Ada berapa banyak orang di dunia ini yang menyia-nyiakan kehidupannya untuk hal tidak berguna? Mereka dengan sembrono memutuskan untuk mengakhiri hidup hanya demi orang-orang yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada. Mereka dengan teganya mencabut nyawanya sendiri padahal di luar sana ada begitu banyak orang yang menginginkan kehidupan tetapi harus berakhir tanpa sempat bisa memperjuangkan kehidupan idaman sama sekali. Bahkan bagi orang-orang seperti Tami hanya ada hari ini, esok dan masa depan tidak ada di dalam kamus kehidupannya. Terlalu asing. Satu-satunya yang membuat mereka bertahan dari kehidupan fana hanyalah ketakutan pada kematian; biaya pemakaman, biaya sewa tanah kuburan dan biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung keluarga besar setelah jenazah dinyatakan kosong tanpa arwah. Tami bahkan sudah tidak percaya dengan janji para pemuka agama soal surga dan neraka. Semua itu seperti dongeng di kepalanya. Dogeng yang membuat rakyat miskin terhibur dengan angan-angan kenikmatan surga serta menjadi pembatas mereka untuk memberontak, melawan sistem yang selama ini menindas mereka dalam kemiskinan. Itulah kenapa kebanyakan orang kaya tidak percaya dongeng itu. Orang kaya percaya pada rasionalitas berpikir –yang tidak akan pernah mereka bagikan kepada para kaum tertindas sepertinya.
Namun, berbeda dengan dirinya dan ribuan anak perempuan di kampung ini, Tami ingin adiknya keluar dari lingkaran setan. Ghania harus mendapatkan pendidikan setidaknya supaya tidak menjadi bahan baku yang nikmat bagi para orang kaya di negeri yang bobrok ini. Tidak peduli sesulit apapun mendapatkan uang bayaran sekolah adiknya, Tami akan jungkir balik. Sebab hanya dialah yang Ghania miliki di dunia yang kejam ini. Adik kecilnya sama sekali tidak memiliki ruang berlindung bahkan sejak hari di mana dia dilahirkan. Dan untungnya, Tami telah bersedia dengan senang hati mendedikasikan kehidupan sementaranya untuk sang adik. Bukankah setiap kakak perempuan selalu menyayangi adik mereka? Bahkan Tami sendiri juga bingung kenapa dia bisa sesayang itu pada Ghania.
Tami telah jatuh cinta pada pandangan pertama bahkan sejak pertama kali dia melihat Ghania di dunia. Hari di mana Ghania yang masih berlumuran darah diperlihatkan oleh Yulia pada dirinya, di dalam rumah kontrakan dua petak yang mereka tinggali. Tangisan Ghania sangat kencang saat itu, seola-olah bayi mungil itu paham betapa kejamnya dunia dan menyesal karena telah dilahirkan untuk merasakan siksaannya.
“Bukankah dia sangat manis?” ujar Yulia sembari menyusui Ghania. “Kamu resmi jadi seorang kakak sekarang. Kamu mau menyentuhnya?”
Pertanyaan Yulia hanya dijawab menggunakan senyuman kecil oleh Tami. Sejujurnya dia sangat ingin menyentuh pipi keriput bayi di hadapannya tetapi di sisi lain dia juga sangat takut kalau sampai tindakannya bisa menyakiti sang adik. Tami terpesona, bagaimana bisa Tuhan menciptakan makhluk selucu ini dari rahim Yulia?
“Sini!” Dengan cepat Yulia menarik tangan Tami dan meletakkannya ke genggaman Ghania. Jemari yang sangat mungil itu menggenggam jari telunjuk Tami dengan sangat lembut, seketika sekujur tubuh Tami seperti tersetrum energi listrik tetapi alih-alih kesakitan, Tami justru sangat bahagia. Bahkan saking senangnya, tanpa sadar Tami meneteskan air mata. “Kamu menyukainya?”
Tami mengangguk sambil menyeka air mata dan ingus di wajahnya dengan sebelah tangan, lalu memeluk ibu tirinya yang masih sangat lemah tersebut. Meskipun bukan orang tua kandung, tetapi Tami sangat mencintai Yulia melebihi apapun. Karena hanya Yulia lah ibu terbaik yang Tami miliki dalam hidup, bahkan ibu kandungnya pun tak jelas di mana rimbanya. Malah menurut orang-orang, ibu kandung Tami sudah meninggal dunia, ada juga yang bilang ibunya minggat dengan pria lain, dan ada juga yang mengatakan bahwa Galih lah yang telah membunuhnya. Tidak ada kepastian sama sekali. Mengingat memang sudah lama sekali dia tidak bertemu dengan keluarga besarnya dari pihak ayah maupun ibu.
Galih sendiri sudah dibuang oleh keluarga besarnya. Lebih tepatnya, Galih lah yang memilih meninggalkan kampung halaman guna mencari kesenangan di kota megapolitan ini. Sialnya, kesenangan itu hanya Galih cari untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tami atau siapapun. Bahkan saking tidak pedulinya, Galih sudah menikah hampir enam kali sampai saat itu. Setiap pernikahan yang Galih bina paling lama hanya bertahan kurang dari dua tahun kecuali dengan Yulia.
Mereka menikah hampir lima tahun lamanya. Meskipun sayangnya, Yulia hampir selalu mengalah. Kalau saja bukan Yulia, tidak mungkin ada yang tahan dengan sikap Galih. Bahkan menjelang kelahiran Ghania, Galih malah tertangkap polisi dan dijebloskan ke penjara untuk kasus perampokan berujung pembunuhan yang dia lakukan. Itulah mengapa Yulia harus melahirkan seorang diri di dalam kotrakan, tanpa bidan maupun dukun beranak. Hanya ada Tami yang setia menungguinya di sudut ruangan.
Perjuangan Yulia untuk kedua anaknya tidak main-main. Dan satu-satunya cara membalas kebaikan sang ibu yang dapat Tami perbuat ialah dengan menjaga Ghania sebaik mungkin.
“Gue balikin seminggu lagi,” kata Tami kepada salah satu rekan kerjanya saat mereka bertemu di ruang ganti. “Dua ratus dulu saja. Adik gue harus bayar uang LKS.”
Puja yang berdiri di depan loker menggeleng. “Hutang lo yang bulan lalu saja belum diganti. Gue nggak bisa begini terus, Tam. Anak gue juga butuh duit buat beli susu.”
“Gue janji akan mengembalikannya sesegera mungkin. Lusa kan kita gajian.”
Maaf banget tapi akhirnya bisa update lagi. Ini akan menjadi cerita yang agak berbeda tapi aku jamin bikin kalian puas.
Namun, sebagai sesama orang miskin tentu Puja tidak bisa banyak membantu. Meskipun pada akhirnya dia tetap memberi sang sahabat dua lembar uang lima puluh ribuan. Kurang setengah dan Tami sama sekali tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Semoga nanti akan ada pelanggan yang memberinya tip. Sungguh, sebagai satu-satunya wali bagi Ghania, Tami sebenarnya malu pada guru sekolah adiknya itu. Lebih tepatnya, Tami tidak tega kalau adiknya harus setiap hari dapat surat peringatan karena menunggak bayaran sekolah.Sebenarnya, Tami bisa saja menyekolahkan Ghania di sekolah negeri yang mana jauh lebih murah tetapi dia tidak mau adiknya sama sepertinya. Sebab, Tami tahu dengan pasti kalau berkumpul dengan orang kaya akan membuka peluang kesuksesan pada seseorang. Relasi. Itulah yang dia pelajari dari klien-kliennya di salon selama ini.“Makasih ya, Ja! Gue nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa.”Puja tersenyum kecut tapi kemudian menyambar handuk kecil di atas meja yang berada tepat di sam
Dalam balutan gaun malam yang menawan Diah tidaklah lebih dari penghibur pria hidung belang yang haus akan belaian. Meskipun sejujurnya dia sendiri juga sangat jijik dengan pria-pria itu. Hanya saja apa mau dikata, Diah membutuhkan isi kantong mereka. Dan supaya kantong terbuka, dia perlu membuka celana mereka dan meremas isinya.“Lo nggak mau cari kerjaan halal saja?”Pertanyaan itu keluar dari mulut sopir angkot yang adalah adik kandungnya, Ruben. Yang tentu langsung dijawab dengan senyuman oleh Diah. Sebagai orang waras tentu dia tidak ingin tapi dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibu mereka jika bukan karena papi-papiannya? Terlebih Tami tidak punya ijazah sama sekali kalau mau ikut kerja seperti kedua rekan baiknya.Dan ketika bertemu dengan Tami dan Puja, Diah langsung menghampiri keduanya. “Lesu banget?” tanyanya. “Baru saja gue mau ke kontrakan kalian.”Puja menjawab, “Nggak usah tanya. Lo nggak bakal paham rasanya dipecat.”“Hah? Kok bisa?” Diah yang kaget la
Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.“Nggak bisa lebih, Bang?”“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan ma
“Di dunia ini tidak pernah ada perempuan yang mau menjadi pelacur. Akan tetapi, tidak semua perempuan mendapatkan nasib baik hingga bisa memilih. Mungkin memang ada perempuan yang suka rela melacurkan dirinya sendiri demi uang, tapi jelas mereka bukan pelacur sebenarnya. Karena pelacur sejati menjual diri mereka untuk kehidupan, bukan sekadar uang.” Tami masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Yulia hari itu. Lebih tepatnya hari di mana ibu tirinya meninggalkan rumah sebelum kematiannya.Saat itu Yulia berdandan sangat cantik dengan rambut keriting sepinggang yang dibiarkan terurai. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru dengan sentuhan emas yang mewah. Dia benar-benar mirip bidadari saking anggunnya. Hanya saja, Tami tidak mengangka kalau bidadarinya sungguh memilih tinggal di surga.“Kenapa?” Seorang pria muda menepuk bahu Tami, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet lho.”“Setannya yang takut mau nyambet gue!” jawab Tami. “Bisa ngg
“Saya nggak mau tahu, hal kayak begini nggak boleh sampai kejadian lagi karena kalau sampai dewan sekolah dengar kita bisa dalam masalah besar. Kamu nggak mau kan keringanan uang sekolahmu dicabut? Anggap saja ini bayaran yang harus kamu tebus sebagai rasa terima kasih karena orang tua mereka telah memberi potongan biaya sekolah.”Ghania tidak menjawab kala itu, dia justru berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah jika suatu saat nanti biasa punya lebih banyak uang, akan dia sumpal mulut orang-orang penggila uang itu. Orang-orang kapitalis yang menganggap kemiskinan orang lain sebagai lahan kesenangan.Balas budi? Kedua kata itu benar-benar terdengar lucu di telinga Ghania sebab seumur-umur dia baru tahu bahwa mendapatkan beasiswa –tidak penuh –mengharuskannya menukar harga dirinya sebagai manusia. Padahal dia tahu persis bahwa orang tua anak-anak kaya itu melakukan semua kebaikan ini hanya untuk menyembunyikan kebusukan mereka. S
“Kami lebih baik membayar denda daripada harus bekerja di tempat ini.” Adalah ucapan yang paling sering Andini dengar dari para pegawai yang dia sewa jasanya bahkan sebelum genap sebulan bekerja. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan satu atau dua minggu saja, dan karena itu juga lah kini rumahnya masuk daftar hitam di berbagai yayasan penyalur tenaga kerja, bukan hanya yang berada di kota ini tetapi bahkan hingga ke luar kota.Namun demikian, Andini paham betul bahwa ini bukan sepenuhnya salah pegawainya. Justru putranya lah biang masalah sebenarnya. Karena semua orang kini sudah tahu betapa sulit dan menyebalkannya Arjuna, putra sulung keluarga Anggara yang kini lumpuh dan tidak bisa apa-apa itu. Padahal sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, tetapi tingkah jahilnya justru semakin menjadi-jadi seolah tidak punya belas kasihan pada Andini.Entah sudah berapa kali Arjuna berganti perawat selama lima tahun terakhir, Andini bahkan tidak ingat lagi. Yang jelas, setiap kali ada
“Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi
Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka