Share

Bab 3 - Dari Kemang Menuju Bogor

Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.

“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.

“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.

“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.

“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.

“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.

“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.

Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah dibukanya. Ia masih tercengang dengan wajah Diandra yang meskipun kerap dia lihat di televise atau media lainnya. Sabda yang baru kali tadi menatap langsung Diandra, terutama setelah menaburi kosmetik di wajahnya yang meskipun sebetulnya sederhana saja itu, ternyata menyeret Sabda kepada wajah orang-orang cantik sejumlah pesohor. Ya, batin Sabda berbisik, mirip mendiang Grace Kelly artis Amerika Serikat jaman baheula yang kemudian digelari sebagai Her Serene Highness The Princess of Monaco setelah Grace menikah dengan raja Monaco, Rainier III itu.

“Ah, kok tua amat. Itu kan bintang tahun 1950an, jaman nenek moyang,” protes batin Sabda sontak pada dirinya sendiri.

“Oh, mungkin lebih cocok bila mirip Catherine Zeta-Jones,” batin Sabda mencoba mendebat. Angan dan batinnya masih saja membayangkan wajah dan penampilan Diandra dengan bintang-bintang pujaan yang sebetulnya hanya sekadar ia tonton melalui film atau media massa.

“Ah, kok jadi gak jelas bener kepalaku,” protes batin Sabda. Dan ia pun mencoba dengan keras melerai bayangan tampilan Diandra yang begitu hebat memenuhi ruang-ruang batinnya. Meski mungkin sudah berpuluh kali Sabda lihat Diandra melalui berbagai media, juga melalui cerita bosnya bu Retno. Tapi pagi ini, di mata Sabda Diandra begitu luar biasa.

Ada rasa ingin membiarkan perjalanan dari Kemang menuju Bogor kali ini ia isi dengan lamunan tentang pesona Diandra. Hari-hari dan jam-jam Sabda yang biasanya dia lalui dengan data-data dan angka-angka, satu diskusi ke diskusi lainnya, kali ini, meski beberapa saat, ingin ia ganti dengan yang lebih segar. Tapi gegas ia coba tindih keinginan liar itu dengan membuka satu per satu lembaran data yang ia bawa.

Dari kaca sepion, pak sopir tampak mencuri pandang mencari tahu apa gerangan aktivitas penumpang yang ada di belakangnya yang sedari tadi hanya terdengar suara nafasnya. Sabda tidak menyadari itu. Ia agaknya terlampau asik dengan dirinya sendiri.

Satu persatu data yang tersimpan dalam tiga bundle tas plastic cukup tebal yang diserahkan Diandra itu ia buka. Tas plastic pertama rampung ia buka. Tas kedua segera selesai juga. Sabda pun mencoba melihat ke jendela, lalu berujar pada pak sopir yang terus tenang mengemudikan kendaraannya.

“Wah, sudah sampai Sentul pak,” ucap Sabda.

“Iya mas. Arah Bogor jam segini masih kosong jadi perjalanan kita lancar,” balas sang sopir.

Tapi Sabda tampak kembali membuka bundle plastic besar ketiga. Sekejap dia tertegun pada sebuah amplop cukup tebal yang terselip di situ. Di pojok kanan tertulis rapi, “Biaya transportasi.”

Agak gemetar, Sabda pun segera membuka amplop yang tertutup rapi. Segepok uang ratusan ribu yang masih terikat dengan kertas dari sebuah bank, tertulis Rp 10.000.000.

“Alhamdulillah,” bisik batin Sabda mendapati uang itu dengan syukur. Wajah ibunya di Semarang yang tengah sakit pun membayang segera.

“Mak, Alhamdulillah pagi ini anakmu dapat rejeki. Smoga bisa membantu Emak,” getar batin Sabda.

Dadanya yang terasa sesak semalaman setelah adiknya  memberi kabar tentang Emaknya yang harus dibawa ke Rumah Sakit karena sakit lamanya tiba-tiba kambuh, kini terasa sedikit lega. Rona wajah Sabda pun sontak berbinar. Senyumnya meruap menghiasi bibirnya. Dan Sabda pun seperti tiba-tiba menjadi cerewet dengan sang sopir yang sedari tadi ia diamkan.

Ingin Sabda mengirim ucapan terimakasih kepada Diandra melalui w******p, tapi segera ia urungkan niat itu. Ingin ia telpon adiknya di Semarang, tapi ia urungkan. Sampai kemudian pak sopir bertanya.

“Mas, kita berhenti lewat pintu depan atau samping,” Tanyanya.

”Oh ya. Pintu depan aja pak. Makasih dan maaf ya karena sepanjang perjalanan saya sibuk sendiri,” jelas Sabda sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan untuk pengganti toll.**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status