Share

Bukan Bunga Bakung
Bukan Bunga Bakung
Penulis: Abas Kwok

Bab 1 - Setelah Sepuluh Tahun Lebih

Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.

“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.

Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.

“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.

“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-kali, lalu juga membiarkan kamu membuka pintu dan memasukinya,” jawab di tuan rumah.

Dari arah pintu, Sabda yang kaku menatap ragu perempuan baya yang sedari tadi ternyata mendengar ketukannya itu. Jengkel  sebetulnya, karena merasa dipermainkan setelah mengetuk sekian lama, tapi ia juga terpesona dengan aura perempuan di ruang dalam itu. Nampak anggun, tajam sorot matanya, dan meski telah cukup umur tapi masih tampak kuat pesonanya, juga terlihat muda.

“Maaf,” sekali lagi gugup Sabda berucap.

“Tak apa. Masuklah,” balas tuan rumah sambil mepersilahkan Sabda untuk duduk di hadapannya.

Tak lama Sabda duduk, tuan rumah kembali berceloteh, “Maaf ya, karena saya membiarkan kamu terus mengetuk pintu. Dan meski sudah begitu lama, tak juga saya buka. Sekali lagi maaf ya,” ucap sang tuan rumah sambil senyum.

“Mungkin sudah sepuluh tahun, atau barangkali lebih, pintu itu tidak pernah ada yang mengetuk,” ucap sang tuan rumah yang membuat Sabda seakan distrom listrik.

“Waduh bu, maafkan saya bu. Sungguh saya tidak tahu. Bu Retno juga samasekali tidak memberi tahu saya tentang hal itu. Sekali lagi, maafkan saya bu,” pinta Sabda sungguh.

“Gak apa. Rasanya sudah cukup. Satu dasawarsa sudah saya tak mendengar ketukan di pintu itu. Dan terimakasih. Justru karena ketidaktahuan kamu menjadikan bunyi ketukan itu terasa magis,” urai tuan rumah yang membuat Sabda kian bingung, bahkan menjadi terasa gila dengan keanehan sang tuan rumah setelah beberapa saat lalu seakan kena strom listrik.

Kini Sabda pun menjadi gagap, gugup dan serba salah serta tak mampu berkata-kata. Hal ini agaknya disadari Diandra sang tuan rumah.

“Sudahlah. Gak apa,” ucap Diandra meredakan gemuruh hati Sabda.

“Oh ya maaf. Betul kamu Sabda, orangnya bu Retno kan?” Tanya Diandra yang seakan kembali melancarkan peredaran darah Sabda.

“Butul bu. Saya Sabda. Saya diutus bu Retno untuk menemui ibu pagi ini,” jawab Sabda yang sudah mulai terjaga dari hentakan kebingungan di awal perjumpaan dengan Diandra.

“Ok. Kita mungkin nanti akan banyak berinteraksi dan berdiskusi. Tapi pagi ini waktu saya cukup pendek, mungkin hanya 30an menit saja karena saya mesti bersiap ke airport,” jelas Diandra seakan menyudahi kekakuan lawan bicaranya yang tampak masih gugup.

Sebelum Sabda memberi respon, Diandra bangun dari duduknya dan menuju ke meja kerjanya yang tak jauh dari sofa yang ia duduki dan mengambil setumpuk berkas yang sudah tersimpan rapi di dalam tas plastic. Ada dua atau tidak bundle, dari jauh tampak cukup tebal.

“Oh, ya maaf, tadi dari Bogor jam berapa dan naik apa?” Diandra bertanya basa-basi pada tamunya yang masih duduk tercenung.

“Naik KRL jam setengah enam pagi tadi, diteruskan naik ojeg ke sini,” jawab Sabda sambil membenahi duduknya yang terasa kaku.

“Berkas ini berisi data-data perdagangan negara-negara ASEAN dengan para mitranya. Tolong dianalisis dan dibuatkan proyeksinya. Kalau ada pertanyaan kamu bisa langsung telpon saya atau bisa pula kamu diskusi sama Retno. Rasanya dia sudah memahami kok,” ujar Diandra sambil menyorongkan ke arah Sabda tiga bundle tebal berkas yang diambil dari meja kerjanya.

“Oh ya. Saya akan kembali ke Jakarta hari Sabtu besok. Saya harap sebelum Sabtu sudah bisa dikirim ke saya hasilnya ya, by email,” pinta Diandra agak seenaknya, lalu berlalu begitu saja ke ruang dalam.

Bagi Sabda, pertemuan pertama dengan Diandra ini dia rasakan cukup menyebalkan. Tapi, dia sedikit bisa memahami karena bu Retno, bosnya di Bogor yang juga sahabat Diandra, gaya dan sikapnya juga tidak jauh beda. Kaku tapi lebih kerap sengak dan menyebalkan. Tapi, rasa sebal itu ia telan dalam-dalam.

Bayangan wajah ibunya yang tengah sakit dan membutuhkan pengobatan serius serta biaya lumayan besar menindih perasaan sebal Sabda pada perilaku Diandra. Honor lumayan besar yang dijanjikan Diandra untuk pekerjaan itu membuatnya tegar, juga tabah. “Bagaimanapun menyebalkannya, aku harus bertahan sampai akhir,” bisik Sabda dalam batin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status