POV: Mila.
"Apa sih yang bisa aku harapin dari kamu," suara Alister bernada tinggi.
Dia sedang berkacak pinggang di depanku. Sedangkan aku fokus pada bulu halus pada garis lurus dekat udelnya. Semua karena kebakaran yang aku ciptakan di dapur. Om jadi membuka bajunya lalu direndam ke air untuk mematikan api. Secepat itu gerakannya seakan tahu aku membuat rumahnya hampir hangus.
Aku heran tahu darimana dia kegiatanku di rumah. Kebakaran ini terjadi karena aku yang kurang hati-hati, kemarin aku sudah bisa memakai oven tapi hari ini aku sedang apes.
"Mila! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?" suaranya pelan namun mampu membuatku tertunduk dengan tangan gemetar.
"Maaf Om, Mila nggak sengaja."
"Lain kali pakai otak! Kamu kenapa nggak masak pakek kompor gas aja? Ngapain pakek oven kalau nggak ngerti makeknya. Udik-udik aja, nggak usah sok kepintaran. Untung apinya nggak menjalar kemana-mana." Dia mengusap wajahnya yang terlihat kesal lalu bergumam. "Bisa-bisanya aku kemakan omongan kamu, nikahin perempuan tolol nggak guna kayak kamu."
Aku tersentak, dia benar-benar marah. "Jangan gitu dong Om, Mila kan mau belajar masakan ala-ala luar negeri yang nggak pedas. Katanya Om nggak suka pedas. Mila lagi cari menu masakan yang sesuai lidah Om."
"Alesan! Aku nyesel nikahin kamu." Omnya jujur banget ngomongnya. "Kamu menang cantik sama mulus aja, apa-apa nggak bisa diharapin. Bisa-bisanya kamu mau bakar rumah aku, gila kamu ya."
Omku masih seperti orang yang ingin menenggelamkanku ke tengah laut. Ia menatap murka pada dapur yang berantakan.
"Om maafin Mila ya," ucapku gugup dengan kepala tertunduk, dia menatapku tajam. "Om jangan usir aku ya, aku nggak tahu mau kemana. Mila nggak mau kembali lagi ke club malam itu," wajahku mulai memanas. Tiba-tiba air mataku tumpah mengingat club malam itu.
"Kalau kamu nggak mau aku balikin ke tempat asal kamu, lain kali pakek otak! Rumah ini kebakaran dan kamu celaka, nama aku yang terseret-seret." Ucapnya sarkas.
Aku semakin sedih, hatiku diliputi rasa bersalah. Aku mencoba untuk menahan tangisku supaya berhenti namun malah semakin terisak. Semua orang akan memandangku rendah karena aku bekas tinggal di tempat pelacuran, padahal aku tidak menjual diriku di sana. Aku tertunduk takut melihat wajahnya yang murka.
"Kamu jangan nangis, nggak guna kamu ngeluarin air mata buaya. Sana mandi."
Ia hanya menatapku sekilas, setelah itu membuang pandangannya.
Di kamar mandi aku merendam tubuhku di bak mandi, Om bilang namanya Bathub. Aku menangis sesenggukan. Semua ucapan laki-laki itu membuatku seperti tertusuk-tusuk belati. Aku tidak suka kalau masa laluku diungkit-ungkit. Club malam itu seperti mimpi buruk untukku, mengenang kembali laki-laki yang mencolekku saat aku bersih-bersih. Di sana tempat yang tidak pernah kumerasa aman. Mengingatkanku tentang Om Danu dan Tante Gina, keluarga yang tega menjualku. Om Danu yang berulang kali mencoba memperkosaku
Aku memukul dadaku kuat-kuat, berharap rasa nyeri yang kurasakan sedikit berkurang. Suara tumpahan air tak kuperdulikan.
"Cepat keluar, kalau sudah selesai mandinya!" suara gedoran pintu membuat tangisku terhenti. Sialnya aku lupa membawa handuk, aku melihat gantungan dengan frustrasi.
"MILA UDAH SELESAI BELUM! CEPATAN KELUAR," teriakan Om Ali dari luar.
Jantungku terpompa sangat cepat tidak seperti biasanya, aku keluar dari Bathub dengan bertelanjang kaki. Bagaimana ini, masa aku tanpa busana keluar mengambil handuk, kalau minta tolong dia pasti makin marah.
Aku membuka pintu sedikit, mencari keberadaannya. Mataku melihat dia di depan pintu berdiri menungguku.
"Ngapain kamu ngumpet dibelakang pintu?" tanyanya menaikan satu alisnya.
"O--Om... Mila nggak bawa handuk, baju yang tadi basah," ucapku pelan, takut dia marah lagi. Aku cukup kaget dia mengambilkan baju di lemari dan memberikannya padaku dan juga handuk.
"Makasih Om," ucapku setelah meraih baju itu. Satu kesalahan aku menyuruhnya. Hanya baju kaus milik Om yang oversize di tubuhku tanpa dalaman. Terpaksa aku memakainya dulu, sisanya nanti nyusul.
Baju ini milik Om Ali, besarnya selututku berwarna putih, entah kenapa dia nggak ngambil bajuku dan malah memberikan bajunya. Pertanyaan itu aku pendam saja, dari pada ribut lagi.
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, pura-pura saja tidak melihat Alister sedang berdiri tak jauh dariku. Dia sedang menatapku, aku tahu itu. Aku cepat-cepat mengambil dalamanku di lemari, rasanya tidak nyaman kalau tidak memakai itu.
Aku rasa Om Alister laki-laki pendiam dan dingin. Tidak pernah kulihat senyum di wajahnya. Dia semakin membuatku takut kalau sedang marah. Rumah ini seperti tidak ada kehidupan tanpa gelak tawa.
"Pakek di situ aja, nggak usah ke kamar mandi," ucapnya dengan datar saat aku akan melangkah kembali ke kamar mandi. Apa dia gila? Itu sama saja menyuruhku bertelanjang di depannya.
"Pakek, atau kamu nggak usah makek sekalian," opsinya membuat bulu kudukku merinding. Dengan gugup aku melakukan hal yang dia minta, di depannya. Sudut mataku meliriknya yang terus memandangi kegiatanku. Aku tahu pikiran mesum di otaknya, tapi aku belum siap melakukannya.
"Kamu akan mengerjakan semua perintahku, termasuk yang seperti ini. Sebagai bayaran kamu belum bisa melayaniku," ucapnya dengan suara dingin.
Aku meneguk air ludahku setelah memasukkan baju ke dalam tubuhku. Lalu menghadap padanya, yang menjadi pertanyaanku kenapa dia tidak mau memaksaku?
"Om-- Masa harus pakai baju juga di depan Om?"
"Keberatan? Yasudah kamu layani aku saja di tempat tidur. Aku nggak perlu nungguin kamu sampai genap 17 tahun."
Aku tidak marah, malahan berterima kasih. Malah dia yang akan tersiksa jika melihatku seperti itu. Jadi aku bisa bernafas lega hingga umurku 17 tahun.
"Dengan catatan aku nggak akan kasih kamu uang bulanan, persediaan makanan dan kebutuhan kamu yang lain semua terpenuhi," ucapnya membuatku mendelik sebal. Laki-laki ini terkadang seperti monster. Apa mungkin Alister Bagaskara ada kelainan.
"Inget ya Mila, aku nggak suka kamu bicara atau dekat sama laki-laki lain. Apalagi ada laki-laki lain sampai masuk ke rumah ini kalau aku nggak ada."
Aku mengangguk. "Mila nggak kenal siapa-siapa kok Om di sekitar sini, mana mungkin masukin orang ke rumah Om." Ucapku melihat matanya.
"Bisa aja kamu ngomong kayak gitu, tapi kalau aku nggak ada? Kamu bisa jamin, aku nggak suka pembohong. Inget ya." Dia memperingatiku dengan nada mengancam, aku heran kenapa emosinya menggebu-gebu begini.
"Om Mila nggak akan berbuat nggak baik di belakang Om." Aku berdiri di hadapannya yang terduduk di tepi ranjang.
"Aku nggak bisa percaya dengan kamu begitu saja Mila, perempuan club malam seperti kalian sudah biasa dengan yang namanya laki-laki. Bisa saja kamu pura-pura nolak aku sekarang. Inget ya, kalau sampai diumur 17 tahun, waktunya tiba. Dan kamu nggak perawan lagi, kelar hidup kamu."
Dia ini kalau marah-marah terus nggak takut cepat tua, terus tiba-tiba kena serangan jantung gimana? Om ini marahnya kayak orang kesurupan. Mungkin kesambet waktu pulang.
"Iya Om." Hanya itu yang bisa kujawab dengan kerutan keningku. Ucapan Alister merebak kemana-mana. Membuatku bingung. Raut wajahnya tenang tapi matanya setajam silet. "Aku tidur duluan ya Om... "
"Aku belum selesai bicara."
"Tapi aku ngantuk. Dan lagi Om ini cemburuan gak jelas." Kataku kesal.
Lebih baik aku cepat tidur dari pada meladeni Om Alister yang seperti kesetanan. Tiba-tiba tangannya mencekam lenganku kuat saat aku melangkah, matanya seperti singa yang kelaparan melihatku.
"Mulai berani ya ngelawan? Nantangin kamu?! Jangan mimpi aku bisa cemburu sama perempuan malam seperti kamu."
Rasanya pengen nampol wajah Alister, aku pikir dia itu punya perhatian sama aku. Ngeliat gimana dia matiin api sampai rela bajunya kebakar. Ternyata aku salah, dia hanya anggep aku nggak lebih dari wanita malam yang sudah dia beli.
"Om lepasin, sakit Om."
Alister menghempaskan lenganku kasar. "Inget ya Mila, ini yang terakhir kamu bersikap ketus sama aku."
🌹🌹🌹
Aku terbangun karena perutku yang kosong, perutku kelaparan di tengah malam. Hatiku masih terasa sakit mengingat ucapan Om Alister, aku pikir dia akan menyuruhku makan nyatanya malah membiarkanku menahan lapar. Saat tanganku terlentang mencari sosok laki-laki yang biasa tidur di sampingku tidak ada. Bantalnya tak berpenghuni.
"Laper," gumamku.
Terserah dia pergi kemana, aku turun dari tempat tidur sambil memegang perutku yang berbunyi dari tadi. Aku melangkah ke dapur dan langsung membuka kulkas, melahap buah apel tanpa dicuci. Semua vitamin kok, sebelum masuk kulkas aku sudah mencucinya. Belum habis apel di tanganku, satu tanganku lagi mengambil potongan bolu dengan cream putih di atasnya. Rasanya aku kembali jadi manusia setelah perutku terisi.
Sambil membawa gelas berisi air putih, aku melangkah naik ke anak tangga, hingga suara seseorang membuatku terhenti dan kepalaku tertunduk memastikan siapa kawan Om Alister berbicara.
"Jangan buat aku hancur dengan menolakku malam ini. Jadilah istriku, jadilah matahari di dalam rumahku selamanya." Alister berlutut saat mengucap itu, aku melirik kanan-kiri dengan siapa dia bicara. Lalu dia mengacak-acak rambutnya frustrasi.
"Kamu adalah semangatku mencapai kesuksesan, segala yang kulakukan hanya untukmu." Om ternyata sudah punya kekasih, aku menekan dadaku lalu melirik jemariku yang kosong. Padahal aku ini istrinya tapi tidak ada cincin di tanganku. Aku melihat Om Alister yang sedang mundar-mandir memegang cincin di tangannya. Tidak ada siapa-siapa di situ, hanya Om sendirian. Dia pasti sedang gugup, ingin melamar seorang gadis kah?
Aku menopang dagu sambil menonton Om Alister yang sedang mengatur kata-kata untuk menyatakan cintanya pada orang yang menurutku spesial, biasanya laki-laki itu ketus dan dingin. Sekarang malah terlihat gugup dan tidak percaya diri.
"Kamu ada waktu nggak buat aku? Aku pengen kita bisa quality time besok, aku mau ngomong penting." Laki-laki itu kembali mengacak rambutnya, mungkin kata-kata itu kurang sreg di hatinya.
"Kezia Dewita... hal terberat untuk aku adalah melihat kamu dipelukan Fabian. Aku akui bahwa aku cemburu ketika melihat dia bisa membahagiakanmu. Tapi itu gak pernah membuatku berhenti untuk memperjuangkanmu. Bahkan, aku akan berusaha lebih baik dari itu.”
Om apa aku harus nulis ‘Cemburu’ di koyo cabe, terus aku tempelin di jidat kamu? Agar kamu sadar, rasanya tuh panas banget. Secinta itu dia sama kezia-kezia itu. Jadi cowok rival Omku Fabian? Om, kenapa aku yang dijadiin pelampiasan amarahmu. Andaikan perempuan itu aku, pasti rasanya seneng banget. Aku tersenyum flat dan masih memandangi Om Alister yang masih merangkai kata-katanya.
Aku kaget ketika mata Om mengarah padaku, cepat-cepat kakiku melangkah ke kamar. Aku meletakkan gelas di atas meja samping tempat tidur lalu menutup mata, pura-pura tertidur. Apa dia melihatku tadi? Semoga saja tidak. Om pasti malu dan marah kalau tahu aku mendengarkan isi hatinya. Seorang istri yang memergoki suaminya merangkai kata untuk wanita lain. Sungguh luar binasa Karmila.
Aku mendengar suara pintu terbuka, langkah kakinya semakin mendekat. Semakin rapat kututup mataku. Tuhan tolong, bisa-bisa aku diusir kalau dia marah lagi.
Sedetik, tidak ada suara...
Dua detik hening...
Aku tidak berani mengintip, mungkin Om Alister sudah tidur. Dia mungkin terlalu fokus dengan isi hatinya hingga tidak sadar aku yang berdiri di atas menontonnya di ruang tengah.
Tiba-tiba aku merasa jempol seseorang mengusap bibirku. Astaga, apa yang terjadi denganku? Rasanya ingin pingsan, kalau saja kakiku bisa melangkah dan terjun dari balkon.
"Jadi perempuan jorok banget, tidur nggak sikat gigi dulu. Mana belepotan lagi makannya," ucapannya membuatku menahan nafas dalam-dalam. Cream bolu yang kumakan, pasti bekas itu. Aku meruntuki diriku sendiri. Pasti dia fikir aku rakus.
Tiba-tiba dia mengecup singkat bibirku, dasar bedebah... Laki-laki yang aneh! Sempat-sempatnya dia nafsu melihat bibirku, di saat dia sudah merangkai kata-kata untuk wanita lain. Tante Zia-zia... Entah siapa namanya! Semoga nggak termakan sama rayuan Om Alister. Laki-laki ini mesum dan sudah beristri.
"Aku tahu kamu pura-pura tidur, Mila."
POV: Mila. Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap. Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air. &nb
POV: Alister. Sebenarnya apa yang kulakukan sekarang? Mengikuti pasangan yang terlihat sedang kasmaran? Kezia dan Fabian sedang bercakap-cakap sambil tertawa. Kami sedang berada di butik Kezia, dia ingin aku menjadi modelnya untuk pakaian item laki-laki. Wajah tampan dan badanku yang atletis membuat Kezia memintaku untuk membantunya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak permintaan Kezia, hanya wanita itu yang mampu membuatku berkata 'Iya' Aku mendengus kesal, nyatanya bukan hanya aku tapi Fabian juga diminta datang untuk memberikan komentar. Komentar? Aku kan pengacara, jelas ucapanku lebih terpakai daripada pengusaha seperti dia. Mataku terus saja mengawasi mereka sambil bergaya di depan fotografer. Setelah selesai aku meminta Kezia membayarku dengan mengajakku makan di restoran Jepang. Alih-alih ingin berduaan dengan Kezia, Fabia malah ikut juga.
POV: Mila. Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan. Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghala
POV: Alister. Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia. Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku. Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang." Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau m
POV: Alister. Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga."Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku."Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila."Ukuran jarinya?" tanya wanita
Hembusan nafas kasar terdengar. Kezia keluar dari taxi, kini dia sudah ada di bandara. Tangannya menarik koper memasuki bandara. Hari ini dia akan terbang ke Singapure tanpa ada yang mengantarkan. Keputusannya sudah bulat. Kezia berjalan dengan elegan, penampilan yang modis jemarinya sudah di nail art. Wanita ini terlihat sosialita dan fashionable. Tapi wajah sendu terlihat di matanya. Seperti ada yang tertinggal yang membuatnya berat. Kezia menatap pada orang-orang yang disekelilingnya, tidak lama suara berbunyi.PARA PENUMPANG YANG TERHORMATPESAWAT DENGAN NOMOR PENERBANGAN."Kamu gak mungkin datang
POV: Mila. Meira, sahabatku itu sejam lalu menjemputku dengan keadaan yang tidak kalah memprihatinkan. Rambutnya bau sambel, matanya sembab. Bibirnya terlihat bengkak. Tapi Meira tetap tersenyum saat kami bertemu. Aku tidak akan ceramah seperti orang suci, dia mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.Jadi aku putuskan membawa Meira ke apartemen Alister, di sini kamar mandinya lengkap dengan bermacam-macam sabun dengan aroma yang harus kelas atas."Aku gak-papa, Mila," kata Meira berjalan ke arahku. Dia baru selesai mandi, semoga saja Mas Ali tidak marah aku membawanya pulang. Mana mungkin aku membiarkan Meira pergi dengan keadaan seperti itu."Untung kamu gak pingsan... kalau ada apa-apa aku bakal minta tolong sama Mas Alister nuntut mereka," omelku seraya mengangkat dua mangkuk mie ke atas meja. "Mulut kamu gakpapa? Masih bisa makan kan?" Tanyaku khawatir. Dia mengangguk. Tadi di pin
POV: Alister.Aku tersentak dari baringanku. Kelopak mataku yang berat terbuka mendengar suara wanita yang menangis, aku menoleh pada sumber suara itu. Mila sedang bermimpi buruk, gadis itu meraung-raung dalam tidurnya. Keringat dan air mata bercampur jadi satu, gadis itu sedang ketakutan.Aku menyentuh pipinya lembut, kulitnya terasa dingin. Raut wajahnya seperti di kejar-kejar hantu."Hmmmmm.... ""Tolong... jangan ganggu Mila, Tante tolongin Mila takut.""Tolong... ibu... Mila takut.""Mila, kamu kenapa?" Aku menggoyangkan pipinya, berusaha membangunkan Mila, kenapa dia ketakutan seperti ini? Aku baru pertama kali melihatnya bermimpi buruk. "Mila... Heii, bangun. ""Mila!!" Mata Mila terbuka tiba-tiba, dia menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum sadar sepenuhnya."Kenapa kamu? Mimpi buruk, hm?" Aku mengangkat tubuhnya agar bisa d
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng