Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.
“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.
Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.
“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.
“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-kali, lalu juga membiarkan kamu membuka pintu dan memasukinya,” jawab di tuan rumah.
Dari arah pintu, Sabda yang kaku menatap ragu perempuan baya yang sedari tadi ternyata mendengar ketukannya itu. Jengkel sebetulnya, karena merasa dipermainkan setelah mengetuk sekian lama, tapi ia juga terpesona dengan aura perempuan di ruang dalam itu. Nampak anggun, tajam sorot matanya, dan meski telah cukup umur tapi masih tampak kuat pesonanya, juga terlihat muda.
“Maaf,” sekali lagi gugup Sabda berucap.
“Tak apa. Masuklah,” balas tuan rumah sambil mepersilahkan Sabda untuk duduk di hadapannya.
Tak lama Sabda duduk, tuan rumah kembali berceloteh, “Maaf ya, karena saya membiarkan kamu terus mengetuk pintu. Dan meski sudah begitu lama, tak juga saya buka. Sekali lagi maaf ya,” ucap sang tuan rumah sambil senyum.
“Mungkin sudah sepuluh tahun, atau barangkali lebih, pintu itu tidak pernah ada yang mengetuk,” ucap sang tuan rumah yang membuat Sabda seakan distrom listrik.
“Waduh bu, maafkan saya bu. Sungguh saya tidak tahu. Bu Retno juga samasekali tidak memberi tahu saya tentang hal itu. Sekali lagi, maafkan saya bu,” pinta Sabda sungguh.
“Gak apa. Rasanya sudah cukup. Satu dasawarsa sudah saya tak mendengar ketukan di pintu itu. Dan terimakasih. Justru karena ketidaktahuan kamu menjadikan bunyi ketukan itu terasa magis,” urai tuan rumah yang membuat Sabda kian bingung, bahkan menjadi terasa gila dengan keanehan sang tuan rumah setelah beberapa saat lalu seakan kena strom listrik.
Kini Sabda pun menjadi gagap, gugup dan serba salah serta tak mampu berkata-kata. Hal ini agaknya disadari Diandra sang tuan rumah.
“Sudahlah. Gak apa,” ucap Diandra meredakan gemuruh hati Sabda.
“Oh ya maaf. Betul kamu Sabda, orangnya bu Retno kan?” Tanya Diandra yang seakan kembali melancarkan peredaran darah Sabda.
“Butul bu. Saya Sabda. Saya diutus bu Retno untuk menemui ibu pagi ini,” jawab Sabda yang sudah mulai terjaga dari hentakan kebingungan di awal perjumpaan dengan Diandra.
“Ok. Kita mungkin nanti akan banyak berinteraksi dan berdiskusi. Tapi pagi ini waktu saya cukup pendek, mungkin hanya 30an menit saja karena saya mesti bersiap ke airport,” jelas Diandra seakan menyudahi kekakuan lawan bicaranya yang tampak masih gugup.
Sebelum Sabda memberi respon, Diandra bangun dari duduknya dan menuju ke meja kerjanya yang tak jauh dari sofa yang ia duduki dan mengambil setumpuk berkas yang sudah tersimpan rapi di dalam tas plastic. Ada dua atau tidak bundle, dari jauh tampak cukup tebal.
“Oh, ya maaf, tadi dari Bogor jam berapa dan naik apa?” Diandra bertanya basa-basi pada tamunya yang masih duduk tercenung.
“Naik KRL jam setengah enam pagi tadi, diteruskan naik ojeg ke sini,” jawab Sabda sambil membenahi duduknya yang terasa kaku.
“Berkas ini berisi data-data perdagangan negara-negara ASEAN dengan para mitranya. Tolong dianalisis dan dibuatkan proyeksinya. Kalau ada pertanyaan kamu bisa langsung telpon saya atau bisa pula kamu diskusi sama Retno. Rasanya dia sudah memahami kok,” ujar Diandra sambil menyorongkan ke arah Sabda tiga bundle tebal berkas yang diambil dari meja kerjanya.
“Oh ya. Saya akan kembali ke Jakarta hari Sabtu besok. Saya harap sebelum Sabtu sudah bisa dikirim ke saya hasilnya ya, by email,” pinta Diandra agak seenaknya, lalu berlalu begitu saja ke ruang dalam.
Bagi Sabda, pertemuan pertama dengan Diandra ini dia rasakan cukup menyebalkan. Tapi, dia sedikit bisa memahami karena bu Retno, bosnya di Bogor yang juga sahabat Diandra, gaya dan sikapnya juga tidak jauh beda. Kaku tapi lebih kerap sengak dan menyebalkan. Tapi, rasa sebal itu ia telan dalam-dalam.
Bayangan wajah ibunya yang tengah sakit dan membutuhkan pengobatan serius serta biaya lumayan besar menindih perasaan sebal Sabda pada perilaku Diandra. Honor lumayan besar yang dijanjikan Diandra untuk pekerjaan itu membuatnya tegar, juga tabah. “Bagaimanapun menyebalkannya, aku harus bertahan sampai akhir,” bisik Sabda dalam batin.
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah
Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d
Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias