Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.
“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.
“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.
“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.
“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.
“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.
“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.
Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah dibukanya. Ia masih tercengang dengan wajah Diandra yang meskipun kerap dia lihat di televise atau media lainnya. Sabda yang baru kali tadi menatap langsung Diandra, terutama setelah menaburi kosmetik di wajahnya yang meskipun sebetulnya sederhana saja itu, ternyata menyeret Sabda kepada wajah orang-orang cantik sejumlah pesohor. Ya, batin Sabda berbisik, mirip mendiang Grace Kelly artis Amerika Serikat jaman baheula yang kemudian digelari sebagai Her Serene Highness The Princess of Monaco setelah Grace menikah dengan raja Monaco, Rainier III itu.
“Ah, kok tua amat. Itu kan bintang tahun 1950an, jaman nenek moyang,” protes batin Sabda sontak pada dirinya sendiri.
“Oh, mungkin lebih cocok bila mirip Catherine Zeta-Jones,” batin Sabda mencoba mendebat. Angan dan batinnya masih saja membayangkan wajah dan penampilan Diandra dengan bintang-bintang pujaan yang sebetulnya hanya sekadar ia tonton melalui film atau media massa.
“Ah, kok jadi gak jelas bener kepalaku,” protes batin Sabda. Dan ia pun mencoba dengan keras melerai bayangan tampilan Diandra yang begitu hebat memenuhi ruang-ruang batinnya. Meski mungkin sudah berpuluh kali Sabda lihat Diandra melalui berbagai media, juga melalui cerita bosnya bu Retno. Tapi pagi ini, di mata Sabda Diandra begitu luar biasa.
Ada rasa ingin membiarkan perjalanan dari Kemang menuju Bogor kali ini ia isi dengan lamunan tentang pesona Diandra. Hari-hari dan jam-jam Sabda yang biasanya dia lalui dengan data-data dan angka-angka, satu diskusi ke diskusi lainnya, kali ini, meski beberapa saat, ingin ia ganti dengan yang lebih segar. Tapi gegas ia coba tindih keinginan liar itu dengan membuka satu per satu lembaran data yang ia bawa.
Dari kaca sepion, pak sopir tampak mencuri pandang mencari tahu apa gerangan aktivitas penumpang yang ada di belakangnya yang sedari tadi hanya terdengar suara nafasnya. Sabda tidak menyadari itu. Ia agaknya terlampau asik dengan dirinya sendiri.
Satu persatu data yang tersimpan dalam tiga bundle tas plastic cukup tebal yang diserahkan Diandra itu ia buka. Tas plastic pertama rampung ia buka. Tas kedua segera selesai juga. Sabda pun mencoba melihat ke jendela, lalu berujar pada pak sopir yang terus tenang mengemudikan kendaraannya.
“Wah, sudah sampai Sentul pak,” ucap Sabda.
“Iya mas. Arah Bogor jam segini masih kosong jadi perjalanan kita lancar,” balas sang sopir.
Tapi Sabda tampak kembali membuka bundle plastic besar ketiga. Sekejap dia tertegun pada sebuah amplop cukup tebal yang terselip di situ. Di pojok kanan tertulis rapi, “Biaya transportasi.”
Agak gemetar, Sabda pun segera membuka amplop yang tertutup rapi. Segepok uang ratusan ribu yang masih terikat dengan kertas dari sebuah bank, tertulis Rp 10.000.000.
“Alhamdulillah,” bisik batin Sabda mendapati uang itu dengan syukur. Wajah ibunya di Semarang yang tengah sakit pun membayang segera.
“Mak, Alhamdulillah pagi ini anakmu dapat rejeki. Smoga bisa membantu Emak,” getar batin Sabda.
Dadanya yang terasa sesak semalaman setelah adiknya memberi kabar tentang Emaknya yang harus dibawa ke Rumah Sakit karena sakit lamanya tiba-tiba kambuh, kini terasa sedikit lega. Rona wajah Sabda pun sontak berbinar. Senyumnya meruap menghiasi bibirnya. Dan Sabda pun seperti tiba-tiba menjadi cerewet dengan sang sopir yang sedari tadi ia diamkan.
Ingin Sabda mengirim ucapan terimakasih kepada Diandra melalui w******p, tapi segera ia urungkan niat itu. Ingin ia telpon adiknya di Semarang, tapi ia urungkan. Sampai kemudian pak sopir bertanya.
“Mas, kita berhenti lewat pintu depan atau samping,” Tanyanya.
”Oh ya. Pintu depan aja pak. Makasih dan maaf ya karena sepanjang perjalanan saya sibuk sendiri,” jelas Sabda sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan untuk pengganti toll.**
Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d
Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias
Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-ka
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak