Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.
Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.
Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.
Pak Purwono, ayah Diandra mengenal cukup dekat pak Sumardi waktu sama-sama kuliah di Bandung. Pak Sumardi lebih senior disbanding pak Purwono. Mereka kuliah di kampus yang sama dan pada jurusan yang sama. Tapi ketika Purwono masuk, pak Sumardi telah di tingkat III, meski begitu mereka bisa saling akrab.
Mereka berdua kemudian terpisah waktu Purwono melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat sementara Sumardi masih bertahan di Bandung setelah lulus. Lama betul mereka terpisah. Dan, waktu Pak Purwono bersama istrinya mencarikan tempat kos untuk anak semata wayangnya tanpa sengaja bertemu bu Marlina, yang juga dikenalnya waktu masih di Bandung.
“Lho, dik Purwono ini kan? Masih kenal saya mas? Marlina, istrinya mas Mardi, teman dik Pur waktu di Bandung dulu,” sapa mamanya Retno ketika bertemu ayah Diandra.
Kaget disapa teman lama yang juga sudah cukup lama tidak ketemu, sesaat membuat Purwono terdiam sejenak menatapi wajah istri sahabatnya yang kini tampak lebih tua dari semestinya.
“Dik Pur, kaget ngeliat aku yang sekarang udah tampak tua ya,?” serang Marlina mengejutkan.
“Engga mbakyu. Enggak…..mbakyu masih seperti yang dulu kok. Tapi kok ya kita diketemukan Tuhan di sini. Apa mbakyu juga lagi nemenin anak mbakyu untuk registrasi di kampus sini,” gelagap Purwono yang kemudian dengan cepat mengenalkan Diandra anaknya pada bu Marlina.
“Wah, cantik banget anakmu ini mas?” sambut bu Marlina pada Diandra.
“Nanti kamu bareng sama anak tante yang juga baru masuk,” ucap bu Marlina ramah pada Diandra yang disambut dengan senyum dan anggukan.
“Eh tunggu, mamamu mana Nak. Beliau ikutan nganter kan,?” Tanya bu Marlina pada Diandra, tapi matanya bertanya pula pada Purwono.
“Ikut mbakyu. Rarah ikut kok, tapi tadi lagi ke toilet sebentar,” jawab Purwono yang juga tahu bu Marlina dengan istrinya Rarah Ratih saling mengenal, juga ketika sama-sama di Bandung.
Tak lama kemudian seorang perempuan 45an lebih dengan kulit putih bersih tampak datang menghampiri. Sejenak ia agak kaget ketika bertemu muka dengan perempuan lain yang tengah berbicara dengan suami dan anaknya.
“Bu, inget gak. Ini mbakyu Marlina, istri mas Mardi itu lho,” jelas pak Pur sang suami cepat-cepat sebelum datang prasangka dari sang istri.
Agak sedikit butuh waktu buat keduanya untuk mengumpulkan ingatan mereka yang terserak. Tapi tangan mereka tampak sudah saling berpegang.
“Mbakyu Marlina, benarkah ini kamu?” gugah Rarah Ratih kepada perempuan di hadapannya yang sudah dengan erat ia pegang itu.
Marlina yang mungkin terharu dan digulung rindu begitu hebat itu pun kemudian hanya bisa memeluk ibunya Diandra. Agaknya Marlina juga enggan melepas pelukannya, tapi kemudian dalam haru biru Marlina mengajak sepasang suami istri dan anak semata wayangnya itu untuk singgah di rumahnya yang tidak terlampau jauh dari tempat pertemuan mereka.
“Kebetulan Mas Mardi sore ini juga pulang. Ayo, kita ngobrol di rumah, mengenang masa-masa yang layak di kenang,” ajak Marlina pada mereka bertiga.
Sesampai di halaman rumah, pak Sumardi tampak berdiri di depan pintu. Ia tampak kaget melihat istrinya berjalan bersama orang yang dulu begitu ia kenal, namun demikian lama mereka tidak berjumpa. Pak Sumardi pun gegas menjumpai sahabat lamanya beserta istri dan anak perempuannya dengan penuh suka cita.
“Masya Allah Dik Pur. Lama bener kita gak ketemu. Kalian semua sehat-sehat kan ya,” sapa ayah Retno sambil memeluk erat sahabat lamanya dan kemudian menyalami istri dan gadis cantik putri mereka.
“Dik Rarah sehat juga ya? Dan ini si cantik, anak kalian? Siapa namamu nduk?” berondong pak Mardi pada sahabat lamanya itu sudah tidak sabar.
“Diandra om,” jawab Diandra pada sahabat orang tuanya itu ramah yang kemudian disambut pak Mardi dengan rangkulan sayang.
Setelah itu tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut mereka, selain haru biru dan tangan-tangan saling merangkul. Mereka kemudian duduk di beranda yang asri. Tak seberapa lama, bu Marlina masuk ke ruang dalam sambil memanggil putrinya yang kemudian ikut ke beranda. “Ini Retno, anak keduaku dik,” pak Mardi mengenalkan pada sahabat dan putrinya itu.
“Namanya Reton. Retno Dumilah. Masih ingat obrolan kita dulu tentang Senapati Madiun dik Pur?”, tanya pak Mardi pada sahabatnya mengingatkan.
Pak Pur tampak mengangguk-angguk mengingat bagian dari masa silamnya. Bu Marlina, ibunya Retno tampak senyum-senyum. Adapun Retno, Diandra juga Ratih ibunya Diandra tampak bingung. Tetapi pertemuan itu terlampau membangkitkan banyak kenangan, dadakan dan mengejutkan buat orang tua Retno maupun Diandra. Dan rasa rindu itu pun ternyata menggulung-gulung, menenggelamkan mereka saat mereka muda, saat masih sama-sama di Bandung, sehingga waktu seakan berhenti sementara.**
Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias
Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-ka
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah
Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d