“Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi
Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka
“Ayolah, Sayang! Kamu jangan menyiksa Mami seperti ini.” Meskipun dua bulan sudah berlalu sejak pengasuhnya meninggalkan rumah, tetapi Juna belum bisa bunuh diri lagi. Karena Andini malah terjun sendiri, mengurusnya di sela-sela kesibukan sebagai perancang busana. “Makan sedikit saja. Kamu kan tahu kemarin dokter bilang apa? Kamu punya asam lambung, kalau nggak makan bisa semakin parah.”Arjuna hanya terdiam, menutup rapat mulutnya.Baginya, mati karena asam lambung tidak terlalu buruk. Toh, dia juga sudah bosan hidup. Semakin banyak penyakit yang datang, semakin banyak juga kemungkinan dia untuk mati. Kalau bisa mati tanpa percobaan bunuh diri, kenapa tidak?“Arjuna, buka mulutmu!” Andini menyodorkan nasi ke mulut putranya dengan putus asa. “Satu suap ini saja, ya?”Juna yang tidak bisa menggeleng tetap terdiam, atau lebih tepatnya hanya reaksi inilah yang bisa dia berikan. Matanya menatap ke bingkai-bingkai foto di dinding kamar. Potret dirinya di masa kecil, remaja hingga dewasa. Ju
Sejak lulus dari sekolah keperawatan, Utami Saraswati telah menggeluti profesi ini, meskipun pada awalnya dia tidak langsung berdiri sendiri dan masih bergabung dalam sebuah yayasan pelayanan kesehatan. Sebelum berfokus pada perawatan di rumah, dia dulunya juga melayani pasien di rumah sakit akan tetapi dikarenakan tuntutan ekonomi, dia akhirnya memutuskan untuk mandiri. Pun membiayai anak-anak di panti asuhan juga tidak murah. Memang benar, ada donatur yang secara rutin memberikan tambahan biaya tetapi sama sekali belum cukup untuk membiayai seluruh anak. Terlebih sejak Bu Santika, pemilik yayasan sekaligus ibu angkatnya meninggal dunia, Tami lah yang mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya. Mulai dari biaya makan hingga pendidikan, Tami tanggung sendiri di pundaknya.Beruntung, kini memiliki sosok seperti Ayumi dan Jenar yang setia membantunya menjaga adik-adik hingga Tami dapat mengfokuskan diri pada pekerjaannya sebagai perawat. Melayani para penyewa jasa, sekaligus sumber pendapa
“Berapa pun yang Anda minta pasti akan saya berikan, tapi tolong bantu saja.”Andini sudah hampir berlutut kalau saja Tami tidak menghentikannya. Dia menarik kembali perempuan paruh baya itu untuk duduk di kursi, terlebih karena mereka kini menjadi pusat perhatian semua orang di kafe yang sangat ramai siang itu. Tentu saja Tami tidak mau disangka sebagai orang jahat karena membiarkan perempuan yang lebih pantas disebut ibunya ini mengemis di kakinya.“Ini bukan soal uang, Bu.”“Lalu, apa?” Andini menyeka air mata. “Putra saya telah lama menderita. Jika ditunda, saya takut akan terjadi apa-apa padanya. Hanya Anda yang bisa menolongnya.”Tami menarik napas panjang, lalu mengembuskannya lewat mulut secara perlahan. “Saya ini bukan Tuhan. Pertolongan yang saya berikan tidak lebih dari usaha biasa. Anda orang kaya, tentu punya uang untuk menyewa perawat professional lainnya. Yang lebih hebat, atau bahkan yang jebolan universitas bagus di luar negara.”“Percuma!” tegas Andini. Tangannya yang
Meskipun kini menganggur tetapi kebutuhan hidup tidak bisa diundur, itulah kenapa selama seminggu terakhir Tami tak henti-hentinya mencari lowongan pekerjaan untuk dia isi. Karena semakin lama dia menganggur, kian banyak juga hutang yang nantinya harus dia bayarkan. Pun dia juga tidak enak hati sebab terus-terusan merepotkan Diah. Sahabatnya yang satu itu sudah terlalu banyak membantu, bahkan sejak bertahun-tahun lalu.Tami masih ingat betul setelah sang ibu meninggal, di saat dia terlunta-lunta di jalanan, Diah lah orang pertama yang mengajarinya bertahan. “Hidup di Jakarta ini keras. Sebagai orang dewasa, kita harus bisa melawan dunia. Di sini kita makan atau dimakan.”“Tapi, gue masih anak-anak.”“Nggak peduli berapapun umur lo, tanpa orang dewasa yang bisa melindungi artinya lo bukan lagi anak-anak. Terlebih, ada Ghania yang harus lo hidupi.”Usia Diah tiga tahun lebih tua dari Tami. Namun, fisiknya sama sekali tidak mirip anak remaja. Riasan di wajahnya membuatnya kala itu tampak
Dia masih bisa mengingat dengan sangat jelas hari di mana Galih membawa perempuan itu ke rumah mereka. Dengan rambut panjang tergerai dan tubuh di balut gaun pendek selutut berwarna merah menyala, Yulia menyapa Tami Kecil. Sayangnya, Tami tidak menyambut uluran tangan Yulia, mengingat bocah itu menduga bahwasanya pernikahan ayahnya tak bakal bertahan lama. Paling banter sebulan, ayahnya akan mencari perempuan lain, atau malah di perempuan lah yang akan minggat dari rumah. Pun Tami juga masih trauma sebab hampir semua istri ayahnya selalu memperlakukannya dengan buruk, mulai dari menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, memukuli bahkan sampai tidak memberinya makan sama sekali.Tami Kecil langsung berlari ke dalam kamar, meringkuk di atas kasur lantai tipis –yang bahkan tidak pantas disebut sebagai kasur –di sana. Bahkan ketika jam makan malam tiba, Tami memutuskan untuk tetap pada posisinya, menolak bergabung ke meja makan sekalipun aroma ayam goreng sangat menggoda. Dia tidak boleh la
“Jangan! Bapak! Lepaskan!”Tami Kecil berteriak sambil memegangi kaki Galih, mencoba menahan sang ayah agar berhenti sebab tubuh Yulia kini telah terkapar di atas lantai. Lebam di mana-mana, membuat paras cantiknya seolah lenyap dilahap rasa sakit yang kian menjadi-jadi.“DIAM!” Galih menendang putrinya, kemudian menarik rambut Yulia sebelum pada akhirnya membenturkan tubuh wanita malang itu ke dinding.Merupakan sekelebat banyangan mengenai masa remajanya dahulu, yang sampai mati rasanya tidak bakal Tami lupakan dari kepala. Ayahnya hanyalah mimpi buruk, tidak ada satu pun kebahagiaan pernah dia rasakan sepanjang hidup bersama Galih. Pria itu alih-alih merawat justru dirawat oleh putrinya yang belum genap sepuluh tahun saat itu.Itulah kenapa begitu mendengar bahwa sang ayah bebas dari penjara, Tami buru-buru pulang ke rumah. Dia tahu pasti kalau Galih akan kembali, meminta uang dan bahkan berpotensi melakukan hal aneh-aneh lagi, yang akan merugikan orang lain. Beberapa tahun lalu Gal