Beranda / Romansa / Bukan Cinta Buta / Darimana datangnya luka?

Share

Darimana datangnya luka?

Penulis: Nandreans
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-14 16:57:31

“Jadi, wanita di dalam adalah istrimu?”

Ruben menjawab pertanyaan Siswo, teman lamanya dengan anggukan. “Aku tidak menyangka kamu sekarang bisa sesukses ini. Pakaianmu seperti orang penting saja. Sudah kaya kau sekarang? Padahal dulu kita sama-sama susah. Tapi sepertinya, tinggal aku saja yang masih susah.”

“Sama saja, aku hanya beruntung.” Pria berkumis tebal itu menjawab, meski dari nada bicaranya masih menyombongkan diri. “Omong-omong, sekali lagi aku minta maaf karena sudah menabrak istrimu.”

“Tidak masalah. Dia memang begitu. Harusnya, malah aku yang meminta maaf padamu karena istriku sudah mengganggu perjalananmu.”

Kedua pria itu kompak melirik ke dalam ruangan, lebih tepatnya ke arah ranjang Paramita berada.

“Dia anak perempuanmu?”

Ruben mengangguk, bangga. “Benar.”

“Cantik.”

“Siapa dulu bapaknya?” Ruben tertawa.

“Bisa saja kau. Berapa usianya?”

“Dua puluh lima tahun.”

“Masih kuliah? Atau sudah bekerja?”

“Itulah yang ingin kuminta padamu,” jawab Ruben memelas. “Kiranya kau ada pekerjaan, tolong berilah anakku pekerjaan. Keluarga kami sangat butuh pemasukan kau, tahu? Biaya pengobatan istriku ..., gangguan jiwanya cukup parah. Belum lagi anak-anakku yang lain masih kecil dan butuh uang sekolah.”

“Berhubung kau teman baikku dan dulu selalu membantuku, akan kulihat lagi. Bila ada pekerjaan, akan kuhubungi.” Siswo merogoh kantong celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu pada kawannya itu. “Terimalah.”

“Apa ini?”

“Anggap saja sebagai uang permintaan maaf karena aku sudah membuat istrimu cedera.”

“Tidak usah repot-repot, Siswo.”

“Terimalah saja. Aku akan sangat senang jika bisa membantu.”

*_*

“Kan gue sudah pernah bilang, lebih baik bawa saja nyokap lo ke rumah sakit jiwa! Lo sih, susah banget diomongin! Kalau sudah begini, bagaimana? Kita juga yang susah! Untung sama nyokap lo nggak kenapa-kenapa, dan yang nabrak mau tanggung jawab, kalau nggak? Uang apa buat bayar rumah sakit?”

Tami memilih tidak menanggapi ocehan ayahnya. Dia menuntun Paramita masuk ke kamar, lalu membaringkan perempuan paruh baya itu ke atas kasur tanpa ranjang di kamar penuh aroma apak di rumah sempit mereka, hunian sederhana warisan dari ayah sang ibu, satu-satunya harta yang mereka punya itu.

“Tami, mau ke mana?” Tangan Paramita mencegah, menyentuh lengan Tami sebelum gadis itu pergi.

“Aku harus balik ke toko roti, Bu. Harus kerja,” jawab Tami selembut mungkin, memberi sang bunda pemahaman.

Namun, seperti biasa Paramita yang kejiawaannya kurang sehat itu malah menangis. “Sini saja. Ibu nggak mau sendirian. Tami temani Ibu.”

“Bu, aku nggak bisa,” jawab Tami meski berat hati. “Aku harus cari makan buat kita. Buat Ibu. Memangnya Ibu mau nggak bisa makan? Nanti kelaparan lho.”

“Kan bisa minta roti ke kakak yang tadi kayak di rumah sakit.”

“Nggak bisa dong. Nggak boleh minta-minta.” Tami mengusap kepala Paramita lembut, penuh kasih sayang. “Tami pamit ya. Ibu baik-baik sama Bapak. Jangan kabur lagi, nanti tangannya yang ini,” dia menunjuk tangan kanan Paramita yang tidak luka, “ikut sakit lho. Ibu nggak mau kan kedua tangannya sakit?”

Paramita menggeleng, cepat. “Nggak. Ibu nggak mau.”

“Aku pamit ya.”

Tidak lupa, Tami mencium punggung tangan Paramita. Meminta restu. Karena bagaimanapun juga, seburuk apa pun kondisi ibunya, Paramita tetaplah wanita yang melahirkannya. Wanita yang bertaruh nyawa demi dirinya. Restunya penting bagi Tami.

Kehidupan semacam ini sudah pasti sangat berat, bahkan untuk Tami sendiri –yang telah cukup lama beradaptasi. Terlebih sebelum seperti ini, Paramita dikenal sebagai sosok ibu yang sangat penyayang, baik dan pengertian. Malah, Paramita adalah orang yang mendidik Tami dan adik-adiknya untuk tak menjadi peminta-minta.

“Bekerjalah,” kata Paramita, dulu ketika yang Tami masih kecil menemaninya menjajakan dagangan di pasar, aneka kue tradisional yang Paramita buat sendiri setiap pagi. “Pantang anak Ibu makan dari mengemis.”

*_*

“Hampir tiga jam.” Ajeng mengultimatum saat Tami sampai di toko. “Ini terakhir kalinya, atau lo akan gue pecat.”

Tami menunduk, mengangguk lalu dengan cepat kembali ke balik etalase. Tidak lupa, dia mengenakan celemek miliknya, bersiap melayani pelanggan yang datang dengan seramah mungkin.

“Halo, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? Mau pesan apa, Kak?” katanya pada dua pelanggan paruh baya yang datang beberapa menit kemudian.

Salah satu dari wanita itu menunjuk kue cokelat bertabur strawberry di etalase, sementara yang lain minta diambilkan kue keju yang gurih. Yang tanpa pikir panjang segera Tami siapkan. “Totalnya seratus empat puluh ribu, Kak.”

Salah satu wanita itu memberikan dua lembar uang seratus ribuan, yang begitu hendak Tami berikan kembalian langsung mencegah, “Untuk Mbak saja.”

“Terima kasih, Bu.” Tami tersenyum, senang. “Sekali lagi, terima kasih banyak.”

Meskipun mungkin tidak seberapa, tetapi untuk Tami uang enam puluh ribu lebih dari segalanya. Dengan uang segitu, dia bisa membeli makan keluarganya selama sehari. Belum lagi uang SPP adik-adiknya. Tami tidak punya kesempatan selain bekerja lebih keras setiap harinya. Berharap belas kasih Tuhan.

*_*

“Kenapa ya Tuhan nggak adil banget, Sal?” tanya Tami ketika dia dan Salma, sahabatnya, yang juga bekerja di toko roti Mbak Ajeng di jam makan siang. Keduanya duduk berdua, menikmati bekal sederhana di teras belakang. “Hidup kita kayaknya berat banget.”

“Memang lo pikir keadilan itu ada?” kekeh Salma, meledek. “Di dunia yang sesemrawut ini, percaya pada keadilan itu sama saja kayak percaya alien bakal turun ke Bumi.”

“Bukannya ada?”

“Di film? Yang settingnya selalu di Amerika itu?”

“Anying lah.” Tami memakan sambal tempe di dalam kotak bekalnya lahap, sebab tubuhnya gemetaran menahan lapar sedari tadi. “Kalau itu sih gue mending masih percaya alien kali, Sal.”

“Makanya, hidup jangan dibuat banyak membatin hal nggak perlu. Keadilan itu cuma untuk orang kaya, orang miskin kayak kita ini cocoknya ngomongin yang pasti-pasti saja. Lagian, ngomongin yang pasti saja belum tentu bisa dapat, apalagi yang nggak pasti? Iya, nggak?”

Tami tertawa, semakin keras.

Salma benar, kemiskinan sudah cukup menyedihkan. Mereka sebaiknya tak buang waktu untuk meratapinya.

Nandreans

Terima kasih sudah membaca

| 1
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bukan Cinta Buta    Cinta dan pengorbanan

    Seorang wanita muda keluar dari mobilnya dengan langkah terburu-buru. Di tangannya, terdapat tas mewah mungil berwarna merah darah yang senada dengan baju serta sepatunya. Akan tetapi, alih-alih norak busana itu justru sangat pas membalut dirinya, membuat penampilannya begitu elegan dan berkelas.“Kamu nggak bisa melakukan semua ini padaku, Juna!” Dia terteriak begitu memasuki sebuah ruangan, tempat seorang pria muda duduk di balik meja dengan laptop dan beberapa tumpuk dokumen di atas meja.Yang diajak bicara hanya menoleh sebentar, lalu meminta waktu untuk menyelesaikan tugasnya. “Duduklah dulu, aku masih harus mengecek beberapa laporan dari bawahanku.”Meski kesal, Viviane menurut. Dia mendudukkan bokongnya ke sofa panjang berwarna putih di tengah ruangan, sementara matanya yang bersembunyi di balik kacamata menatap kekasihnya itu tajam. “Kenapa? Kenapa kamu tega padaku, Jun?” katanya berat, tidak tahan. “Padahal kamu tahu aku sangat mencintaimu. Dan kamu pun mencintaiku, bukan?”Ar

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-14
  • Bukan Cinta Buta   Gadis Kecil 4

    Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini?Bahkan seringkali mereka dihakimi tanpa sempat didengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya ke tetangga.“Nggak bisa lebih, Bang?”“Kalau lebih sayangnya nggak bisa, tapi kalau kurang sangat bisa.”Tami hanya tersenyum mendengar jawaban dari Bang Asnani, kemudian menerima dua lembar uang seratus ribu sebagai bayaran.Sebelum kembali ke kontrakan Tami memutuskan untuk membeli sebungkus nasi dan telur ceplok sebagai santapan malam sebab dia tahu pasti kalau adiknya pasti sudah kelaparan. Mengingat, Ghania jarang sekali punya uang jajan. Dan sialnya, beberapa hari belakangan ini Tami juga tidak punya cukup uang untuk membuatkannya bekal. Itulah kenapa Ghania telah kehilangan ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-14
  • Bukan Cinta Buta   Gadis Kecil 5

    “Di dunia ini tidak pernah ada perempuan yang mau menjadi pelacur. Akan tetapi, tidak semua perempuan mendapatkan nasib baik hingga bisa memilih. Mungkin memang ada perempuan yang suka rela melacurkan dirinya sendiri demi uang, tapi jelas mereka bukan pelacur sebenarnya. Karena pelacur sejati menjual diri mereka untuk kehidupan, bukan sekadar uang.” Tami masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Yulia hari itu. Lebih tepatnya hari di mana ibu tirinya meninggalkan rumah sebelum kematiannya.Saat itu Yulia berdandan sangat cantik dengan rambut keriting sepinggang yang dibiarkan terurai. Dia mengenakan gaun panjang berwarna biru dengan sentuhan emas yang mewah. Dia benar-benar mirip bidadari saking anggunnya. Hanya saja, Tami tidak mengangka kalau bidadarinya sungguh memilih tinggal di surga.“Kenapa?” Seorang pria muda menepuk bahu Tami, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan kebanyakan melamun, nanti kesambet lho.”“Setannya yang takut mau nyambet gue!” jawab Tami. “Bisa ngg

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-14
  • Bukan Cinta Buta   Gadis Kecil 6

    “Saya nggak mau tahu, hal kayak begini nggak boleh sampai kejadian lagi karena kalau sampai dewan sekolah dengar kita bisa dalam masalah besar. Kamu nggak mau kan keringanan uang sekolahmu dicabut? Anggap saja ini bayaran yang harus kamu tebus sebagai rasa terima kasih karena orang tua mereka telah memberi potongan biaya sekolah.”Ghania tidak menjawab kala itu, dia justru berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah dengan perasaan campur aduk. Dia bersumpah jika suatu saat nanti biasa punya lebih banyak uang, akan dia sumpal mulut orang-orang penggila uang itu. Orang-orang kapitalis yang menganggap kemiskinan orang lain sebagai lahan kesenangan.Balas budi? Kedua kata itu benar-benar terdengar lucu di telinga Ghania sebab seumur-umur dia baru tahu bahwa mendapatkan beasiswa –tidak penuh –mengharuskannya menukar harga dirinya sebagai manusia. Padahal dia tahu persis bahwa orang tua anak-anak kaya itu melakukan semua kebaikan ini hanya untuk menyembunyikan kebusukan mereka. S

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-08
  • Bukan Cinta Buta   Rekomendasi 1

    “Kami lebih baik membayar denda daripada harus bekerja di tempat ini.” Adalah ucapan yang paling sering Andini dengar dari para pegawai yang dia sewa jasanya bahkan sebelum genap sebulan bekerja. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan satu atau dua minggu saja, dan karena itu juga lah kini rumahnya masuk daftar hitam di berbagai yayasan penyalur tenaga kerja, bukan hanya yang berada di kota ini tetapi bahkan hingga ke luar kota.Namun demikian, Andini paham betul bahwa ini bukan sepenuhnya salah pegawainya. Justru putranya lah biang masalah sebenarnya. Karena semua orang kini sudah tahu betapa sulit dan menyebalkannya Arjuna, putra sulung keluarga Anggara yang kini lumpuh dan tidak bisa apa-apa itu. Padahal sekarang dia hanya bisa terbaring di tempat tidur, tetapi tingkah jahilnya justru semakin menjadi-jadi seolah tidak punya belas kasihan pada Andini.Entah sudah berapa kali Arjuna berganti perawat selama lima tahun terakhir, Andini bahkan tidak ingat lagi. Yang jelas, setiap kali ada

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-10
  • Bukan Cinta Buta   Rekomendasi 2

    “Menikah dan punya anak adalah dua hal yang paling aku hindari dalam hidup.” Mayang menuang alkohol ke dalam dua gelas kaca lalu memberikan masing-masingnya untuk dua orang perempuan paruh baya yang telah menunggu di depan meja bar.Meskipun seharusnya telah tutup setengah jam lalu, tetapi Mayang masih mau menerima kedua orang depresi di hadapannya untuk minum sebab dia tahu pasti bahwa hanya dengan inilah mereka bisa lebih tenang. Dia mencoba berempati pada keduanya, meskipun sebetulnya dia buta sama sekali soal drama rumah tangga semacam ini.“David selingkuh lagi!” ujar Ruth sembari mengangkat gelas di tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak menuangkannya ke muka suami brengseknya. Akan tetapi, karena di hadapannya kini adalah orang paling berjasa –setidaknya memberi dia kesempatan minum tanpa perlu membayar –niat itu diurungkan. Buru-buru dia meneguk alkohol dengan nikmat, membakar tenggorokannya dan menciptakan sensasi tidak nyaman di perut. Hanya saja, justru inilah yang Ruth ingi

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-11
  • Bukan Cinta Buta   Rekomendasi 3

    Antara cobaan dan hukuman, tidak ada yang bisa memastikan mana yang akan datang menimpa manusia. Terlebih, batas di antara keduanya hampir tidak ada. Sangat tipis. Namun, sebagai manusia yang telah menghabiskan seumur hidupnya untuk bersenang-senang, melalaikan Tuhan dan terlalu banyak menyakiti orang lain barangkali apa yang menimpa Arjuna akan lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah hukuman. Dia yang dulunya selalu pulang malam untuk berpesta dan meniduri wanita, kini terpaksa terbaring di atas ranjang tanpa sedikit pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya, hanya mata dan mulutnya saja yang tersisa dan bisa dia kendalikan. Bahkan untuk sekadar menoleh saja dia kini harus dibantu oleh orang lain. Malah, akhir-akhir ini Arjuna tidak lagi bisa mengontrol hajatnya sendiri, akibatnya dia harus mengenakan popok sepanjang hari, seperti bayi.Arjuna tentu tidak pernah membayangkan bahwa dirinya yang dulu peselancar hebat, melancong ke pantai-pantai terindah di dunia untuk mengejar ombak baka

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-13
  • Bukan Cinta Buta   Rekomendasi 4

    “Ayolah, Sayang! Kamu jangan menyiksa Mami seperti ini.” Meskipun dua bulan sudah berlalu sejak pengasuhnya meninggalkan rumah, tetapi Juna belum bisa bunuh diri lagi. Karena Andini malah terjun sendiri, mengurusnya di sela-sela kesibukan sebagai perancang busana. “Makan sedikit saja. Kamu kan tahu kemarin dokter bilang apa? Kamu punya asam lambung, kalau nggak makan bisa semakin parah.”Arjuna hanya terdiam, menutup rapat mulutnya.Baginya, mati karena asam lambung tidak terlalu buruk. Toh, dia juga sudah bosan hidup. Semakin banyak penyakit yang datang, semakin banyak juga kemungkinan dia untuk mati. Kalau bisa mati tanpa percobaan bunuh diri, kenapa tidak?“Arjuna, buka mulutmu!” Andini menyodorkan nasi ke mulut putranya dengan putus asa. “Satu suap ini saja, ya?”Juna yang tidak bisa menggeleng tetap terdiam, atau lebih tepatnya hanya reaksi inilah yang bisa dia berikan. Matanya menatap ke bingkai-bingkai foto di dinding kamar. Potret dirinya di masa kecil, remaja hingga dewasa. Ju

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-15

Bab terbaru

  • Bukan Cinta Buta   Bagaimana?

    Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben

  • Bukan Cinta Buta   Viviane Tahu?

    "Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T

  • Bukan Cinta Buta   Kenapa?

    "Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali

  • Bukan Cinta Buta   Ini Istri Saya

    "Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya

  • Bukan Cinta Buta   Hiburan

    "Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a

  • Bukan Cinta Buta   Putus

    Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu

  • Bukan Cinta Buta   Uang

    “Kamu serius, Mas?”Mata Tami membelalak saat menerima uang tersebut. Lebih tepatnya, tidak percaya denga napa yang dia lihat. Juna mengangguk. “Ya. Tentu saja, Tami.”“Astaga!” Tami menggeleng tegas, lalu mendorong tangan Juna dan uang itu menjauhinya. “Aku nggak bisa menerima uang ini.”“Kenapa?”“Mas, uang ini bukan hak aku,” jawab Tami. “Uang ini jelas berada di luar kontrak kita. Aku nggak mau melanggar kontrak apapun, Mas Juna.”“Tami ini bukan pelanggaran kontrak sama sekali.” Juna terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Anggap saja ini sebagai kompensasi atas perbuatanku selama ini. Maksudku, kerja kamu bagus. Ini bonus.”Tami menggeleng kembali. “Mas, aku nggak melakukan apa-apa.”“Sayang, sarapan dulu!” Nyonya Anggara dari dalam rumah memanggil, dengan penuh semangat wanita paruh baya itu menghampiri keduanya. “Kalian sedang apa?” lanjutnya bertanya.Tami diam, tidak menjawab. Begitupun dengan Juna.“Eh, apa ini?” tanya Nyonya Anggara saat menyadari bungkusan di tangan anak

  • Bukan Cinta Buta   Siapa Yang Beruntung?

    Selepas makan malam, Tami memilih untuk menemani Juna di kamar pribadinya, sebab tak ingin membuat Nyonya Anggara curiga. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Tami hanya duduk dan membaca buku-buku koleksi suaminya, sementara Juna mengerjakan tugasnya mengetik di meja kerja.Suasana di sana sangat cerah pada saat itu. Tami bisa merasakan taburan bintang di atas langit menyapanya, seolah memintanya datang. Namun, dia juga tahu bahwa semuanya tak seserhana cuaca. Dia diam-diam merasa getir karena merindukan Ruben. Yah, setelah pertengkaran mereka kemarin, Ruben bahkan tak ada usaha untuk meminta maaf. Apa-apaan ini?“Kenapa kamu murung, Tami?”Pertanyaan Juna sontak membuat perempuan itu menoleh, tidak menyangka bahwa Juna akan menanyainya. Dia kemudian menggeleng. “Saya baik-baik saja, Pak.”“Jangan bohong!” tegas Juna. “Masalahmu dengan Ruben belum selesai kah?”Tami menarik napas panjang, lalu menggeleng. “Dia kayaknya nggak ada niatan bakal minta maaf,” jawab perempuan itu dengan getir

  • Bukan Cinta Buta   Pasangan

    Ombak yang menggulung di hadapannya, seolah menggambarkan isi kepala Tami hari ini. Perempuan mud aitu kini terduduk di teras kamar pribadinya, di teras rumah kayu biasa dia beristirahat. Namun kali ini, dia agak terganggu oleh pemikiran aneh yang terjadi sejak kedatangan Pandu tadi. Dia tahu bahwa hubungannya dengan Juna hanyalah kepura-puraan tapi membiarkan pria itu mati rasanya Tami juga tidak tega. Dia meraih ponsel pintarnya, menimbang sebentar lalu meletakkannya kembali. Sebenarnya, dia ingin sekali menghubungi Ruben tapi rasa gengsinya datang kembali, lagi dan lagi. Apa yang bisa dia harus dia lakukan sekarang? Tami bingung, kalut.Tami mengirup napas panjang lewat hidung sebelum menghelanya pelan lewat mulut. Apa-apaan ini? Rasanya nyeri sekali. Juna menjadikannya tokoh utama dalam buku karangannya, tapi bukankah ini tidak ada dalam kontrak? Tami merasa apa yang dilakukan suaminya sudah keterlaluan tapi anehnya Tami pun tak bisa mengelak apalagi marah. Lebih tepatnya, dia t

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status