POV: Mila.
Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap.
Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air.
Setelah minyak panas baru kumasak telur dengan api kecil. Senyumku mengembang melihat omelet hasil karyaku. Mantab pokoknya, tidak sia-sia aku menonton acara masak-memasak di TV.
"Kamu kenapa senyum-senyum? Salah makan ya?" ucap Om Alister baru keluar dari kamar, pakaiannya sudah rapih dengan setelan kemeja dan dasi.
"Om... Mila buatin sarapan." Kubawa hasil karyaku dengan senyum bangga pada suamiku.
"Ini kamu yang masak?" Aku mengangguk. Kutarik bangku dan duduk di hadapannya. Mataku tak berkedip menunggunya mencoba masakanku.
"Itu omelet paling sehat Om, banyak sayurannya." Ucapku tersenyum lebar. Aku pastikan Om tidak akan kekurangan gizi kalau aku yang masak.
"Ngapain lihatnya gitu banget? Kamu kasih racun ya?" ujarnya membuatku ingin menarik piring itu dari depannya. "Kalau nggak dikasih racun, kenapa buatnya cuma satu? Kamu nggak makan? Disangka orang aku jahat lagi nggak kasih kamu makan."
"Aku nggak suka Om masakan kayak gitu. Enakan aku makan ikan asin, tempe, sayur asem sama sambel terasi..." jawabku tanpa jeda, terserah dia mau bilang selera kampung.
Dia sangat lahap memakannya, melihat mimik wajahnya menikmati makanan itu membuatku senang. Sepertinya sesuai selera lidahnya. Lagi makan saja wajahnya begitu tampan, jadi penasaran siapa wanita yang ingin dia lamar? Dadaku tiba-tiba terasa sesak memikirkan itu.
"Enak Om?" tanyaku.
"Em." Hanya itu yang kudengar.
"Kamu kalau mau ketawa, ketawa aja. Semalam kamu ngintip aku kan di ruang tamu?" Kata Alister menatapku dengan wajah datarnya.
"Aku nggak sengaja, Om. Sumpah deh." Tidak ada balasan Alister. "Om jangan marah ya," sambungku melihat Om belum merespon ucapanku. Siapa coba yang mau ketawa lihat suaminya mau ngelamar perempuan lain, saraf kepala si Om agak kelipat kayaknya.
"Bisa nggak sih kamu jangan panggil aku Om, Om. Emang aku pendofil, nikahin anak-anak." Ucapnya dengan ketus, kali ini aku yakin dia benar-benar marah. Lalu aku harus panggil apa dong? Di kampung panggil Mas, apa bisa aku sebut itu.
"Mas--Mas Alister," ucapku ragu-ragu lalu dia meluruskan matanya padaku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tatapannya seolah menghipnotisku. "Nggak papa Mila manggil Om Mas?" tanyaku.
"Itu lebih bagus daripada Pak," ucapnya, tanpa melihatku. Aku tersenyum. Apa ini berarti hubungan kami semakin dekat. "Udah sana ambil makanan kamu, dari pada liatin aku terus."
Eh, masa Mas Alister salah tingkah aku liatin makan, mukanya merah gitu kayak pakek blush on. Apa ini mata aku saja yang rabunan. Aku menggeleng. "Aku belum laper Mas, liatin makan kamu aja aku udah kenyang." Aku menatap piring Omelet yang tinggal sedikit lagi. Nyesel bikinnya cuma satu.
"Aku udah kenyang, abisin sayang dibuang." Mas Alister mendorong piringnya ke depanku, lalu mengalihkan pandangannya pada gelas air putih sebelum meminumnya.
"Iya Mas mubazir kalau dibuang, tak bantu habisin ya," ucapku, tanpa mengganti sendok langsung menyendoki omelet ke mulutku. Ini toh Omelet? Rasa telur juga kok campur sayuran. Beberapa detik berlalu, hening... Aku meliriknya yang sedang mengutak-atik hapenya.
"Mas, aku mau nanya, boleh nggak?" tanyaku memberanikan diri. Sesuatu yang mengganggu pikiranku.
"Tergantung. Kalau pertanyaan kamu menyangkut privasi aku. Aku nggak jamin bisa jawab." Jawab Mas Alister tanpa melihatku.
"Sebenarnya, Mila denger Mas soal yang semalam. Emangnya Mas Alister sudah punya pacar ya? Hubungannya sudah serius ya Mas, sampe mau lamar-lamar gitu." Okeh, aku sudah pasrah kalau dia mau marah karena pertanyaanku. Aku tahu posisiku tidak ada hak untuk kehidupan Mas Alister, tapi setidaknya aku ingin tahu wanita seperti apa wanita yang disukai suamiku.
"Iya aku serius sama dia." Ucapan itu seperti menyayat hatiku, sudah tahu sakit tapi masih ingin tahu. "Tapi dia bukan pacar aku, bukan pacar bukan berarti nggak bisa ngelamar kan?" tambahnya melihatku.
Entah harus senang atau sedih mendengar itu, apa maksudnya dia ngajak ta'aruf? Aku jadi semakin penasaran dengan wanita itu. Wanita yang mampu membuat Alister seperti orang lain. Dari wajahnya terlihat dia bersemangat mengucapkan kata-kata itu.
"Kalau Mas udah nikah, terus Mila gimana?" ucapku pelan, sekali lagi aku tidak sadar diri dengan posisiku. Aku pikir dia akan marah, tapi malah terlihat berpikir keras.
"Memang kamu maunya gimana?" tanyanya. Mata kami saling bertatapan, pagi-pagi jantungku tidak karuan begini. "Kamu tetap sama aku, sampe aku bosen dan lepasin kamu." Aku terenyak, harusnya aku senang bukan? "Kenapa kamu nanya-nanya? Pengen banget aku lepasin."
"Eh, enggak Mas. Cuma nanya aja, semoga perempuannya terima lamarannya ya Mas," ucapku tersenyum, tapi ada yang sakit tak bernanah.
"Ini terakhir kamu nanya masalah pribadiku, karena kamu terlanjur dengar makanya aku kasih tahu. Aku nggak suka kehidupan pribadiku dicampuri orang." Ucap Alister penuh penekanan. Aku tertunduk, mengerti dengan ucapannya. Aku hanyalah rempahan rempeyek yang tidak berarti di hidupnya. Wanita yang akan menjadi partner di atas ranjangnya saat umurku sudah 17 tahun nanti. Kapan saja dia bisa meninggalkanku.
Lalu Mas Ali melanjutkan dengan peraturan-peraturan rumah yang harus aku ikuti. Satu peraturan yang membuatku senang, dia tidak akan menyentuhku sampai umur 17 tahun, padahal itu kan beberapa bulan lagi.
"Jadi nggak boleh melakukan hubungan seksual saat umur Mila 17 tahun kan, Mas," ucapku memastikan.
"Hm." Dia mengangguk. "Seks ya Mila, bukan berarti kita nggak bisa kontak fisik."
Aku melotot tidak mengerti, maksudnya gimana? Dia boleh menyentuhku tapi tidak sampai melakukan hubungan intim itu? Aku jadi teringat dengan kecupannya semalam. Dasar laki-laki tidak mau rugi.
"Sentuhan fisik itu nggak selalu mengarah ke seks, kecuali aku buka baju kamu semua dan----" Dia terdiam. "Kamu ngerti kan? Aku males nerangin. Jangan jadi cewek bodoh-bodoh bangetlah Mila."
"Iya Mas, ngerti. Jadi aku nggak perlu melayani Mas di atas ranjang kan Mas?"
"Jangan seneng dulu kamu, ulang tahun kamu tinggal beberapa bulan lagi. Abis itu nggak ada lagi alasan dan bantahan," ujarnya. Sepertinya dia ingin sekali meniduriku, kenapa nggak sama perempuan itu saja.
"Mas, kenapa masuk ke club malam? Kenapa nggak sama perempuan yang Mas mau lamar aja melakukan itu?" tanyaku penasaran.
Sudut bibirnya naik, Alister menatapku sambil menggeleng. "Mila...Mila polos itu jangan dipelihara. Menurut kamu pria-pria yang booking perempuan malam nggak punya pasangan? Laki-laki bisa melakukan seks tanpa cinta. Tinggal tutup mata dan berimajinasi orang yang kita sayangin, kelar dah."
Aku tahu teori itu, Meira pernah menceritakan hal seperti itu. Berimajinasi dengan tubuh orang yang kita sayangi, dan menjadikannya objek kemesuman mereka. Tapi kenapa aku merasa tidak rela jika itu terjadi padaku, aku ingin dia melihatku dan sadar akulah yang bersamanya saat melakukan itu.
"Mas, aku masih banyak kerjaan. Kalau mau berangkat kerja pergi aja," dengan kurang ajarnya aku mengusirnya dengan halus, dia terdiam dengan wajah cengonya.
"Aku belum selesai bicara Mila!"
"Aku paham kok Mas, nggak usah diulang-ulang lagi." Teriakku.
Iya aku paham Mas, tugasku di sini dan siapa diriku. Aku menoleh saat mendengar gesekan kursi. Aku memandangi punggungnya yang semakin menghilang di balik pintu.
Aku menahan sesak di dadaku, ucapan Alister melukai harga diriku. Harga diri yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh setelah menikah dengannya. Aku menutup mataku, menarik nafasku dalam-dalam. Pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.
🌹🌹🌹
Aku mulai menikmati rutinitas di rumah ini.
Membersihkan rumah, menyusun pakaian Mas Alister. Katanya dia hanya sekali-kali datang ke sini tapi nyatanya dia selalu pulang ke sini. Lihat saja pakaiannya sudah penuh di lemari. Aku tersenyum menyusun pakaian yang sudah kuseterika.
Yang membuatku bingung, dia meletakkan uang di atas meja tanpa bicara. Apa dia sengaja mau ngetes apakah aku pencuri atau bukan. Tapi melihat isi kulkas kosong, aku berpikir untuk menggunakannya.
Pengamatanku setelah lama tinggal di sini, di ujung blok rumah ini ada warung. Daripada harus ke pasar yang aku tidak tahu dimana letaknya lebih baik aku belanja di sana.
"Bu, gula ya sekilo."
"Bayar ya, jangan hutang. Nggak balik modal kalau yang beli hutang-hutang."
Aku tersenyum mendengar gerutuan pemilik warung ini. Tempatnya tidak terlalu besar tapi sudah banyak pelanggannya. Aku memilah-milah sayur yang masih segar, di kampung aku sudah terbiasa dengan sayuran segar. Namanya ibu-ibu tidak lihat tempat mau ngerumpi. Masih saja mereka ghibah. Kupingku sampai panas dengerinnya.
"Eh, eh... tahu nggak tetangga saya ada yang kumpul kebo, baru tadi malam digerebek sama Pak RT."
"Ih, masa Bu... Yang mana itu orangnya?"
"Alahh, yang sering ngeborong sayuran di sini. Anaknya masih muda, masih bau kencur. Lakinya udah tuir. Apa orangtuanya nggak ngajarin etika ya sama dia?"
"Hussst... Kalau ngomong jangan kuat-kuat nanti ada yang ngadu pula sama dia."
"Ceweknya kok mau sama cowok yang tua, kurang stok laki tah, atau mau morotin uangnya doang." Aku melirik wanita berambut cepol itu tertawa dengan sinis.
"Namanya laki-laki Bu, dikasih ikan asin juga mau. Yang penting mah bisa digrepek-grepek. Entar kalau sudah hamil palingan gugurin, udah kayak perempuan nggak bener aja. Amit-amit punya anak perempuan saya kayak gitu."
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar obrolan ibu-ibu itu. Tanganku terhenti di sayur kangkung yang sudah layu, mataku memanas. Entah mengapa ucapan itu menusuk hatiku.
"Ada apa Neng? Kok diem aja. Jadi mau beli sayurnya?" tanya wanita di depanku, pemilik warung itu. Wanita yang di sampingku ikutan menoleh, obrolan mereka pun terhenti.
"Ng--Nggak papa kok Bu, ini sayurnya berapa harganya?" ucapku ingin buru-buru pergi dari situ.
"2000 aja Neng, cuma itu aja?" Aku mengangguk dan memberikan uangku, kakiku melangkah lebar tanpa mendengarkan teriakan ibu tadi.
"Neng kembaliannya..."
Aku takut mereka juga menghinaku. Takut mereka tahu siapa aku, takut mereka akan menggunjingku dan Mas Alister. Tapi kan kami tidak salah. Kenapa aku jadi sensitif begini sih! Seluruh tubuhku semakin bergetar, rasanya tidak kuat berdiri lama. Aku melangkah lemas ke rumah dan duduk di ruang makan, kedua tanganku mengusap air mataku yang sudah menetes.
Mereka menceritakan orang lain tapi aku yang merasa marah, kesal, dan malu. Andaikan orangtuaku masih ada mungkin aku tidak akan diposisi seperti ini. Harusnya aku masih menikmati hari-hariku di sekolah. Mengejar cita-citaku, bukan menikah dengan Mas Alister. Walaupun dia tidak terlalu tua. Hanya saja umur kami jauh. Apakah Mas Alister akan menyuruhku menggugurkan anak jika aku hamil?
Segala macam pertanyaan berkecamuk di hatiku, bagaimana kalau wanita itu menerima lamaran Mas Alister? Dan aku siapa? Simpanan kah?
"Neng, kenapa nangis?"
Aku mendongak melihat seorang pria paruh baya berdiri di depanku. Pak Udin, supir Mas Alister. Kenapa dia di sini? Aku mengusap air mataku, mencoba tersenyum.
"Nggak pa-pa Pak, kenapa pulang lagi?" tanyaku, mataku melirik ke belakang Pak Udin, laki-laki itu tidak ada.
"Neng yakin? Siapa yang bikin nangis."
"Nggak papa Pak, cuma kena debu jadi kelilipan," jelasku berdusta. Pak Udin menautkan kedua alisnya, mana mungkin dia percaya karena aku menangis sesenggukan.
Aku melirik kedua tangan Pak Udin yang menenteng dua pelastik hitam besar. Aku semakin mengerutkan keningku melihat barang-barang itu adalah kebutuhan dapur yang ingin kubeli, loh bukannya Mas Alister meletakkan uang di atas meja. Uangnya sudah aku pakai.
"Kata Pak Alister, nggak usah belanja. Ini sudah Bapak belikan di suruh Pak Alister, untuk stok katanya," ucap Pak Udin sebelum aku sempat bertanya. "Tadi pagi katanya ada uang di atas meja, itu untuk beli kebutuhan pribadi Neng," sambung Pak Udin.
Aku bernafas lega, "Iya Pak, bilang makasih. Uangnya sudah aku pakai," ucapku dengan wajah menahan malu.
"Yaudah Bapak balik kerja lagi ya Neng." Pak Udin melangkah ke arah pintu, aku mengantarnya ke depan. Tapi langkahnya terhenti dan menatapku serius. Kerutan di wajahnya terlihat jelas. "Kalau boleh tahu Neng siapa ya?"
"Maaf Pak, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Karmila Pak, panggilannya Mila." Aku menyalam pria tua itu.
"Oh Mila, terus neng ini siapanya Pak Alister?" tanyanya. Aku tercekat di tempatku berdiri. Alister bilang tidak satu orangpun boleh tahu tentang pernikahan kami. "Gak papa kalau gak mau jawab... saya cuma pesan. Kalau ada apa-apa Neng bisa ngomong sama Bapak." Aku mengangguk pelan, bibirku kaku untuk bisa tersenyum.
POV: Alister. Sebenarnya apa yang kulakukan sekarang? Mengikuti pasangan yang terlihat sedang kasmaran? Kezia dan Fabian sedang bercakap-cakap sambil tertawa. Kami sedang berada di butik Kezia, dia ingin aku menjadi modelnya untuk pakaian item laki-laki. Wajah tampan dan badanku yang atletis membuat Kezia memintaku untuk membantunya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak permintaan Kezia, hanya wanita itu yang mampu membuatku berkata 'Iya' Aku mendengus kesal, nyatanya bukan hanya aku tapi Fabian juga diminta datang untuk memberikan komentar. Komentar? Aku kan pengacara, jelas ucapanku lebih terpakai daripada pengusaha seperti dia. Mataku terus saja mengawasi mereka sambil bergaya di depan fotografer. Setelah selesai aku meminta Kezia membayarku dengan mengajakku makan di restoran Jepang. Alih-alih ingin berduaan dengan Kezia, Fabia malah ikut juga.
POV: Mila. Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan. Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghala
POV: Alister. Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia. Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku. Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang." Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau m
POV: Alister. Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga."Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku."Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila."Ukuran jarinya?" tanya wanita
Hembusan nafas kasar terdengar. Kezia keluar dari taxi, kini dia sudah ada di bandara. Tangannya menarik koper memasuki bandara. Hari ini dia akan terbang ke Singapure tanpa ada yang mengantarkan. Keputusannya sudah bulat. Kezia berjalan dengan elegan, penampilan yang modis jemarinya sudah di nail art. Wanita ini terlihat sosialita dan fashionable. Tapi wajah sendu terlihat di matanya. Seperti ada yang tertinggal yang membuatnya berat. Kezia menatap pada orang-orang yang disekelilingnya, tidak lama suara berbunyi.PARA PENUMPANG YANG TERHORMATPESAWAT DENGAN NOMOR PENERBANGAN."Kamu gak mungkin datang
POV: Mila. Meira, sahabatku itu sejam lalu menjemputku dengan keadaan yang tidak kalah memprihatinkan. Rambutnya bau sambel, matanya sembab. Bibirnya terlihat bengkak. Tapi Meira tetap tersenyum saat kami bertemu. Aku tidak akan ceramah seperti orang suci, dia mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.Jadi aku putuskan membawa Meira ke apartemen Alister, di sini kamar mandinya lengkap dengan bermacam-macam sabun dengan aroma yang harus kelas atas."Aku gak-papa, Mila," kata Meira berjalan ke arahku. Dia baru selesai mandi, semoga saja Mas Ali tidak marah aku membawanya pulang. Mana mungkin aku membiarkan Meira pergi dengan keadaan seperti itu."Untung kamu gak pingsan... kalau ada apa-apa aku bakal minta tolong sama Mas Alister nuntut mereka," omelku seraya mengangkat dua mangkuk mie ke atas meja. "Mulut kamu gakpapa? Masih bisa makan kan?" Tanyaku khawatir. Dia mengangguk. Tadi di pin
POV: Alister.Aku tersentak dari baringanku. Kelopak mataku yang berat terbuka mendengar suara wanita yang menangis, aku menoleh pada sumber suara itu. Mila sedang bermimpi buruk, gadis itu meraung-raung dalam tidurnya. Keringat dan air mata bercampur jadi satu, gadis itu sedang ketakutan.Aku menyentuh pipinya lembut, kulitnya terasa dingin. Raut wajahnya seperti di kejar-kejar hantu."Hmmmmm.... ""Tolong... jangan ganggu Mila, Tante tolongin Mila takut.""Tolong... ibu... Mila takut.""Mila, kamu kenapa?" Aku menggoyangkan pipinya, berusaha membangunkan Mila, kenapa dia ketakutan seperti ini? Aku baru pertama kali melihatnya bermimpi buruk. "Mila... Heii, bangun. ""Mila!!" Mata Mila terbuka tiba-tiba, dia menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum sadar sepenuhnya."Kenapa kamu? Mimpi buruk, hm?" Aku mengangkat tubuhnya agar bisa d
Tiba-tiba suara musik terdengar menakutkan. Pemandangan sekitar gelap, di depannya tampak bayangan yang bergentayangan memekik seperti suara kuntilanak. Wanita itu merasa bulu kudunya merinding sekarang. Dia merapatkan tubuhnya mendekati Alister, satu tangannya sudah menutupi matanya tapi karena penasaran sesekali Mila membuka matanya"AHHHH..." Mila melompat ke pangkuan Alister spontan. Laki-laki itu membiarkan saja sambil menahan tawa. Ternyata Mila memang sepenakut ini.Dia meletakkan tangannya di atas kepala Mila. "Ini cuma film Mila, jangan bikin malu." Kata Alister dengan suara beratnya."Tapi gelap Mas, aku takut. Bisa gak lampunya di hidupiin aja," bisik Mila masih dalam posisi di atas Alister. Dimana ada bioskop hidup lampu? Bener-bener kampungan banget."Ini bioskop, bukan di rumah kamu," balas Alister. Mila mengerjap-ngerjapkan matanya. "Turun kamu." Wanita itu tetap dengan posisinya. 
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng