapkan dengan logat sedikit medok. Raya tidak bisa berkata-kata, dia duduk begitu saja di samping perempuan yang memasukkan beberapa hiasan ke dalam kotak kardus. “Mari aku bantu.” Dia masih diam tidak menjawab perkataan Raya. “Namaku Raya, siapa namamu?” Raya mengangkat tangannya. Gadis itu menjabat sesaat sambil berkata, “Rara.” “Rara? Nama kita hampir sama ya, Rara, Raya.” Raya tersenyum, “senang bertemu denganmu.” Rara kembali tidak menjawab, dia sibuk berber
Raya segera mendekat ke sofa dan membawa benda itu ke kamar mandi. Di kamar mandi, Raya membaca instruksinya, segera menampung air seni milik nya dan dengan jantung berdebar kencang, dia memperhatikan benda yang sudah dicelupkannya itu. Sampai akhirnya, memperlihatkan dua garis merah. Air mata Raya jatuh begitu saja, dia tersenyum lebar. “Ya Tuhan, aku hamil.” *** “Selamat pagi, Sayang,” ucap Andro menarik pinggang Raya supaya jarak mereka berdekatan. Raya yang belum sadar sepenuhnya hanya menggeliat, berbalik ke arah Andro lalu memejamkan matanya lagi. Raya baru tertidur beberapa jam semalam, dan tidak bisa menutup matanya saat mengingat dirinya sedang hamil. “Bangun, Sayang, sudah siang.” Raya menguap lebar, dia malah bersandar di dada Andro dan memejamkan mata semakin rapat. “Sayang…” Raya masih diam, membuat Andro heran dengan keadaaan Raya yang akhir-akhir ini malas bangun dari tempat tidur. Raya selalu memejamkan matanya dan seolah sulit bangun. Raya menggeleng tanpa sa