Terkadang karena keadaan, terpaksa atau apa pun itu membawa kita pada perjalanan hidup berlika-liku. Seperti aku berada dalam bubble yang tidak ada ujungnya. Entah jam berapa sekarang, mataku tak bisa terlelap dan pikiranku melayang. Dari waktu ke waktu sebenarnya aku berkesempatan untuk kabur di sini, tapi entah mau kemana.
Di luar sana seperti tidak ada tempat untukku. Namun lebih dari itu aku tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan pegangan. Hari-hari yang kuhabiskan di tempat ini tidak jauh berbeda dengan keseharian pembantu.
Suara petir mengagetkanku.
Malam ini hujan lebat, aku menyelimuti tubuhku dengan selimut lalu kulapis lagi dengan handuk. Karena selimut saja tidak bisa menghangatkan tubuhku yang berbaring di atas tikar. Dinginnya lantai menebus tikar menusuk hingga ke tulangku.
Sorot lampu dari cela kayu di atap cukup memberi penerangan di kamarku, setidaknya aku bisa melihat walaupun samar-samar. Kata Tanteku hemat listrik makanya kamarku tidak dipasang lampu. Kututup mataku supaya cepat terlelap, berharap malam cepat berlalu dan aku cepat dewasa. Ah, bodoh bukan! Mana mungkin dalam waktu semalam aku langsung dewasa. Umurku sekarang masih 16 tahun tapi aku ingin cepat dewasa.
Suara petir menggelegar membuatku semakin takut. Tante dan Omku belum pulang, mereka pergi ke acara syukuran saudara. Mungkin tidak akan pulang karena hujan sangat lebat. Ya, aku tinggal bersama Tante Gani, adik ayahku. Orangtuaku meninggal karena kecelakaan mobil.
"Milaaa... " suara Om Danu terdengar kuat, kupingku sangat sensitif jika mendengar suaranya. Kenapa dia pulang? Perasaanku tidak enak. Aku memegang kuat selimutku.
Laki-laki itu kelakuannya tidak bisa dibilang manusia. Suka bermain judi, malas bekerja, suka marah-marah di rumah. Kalau makananku tidak enak dia tidak segan melempar ke arah wajahku.
"Milaaa."
Aku tersentak terbuka tepat pada saat suara pintu terbuka. Melihat pria bermata hitam menatapku dengan mesumnya sambil menyeringai. Aku bangkit terduduk. Kuremas selimutku kuat sangking takutnya. Om Danu bukan pertama kalinya datang ke kamarku dengan seringai seperti itu, untungnya waktu itu ada Tante Gani. Dan sekarang siapa yang akan menyelamatkanku, Tuhan tolong..
Aku semakin mempererat selimutku. "Om, ngapain ke sini? Tante mana?"
"Oh, itu Tantemu nginap katanya. Ndak bisa pulang hujannya kuat. Om kasihan sama kamu makanya pulang." Dia menjawab dengan senyum yang membuatku jengkel.
Aku semakin takut, pria itu berjalan dua langkah dari ambang pintu. Samar-samar aku masih bisa melihat dia tersenyum dan menatapku liar ke seluruh tubuhku, padahal masih tertutup selimut. Aku yakin dia berpikiran mesum.
"Mila, pijitin Om ya. Saya capek, Tantemu nggak ada di rumah jadi kamu aja ya."
Aku menggeleng kuat, dia menyebut namaku lembut tapi membuatku jijik. Namaku Karmila, dipanggil Mila. Tapi aku tidak suka kalau pria itu yang memanggil.
Lihat dia sedang meraba-raba bagian tengah celananya. Mataku dingin melihatnya. Aku menarik selimutku semakin ke atas tertutup hingga ke leher. Sekarang aku yakin yang merusak kunci kamarku pria bandot ini. Tangannya menarik selimutku lalu melemparnya asal.
"Om, saya nggak mau. Tolong keluar dari kamar saya sekarang." Aku berucap tegas ditengah-tengah ketakutanku.
Bukannya pergi dia malah semakin dekat dan matanya menatapku lapar. Aku ingin lari dan berteriak tapi suara hujan seperti menenggelamkan suaraku. Aku tidak tahu mau kemana kalau aku lari dari sini.
"Tolong om saya nggak mau," ucapku lagi bernada panik.
Berkali-kali dia berusaha menciumku, tangannya mencekamku saat aku melawannya. Aku tidak akan menyerah, tidak akan rela di sentuh laki-laki bedebah seperti dia. Dia kembali menyentuh tubuhku, bibirnya meluncur ke pelipisku dengan nafas yang bisa kudengar jelas terengah-engah.
"Saya cuma megang bentar, masa nggak boleh." Suara mesumnya membuatku jijik. Dia seperti di rasuk iblis, kekuatannya mencekam tanganku hingga seperti meremukkan tulang tanganku. "Ayolah Mila... kamu jangan ngelawan nanti juga kamu suka."
"Om tolong lepasin saya!" Sekuat tenaga aku melawan hasrat pria brengsek ini.
"Jangan ngelawan kamu! Udah untung saya tampung kamu, ngasih tempat tinggal dan makan. Sekarang saya minta bayarannya."
Dia mendorong tubuhku sampai terbaring di lantai. Tikar yang aku pakai tadi sudah bergeser, bantal juga sudah tergeletak jauh. Aku memukul badannya yang gemuk, tidak ada bau alkohol dalam nafasnya. Dia sadar dengan kelakuannya.
"Om jangan sentuh saya. Mila janji akan bayar biaya hidup Mila di sini." Aku menangis kencang setelah dia menamparku kuat.
"Dari mana kamu duit? Sok mau bayar, udah kamu nggak usah bayar. Cukup kamu puasin saya."
Saat dia sedang membuka bajunya kesempatanku menendang milik berharganya sekuat tenaga. Teriakan kesakitan keluar dari mulutnya dan aku tidak membuang kesempatan. Aku berlari keluar dari kamar itu dengan rambut berantakan menerjang hujan tanpa tujuan.
Tangisku kuat meratapi hidupku, tapi aku yakin tidak ada yang mendengarnya. Tengah malam ditemani hujan seperti ini orang akan lebih memilih untuk tidur. Aku tidak tahu apakah tempatku benar-benar di sini. Aku tidak punya seorangpun untuk diajak bicara.
Aku pernah berharap untuk menghilang saja dari dunia ini. Dunia ini terlihat begitu gelap dan aku menangis sepanjang malam. Apakah aku akan merasa lebih baik jika aku menghilang?
Aku melangkah gontai dikuasai rasa kesal dan lelah, pakaianku mulai mengering di tubuhku. Suara rintik hujan menemaniku hingga ke pondok milik tetangga. Aku sanggup tidur di sini ditemani suara jangkrik tanpa cahaya lampu dari pada kembali ke sana.
"Hidup kok gini banget Tuhan... berat buat Mila," monologku. Menarik kakiku ke depan dada dan memeluknya. Aku tidak mau menjadi objek pelecehan pria hidung belang. Aku bersumpah hanya suamiku yang akan menyentuhku.
Tetanggaku Nia, dia baru pulang dari Malaysia dua bulan lalu. Kami bertemu di pasar pagi tiga hari lalu. Katanya tempatnya bekerja sedang merekrut calon pekerja baru. Belum tahu jelas apa pekerjaan yang akan ditawarkan. Mendengar cerita dia bangun rumah dan punya ATM mastercard, aku berpikir kenapa tidak aku coba.
Perlahan mataku tertutup dan masih sesenggukan. Tapi, entah kenapa aku selalu ingat pesan mama "Mila jangan takut ada Tuhan yang selalu melihat Mila."
POV: Mila Kuputuskan pulang saat matahari sudah menunjukkan keberadaannya. Semoga saja rumah kosong atau Tanteku sudah pulang dari tempat saudara. Mengingat wajah Om Danu yang buas malam itu membuatku takut untuk bertemu dengannya. Kadang-kadang aku ingin sekali memberi racun tikus di makanannya. Tapi nanti tempatku di neraka. Kuraba bajuku, sudah kering sendiri setelah semalaman aku memakainya dengan keadaan basah kuyup. Kepalaku terasa sakit dan lemas, ini karena aku tidur di luar pasti. Semalam aku terduduk di pondok kebun orang, hanya tempat itu yang bisa kudatangi.Aku masuk ke halaman rumah takut-takut. Rumah terbuat dari kayu itu terlihat sepi, jendelanya juga masih tertutup. Takutnya laki-laki brengsek itu masih di dalam rumah. Pintu tiba-tiba terbuka. Dan Tante Gina keluar dengan wajah menyeramkan. Lalu dari belakang pria brengsek itu keluar juga. 
Pov: MilaKulangkahkan kakiku mengikuti Om-ku, laki-laki bedebah itu. Aku bahkan tidak tahu kemana dia membawaku, untuk pertama kalinya aku pergi dari kampung halamanku. Aku terus mengikuti Omku yang berjalan di depanku. Melewati kerumunan orang-orang yang sedang menari dengan alunan music yang hampir memecah gendang telingaku. Tanteku memaksaku untuk pergi, orang-orang di kampung mengecapku sebagai gadis liar. Untuk itu aku memutuskan mengikuti kemauan mereka. Kata Omku, aku tidak perlu khawatir tentang tempat tinggal dan isi perutku. Semua sudah tersedia, aku semakin penasaran dengan apa perkerjaanku nantinya. "Tunggu di sini, saya mau cari bosnya," ucap pria brengsek ini memberi tunjuk kursi kosong. Entah aku ingin sekali memakinya, dia tidak pantas aku sebut pamanku. Tapi ucapan itu tersangkut di tenggo
POV: Alister. Malam ini aku mendatangi club malam langgananku, atas undangan khusus dari Tanaka. Dia si pemilik Club itu, dia selalu memberiku service VVIP. Ya, karena aku mampu membayar untuk harga yang ia berikan dengan persyaratan yang aku ajukan. Mendengar penuturannya di telpon membuatku bergairah. Mana ada laki-laki yang menolak wanita masih virgin dan polos. Apalagi dia cantik. Katanya sih cantik... "Inget ya, saya nggak mau kecewa. Kalau ternyata barangnya nggak sebagus ucapan kamu, tahu kan akibatnya?"Wanita itu mengangguk lalu tertawa lebar. Si penyalur wanita malam ini berkata. "Barangnya asli masih ori, banyak bonusnya lagi. Jamin deh sesuai harga. Aku tahu kamu kan suka yang virgin. Umurnya juga masih muda."Banyak bonusnya, yang kayak gini nih yang aku suka. Tanaka paling tahu selera aku, apalagi daun muda. Aku hanya
Pov: Mila."Pernikahan kita hanya di atas kertas, di rumah kamu adalah perempuan bayaranku." Ucapan itu terngiang di benakku. Akhirnya aku lepas dari tempat laknat itu. Semua berkat laki-laki yang baru saja menghalalkan aku. Ini semua seperti mimpi bagiku, aku tidak tahu harus bahagia atau sedih dengan pernikahanku.Tapi yang jelas untukku, bertemu dengannya adalah garis hidup yang sudah dirancang Tuhan untukku. Walaupun kasar, ketus, dan dingin aku bersyukur bertemu dengannya.Akhirnya Meira dibebaskan, malam itu saat aku dan Meira mendatangi ruang Tanaka tiba-tiba anak buah Tanaka menyekap Meira dan mengancamku kalau tidak menuruti perintahnya Meira akan dibunuh. Mereka tahu Meira teman yang paling dekat denganku, gadis itu banyak membantuku hingga aku tidak tega. Dan akhirnya aku tahu Tanaka hanya menggertakku. Mana mungkin mereka membunuh Meira
POV: Mila. "Kamu sekarang tinggal di sini, kita pisah rumah. Kamu tenang aja, rumah ini jauh dari kota masih perkampungan jadi nggak ada yang gangguin kamu. Sekali-kali aku akan jenguk kamu."Aku mengerjap bingung. "Kita tinggal terpisah Om?" tanyaku. "Iya, kenapa? Kamu mau tinggal dengan aku? Aku ini pengacara terkenal, Mila. Keluargaku pasti marah besar tahu aku menikahi pelacur. Makanya kamu harus disembunyikan." Rasanya bumi berhenti berputar dari porosnya. Aku memang tinggal di Club malam, tapi Om aku bukan pelacur. Tadinya aku ingin mengajak Omku ziarah ke makam orang-tuaku. Ucapan dia menyadarkan aku kalau pernikahan ini tidak ada, dinikahi saja sudah syukur. Aku mengambil air hangat untuk membasuh kakinya, perjalanan kami sangat panjang dia pasti capek me
POV: Alister. "Mila! Bangun... sudah pagi kamu masih tidur aja. Jangan jadi pemalas kamu... " Aku mengguncang tubuh Mila yang masih terbungkus selimut. Aku tahu dia ini pura-pura tidur, pasti mau menghindar dari tugasnya."Mila!""Om, udah pagi ya," gadis itu akhirnya menjawab. Perlahan matanya terbuka. Apa dia lupa semalam pingsan hanya karena tersentuh juniorku yang menegang? Megang saja pingsan apalagi melihatnya. Belum lagi di masukin. Sepertinya aku harus punya strategi panjang, supaya Mila cepat bertubuh dewasa pikirannya.Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Mila, balas dendam karena dia aku jadi main solo sambil mandangin dia tidur. Pingsan apa pura-pura tidur, jadi curiga."Malah tidur lagi! Nggak usah pura-pura tidur Mila, jangan karena aku nikahin kamu jadi ngerasa nyonya besar. Kamu ngaca, tinggal disini harus tahu diri." Aku menendang kakinya pelan, matanya terbuka l
POV: Mila. "Apa sih yang bisa aku harapin dari kamu," suara Alister bernada tinggi. Dia sedang berkacak pinggang di depanku. Sedangkan aku fokus pada bulu halus pada garis lurus dekat udelnya. Semua karena kebakaran yang aku ciptakan di dapur. Om jadi membuka bajunya lalu direndam ke air untuk mematikan api. Secepat itu gerakannya seakan tahu aku membuat rumahnya hampir hangus.Aku heran tahu darimana dia kegiatanku di rumah. Kebakaran ini terjadi karena aku yang kurang hati-hati, kemarin aku sudah bisa memakai oven tapi hari ini aku sedang apes."Mila! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?" suaranya pelan namun mampu membuatku tertunduk dengan tangan gemetar. "Maaf Om, Mila nggak sengaja." "Lain kali pakai otak! Kamu kenapa nggak masak pakek kompor gas aja? Ngapain pakek oven kalau nggak ngerti makeknya. Udik-udik aja, nggak
POV: Mila. Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap. Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air. &nb
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng