"Mila! Bangun... sudah pagi kamu masih tidur aja. Jangan jadi pemalas kamu... " Aku mengguncang tubuh Mila yang masih terbungkus selimut. Aku tahu dia ini pura-pura tidur, pasti mau menghindar dari tugasnya.
"Mila!"
"Om, udah pagi ya," gadis itu akhirnya menjawab. Perlahan matanya terbuka. Apa dia lupa semalam pingsan hanya karena tersentuh juniorku yang menegang? Megang saja pingsan apalagi melihatnya. Belum lagi di masukin. Sepertinya aku harus punya strategi panjang, supaya Mila cepat bertubuh dewasa pikirannya.
Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Mila, balas dendam karena dia aku jadi main solo sambil mandangin dia tidur. Pingsan apa pura-pura tidur, jadi curiga.
"Malah tidur lagi! Nggak usah pura-pura tidur Mila, jangan karena aku nikahin kamu jadi ngerasa nyonya besar. Kamu ngaca, tinggal disini harus tahu diri." Aku menendang kakinya pelan, matanya terbuka lagi dengan wajah bantalnya.
"AAAA! Om kenapa Mila telanjang?!" jeritnya histeris melihat tubuh nakednya. Sengaja kubiarkan terbuka supaya dia murka. Padahal tuh anak masih virgin. Sama sekali belum kena sentuh, cuma kiss doang, itu pun sebentar. Dia melihatku tajam, persis seperti aku pelaku pendofil. Matanya seakan aku tercyduk melakukan prostitusi terhadap anak dibawah umur.
"Om, jahat banget! Ngelakuin itu waktu aku nggak sadarkan diri," dia mendorongku kuat, berani banget dia main dorong-dorong. Dia benar-benar ngira kami sudah melakukan itu. Aku menutup tanganku ke mulut yang hampir tertawa geli.
"Heh, Mila. Aku bukan cowok yang mau begituan dengan robot. Iya kali berhubungan tanpa timbal balik. Otak aku masih waras. Dasar perempuan tolol!" bentakku emosi. Pagi-pagi dia sudah membuat tekanan darah tinggiku mendidih.
"Beneran belum kejadian, Om?"
"Mau aku buktiin?"
Mila bangun dengan kepala tertunduk, mungkin ucapanku sedikit kasar padanya. Tapi jelas disituasi seperti ini aku yang harusnya marah. Dimana janji dia yang akan menuruti kemauanku setelah kami nikah, dikira uang sedikit yang aku keluarkan untuknya.
Mila turun dari tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya, aku tidak peduli. Setelah dia berpakaian lengkap dia mengambil ranjang pakaian kotor yang berserak di lantai. Bener-bener tuh perempuan jiwa pembantu. Naluri bersih-bersihnya langsung keluar. Aku kira pagi-pagi gini bisa ngebayar yang tadi malam. Kulihat dia mengambil pakaian digantungan yang sudah bekas pakai. Aku menghela nafas. Langsung saja membuka boxerku lalu melemparnya tepat di depan wajahnya.
"Aku mau mandi, sediain baju sama handuk," perintahku geram. Tanpa perduli matanya yang kaget, aku berjalan dengan pedenya ke kamar mandi. Belum puas aku mengerjai dia, langkahku terhenti.
"Mila! Aku mau mandi air hangat. Cepetan buatin!"
Wanita itu meletakkan keranjang yang dia pegang lalu berlari keluar. Pembantu yang seperti ini yang harusnya dicari, cekatan dan sigap. Tidak lama Mila datang membawa air hangat. Aku memandang sinis melihat wajah Mila, supaya dia tidak melakukan kesalahan lagi.
"Pegang coba airnya. Kepanasan atau nggak ada rasa panas," suruhku. Terlihat keningnya mengkerut mengikuti perintahku.
"Pas kok Om. Nggak kepanasan. Sedang Om," jawabnya tersenyum. Aku suka wajahnya yang cantik, terutama saat dia tersenyum. Aku berdehem.
"Aku kira kamu robot, mati rasa," sindirku seperti anak kecil tanpa memandang wajahnya. Sepertinya dia malas berlama-lama denganku di kamar mandi. Dengan cepat dia keluar dari kamar mandi.
🌹🌹🌹
"Om, aku udah siapin sarapan. Sebelum berangkat makan dulu ya," ucap Mila, seakan berharap banget aku cepat-cepat keluar dari rumah ini. Aku pura-pura tidak mendengar, berharap dia kesal. "Masakan Mila enak lhoo Om... nyesel nanti gak nyobain."
Aku berjalan ke ruang makan, penasaran dengan rasa masakan dia. Mataku sedikit melirik Mila yang sedang mengelap lemari di ruang TV. Berasa pembantu banget dia ya.
Kucoba dulu satu suap, rasanya lumayan. Jarang sekali aku menikmati sarapan di rumah. Sepertinya lidahku sedang melakukan kesepakatan dengan masakan Mila. Perempuan itu berhasil merubah seleraku.
"Om, gimana masakan Mila? Enak nggak, suka nggak?" tanyanya setelah berulang kali aku memasukkan nasi goreng ke mulutku.
"Biasa aja, ya rasa nasi goreng campur telur," jawabku tanpa melihat wajahnya. Tuh perempuan nggak tahu muka orang lagi marah ya. Sudut mataku meliriknya, sepertinya dia kecewa dengan jawabanku.
"Mila, lain kali sebelum aku berangkat kerja usahakan kamu sudah mandi. Udah wangi. Urusan pekerjaan rumah belakangan. Aku nggak suka masakan pedas, apalagi yang masak masih kusut, bau asem," ucapku. Dengan kaku dia mengangguk.
"Masakannya bersih kok Om, tadi pas Om mandi aku cuci muka sama gosok gigi. Cuma bajunya aja nggak ganti." Dia mendekat, berdiri di samping meja makan.
"Masa? Coba sini aku cium, masih bau apa nggak? Mana aku tahu kamu udah cuci muka, aku nggak lihat."
"Kok dicium-cium Om, aku nggak bohong kok Om. Beneran udah bersih-bersih di wastafel tadi cuci mukanya." Dia menunjuk tempat cuci piring. Astaga, dibilang di wastafel? Dikira tempat tucian piring tempat bersihin muka.
"Jangan bohong, masih kecil udah bohong mau jadi apa kamu." Nih cewek harus diajak mesum pagi-pagi. Dicicil biar nggak pingsan lagi kalau mau berhubungan. Aku memberi kode dengan tangan agar dia mendekat padaku.
Dia mengamati wajahku, seakan aku sedang mencari kesempatan untuk menyentuhnya. Aku menggeser piringku yang kosong sambil melihatnya yang mendekat padaku. Tiba-tiba suara bel berbunyi membuat gadis itu berbalik arah membelakangiku.
Pak Udin masuk, supirku yang kusuruh datang untuk menjemputku. Aku sedang malas menyetir, perjalanan cukup jauh ke kantorku. Pak Udin datang di saat yang kurang tepat. Aku menghela nafas melihatnya di depanku, terlihat Mila gugup dibelakang Pak Udin. Ini pertama kalinya Mila bertemu dengan orangku.
"Pak, mobil sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," ucap pria dengan peci ini, aku mengangguk. Lalu melirik Mila yang masih berdiri. Sepertinya aku harus jaga jarak sebelum dia benar-benar siap. Berada di dekatnya beneran nyiksa banget.
"Mang Udin tunggu aja di mobil nanti." Perintahku, melihat wajah pria tua itu mengkerut pasti dia penasaran dengan gadis disebelahnya. Aku tidak pernah membawa pulang seorang perempuan apalagi ke vila ini.
Setelah pria itu keluar, aku berkata. "Kalau lewat jam sepuluh aku belum pulang, itu tandanya aku gak pulang. Kamu kunci pintu." Mila mengangguk lemah. "Jangan takut di sini aman kok."
"Iya. Aku gak takut kok." Ucapnya tersenyum.
"Nanti kalau aku sudah pulang. Kamu harus sudah siap ya... Aku gak mau nunggu lama." Kataku dengan suara serak. Aku kan menikahinya hanya untuk pemuasku dari pada jajan di luar.
🌹🌹🌹
Sampai di mobil aku membuka ponselku, tebak apa yang aku lakukan? Rumah itu sudah kupasang CCTV. Aku harus tahu apa yang dilakukan Mila, jangan-jangan dia mencoba untuk kabur.
Mila berjalan ke belakang dapur membawa ranjang pakaian kotornya yang tadi. Ia merendam pakaian kami dengan tempat yang terpisah. Bagus, aku juga jijik kalau harus satu tempat dengan bajunya. Aku mengerutkan dahiku melihat Mila mencuci baju dengan tangannya. Apa dia nggak bisa menggunakan mesin cuci?
Aku memegang daguku, memperhatikan layar ponselku. Sekarang Mila sedang menjemur pakaian. Sungguh mataku dan pikiran mesumku menyatu melihat pakaian basah gadis itu. Mungkin aku harus bersabar padanya, menunggu hingga Mila genap 17 tahun.
"Tuan, siapa gadis itu? Belum pernah Mang Udin melihatnya?" tanya Pak Udin dengan lancang.
"Tutup mata aja Mang Udin, pura-pura nggak lihat. Jangan cerita sama Oma juga tanteku tentang Mila. Itu urusan pribadi aku." Ucapku menegaskan. Dia mengangguk dan tidak bersuara lagi.
Tidak ada yang boleh tahu siapa Mila, gadis itu hanya sekedar perempuan simpananku. Aku tidak perlu menganggapnya sebagai istri. Toh, setelah aku bosan dengannya aku akan menceraikannya.
Setelah beberapa lama mobilku telah sampai di baseman kantorku, seorang wanita cantik langsung menyambutku. Dia Jovanka, sekertarisku. Sengaja aku mencari sekertaris yang cantik dan hot sekalian untuk cuci mata.
"Selamat pagi Pak," ucap Jovanka sambil membuka tombol lift. Aku mengangguk sebentar, lalu kembali melihat layar ponselku. Kenapa jadi ketagihan melihat rutinitas Mila di rumah?
"Maaf Pak, Mbak Kezia menelpon saya kemarin, menanyakan keberadaan Bapa. Hari ini dia ada peragaan fashion show di gedung sebelah. Dia ngirim undangan untuk Bapa."
Aku menyimpan ponselku lalu mengalihkan pikiranku pada gadis yang disebutkan Jovanka.🌹🌹🌹
Sengaja kupercepat jam pulangku, bukan ke rumah tapi ke tempat peragaan busana. Kezia Dewinta--dia si pembuat insomiaku. Setiap kali dia tidak menjawab panggilan dan membalas pesanku, aku pasti kepikiran terus dengan dia.
Sebenarnya dia bukan disainer berbakat. Malah terbilang salah jurusan, pekerjaan dan pendidikan yang dia tempuh bertolak belakang. Well... orangtuanya berduit jadi dia bebas menentukan usaha apa yang dia geluti.
"Hei Alister... Akhirnya kamu dateng, aku pikir kamu nggak akan datang," gadis itu memeluk dan menciumku. Aku tersenyum menyambutnya.
"Mana mungkin aku nggak dateng ke acara penting kamu," ucapku gugup. Hanya gadis ini yang mampu membuatku tersipu. Merasakan kupu-kupu di dalam perutku.
"Aku terharu jadinya, aku pikir kamu marah. Telpon aku nggak kamu angkat. Kemana aja kamu seminggu ini, ngilang gak jelas." Dia merajuk dengan wajah dibuat-buat cemberut. Harusnya aku yang merajuk, karena satu hal.
"Zia, kamu tahu kan. Aku selalu menomor satukan kamu di atas segalanya," ucapku menyentuh tangannya. Melihat wajahnya tidak nyaman kulepas tanganku cepat-cepat. Ya, hanya aku yang merasakan perasaan ini. Sedangkan dia tidak.
"Fabian bilang dia juga dateng, tapi belum juga kelihatan batang hidungnya. Harusnya kita bisa nongkrong bareng habis ini." Fabian? Dia juga datang, moodku langsung rusak oleh nama itu.
Aku tahu betul tidak ada setitikpun cinta untukku. Kezia hanya menganggapku sebagai temannya. Tapi, aku tidak akan menyerah. Sebelum janur kuning melengkung. Masih ada kesempatanku meraih Kezia. Aku terlalu mencintainya, kenangan-kenangan kami membuatku tidak bisa melupakan Kezia.
Katanya jodoh itu cerminan dari diri kita, aku merasa banyak kesamaan antara aku dan Kezia. Sama-sama ingin sukses dan ambisius. Dulu aku, Kezia, dan Fabian sering ke club dan pulang pagi. Tapi yang paling aku ingat dan bikin kesal mereka pernah berduaan meninggalkan aku di club sendirian.
Dan sekarang kita bertiga sama-sama di Jakarta, sama-sama sukses. Fabian itu patner nongkrong yang paling manteb, tapi aku masih tidak berani membayangkan Kezia akan memilih siapa antara kami. Sejak itu aku menganggap Fabian rival dalam hal asmara.
Dari arah pintu aku melihat laki-laki itu tersenyum lebar, sambil melambaikan tangan pada kami. Dia laki-laki yang diagungkan Kezia. Padahal dilihat dari sebelah mana pun aku jauh lebih baik dari Fabian, iyakan? Iyalah...
"Sorry aku telat, tadi mampir sebentar beli ini." Fabian memberi sebuket bunga pada Kezia, sialan. Aku lupa membawa hadiah untuk Kezia. Ini karena aku terburu-buru tadi.
"Gimana kabar kamu, Ali?" Fabian basa-basi. Aku setengah hati menyambut kedatangan Fabian.
"Seperti yang kamu lihat, aku sehat walafiat. Hidupku cemerlang. Dan kamu gimana? Masih suka ke club cari perempuan malam?" ucapku sengaja di depan Kezia. Cowok rata-rata sebejat itulah kalau sudah banyak uang. Pengalaman kami berdua dulu.
"Sesama pecinta dunia malam gak usah saling nyela lah." Jawabnya. "Kamu gimana? Udah ada yang ngasih bayi diantara mereka." Lanjutnya dengan sinis. Parah nih orang...
"Ehem." Kezia tidak nyaman dengan obrolan kita. "Gimana kalau kita minum aja. Aku traktir. Acara udah selesai jadi kita bisa nongkrong di cafe sebentar." Kezia menengahi kami sebelum terjadi peperangan. Nyatanya tidak pernah terjadi peperangan. Hanya aku yang selalu ketus pada Fabian, sedangkan dia selalu tersenyum dengan sabarnya yang dibuat-buat.
"Ide bagus." Fabian menyetujui. Dan aku bisa dengan jelas melihat mata Kezia yang berbinar melihat Fabian brengsek ini. Nyesek banget Kezia lebih suka melihat ke arah Fabian ketimbang aku.
"Kalian aja ya. Aku harus pulang... kucingku belum dikasih makan kasian dia nungguin." Ucapku seraya berdiri.
"Sejak kapan kamu pelihara kucing. Kamu kan gak suka kucing, Ali?" Kezia menatapku heran.
Aku berdehem. "Baru-baru ini... kucingnya cakep banget makanya aku suka. Bulunya lembut, matanya--"
Kezia memotong ucapanku. "Ali? Serius ini... " Dia menatapku. Andai dia tahu jantungku tidak pernah aman ditatapnya seperti itu. Tapi kalau aku ikut bisa-bisa jadi penjaga nyamuk mereka.
POV: Mila. "Apa sih yang bisa aku harapin dari kamu," suara Alister bernada tinggi. Dia sedang berkacak pinggang di depanku. Sedangkan aku fokus pada bulu halus pada garis lurus dekat udelnya. Semua karena kebakaran yang aku ciptakan di dapur. Om jadi membuka bajunya lalu direndam ke air untuk mematikan api. Secepat itu gerakannya seakan tahu aku membuat rumahnya hampir hangus.Aku heran tahu darimana dia kegiatanku di rumah. Kebakaran ini terjadi karena aku yang kurang hati-hati, kemarin aku sudah bisa memakai oven tapi hari ini aku sedang apes."Mila! Kamu denger gak sih aku ngomong apa?" suaranya pelan namun mampu membuatku tertunduk dengan tangan gemetar. "Maaf Om, Mila nggak sengaja." "Lain kali pakai otak! Kamu kenapa nggak masak pakek kompor gas aja? Ngapain pakek oven kalau nggak ngerti makeknya. Udik-udik aja, nggak
POV: Mila. Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap. Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus. kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air. &nb
POV: Alister. Sebenarnya apa yang kulakukan sekarang? Mengikuti pasangan yang terlihat sedang kasmaran? Kezia dan Fabian sedang bercakap-cakap sambil tertawa. Kami sedang berada di butik Kezia, dia ingin aku menjadi modelnya untuk pakaian item laki-laki. Wajah tampan dan badanku yang atletis membuat Kezia memintaku untuk membantunya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak permintaan Kezia, hanya wanita itu yang mampu membuatku berkata 'Iya' Aku mendengus kesal, nyatanya bukan hanya aku tapi Fabian juga diminta datang untuk memberikan komentar. Komentar? Aku kan pengacara, jelas ucapanku lebih terpakai daripada pengusaha seperti dia. Mataku terus saja mengawasi mereka sambil bergaya di depan fotografer. Setelah selesai aku meminta Kezia membayarku dengan mengajakku makan di restoran Jepang. Alih-alih ingin berduaan dengan Kezia, Fabia malah ikut juga.
POV: Mila. Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan. Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghala
POV: Alister. Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia. Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku. Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang." Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau m
POV: Alister. Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga."Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku."Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila."Ukuran jarinya?" tanya wanita
Hembusan nafas kasar terdengar. Kezia keluar dari taxi, kini dia sudah ada di bandara. Tangannya menarik koper memasuki bandara. Hari ini dia akan terbang ke Singapure tanpa ada yang mengantarkan. Keputusannya sudah bulat. Kezia berjalan dengan elegan, penampilan yang modis jemarinya sudah di nail art. Wanita ini terlihat sosialita dan fashionable. Tapi wajah sendu terlihat di matanya. Seperti ada yang tertinggal yang membuatnya berat. Kezia menatap pada orang-orang yang disekelilingnya, tidak lama suara berbunyi.PARA PENUMPANG YANG TERHORMATPESAWAT DENGAN NOMOR PENERBANGAN."Kamu gak mungkin datang
POV: Mila. Meira, sahabatku itu sejam lalu menjemputku dengan keadaan yang tidak kalah memprihatinkan. Rambutnya bau sambel, matanya sembab. Bibirnya terlihat bengkak. Tapi Meira tetap tersenyum saat kami bertemu. Aku tidak akan ceramah seperti orang suci, dia mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.Jadi aku putuskan membawa Meira ke apartemen Alister, di sini kamar mandinya lengkap dengan bermacam-macam sabun dengan aroma yang harus kelas atas."Aku gak-papa, Mila," kata Meira berjalan ke arahku. Dia baru selesai mandi, semoga saja Mas Ali tidak marah aku membawanya pulang. Mana mungkin aku membiarkan Meira pergi dengan keadaan seperti itu."Untung kamu gak pingsan... kalau ada apa-apa aku bakal minta tolong sama Mas Alister nuntut mereka," omelku seraya mengangkat dua mangkuk mie ke atas meja. "Mulut kamu gakpapa? Masih bisa makan kan?" Tanyaku khawatir. Dia mengangguk. Tadi di pin
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng