Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?
Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.
“Nggak bisa lebih, Bang?”
“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”
Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.
Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan makan siang, dan Tami tidak akan membiarkannya melewatkan makan malam juga.
“Gue sudah makan!” Begitulah yang dikatakan oleh Tami ketika meletakkan sebungkus nasi ke dalam piring di atas meja ruang tamu tempat Ghania sedang belajar di bawah lampu remang-remang. Bukan apa-apa, lampu rumah mereka sudah dicabut dan satu-satunya yang mampu Tami lakukan untuk sementara adalah memasang lampu potable –itupun hasil pinjaman dari Puja. “Dan ini,” Tami merogoh saku celananya guna mengeluarkan amplop berisi uang yang telah dia siapkan sebelumnya, “meskipun belum lengkap tapi seenggaknya nyicil dulu. Sisanya, gue bakal bayar secepatnya.”
Bukannya menyambut pemberian kakaknya itu, Ghania justru meletakkan pensil di tangannya ke atas meja dengan kasar sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Mending gue pindah sekolah saja deh daripada begini?”
“Kenapa? Lo malu?”
“Kalau gue malu mana mungkin bisa bertahan dua tahun di sana?”
“Justru karena itu, ini sudah tahun ke dua. Sayang kalau lo mau berhenti sekarang.”
“Justru karena ini baru tahun kedua, Kak. Gue nggak mau lo kayak begini tiap hari.”
“Kayak begini apa?”
“Lo sadar nggak sih kalau selama ini lo menyiksa diri sendiri?”
“Jangan sok tahu lo!” Tami menjitak kepala Ghania yang langsung membuat gadis empat belas tahun itu meringis. “Sudah! Habisin makanan itu! Terus, jangan lupa dicuci piringnya! Gue mau keluar sebentar.”
“Ke mana lagi?”
Tami memilih mengabaikan pertanyaan Ghania, dan berlalu begitu saja. Lagipula, Tami tahu bahwa adiknya masih terlalu kecil untuk mengerti.
*_*
Satu hal yang tidak akan pernah kakaknya pahami adalah bahwa anak-anak orang kaya itu tidak akan pernah menganggapnya setara dengan mereka. Sampai kapanpun juga Ghania tidak lah lebih dari anak miskin yang mendapat potongan beasiswa, itupun masih sering menunggak iuran sekolah dan satu-satunya kesempatan Ghania bisa bergabung dengan mereka tidak lebih dari menjadi joki tugas dengan bayaran sangat murah.
Ya, Ghania diam-diam sering mengerjakan tugas teman sekelasnya demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan sekolah, termasuk membayar biaya buku dan iuran tidak wajib –yang tentu tetap wajib dia bayar –demi meringankan beban Tami. Terlebih sebagai anak remaja Ghania juga ingin bersenang-senang, membeli makanan dan barang-barang yang lebih layak. Hal yang sudah pasti di luar kendali Tami.
Tidak! Sama sekali Ghania tidak menyalahkan kakaknya untuk masalah ini. Apalagi Tami lah satu-satunya keluarga yang dia punya di dunia setelah ibunya meninggal dunia setelah melahirkannya ke dunia. Meskipun secara teknis mereka masih memiliki ayah tetapi pria itu bahkan sama sekali tidak pernah menanyakan bagaimana kabar anak-anaknya.
Jamal tidaklah lebih dari pria mokondo. Itulah yang selalu Ghania dengar dari para tetangga setiap kali menyebutkan nama kriminal itu. Tidak salah, sebab Jamal memang pernah menipu, merampok, memperkosa dan menghabisi nyawa orang lain. Bukan sekali, melainkan berkali-kali. Malah terakhir kali dia dengar, bapaknya akan dihukum mati.
Namun, peduli setan!
Toh, Ghania tidak pernah bertemu apalagi mengenal bapak kandungnya. Baginya, dia hanyalah anak yatim-piatu biasa. Hidup bersama kakak yang pekerja keras dan terjebak dalam pendidikan anak orang kaya. Pendidikan yang tentu tidak semua anak miskin sanggup dapatkan.
Terima kasih sudah membaca sejauh ini.
“Di dunia ini tidak pernah ada perempuan yang mau menjadi pelacur. Akan tetapi, tidak semua perempuan mendapatkan nasib baik hingga bisa memilih. Mungkin memang ada perempuan yang suka rela melacurkan dirinya sendiri demi uang, tapi jelas mereka bukan pelacur sebenarnya. Karena pelacur sejati menjual diri mereka untuk kehidupan, bukan sekadar uang.” Tami masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Yulia hari itu. Lebih tepatnya hari di mana ibu tirinya meninggalkan rumah sebelum kematiannya.Saat itu Yulia berdandan sangat cantik dengan rambut keriting sepinggang yang dibiarkan terurai. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru dengan sentuhan emas yang mewah. Dia benar-benar mirip bidadari saking anggunnya. Hanya saja, Tami tidak mengangka kalau bidadarinya sungguh memilih tinggal di surga.“Kenapa?” Seorang pria muda menepuk bahu Tami, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet lho.”“Setannya yang takut mau nyambet gue!” jawab Tami. “Bisa ngg
“Saya nggak mau tahu, hal kayak begini nggak boleh sampai kejadian lagi karena kalau sampai dewan sekolah dengar kita bisa dalam masalah besar. Kamu nggak mau kan keringanan uang sekolahmu dicabut? Anggap saja ini bayaran yang harus kamu tebus sebagai rasa terima kasih karena orang tua mereka telah memberi potongan biaya sekolah.”Ghania tidak menjawab kala itu, dia justru berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah jika suatu saat nanti biasa punya lebih banyak uang, akan dia sumpal mulut orang-orang penggila uang itu. Orang-orang kapitalis yang menganggap kemiskinan orang lain sebagai lahan kesenangan.Balas budi? Kedua kata itu benar-benar terdengar lucu di telinga Ghania sebab seumur-umur dia baru tahu bahwa mendapatkan beasiswa –tidak penuh –mengharuskannya menukar harga dirinya sebagai manusia. Padahal dia tahu persis bahwa orang tua anak-anak kaya itu melakukan semua kebaikan ini hanya untuk menyembunyikan kebusukan mereka. S
“Kami lebih baik membayar denda daripada harus bekerja di tempat ini.” Adalah ucapan yang paling sering Andini dengar dari para pegawai yang dia sewa jasanya bahkan sebelum genap sebulan bekerja. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan satu atau dua minggu saja, dan karena itu juga lah kini rumahnya masuk daftar hitam di berbagai yayasan penyalur tenaga kerja, bukan hanya yang berada di kota ini tetapi bahkan hingga ke luar kota.Namun demikian, Andini paham betul bahwa ini bukan sepenuhnya salah pegawainya. Justru putranya lah biang masalah sebenarnya. Karena semua orang kini sudah tahu betapa sulit dan menyebalkannya Arjuna, putra sulung keluarga Anggara yang kini lumpuh dan tidak bisa apa-apa itu. Padahal sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, tetapi tingkah jahilnya justru semakin menjadi-jadi seolah tidak punya belas kasihan pada Andini.Entah sudah berapa kali Arjuna berganti perawat selama lima tahun terakhir, Andini bahkan tidak ingat lagi. Yang jelas, setiap kali ada
“Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi
Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka
“Ayolah, Sayang! Kamu jangan menyiksa Mami seperti ini.” Meskipun dua bulan sudah berlalu sejak pengasuhnya meninggalkan rumah, tetapi Juna belum bisa bunuh diri lagi. Karena Andini malah terjun sendiri, mengurusnya di sela-sela kesibukan sebagai perancang busana. “Makan sedikit saja. Kamu kan tahu kemarin dokter bilang apa? Kamu punya asam lambung, kalau nggak makan bisa semakin parah.”Arjuna hanya terdiam, menutup rapat mulutnya.Baginya, mati karena asam lambung tidak terlalu buruk. Toh, dia juga sudah bosan hidup. Semakin banyak penyakit yang datang, semakin banyak juga kemungkinan dia untuk mati. Kalau bisa mati tanpa percobaan bunuh diri, kenapa tidak?“Arjuna, buka mulutmu!” Andini menyodorkan nasi ke mulut putranya dengan putus asa. “Satu suap ini saja, ya?”Juna yang tidak bisa menggeleng tetap terdiam, atau lebih tepatnya hanya reaksi inilah yang bisa dia berikan. Matanya menatap ke bingkai-bingkai foto di dinding kamar. Potret dirinya di masa kecil, remaja hingga dewasa. Ju
Sejak lulus dari sekolah keperawatan, Utami Saraswati telah menggeluti profesi ini, meskipun pada awalnya dia tidak langsung berdiri sendiri dan masih bergabung dalam sebuah yayasan pelayanan kesehatan. Sebelum berfokus pada perawatan di rumah, dia dulunya juga melayani pasien di rumah sakit akan tetapi dikarenakan tuntutan ekonomi, dia akhirnya memutuskan untuk mandiri. Pun membiayai anak-anak di panti asuhan juga tidak murah. Memang benar, ada donatur yang secara rutin memberikan tambahan biaya tetapi sama sekali belum cukup untuk membiayai seluruh anak. Terlebih sejak Bu Santika, pemilik yayasan sekaligus ibu angkatnya meninggal dunia, Tami lah yang mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya. Mulai dari biaya makan hingga pendidikan, Tami tanggung sendiri di pundaknya.Beruntung, kini memiliki sosok seperti Ayumi dan Jenar yang setia membantunya menjaga adik-adik hingga Tami dapat mengfokuskan diri pada pekerjaannya sebagai perawat. Melayani para penyewa jasa, sekaligus sumber pendapa
“Berapa pun yang Anda minta pasti akan saya berikan, tapi tolong bantu saja.”Andini sudah hampir berlutut kalau saja Tami tidak menghentikannya. Dia menarik kembali perempuan paruh baya itu untuk duduk di kursi, terlebih karena mereka kini menjadi pusat perhatian semua orang di kafe yang sangat ramai siang itu. Tentu saja Tami tidak mau disangka sebagai orang jahat karena membiarkan perempuan yang lebih pantas disebut ibunya ini mengemis di kakinya.“Ini bukan soal uang, Bu.”“Lalu, apa?” Andini menyeka air mata. “Putra saya telah lama menderita. Jika ditunda, saya takut akan terjadi apa-apa padanya. Hanya Anda yang bisa menolongnya.”Tami menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lewat mulut secara perlahan. “Saya ini bukan Tuhan. Pertolongan yang saya berikan tidak lebih dari usaha biasa. Anda orang kaya, tentu punya uang untuk menyewa perawat professional lainnya. Yang lebih hebat, atau bahkan yang jebolan universitas bagus di luar negara.”“Percuma!” tegas Andini. Tangannya yang