Share

Gadis Kecil 4

Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?

Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.

“Nggak bisa lebih, Bang?”

“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”

Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.

Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan makan siang, dan Tami tidak akan membiarkannya melewatkan makan malam juga.

“Gue sudah makan!” Begitulah yang dikatakan oleh Tami ketika meletakkan sebungkus nasi ke dalam piring di atas meja ruang tamu tempat Ghania sedang belajar di bawah lampu remang-remang. Bukan apa-apa, lampu rumah mereka sudah dicabut dan satu-satunya yang mampu Tami lakukan untuk sementara adalah memasang lampu potable –itupun hasil pinjaman dari Puja. “Dan ini,” Tami merogoh saku celananya guna mengeluarkan amplop berisi uang yang telah dia siapkan sebelumnya, “meskipun belum lengkap tapi seenggaknya nyicil dulu. Sisanya, gue bakal bayar secepatnya.”

Bukannya menyambut pemberian kakaknya itu, Ghania justru meletakkan pensil di tangannya ke atas meja dengan kasar sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Mending gue pindah sekolah saja deh daripada begini?”

“Kenapa? Lo malu?”

“Kalau gue malu mana mungkin bisa bertahan dua tahun di sana?”

“Justru karena itu, ini sudah tahun ke dua. Sayang kalau lo mau berhenti sekarang.”

“Justru karena ini baru tahun kedua, Kak. Gue nggak mau lo kayak begini tiap hari.”

“Kayak begini apa?”

“Lo sadar nggak sih kalau selama ini lo menyiksa diri sendiri?”

“Jangan sok tahu lo!” Tami menjitak kepala Ghania yang langsung membuat gadis empat belas tahun itu meringis. “Sudah! Habisin makanan itu! Terus, jangan lupa dicuci piringnya! Gue mau keluar sebentar.”

“Ke mana lagi?”

Tami memilih mengabaikan pertanyaan Ghania, dan berlalu begitu saja. Lagipula, Tami tahu bahwa adiknya masih terlalu kecil untuk mengerti.

*_*

Satu hal yang tidak akan pernah kakaknya pahami adalah bahwa anak-anak orang kaya itu tidak akan pernah menganggapnya setara dengan mereka. Sampai kapanpun juga Ghania tidak lah lebih dari anak miskin yang mendapat potongan beasiswa, itupun masih sering menunggak iuran sekolah dan satu-satunya kesempatan Ghania bisa bergabung dengan mereka tidak lebih dari menjadi joki tugas dengan bayaran sangat murah.

Ya, Ghania diam-diam sering mengerjakan tugas teman sekelasnya demi mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan sekolah, termasuk membayar biaya buku dan iuran tidak wajib –yang tentu tetap wajib dia bayar –demi meringankan beban Tami. Terlebih sebagai anak remaja Ghania juga ingin bersenang-senang, membeli makanan dan barang-barang yang lebih layak. Hal yang sudah pasti di luar kendali Tami.

Tidak! Sama sekali Ghania tidak menyalahkan kakaknya untuk masalah ini. Apalagi Tami lah satu-satunya keluarga yang dia punya di dunia setelah ibunya meninggal dunia setelah melahirkannya ke dunia. Meskipun secara teknis mereka masih memiliki ayah tetapi pria itu bahkan sama sekali tidak pernah menanyakan bagaimana kabar anak-anaknya.

Jamal tidaklah lebih dari pria mokondo. Itulah yang selalu Ghania dengar dari para tetangga setiap kali menyebutkan nama kriminal itu. Tidak salah, sebab Jamal memang pernah menipu, merampok, memperkosa dan menghabisi nyawa orang lain. Bukan sekali, melainkan berkali-kali. Malah terakhir kali dia dengar, bapaknya akan dihukum mati.

Namun, peduli setan!

Toh, Ghania tidak pernah bertemu apalagi mengenal bapak kandungnya. Baginya, dia hanyalah anak yatim-piatu biasa. Hidup bersama kakak yang pekerja keras dan terjebak dalam pendidikan anak orang kaya. Pendidikan yang tentu tidak semua anak miskin sanggup dapatkan.

Nandreans

Terima kasih sudah membaca sejauh ini.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status