Share

Bab 4 - Tadi yang Kirim Mama

Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.

Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.

“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”

Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di depan soal-soal rumit, seakan nafas itu tidak terdengar atau kadang malah memburu seperti diburu hantu. Dan di tepian pohon itu nafas kita seakan kembali berjalan normal.

Dan celoteh yang biasanya terlepas dari mulut-mulut mahasiswa mulai kusut wajahnya setelah 2 atau 3 jam ujian itu dan mungkin belum tidur semalaman, lumayan ngengenin. Kalau bukan, “woow,” atau “asu,” atau “Alhamdulillah belajar semalaman ada gunanya juga,” atau, “anjrit,” atau lagi kalau temen-temen dari Surabaya biasanya dengan memaki, “ancuuuk,” sambil menendang dahan yang terserak atau lainnya, atau mungkin hanya diam lemas lalu duduk tenggelam di seputaran pohon tua itu.

Tapi hari itu, tiba-tiba ada seorang cowok yang tiba-tiba menerobos tempat duduk antara Diandra dan Retno, “waduh, pecah endahku mba,” ucapnya membuat keduanya sontak minggir memberi ruang dengan sebal, pada cowok pendatang yang samasekali belum mereka kenal itu.

Mendapat respon serupa itu, si cowok asing itu pun agaknya cepat menyadari kalau dua orang yang diserobot ruangnya itu ternyata belum ia kenal. Dan sambil kaget ia pun berdiri, sambil berujar, “wah maaf, saya kira koncoku. Maaf, maaf, sekali lagi maaf mba,” katanya gagap sambil merapatkan tangan ke dadanya.

“Ah, sudah mas. Gak apa. Diantara kita memang banyak yang belum kenal kok. Dan kita juga kerap stress setiap abis ujian, hingga perilaku kita kemudian jadi aneh,” ucap Retno mencoba melerai salah tingkah si cowok asing itu.

Dan sang cowok asing itu kemudian sigap menyodorkan tangan dan mengenalkan diri, “saya Ranu. Ranujaya mba. Asli Pati, Jawa Tengah,” ucapnya ke arah Retno kemudian ke arah Diandra dan disambut dengan tertawa bersama.

Tiba-tiba Diandra protes pada Ranu, “Maaf mas, kok tadi Anda nyebutin Endah bukan maaf, bahasa Jawanya kepala bukankah Endas mas?,” ucap Diandra yang kemudian dibalas Ranu dengan ketawa ngakak sehingga menarik perhatian mahasiswa lain yang sudah mulai mengerumun di seputaran pohon-pohon tua itu.

“Wah, mba Diandra Jawa juga ya,” canda Ranu yang kemudian ditanggapi Diandra dengan ketus juga kesal, sehingga Ranu pun menurunkan tingkat candanya yang agaknya memang jadi gaya dia.

Namun Retno kemudian memberi jalan tengah menarik, “gini lho mas. Sahabatku ini orang tuanya asli orang Jawa, orang Jogja, tapi Diandra lahir dan besar di Jakarta. Jadi mungkin dia bisa juga bahasa Jawa, walau mungkin terbatas,” jelas Retno sambil sekaligus bertanya pada temannya yang juga belum terlampau lama dikenalnya itu.

“Oh, ngaten…”, Ranu mencoba menjelaskan dengan membangun kesan tidak sedang bercanda lagi.

“Memang betul Kepala bahasa Jawanya Endas. Tapi itu tidak elok, saru kalau untuk manusia sehingga biasanya diganti dengan sebutan Sirah, atau Mustaka yang artinya juga kepala. Tapi kok rasanya tua banget. Lagi pula ini bukan Pati, Solo atau Jogja….jadi ya mungkin lebih enak dengan Endahe biar tampak misterius….”terang Ranu yang tetap tampak sembarangan tapi keterangannya itu dianggap cukup luar biasa, setidaknya buat Diandra begitu pula bagi Retno.

Retno dan Diandra pun saling bertatap. Keduanya menganggukan kepala. Walau sesungguhnya Retno tidak terlampau tahu apa yang diceritakan Ranu.

“Aku gak terlampau paham, tentang endas, sirah, mustaka dan kepusingan kita selepas ujian ini,” Tanya Retno seakan menggugat Ranu.

“Gini lho mbakyu. Tadi saking pusingnya aku selepas ujian kimia yang sedikit betul aku bisa njawab, sehingga kepalaku ini terasa mau pecah sehingga muncul kata-kata pecah endahe itu,” sabar Ranu menjelaskan pada Retno.

Dan jawaban Ranu yang dirasa penuh dengan kesabaran itu agaknya membangkitkan pesona tersendiri bagi Retno. Setidaknya kesan awal.

“Lho, mba Retno bukan orang Jawa toh,” Tanya Ranu seketika.

“Bapakku Jawa, dari Madiun beliau. Ibuku Bengkulu dan aku lahir di Bandung serta tumbuh besar di Bogor. Jadi lebih banyakan Sundanya mas,” jelas Retno perlahan.

Ingatan Diandra untuk sesaat tercekat. Ia melihat jam di tangannya. Waktu terus bergerak. Jemari lentiknya cekatan menari di tuts telpon genggamnya……”Trimakasih Retno sayang. Dari mana kamu bisa nemuin foto legendaris ini, dan di pagi-pagi pula,” tulis Diandra bertanya pada sahabat di sebrang sana.

Dan jawaban yang kemudian dikirimkan Retno sungguh membuat Diandra setengah berteriak.

“Tadi yang kirim Mama, Di.”

Membaca jawaban Retno, untuk sesaat Diandra pun merasa membutuhkan sandaran agar tidak terjatuh. Dan tanda sadar air matanya merembang. Hatinya berontak dan gegas ia menelpon sahabatnya itu. Rindunya tiba-tiba membuncah, hendak meledak mengingat perempuan tua yang di mata Diandra, baiknya luar biasa. Perempuan yang Diandra sudah anggap sebagai ibu kedua itu telah cukup lama tidak ia sapa. Sibuk dan sibuk yang sebetulnya memalukan juga.**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status