Dalam balutan gaun malam yang menawan Diah tidaklah lebih dari penghibur pria hidung belang yang haus akan belaian. Meskipun sejujurnya dia sendiri juga sangat jijik dengan pria-pria itu. Hanya saja apa mau dikata, Diah membutuhkan isi kantong mereka. Dan supaya kantong terbuka, dia perlu membuka celana mereka dan meremas isinya.
“Lo nggak mau cari kerjaan halal saja?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut sopir angkot yang adalah adik kandungnya, Ruben. Yang tentu langsung dijawab dengan senyuman oleh Diah. Sebagai orang waras tentu dia tidak ingin tapi dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibu mereka jika bukan karena papi-papiannya? Terlebih Tami tidak punya ijazah sama sekali kalau mau ikut kerja seperti kedua rekan baiknya.
Dan ketika bertemu dengan Tami dan Puja, Diah langsung menghampiri keduanya. “Lesu banget?” tanyanya. “Baru saja gue mau ke kontrakan kalian.”
Puja menjawab, “Nggak usah tanya. Lo nggak bakal paham rasanya dipecat.”
“Hah? Kok bisa?” Diah yang kaget langsung berlutut dan ikut duduk di kursi kosong tempat kosong di antara mereka. “Omong-omong, gue juga pernah dipecat. Meskipun nggak secara langsung. Tapi, rasanya tetap sama. Yaitu ketika papi-papi gue memutuskan hubungan.”
“Tetap saja lain,” sahut Tami. “Mau?” Tanpa mengangguk Diah langsung menyambar es dari tangan Tami. “Kalau lo diputusin sama om-om itu ya wajar karena memang dia punya keluarga. Siapa tahu itu om sudah sadar. Masalahnya kalau gue sama Puja dipecat karena nggak melakukan apa-apa.”
“Kapan ya kita bisa kaya?”
“Mungkin kalau kiamat, Ja!” Entah kenapa Diah malah menjawab begitu. “Tapi, semoga anak lo sama adiknya Tami bisa dapat hidup yang lebih baik. Setidaknya supaya mereka nggak perlu diremehkan orang dan menjilat buat makan doang.”
“Tuhan pernah nggak sih dengerin doa kita?” Puja tiba-tiba bertanya kalimat yang tentu membuat kedua temannya tercengang sebab selama lebih dari dua puluh tahun berteman mereka belum pernah membicarakan Tuhan. Mereka bahkan sudah lupa kapan pergi ke rumah Tuhan. “Apa Dia cuma mau dengar doa orang kaya saja? Apa kita nggak di dengar karena nggak ngasih persembahan? Apa dia nggak tahu kalau kita kekurangan?”
“Apakah dia ada?” sambung Tami. “Gue saja lupa kapan terakhir kali ibadah. Mukena saja gue nggak punya.”
Diah tertawa kecil. “Apa lagi gue?”
“Terus itu tato Yesus segede gaban di punggung lo?”
“Cuma pajangan saja!” jawab Diah setengah bercanda.
Ironi.
Bisa sampai dititik ini mereka merasa berjuang sendirian, tanpa Tuhan. Malah, Tuhan mengambil Yulia dari hidup Tami; membiarkan ayah Diah pergi; dan menenggelamkan Puja dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berulang. Ke mana Tuhan berada? Apakah Dia hanya ada untuk orang yang lurus? Apakah Dia tidak berniat meluruskan yang sesat?
Sebelum berpisah, Diah tiba-tiba mengeluarkan empat lembar uang seratus ribuan dari dalam tasnya yang dibagikan merata pada kedua sahabatnya. “Anggap saja ini gantinya pesangon yang nggak kalian dapat.”
“Lo serius?”
“Ini nggak apa-apa? Lo punya duit?”
Perempuan itu mengangguk. “Gue baru dikasih uang jajan sama Om.”
“Makasih ya, Di.”
“Kami nggak tahu lagi harus ngomong apa.”
Namun, lagi-lagi Diah tersenyum. “Kalian nggak perlu balas apa-apa. Terus hidup. Bertahan buat anak kalian. Itu cukup. Kalau butuh apa-apa bilang saja ke gue.”
Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini? Bahkan seringkali mereka menghakimi tanpa mau mendengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya.
Terima kasih
Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.“Nggak bisa lebih, Bang?”“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan ma
“Di dunia ini tidak pernah ada perempuan yang mau menjadi pelacur. Akan tetapi, tidak semua perempuan mendapatkan nasib baik hingga bisa memilih. Mungkin memang ada perempuan yang suka rela melacurkan dirinya sendiri demi uang, tapi jelas mereka bukan pelacur sebenarnya. Karena pelacur sejati menjual diri mereka untuk kehidupan, bukan sekadar uang.” Tami masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Yulia hari itu. Lebih tepatnya hari di mana ibu tirinya meninggalkan rumah sebelum kematiannya.Saat itu Yulia berdandan sangat cantik dengan rambut keriting sepinggang yang dibiarkan terurai. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru dengan sentuhan emas yang mewah. Dia benar-benar mirip bidadari saking anggunnya. Hanya saja, Tami tidak mengangka kalau bidadarinya sungguh memilih tinggal di surga.“Kenapa?” Seorang pria muda menepuk bahu Tami, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet lho.”“Setannya yang takut mau nyambet gue!” jawab Tami. “Bisa ngg
“Saya nggak mau tahu, hal kayak begini nggak boleh sampai kejadian lagi karena kalau sampai dewan sekolah dengar kita bisa dalam masalah besar. Kamu nggak mau kan keringanan uang sekolahmu dicabut? Anggap saja ini bayaran yang harus kamu tebus sebagai rasa terima kasih karena orang tua mereka telah memberi potongan biaya sekolah.”Ghania tidak menjawab kala itu, dia justru berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah jika suatu saat nanti biasa punya lebih banyak uang, akan dia sumpal mulut orang-orang penggila uang itu. Orang-orang kapitalis yang menganggap kemiskinan orang lain sebagai lahan kesenangan.Balas budi? Kedua kata itu benar-benar terdengar lucu di telinga Ghania sebab seumur-umur dia baru tahu bahwa mendapatkan beasiswa –tidak penuh –mengharuskannya menukar harga dirinya sebagai manusia. Padahal dia tahu persis bahwa orang tua anak-anak kaya itu melakukan semua kebaikan ini hanya untuk menyembunyikan kebusukan mereka. S
“Kami lebih baik membayar denda daripada harus bekerja di tempat ini.” Adalah ucapan yang paling sering Andini dengar dari para pegawai yang dia sewa jasanya bahkan sebelum genap sebulan bekerja. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan satu atau dua minggu saja, dan karena itu juga lah kini rumahnya masuk daftar hitam di berbagai yayasan penyalur tenaga kerja, bukan hanya yang berada di kota ini tetapi bahkan hingga ke luar kota.Namun demikian, Andini paham betul bahwa ini bukan sepenuhnya salah pegawainya. Justru putranya lah biang masalah sebenarnya. Karena semua orang kini sudah tahu betapa sulit dan menyebalkannya Arjuna, putra sulung keluarga Anggara yang kini lumpuh dan tidak bisa apa-apa itu. Padahal sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, tetapi tingkah jahilnya justru semakin menjadi-jadi seolah tidak punya belas kasihan pada Andini.Entah sudah berapa kali Arjuna berganti perawat selama lima tahun terakhir, Andini bahkan tidak ingat lagi. Yang jelas, setiap kali ada
“Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi
Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka
“Ayolah, Sayang! Kamu jangan menyiksa Mami seperti ini.” Meskipun dua bulan sudah berlalu sejak pengasuhnya meninggalkan rumah, tetapi Juna belum bisa bunuh diri lagi. Karena Andini malah terjun sendiri, mengurusnya di sela-sela kesibukan sebagai perancang busana. “Makan sedikit saja. Kamu kan tahu kemarin dokter bilang apa? Kamu punya asam lambung, kalau nggak makan bisa semakin parah.”Arjuna hanya terdiam, menutup rapat mulutnya.Baginya, mati karena asam lambung tidak terlalu buruk. Toh, dia juga sudah bosan hidup. Semakin banyak penyakit yang datang, semakin banyak juga kemungkinan dia untuk mati. Kalau bisa mati tanpa percobaan bunuh diri, kenapa tidak?“Arjuna, buka mulutmu!” Andini menyodorkan nasi ke mulut putranya dengan putus asa. “Satu suap ini saja, ya?”Juna yang tidak bisa menggeleng tetap terdiam, atau lebih tepatnya hanya reaksi inilah yang bisa dia berikan. Matanya menatap ke bingkai-bingkai foto di dinding kamar. Potret dirinya di masa kecil, remaja hingga dewasa. Ju
Sejak lulus dari sekolah keperawatan, Utami Saraswati telah menggeluti profesi ini, meskipun pada awalnya dia tidak langsung berdiri sendiri dan masih bergabung dalam sebuah yayasan pelayanan kesehatan. Sebelum berfokus pada perawatan di rumah, dia dulunya juga melayani pasien di rumah sakit akan tetapi dikarenakan tuntutan ekonomi, dia akhirnya memutuskan untuk mandiri. Pun membiayai anak-anak di panti asuhan juga tidak murah. Memang benar, ada donatur yang secara rutin memberikan tambahan biaya tetapi sama sekali belum cukup untuk membiayai seluruh anak. Terlebih sejak Bu Santika, pemilik yayasan sekaligus ibu angkatnya meninggal dunia, Tami lah yang mengambil alih tanggung jawab sepenuhnya. Mulai dari biaya makan hingga pendidikan, Tami tanggung sendiri di pundaknya.Beruntung, kini memiliki sosok seperti Ayumi dan Jenar yang setia membantunya menjaga adik-adik hingga Tami dapat mengfokuskan diri pada pekerjaannya sebagai perawat. Melayani para penyewa jasa, sekaligus sumber pendapa
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu
“Kamu serius, Mas?”Mata Tami membelalak saat menerima uang tersebut. Lebih tepatnya, tidak percaya denga napa yang dia lihat. Juna mengangguk. “Ya. Tentu saja, Tami.”“Astaga!” Tami menggeleng tegas, lalu mendorong tangan Juna dan uang itu menjauhinya. “Aku nggak bisa menerima uang ini.”“Kenapa?”“Mas, uang ini bukan hak aku,” jawab Tami. “Uang ini jelas berada di luar kontrak kita. Aku nggak mau melanggar kontrak apapun, Mas Juna.”“Tami ini bukan pelanggaran kontrak sama sekali.” Juna terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Anggap saja ini sebagai kompensasi atas perbuatanku selama ini. Maksudku, kerja kamu bagus. Ini bonus.”Tami menggeleng kembali. “Mas, aku nggak melakukan apa-apa.”“Sayang, sarapan dulu!” Nyonya Anggara dari dalam rumah memanggil, dengan penuh semangat wanita paruh baya itu menghampiri keduanya. “Kalian sedang apa?” lanjutnya bertanya.Tami diam, tidak menjawab. Begitupun dengan Juna.“Eh, apa ini?” tanya Nyonya Anggara saat menyadari bungkusan di tangan anak
Selepas makan malam, Tami memilih untuk menemani Juna di kamar pribadinya, sebab tak ingin membuat Nyonya Anggara curiga. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tami hanya duduk dan membaca buku-buku koleksi suaminya, sementara Juna mengerjakan tugasnya mengetik di meja kerja.Suasana di sana sangat cerah pada saat itu. Tami bisa merasakan taburan bintang di atas langit menyapanya, seolah memintanya datang. Namun, dia juga tahu bahwa semuanya tak seserhana cuaca. Dia diam-diam merasa getir karena merindukan Ruben. Yah, setelah pertengkaran mereka kemarin, Ruben bahkan tak ada usaha untuk meminta maaf. Apa-apaan ini?“Kenapa kamu murung, Tami?”Pertanyaan Juna sontak membuat perempuan itu menoleh, tidak menyangka bahwa Juna akan menanyainya. Dia kemudian menggeleng. “Saya baik-baik saja, Pak.”“Jangan bohong!” tegas Juna. “Masalahmu dengan Ruben belum selesai kah?”Tami menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Dia kayaknya nggak ada niatan bakal minta maaf,” jawab perempuan itu dengan getir
Ombak yang menggulung di hadapannya, seolah menggambarkan isi kepala Tami hari ini. Perempuan mud aitu kini terduduk di teras kamar pribadinya, di teras rumah kayu biasa dia beristirahat. Namun kali ini, dia agak terganggu oleh pemikiran aneh yang terjadi sejak kedatangan Pandu tadi. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Juna hanyalah kepura-puraan tapi membiarkan pria itu mati rasanya Tami juga tidak tega. Dia meraih ponsel pintarnya, menimbang sebentar lalu meletakkannya kembali. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Ruben tapi rasa gengsinya datang kembali, lagi dan lagi. Apa yang bisa dia harus dia lakukan sekarang? Tami bingung, kalut.Tami mengirup napas panjang lewat hidung sebelum menghelanya pelan lewat mulut. Apa-apaan ini? Rasanya nyeri sekali. Juna menjadikannya tokoh utama dalam buku karangannya, tapi bukankah ini tidak ada dalam kontrak? Tami merasa apa yang dilakukan suaminya sudah keterlaluan tapi anehnya Tami pun tak bisa mengelak apalagi marah. Lebih tepatnya, dia t