Jelang siang, Diandra bersama orang-orang yang ikut pertemuan semalam kembali ke Changi. Hari itu mereka akan menuju bandara Haneda Kuko, Tokyo. Perjalanan di Changi ke Haneda diperkirakan 7 jam lebih beberapa menit.Bagi Diandra perjalanan menuju Haneda Kuko, Tokyo ini sebetulnya hal yang paling tidak ingin dia lakukan. Mengingatkan dia akan hal-hal yang sebetulnya tak ingin diingat.Dan, sejak mengelola perusahaan bersama Retno, ada 6 atau 7 kali pertemuan di beberapa kota yang berbeda di Jepang, Diandra tidak bersedia turut. Diandra selalu menghindar untuk datang ke negeri ini karena satu alas an, Radite.Tapi kali ini Diandra memutuskan untuk berdamai dengan perasaannya, juga dengan masa lalunya. Hidup harus diselenggarakan. Masa lalu tidak perlu dilupakan, tapi biarlah cukup sesekali dilihat melalui kaca spion. Penting, tapi tidak harus mendominasi, sebab hidup berjalan ke depan.Jejak langkah Diandra waktu masih bersama suaminya, Radite masih begitu benderang. Sesaat setelah men
Di pesawat menuju Tokyo, Diandra duduk bersebelahan dengan Rajesh, kawan Retno ketika di Inggris yang juga ketua penyelenggaran pertemuan Singapura dan Tokyo. Persahabatan mereka masih terus berlanjut ketika baik Rajesh maupun Retno menggeluti isyu yang sama.“Maaf Di, bagaimana bisa kamu sebegitu akrab dengan Retno,” Tanya Rajesh menghalau keheningan dalam pesawat yang tengah terbang tinggi.“Ayah saya dan Ayah Retno telah bersahabat sejak mereka sama-sama kuliah di Bandung. Ayah Retno lebih senior dari ayah saya, tapi hubungan mereka begitu akrab, pun sampai masing-masing berkeluarga dan mempunyai anak, aku dan Retno,” jawab Diandra panjang.Diandra dan Rajesh sebetulnya sudah cukup lama saling mengenal. Tapi pada setiap pertemuan, obrolan yang mereka lakukan belum menginjak ke wilayah yang lebih pribadi. Dan, dari Changi menuju Haneda ini obrolan yang lebih pribadi itu agaknya kemudian terjadi.“S1 kamu dan Retno kabarnya juga satu kampus, betul itu?” Tanya Rajesh lagi.“He he he…
Mendarat di Bandar Udara Haneda-Kuko, Tokyo, hati Diandara berdegup kencang. Derap langkah Radite, juga genggam tangan erat suaminya itu tiba-tiba kembali terasa.“Ah, kenapa gak mau berhenti juga,” bisik batin Diandra.“Kenapa Di? Beberapa menit lagi kita mendarat di Haneda Di,” bisik suara Rajesh seakan tahu perasaan hati Diandra saat itu.Diandara hanya tersenyum dan mengangguk.Ditatapnya Rajesh yang seperti diceritakan Retno bahwa sedikit banyak Rajesh telah mengetahui apa yang membuat Diandra agak gamang untuk mendarat di Tokyo.“Kamu pasti kuat dan mampu mengatasi apa yang kamu piker sebagai masalah itu Di. I trust you,” Rajesh menguatkan Diandra.“Trimakasih,” jawab Diandra singkat sambil menguatkan dirinya.Malam telah lama tiba di Tokyo. Orang-orang masih sibuk lalu-lalang. Koper-koper dan semua bawaan peserta pertemuan Singapura semua telah diurus oleh panitia. Diandra juga Rajesh dan lainnya hanya membawa tas tangan dan computer jinjing.Di tengah bandara yang begitu sibuk
Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-ka
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah
Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d
Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
Mendarat di Bandar Udara Haneda-Kuko, Tokyo, hati Diandara berdegup kencang. Derap langkah Radite, juga genggam tangan erat suaminya itu tiba-tiba kembali terasa.“Ah, kenapa gak mau berhenti juga,” bisik batin Diandra.“Kenapa Di? Beberapa menit lagi kita mendarat di Haneda Di,” bisik suara Rajesh seakan tahu perasaan hati Diandra saat itu.Diandara hanya tersenyum dan mengangguk.Ditatapnya Rajesh yang seperti diceritakan Retno bahwa sedikit banyak Rajesh telah mengetahui apa yang membuat Diandra agak gamang untuk mendarat di Tokyo.“Kamu pasti kuat dan mampu mengatasi apa yang kamu piker sebagai masalah itu Di. I trust you,” Rajesh menguatkan Diandra.“Trimakasih,” jawab Diandra singkat sambil menguatkan dirinya.Malam telah lama tiba di Tokyo. Orang-orang masih sibuk lalu-lalang. Koper-koper dan semua bawaan peserta pertemuan Singapura semua telah diurus oleh panitia. Diandra juga Rajesh dan lainnya hanya membawa tas tangan dan computer jinjing.Di tengah bandara yang begitu sibuk
Di pesawat menuju Tokyo, Diandra duduk bersebelahan dengan Rajesh, kawan Retno ketika di Inggris yang juga ketua penyelenggaran pertemuan Singapura dan Tokyo. Persahabatan mereka masih terus berlanjut ketika baik Rajesh maupun Retno menggeluti isyu yang sama.“Maaf Di, bagaimana bisa kamu sebegitu akrab dengan Retno,” Tanya Rajesh menghalau keheningan dalam pesawat yang tengah terbang tinggi.“Ayah saya dan Ayah Retno telah bersahabat sejak mereka sama-sama kuliah di Bandung. Ayah Retno lebih senior dari ayah saya, tapi hubungan mereka begitu akrab, pun sampai masing-masing berkeluarga dan mempunyai anak, aku dan Retno,” jawab Diandra panjang.Diandra dan Rajesh sebetulnya sudah cukup lama saling mengenal. Tapi pada setiap pertemuan, obrolan yang mereka lakukan belum menginjak ke wilayah yang lebih pribadi. Dan, dari Changi menuju Haneda ini obrolan yang lebih pribadi itu agaknya kemudian terjadi.“S1 kamu dan Retno kabarnya juga satu kampus, betul itu?” Tanya Rajesh lagi.“He he he…
Jelang siang, Diandra bersama orang-orang yang ikut pertemuan semalam kembali ke Changi. Hari itu mereka akan menuju bandara Haneda Kuko, Tokyo. Perjalanan di Changi ke Haneda diperkirakan 7 jam lebih beberapa menit.Bagi Diandra perjalanan menuju Haneda Kuko, Tokyo ini sebetulnya hal yang paling tidak ingin dia lakukan. Mengingatkan dia akan hal-hal yang sebetulnya tak ingin diingat.Dan, sejak mengelola perusahaan bersama Retno, ada 6 atau 7 kali pertemuan di beberapa kota yang berbeda di Jepang, Diandra tidak bersedia turut. Diandra selalu menghindar untuk datang ke negeri ini karena satu alas an, Radite.Tapi kali ini Diandra memutuskan untuk berdamai dengan perasaannya, juga dengan masa lalunya. Hidup harus diselenggarakan. Masa lalu tidak perlu dilupakan, tapi biarlah cukup sesekali dilihat melalui kaca spion. Penting, tapi tidak harus mendominasi, sebab hidup berjalan ke depan.Jejak langkah Diandra waktu masih bersama suaminya, Radite masih begitu benderang. Sesaat setelah men
Sebagai seorang anak perempuan dan semata wayang dari keluarga yang secara ekonomi sangat mapan. Diandra memang dimanja oleh kondisi lingkungannya, selain juga kehendak orang tuanya untuk selalu ingin menjaga putri tunggalnya itu.Tapi sikap orang tua Diandra sangat hati-hati. Meski cukup memanja, mereka berdua sepakat untuk menjadikan anak perempuannya tegar, mandiri dan sebisa mungkin harus mampu menyelesaikan banyak persoalan sendiri.Kelas 3 SD, Diandra dimasukan dalam kelas Judo. Sebelumnya, sejak umur 3 tahun, Diandra sudah mahir bersepatu roda, ikut rock climbing, berenang, pencak silat dan kemudian Judo yang diteruskan hingga Diandra mendapat sabuk hitam.“Biarpun Di perempuan, kita mesti menjadikan anak kita anak yang kuat dan mandiri bu,” ucap pak Pur, ayah Diandra pada sang istri.“Pak, bukannya nanti Diandra juga bakal punya seorang suami yang akan menjaga dan melindunginya,” gugat bu Rarah, ibu Diandra.“Bu, apa yang ibu pikirkan betul semua. Tapi rasanya tetap saja, lebi
Di Singapura kali ini Diandra menginap di hotel yang sama untuk pertemuan. Biar lebih praktis, selain juga karena hanya semalam di negeri jiran ini.Untuk acara tersebut, segala sesuatunya sudah diatur sama Rajesh, termasuk juga tempat untuk menginap Diandra. Rajesh sendiri merupakan teman Retno waktu di Inggris dulu, dan untuk pertemuan itu Rajesh menjadi ketua panitianya.Ada 9 orang dari berbagai Negara Asean yang menghadiri pertemuan di Singapura ini. Pertemuan ini merupakan pertemuan pendahuluan yang akan dilanjutkan dengan pertemuan Tokyo esok lusanya.Acara diselenggarakan persis setelah makan malam usai dan berakhir sekitar jam 22.00. Tidak terlampau lama memang, karena hanya saling mengkonfirmasi gagasan-gagasan yang akan dibahas di pertemuan Tokyo besok lusanya.Usai pertemuan, Diandra sempat ngobrol beberapa saat dengan Rajesh. Obrolannya cukup beragam. Mulai dari rencana Rajesh ke Indonesia saat Retno mantu, soal agenda Tokyo besok dan rencana ke Inggris bulan berikutnya y
Satu setengah jam lebih sedikit akhirnya Diandra tiba di bandara Changi, Singapura. Hari sudah mulai sore. Bayang kecemasan perempuan yang ditinggal pergi pasangan prianya di bandara Soekarrno-Hatta sebelum berangkat tadi masih menggelayut.Diandra tidak tahu persis apakah pasangan itu akhirnya tidak jadi berangkat bersama atau bagaimana. Bayangan mas Radite yang juga meninggalkan punggungnya itu juga belum punah.“Hey, Diandra,” terdengar suara memanggil dari arah kiri Diandra yang tengah terjebak dalam lamunan.Diandra pun gegas mencari sumber suara yang menyapanya. Sambil sedikit berkejap dan merapikan ingatannya. Lalu Diandra menjawab dengan cukup ceria.“Hey, mba Maryamah kan ya?” Diandra bertanya untuk meyakinkan dirinya kalau yang ditemuinya itu adalah salah seorang seniornya waktu di kampus ketika ia masih muda dulu.Ketika orang yang disapa itu mengangguk antusias, Diandra pun datang memburu dan memeluknya erat.“Begini jauh kita ditemukannya di sini mbak. Mbak sehat-sehat ka
Barangkali benar, perkawinan itu peperangan yang teramat panjang, antara dua pihak yang brbeda. Tapi, tanpa pemenang, tanpa pecundang. Bila salah satu muncul, entah pemenang, entah pecundang, maka punahlah perkawinan itu. Bubar.Itulah catatan yang bisa disimpulkan dari perjalanan panjang perkawinan ibu dan bapak juga mama dan ayah. Tapi catatan tentang mereka terasa begitu jauh. Berbeda denganRanu dan Retno.Ya, dan setidaknya bagi Diandra, Ranu dan Retno adalah orang-orang terdekat Diandra yang sedikit banyak menjadi teladan yang baik.Ketika ada pertengkaran, salah satu atau keduanya akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghentikan bergemuruhnya ego dalam diri mereka, walau kadang sulit meminta maaf duluan. Hal itu yang setidaknya kerap Diandra saksikan pada Ranu dan Retno.“Banyak amat hal sepele, amat tidak penting yang membuat kami bertengkar. Tapi, apakah itu artinya kami sudah tidak saling cocok?” tanya Retno suatu waktu.“Jawabnya tidak juga. Karana saya kira, dalam
Diandra memasuki ruang check-in Bandara Soekarno-Hatta kali ini dengan senyum tertahan, agak geli mengingat cerita Retno akan dalih Ranu yang tiba-tiba menciumnya itu. Di benaknya, terbayang wajah Ranu ketika mengungkapkan tentang si Bung yang mungkin saja hanya karangannya semata.Memang, kali itu, bahkan mungkin hingga kini, baik Retno maupun Diandra sebetulnya tidak terlampau peduli apakah ada atau tidak buku yang dimaksud Ranu.“Ah, soal buku itu kan hanya cipoa untuk menutupi gayanya Ranu nembak kamu Ret,” ucap Diandra ketika mereka bertiga makan Soto Mie Bogor itu.Kala itu, Ranu juga tidak terlampau mengelak. Ranu hanya tertawa dan berucap.“Aku memang jatuh cinta sejak lama sama Retno, Di,” aku Ranu yang membuat Retno tersipu malu.Meski begitu, di akhir pekan setelah peristiwa Retno di Bemo kala hujan itu, Diandra berburu buku di sejumlah kios buku bekas, di Pasar Senen. Harapannya Diandra bisa mendapatkan buku yang dimaksud Ranu dan mengobati rasa penasarannya.Setelah 2,5 j
Kini, Bemo tak lagi ada di Bogor. Kendaraan roda tiga bikinan Jepang ini semula diperuntukan sebagai transportasi public saat akan diselenggarakan Games of The New Emerging Forces (Ganefo), pekan olahraga antarnegara "kekuatan baru dunia" yang diprakarsai Presiden Soekarno akhir 1962.Bemo (Becak Motor), menggunakan mesin Daihatsu Midget, 250 cc. Di negara asalnya, digunakan untuk mengangkut barang-barang. Di banyak kota-kota di Indonesia, Bemo sempat menjadi angkutan popular hingga akhirnya dihapus di awal tahun 2000an, termasuk di Bogor.Dan pagi itu, setelah sore yang kuyup dan penuh cerita, Retno kembali menggunakan Bemo menuju ruang kuliah Ranu. Kali ini ia minta ditemani Diandra, tidak sendiri lagi.Semalaman, Retno tak bisa tidur. Diandra sudah menghiburnya dan mengajak Retno untuk tidur di kamarnya. Tapi gelisah terus menderanya.Sesampai di kampus, Retno meminta Diandra untuk menunggu di kantin kampus. Sementara Retno menunggu tak jauh dari ruang kuliah Reno. Jam 9.45, Ranu t