Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.
Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.
“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”
Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di depan soal-soal rumit, seakan nafas itu tidak terdengar atau kadang malah memburu seperti diburu hantu. Dan di tepian pohon itu nafas kita seakan kembali berjalan normal.
Dan celoteh yang biasanya terlepas dari mulut-mulut mahasiswa mulai kusut wajahnya setelah 2 atau 3 jam ujian itu dan mungkin belum tidur semalaman, lumayan ngengenin. Kalau bukan, “woow,” atau “asu,” atau “Alhamdulillah belajar semalaman ada gunanya juga,” atau, “anjrit,” atau lagi kalau temen-temen dari Surabaya biasanya dengan memaki, “ancuuuk,” sambil menendang dahan yang terserak atau lainnya, atau mungkin hanya diam lemas lalu duduk tenggelam di seputaran pohon tua itu.
Tapi hari itu, tiba-tiba ada seorang cowok yang tiba-tiba menerobos tempat duduk antara Diandra dan Retno, “waduh, pecah endahku mba,” ucapnya membuat keduanya sontak minggir memberi ruang dengan sebal, pada cowok pendatang yang samasekali belum mereka kenal itu.
Mendapat respon serupa itu, si cowok asing itu pun agaknya cepat menyadari kalau dua orang yang diserobot ruangnya itu ternyata belum ia kenal. Dan sambil kaget ia pun berdiri, sambil berujar, “wah maaf, saya kira koncoku. Maaf, maaf, sekali lagi maaf mba,” katanya gagap sambil merapatkan tangan ke dadanya.
“Ah, sudah mas. Gak apa. Diantara kita memang banyak yang belum kenal kok. Dan kita juga kerap stress setiap abis ujian, hingga perilaku kita kemudian jadi aneh,” ucap Retno mencoba melerai salah tingkah si cowok asing itu.
Dan sang cowok asing itu kemudian sigap menyodorkan tangan dan mengenalkan diri, “saya Ranu. Ranujaya mba. Asli Pati, Jawa Tengah,” ucapnya ke arah Retno kemudian ke arah Diandra dan disambut dengan tertawa bersama.
Tiba-tiba Diandra protes pada Ranu, “Maaf mas, kok tadi Anda nyebutin Endah bukan maaf, bahasa Jawanya kepala bukankah Endas mas?,” ucap Diandra yang kemudian dibalas Ranu dengan ketawa ngakak sehingga menarik perhatian mahasiswa lain yang sudah mulai mengerumun di seputaran pohon-pohon tua itu.
“Wah, mba Diandra Jawa juga ya,” canda Ranu yang kemudian ditanggapi Diandra dengan ketus juga kesal, sehingga Ranu pun menurunkan tingkat candanya yang agaknya memang jadi gaya dia.
Namun Retno kemudian memberi jalan tengah menarik, “gini lho mas. Sahabatku ini orang tuanya asli orang Jawa, orang Jogja, tapi Diandra lahir dan besar di Jakarta. Jadi mungkin dia bisa juga bahasa Jawa, walau mungkin terbatas,” jelas Retno sambil sekaligus bertanya pada temannya yang juga belum terlampau lama dikenalnya itu.
“Oh, ngaten…”, Ranu mencoba menjelaskan dengan membangun kesan tidak sedang bercanda lagi.
“Memang betul Kepala bahasa Jawanya Endas. Tapi itu tidak elok, saru kalau untuk manusia sehingga biasanya diganti dengan sebutan Sirah, atau Mustaka yang artinya juga kepala. Tapi kok rasanya tua banget. Lagi pula ini bukan Pati, Solo atau Jogja….jadi ya mungkin lebih enak dengan Endahe biar tampak misterius….”terang Ranu yang tetap tampak sembarangan tapi keterangannya itu dianggap cukup luar biasa, setidaknya buat Diandra begitu pula bagi Retno.
Retno dan Diandra pun saling bertatap. Keduanya menganggukan kepala. Walau sesungguhnya Retno tidak terlampau tahu apa yang diceritakan Ranu.
“Aku gak terlampau paham, tentang endas, sirah, mustaka dan kepusingan kita selepas ujian ini,” Tanya Retno seakan menggugat Ranu.
“Gini lho mbakyu. Tadi saking pusingnya aku selepas ujian kimia yang sedikit betul aku bisa njawab, sehingga kepalaku ini terasa mau pecah sehingga muncul kata-kata pecah endahe itu,” sabar Ranu menjelaskan pada Retno.
Dan jawaban Ranu yang dirasa penuh dengan kesabaran itu agaknya membangkitkan pesona tersendiri bagi Retno. Setidaknya kesan awal.
“Lho, mba Retno bukan orang Jawa toh,” Tanya Ranu seketika.
“Bapakku Jawa, dari Madiun beliau. Ibuku Bengkulu dan aku lahir di Bandung serta tumbuh besar di Bogor. Jadi lebih banyakan Sundanya mas,” jelas Retno perlahan.
Ingatan Diandra untuk sesaat tercekat. Ia melihat jam di tangannya. Waktu terus bergerak. Jemari lentiknya cekatan menari di tuts telpon genggamnya……”Trimakasih Retno sayang. Dari mana kamu bisa nemuin foto legendaris ini, dan di pagi-pagi pula,” tulis Diandra bertanya pada sahabat di sebrang sana.
Dan jawaban yang kemudian dikirimkan Retno sungguh membuat Diandra setengah berteriak.
“Tadi yang kirim Mama, Di.”
Membaca jawaban Retno, untuk sesaat Diandra pun merasa membutuhkan sandaran agar tidak terjatuh. Dan tanda sadar air matanya merembang. Hatinya berontak dan gegas ia menelpon sahabatnya itu. Rindunya tiba-tiba membuncah, hendak meledak mengingat perempuan tua yang di mata Diandra, baiknya luar biasa. Perempuan yang Diandra sudah anggap sebagai ibu kedua itu telah cukup lama tidak ia sapa. Sibuk dan sibuk yang sebetulnya memalukan juga.**
Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias
Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-ka
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah