Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa hati akan berlabuh, segalanya tampak begitu misterius sampai akhirnya kamu sadar bahwa sedang terjebak di dalam lautan penuh kegelapan, dan tidak ada jalan untuk kembali.
Sejak kecil, Tami tidak mengerti mengapa ibunya yang malang bisa jatuh cinta pada Ruben, ayahnya yang hampir tidak pernah hadir untuk keluarga kecil mereka. Satu-satunya yang Tami tahu, setiap kali Ruben ada di rumah, itu artinya bencana akan datang. Sebab pria paruh baya tersebut seakan-akan tidak bisa membiarkan keluarganya hidup tenang.
Seperti siang itu, Tami sedang bekerja di toko kue saat tiba-tiba saja gawainya berdering, menampilkan nama sang ayah di layar. Tanpa pikir panjang, Tami mengangkatnya dan sesuai dugaan, lagi-lagi kabar buruklah yang dia terima.
“Ibu hilang?” ucap Tami tidak percaya, mengulang pernyataan ayahnya. “Kok bisa sih, Pak?”
Ruben menjawab dengan ketus, “Ya mana gue tahu? Nyokap lo saja kelakuannya nggak benar. Padahal gue sudah bilang supaya dia nggak ke mana-mana eh malah pergi.”
“Ya sudah, Tami pulang sekarang!”
Jika saja sang ibu, Paramita, punya pemikiran yang normal dan bukan penderita gangguan jiwa sudah tentu wanita malang itu tidak akan pergi seperti ini. Lagi pula, menurut Tami, tanggung jawab yang diberikan pada Ruben sangat mudah, dia hanya perlu mengawasi sang ibu selama tidak ada orang di rumah. Pun tidak lama, hanya sampai adik-adik Tami pulang dari sekolah. Selebihnya, terserah Ruben mau jumpalitan seperti apa. Tami tidak peduli.
Tami tidak pernah menuntut apa-apa dari ayahnya. Malah, dia mengorbankan seluruh hidupnya untuk bekerja, memberi makan dan membayar biaya pendidikan adik-adiknya, tapi kenapa sang ayah seolah-olah malah tidak menghargai itu? Ruben benar-benar tak memberi Tami waktu untuk sekadar bernapas lega.
“Sebentar saja, Mbak,” pinta Tami kepada Mbak Ajeng, pemilik toko kue tempatnya bekerja. “Nyokap gue kabur dari rumah.”
“Lagi?” Wanita berambut cepak itu menatapnya sinis, diiringi helaan napas panjang yang seolah-olah berkata: alasanmu sudah terlalu banyak digunakan, harusnya kau cari alasan baru yang lebih kreatif.
Tami mengangguk, memelas. “Gue mohon, Mbak. Dua jam. Nggak lebih. Begitu nyokap gue ketemu, gue janji akan langsung kembali ke sini. Kalau perlu, gue akan ganti jam yang terpakai di sif berikutnya. Ya? Tolong, Mbak.”
“Bukannya gue nggak mau ngasih, Tam. Masalahnya lo sudah keseringan. Gue nggak enak ke anak-anak lainnya, nanti dikira pilih kasih.”
“Mbak, please.” Tami menempelkan kedua tangannya di dada, tak lupa dia membungkuk, berharap belas kasih. “Gue nggak tahu Nyokap bakal ngelakuin apa di luar sana. Gue harus balik sekarang.”
Ajeng berdecih, tetapi sebagai manusia tentu dia pun masih punya hati. Maka, dengan penuh ketidakrelaan, Ajeng akhirnya mengangguk. “Jangan lama-lama. Dua jam saja.”
“Makasih banyak, Mbak! Makasih!” Tami menyalami tangan keriput wanita kepala empat itu, menempelkannya ke kening sebagai bentuk ucapan syukur.
Ajeng mengangguk, kering. “Ya. Ya. Ya. Sudah! Sana, pergi!” ujarnya seraya menarik tangannya dari tangan Tami. “Dan ingat, lo harus sudah kembali ke sini sebelum jam makan siang berakhir.”
*_*
Paramita menderita gangguan jiwa setelah kematian Anna, adik bungsu Tami sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu juga lah Tami mengambil alih peran sebagai wali untuk ketiga adiknya yang lain. Bukan hanya harus mencari nafkah, dia bahkan terpaksa merelakan kesempatannya mengambil beasiswa selepas SMA. Itulah mengapa dengan ijazah SMA-nya dari sekolah biasa-biasa saja ini, Tami dengan sangat berat mengambil banyak pekerjaan, hanya untuk mencukupi kebutuhan dapur agar tetap ngebul.
Pagi hingga siang dia bekerja di toko roti, agak sore hingga malam harinya dia pindah ke tempat laundry dekat rumah.
“Dasar orang gila,” umpat Ruben ketika Tami sampai di rumah. Pria itu menggerutu di atas sofa ruang tamu sembari mengisap rokok di tangan. “Mau diapakan juga tetap gila.”
“Bapak lupa Ibu gila karena siapa? Gara-gara Bapak. Coba saja kalau waktu itu Bapak nggak ambil uang untuk pengobatan Anna, nggak mungkin dia meninggal, dan Ibu sudah pasti nggak akan pernah kayak gini.”
“Kenapa lo jadi nyalahin gue?” Ruben tidak terima, dia berdiri dan menatap tajam ke putri sulungnya itu. “Eh, Tam, dengar ya! Memang lo kira gue tahu kalau adik lo bakalan mati secepat itu? Lagian, gue ini bapaknya. Gue jauh lebih sakit dari pada lo.”
“Kalau Bapak memang merasa bersalah, harusnya Bapak lebih peduli ke Ibu.”
“Kurang peduli apa gue ke nyokap lo?” todong Ruben, ketus. “Makan? Sudah gue suapi. Mandi? Sudah gue mandiin. Memang ibu lo saja yang nggak bersyukur.
“Lagi pula, semua orang pada dasarnya akan mati. Nggak perlu meratap terlalu lama. Yang ada kalau gila nyusahin keluarga.”
Jika ibunya menyusahkan, lalu Ruben kira dia apa? Tami membatin, tetapi detik berikutnya, dia memilih pergi, memulai perjalanan mencari sang ibu di sekitar rumah, juga menanyai para tetangga barangkali ada yang melihat kepergian Paramita.
“Nyokap lo? Tadi gue lihat sih jalan ke depan,” jawab Bu Juwar, pemilik warung kelontong.
“Coba cari ke rumah Mang Ujang.” Pak Kadir, tetangga yang lain memberi saran. “Biasanya kan ibumu di sana.”
“Nggak ada, Pak. Saya ini juga dari sana.”
“Kalau ke jalan besar?” Pak Oris, yang sedang menyiram jalan depan rumah berkata, “Soalnya, tadi saya dengar baru ada orang ditabrak mobil. Siapa tahu itu ibumu.”
Bagai disambar petir, dada Tami meletup tak kaget.
*_*
Entah firasat atau memang telah menduga, Tami langsung tahu bahwa perempuan yang ditabrak mobil hari itu adalah ibunya.
Tami dan Ruben bergegas ke rumah sakit. Untungnya, ketika mereka sampai di UGD, terlihat Paramita sedang duduk di atas tempat tidur dengan sebelah tangan di perban dan memakan sebungkus roti cokelat, yang langsung dia tawarkan kepada anak perempuannya itu tanpa rasa bersalah. Polos.
“Mau? Tami mau roti?”
Antara lega dan sedih, Tami menghampiri sang ibu. Tangannya memeluk tubuh gempal Paramita dengan erat, sementara tangisnya luruh.
“Ibu ke mana saja?” isaknya. “Ibu jangan pergi lagi.”
Paramita tersenyum, lebar. “Tami kenapa? Tami takut ya? Iya?”
Tami mengangguk, menenggelamkan wajahnya di bahu sang bunda. “Iya. Aku khawatir Ibu kenapa-kenapa.”
“Ibu nggak apa-apa,” jelas Paramita sembari mengusap air mata di wajah putrinya. “Di sini banyak orang baik. Ibu suka. Ibu dikasih roti. Kamu mau? Mau ya?”
“Nggak, buat ibu saja.”
“Tangan Ibu sakit.” Dia mengangkat sebelah tangannya, memamerkannya pada Tami yang matanya masih memerah itu. “Ibu ditabrak mobil.”
“Tami tahu. Makanya, Ibu jangan pergi dari rumah tanpa pamit ke Bapak.”
“Ibu sudah bilang,” jawab Paramita. “Tapi bapak kamu tidur. Bapakmu nggak mau nganterin Ibu jalan-jalan. Makanya, Ibu pergi sendiri. Kata bapakmu ..., pergi saja sendiri sana. Aku ngantuk.”
“Bapak bilang begitu?”
Paramita mengangguk, mantap.
Detik berikutnya, Tami menoleh ke luar UGD, lebih tepatnya ke arah sang ayah sedang berdiri bersama seorang pria yang menurut kabar adalah pelaku penabrakan. Yang Tami lihat sedang ngobrol asyik dan memberi Ruben uang. Dan yang Tami yakini, akan dimakan sendiri oleh ayahnya itu.
Maaf banget tapi akhirnya bisa update lagi. Ini akan menjadi cerita yang agak berbeda tapi aku jamin bikin kalian puas.
“Jadi, wanita di dalam adalah istrimu?”Ruben menjawab pertanyaan Siswo, teman lamanya dengan anggukan. “Aku tidak menyangka kamu sekarang bisa sesukses ini. Pakaianmu seperti orang penting saja. Sudah kaya kau sekarang? Padahal dulu kita sama-sama susah. Tapi sepertinya, tinggal aku saja yang masih susah.”“Sama saja, aku hanya beruntung.” Pria berkumis tebal itu menjawab, meski dari nada bicaranya masih menyombongkan diri. “Omong-omong, sekali lagi aku minta maaf karena sudah menabrak istrimu.”“Tidak masalah. Dia memang begitu. Harusnya, malah aku yang meminta maaf padamu karena istriku sudah mengganggu perjalananmu.”Kedua pria itu kompak melirik ke dalam ruangan, lebih tepatnya ke arah ranjang Paramita berada.“Dia anak perempuanmu?”Ruben mengangguk, bangga. “Benar.”“Cantik.”“Siapa dulu bapaknya?” Ruben tertawa.“Bisa saja kau. Berapa usianya?”“Dua puluh lima tahun.”“Masih kuliah? Atau sudah bekerja?”“Itulah yang ingin kuminta padamu,” jawab Ruben memelas. “Kiranya kau ada p
Seorang wanita muda keluar dari mobilnya dengan langkah terburu-buru. Di tangannya, terdapat tas mewah mungil berwarna merah darah yang senada dengan baju serta sepatunya. Akan tetapi, alih-alih norak busana itu justru sangat pas membalut dirinya, membuat penampilannya begitu elegan dan berkelas.“Kamu nggak bisa melakukan semua ini padaku, Juna!” Dia terteriak begitu memasuki sebuah ruangan, tempat seorang pria muda duduk di balik meja dengan laptop dan beberapa tumpuk dokumen di atas meja.Yang diajak bicara hanya menoleh sebentar, lalu meminta waktu untuk menyelesaikan tugasnya. “Duduklah dulu, aku masih harus mengecek beberapa laporan dari bawahanku.”Meski kesal, Viviane menurut. Dia mendudukkan bokongnya ke sofa panjang berwarna putih di tengah ruangan, sementara matanya yang bersembunyi di balik kacamata menatap kekasihnya itu tajam. “Kenapa? Kenapa kamu tega padaku, Jun?” katanya berat, tidak tahan. “Padahal kamu tahu aku sangat mencintaimu. Dan kamu pun mencintaiku, bukan?”Ar
Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.“Nggak bisa lebih, Bang?”“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan ma
“Di dunia ini tidak pernah ada perempuan yang mau menjadi pelacur. Akan tetapi, tidak semua perempuan mendapatkan nasib baik hingga bisa memilih. Mungkin memang ada perempuan yang suka rela melacurkan dirinya sendiri demi uang, tapi jelas mereka bukan pelacur sebenarnya. Karena pelacur sejati menjual diri mereka untuk kehidupan, bukan sekadar uang.” Tami masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Yulia hari itu. Lebih tepatnya hari di mana ibu tirinya meninggalkan rumah sebelum kematiannya.Saat itu Yulia berdandan sangat cantik dengan rambut keriting sepinggang yang dibiarkan terurai. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru dengan sentuhan emas yang mewah. Dia benar-benar mirip bidadari saking anggunnya. Hanya saja, Tami tidak mengangka kalau bidadarinya sungguh memilih tinggal di surga.“Kenapa?” Seorang pria muda menepuk bahu Tami, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet lho.”“Setannya yang takut mau nyambet gue!” jawab Tami. “Bisa ngg
“Saya nggak mau tahu, hal kayak begini nggak boleh sampai kejadian lagi karena kalau sampai dewan sekolah dengar kita bisa dalam masalah besar. Kamu nggak mau kan keringanan uang sekolahmu dicabut? Anggap saja ini bayaran yang harus kamu tebus sebagai rasa terima kasih karena orang tua mereka telah memberi potongan biaya sekolah.”Ghania tidak menjawab kala itu, dia justru berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah jika suatu saat nanti biasa punya lebih banyak uang, akan dia sumpal mulut orang-orang penggila uang itu. Orang-orang kapitalis yang menganggap kemiskinan orang lain sebagai lahan kesenangan.Balas budi? Kedua kata itu benar-benar terdengar lucu di telinga Ghania sebab seumur-umur dia baru tahu bahwa mendapatkan beasiswa –tidak penuh –mengharuskannya menukar harga dirinya sebagai manusia. Padahal dia tahu persis bahwa orang tua anak-anak kaya itu melakukan semua kebaikan ini hanya untuk menyembunyikan kebusukan mereka. S
“Kami lebih baik membayar denda daripada harus bekerja di tempat ini.” Adalah ucapan yang paling sering Andini dengar dari para pegawai yang dia sewa jasanya bahkan sebelum genap sebulan bekerja. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan satu atau dua minggu saja, dan karena itu juga lah kini rumahnya masuk daftar hitam di berbagai yayasan penyalur tenaga kerja, bukan hanya yang berada di kota ini tetapi bahkan hingga ke luar kota.Namun demikian, Andini paham betul bahwa ini bukan sepenuhnya salah pegawainya. Justru putranya lah biang masalah sebenarnya. Karena semua orang kini sudah tahu betapa sulit dan menyebalkannya Arjuna, putra sulung keluarga Anggara yang kini lumpuh dan tidak bisa apa-apa itu. Padahal sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, tetapi tingkah jahilnya justru semakin menjadi-jadi seolah tidak punya belas kasihan pada Andini.Entah sudah berapa kali Arjuna berganti perawat selama lima tahun terakhir, Andini bahkan tidak ingat lagi. Yang jelas, setiap kali ada
“Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi
Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu
“Kamu serius, Mas?”Mata Tami membelalak saat menerima uang tersebut. Lebih tepatnya, tidak percaya denga napa yang dia lihat. Juna mengangguk. “Ya. Tentu saja, Tami.”“Astaga!” Tami menggeleng tegas, lalu mendorong tangan Juna dan uang itu menjauhinya. “Aku nggak bisa menerima uang ini.”“Kenapa?”“Mas, uang ini bukan hak aku,” jawab Tami. “Uang ini jelas berada di luar kontrak kita. Aku nggak mau melanggar kontrak apapun, Mas Juna.”“Tami ini bukan pelanggaran kontrak sama sekali.” Juna terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Anggap saja ini sebagai kompensasi atas perbuatanku selama ini. Maksudku, kerja kamu bagus. Ini bonus.”Tami menggeleng kembali. “Mas, aku nggak melakukan apa-apa.”“Sayang, sarapan dulu!” Nyonya Anggara dari dalam rumah memanggil, dengan penuh semangat wanita paruh baya itu menghampiri keduanya. “Kalian sedang apa?” lanjutnya bertanya.Tami diam, tidak menjawab. Begitupun dengan Juna.“Eh, apa ini?” tanya Nyonya Anggara saat menyadari bungkusan di tangan anak
Selepas makan malam, Tami memilih untuk menemani Juna di kamar pribadinya, sebab tak ingin membuat Nyonya Anggara curiga. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tami hanya duduk dan membaca buku-buku koleksi suaminya, sementara Juna mengerjakan tugasnya mengetik di meja kerja.Suasana di sana sangat cerah pada saat itu. Tami bisa merasakan taburan bintang di atas langit menyapanya, seolah memintanya datang. Namun, dia juga tahu bahwa semuanya tak seserhana cuaca. Dia diam-diam merasa getir karena merindukan Ruben. Yah, setelah pertengkaran mereka kemarin, Ruben bahkan tak ada usaha untuk meminta maaf. Apa-apaan ini?“Kenapa kamu murung, Tami?”Pertanyaan Juna sontak membuat perempuan itu menoleh, tidak menyangka bahwa Juna akan menanyainya. Dia kemudian menggeleng. “Saya baik-baik saja, Pak.”“Jangan bohong!” tegas Juna. “Masalahmu dengan Ruben belum selesai kah?”Tami menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Dia kayaknya nggak ada niatan bakal minta maaf,” jawab perempuan itu dengan getir
Ombak yang menggulung di hadapannya, seolah menggambarkan isi kepala Tami hari ini. Perempuan mud aitu kini terduduk di teras kamar pribadinya, di teras rumah kayu biasa dia beristirahat. Namun kali ini, dia agak terganggu oleh pemikiran aneh yang terjadi sejak kedatangan Pandu tadi. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Juna hanyalah kepura-puraan tapi membiarkan pria itu mati rasanya Tami juga tidak tega. Dia meraih ponsel pintarnya, menimbang sebentar lalu meletakkannya kembali. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Ruben tapi rasa gengsinya datang kembali, lagi dan lagi. Apa yang bisa dia harus dia lakukan sekarang? Tami bingung, kalut.Tami mengirup napas panjang lewat hidung sebelum menghelanya pelan lewat mulut. Apa-apaan ini? Rasanya nyeri sekali. Juna menjadikannya tokoh utama dalam buku karangannya, tapi bukankah ini tidak ada dalam kontrak? Tami merasa apa yang dilakukan suaminya sudah keterlaluan tapi anehnya Tami pun tak bisa mengelak apalagi marah. Lebih tepatnya, dia t