Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.
“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.
Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.
“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.
“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-kali, lalu juga membiarkan kamu membuka pintu dan memasukinya,” jawab di tuan rumah.
Dari arah pintu, Sabda yang kaku menatap ragu perempuan baya yang sedari tadi ternyata mendengar ketukannya itu. Jengkel sebetulnya, karena merasa dipermainkan setelah mengetuk sekian lama, tapi ia juga terpesona dengan aura perempuan di ruang dalam itu. Nampak anggun, tajam sorot matanya, dan meski telah cukup umur tapi masih tampak kuat pesonanya, juga terlihat muda.
“Maaf,” sekali lagi gugup Sabda berucap.
“Tak apa. Masuklah,” balas tuan rumah sambil mepersilahkan Sabda untuk duduk di hadapannya.
Tak lama Sabda duduk, tuan rumah kembali berceloteh, “Maaf ya, karena saya membiarkan kamu terus mengetuk pintu. Dan meski sudah begitu lama, tak juga saya buka. Sekali lagi maaf ya,” ucap sang tuan rumah sambil senyum.
“Mungkin sudah sepuluh tahun, atau barangkali lebih, pintu itu tidak pernah ada yang mengetuk,” ucap sang tuan rumah yang membuat Sabda seakan distrom listrik.
“Waduh bu, maafkan saya bu. Sungguh saya tidak tahu. Bu Retno juga samasekali tidak memberi tahu saya tentang hal itu. Sekali lagi, maafkan saya bu,” pinta Sabda sungguh.
“Gak apa. Rasanya sudah cukup. Satu dasawarsa sudah saya tak mendengar ketukan di pintu itu. Dan terimakasih. Justru karena ketidaktahuan kamu menjadikan bunyi ketukan itu terasa magis,” urai tuan rumah yang membuat Sabda kian bingung, bahkan menjadi terasa gila dengan keanehan sang tuan rumah setelah beberapa saat lalu seakan kena strom listrik.
Kini Sabda pun menjadi gagap, gugup dan serba salah serta tak mampu berkata-kata. Hal ini agaknya disadari Diandra sang tuan rumah.
“Sudahlah. Gak apa,” ucap Diandra meredakan gemuruh hati Sabda.
“Oh ya maaf. Betul kamu Sabda, orangnya bu Retno kan?” Tanya Diandra yang seakan kembali melancarkan peredaran darah Sabda.
“Butul bu. Saya Sabda. Saya diutus bu Retno untuk menemui ibu pagi ini,” jawab Sabda yang sudah mulai terjaga dari hentakan kebingungan di awal perjumpaan dengan Diandra.
“Ok. Kita mungkin nanti akan banyak berinteraksi dan berdiskusi. Tapi pagi ini waktu saya cukup pendek, mungkin hanya 30an menit saja karena saya mesti bersiap ke airport,” jelas Diandra seakan menyudahi kekakuan lawan bicaranya yang tampak masih gugup.
Sebelum Sabda memberi respon, Diandra bangun dari duduknya dan menuju ke meja kerjanya yang tak jauh dari sofa yang ia duduki dan mengambil setumpuk berkas yang sudah tersimpan rapi di dalam tas plastic. Ada dua atau tidak bundle, dari jauh tampak cukup tebal.
“Oh, ya maaf, tadi dari Bogor jam berapa dan naik apa?” Diandra bertanya basa-basi pada tamunya yang masih duduk tercenung.
“Naik KRL jam setengah enam pagi tadi, diteruskan naik ojeg ke sini,” jawab Sabda sambil membenahi duduknya yang terasa kaku.
“Berkas ini berisi data-data perdagangan negara-negara ASEAN dengan para mitranya. Tolong dianalisis dan dibuatkan proyeksinya. Kalau ada pertanyaan kamu bisa langsung telpon saya atau bisa pula kamu diskusi sama Retno. Rasanya dia sudah memahami kok,” ujar Diandra sambil menyorongkan ke arah Sabda tiga bundle tebal berkas yang diambil dari meja kerjanya.
“Oh ya. Saya akan kembali ke Jakarta hari Sabtu besok. Saya harap sebelum Sabtu sudah bisa dikirim ke saya hasilnya ya, by email,” pinta Diandra agak seenaknya, lalu berlalu begitu saja ke ruang dalam.
Bagi Sabda, pertemuan pertama dengan Diandra ini dia rasakan cukup menyebalkan. Tapi, dia sedikit bisa memahami karena bu Retno, bosnya di Bogor yang juga sahabat Diandra, gaya dan sikapnya juga tidak jauh beda. Kaku tapi lebih kerap sengak dan menyebalkan. Tapi, rasa sebal itu ia telan dalam-dalam.
Bayangan wajah ibunya yang tengah sakit dan membutuhkan pengobatan serius serta biaya lumayan besar menindih perasaan sebal Sabda pada perilaku Diandra. Honor lumayan besar yang dijanjikan Diandra untuk pekerjaan itu membuatnya tegar, juga tabah. “Bagaimanapun menyebalkannya, aku harus bertahan sampai akhir,” bisik Sabda dalam batin.
Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah
Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d
Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias
Sejak pertemuan tidak sengaja dua sahabat lama itu agaknya terjalin pula persahabatan antara anak-anak mereka, Diandra dan Retno. Dan cuaca Bogor hari itu mengiringinya dengan hujan cukup deras sehingga pak Pur dan kelurga menunda kepulangan mereka.“Dik, kalian menginap aja malam ini di sini ya,” ajak tulus bu Marlina pada ibunya Diandra.“Waduh mbakyu, agaknya belum bisa malam ini, meski kita bisa saja nanti pamit agak sedikit malam dari sini. Gitu mbakyu,” terang bu Rarah, ibunya Diandra.Ibunya Retno agaknya cepat memahami bahwa ia tidak mungkin memaksa sahabat lamanya itu untuk menginap barang semalam di rumahnya.“Oh ya, sebentar ya. Ini kan Diandra nanti gak bakal dilaju dari Jakarta kalau sudah kuliah? Gimana kalau kamu tinggal disini. Nanti bisa bareng Retno kalau kuliah,” ajak pak Mardi, ayahnya Retno.Kedua orang tua Diandra tampak setuju. Tapi mereka masih merasa perlu bertanya pada anaknya dulu,“Gimana nduk. Gak mau dilaju Jakarta-Bogornya kan?” canda sang ibu pada anakn
Sejak pertemuan tidak sengaja dua sahabat lama itu agaknya terjalin pula persahabatan antara anak-anak mereka, Diandra dan Retno. Dan cuaca Bogor hari itu mengiringinya dengan hujan cukup deras sehingga pak Pur dan kelurga menunda kepulangan mereka.“Dik, kalian menginap aja malam ini di sini ya,” ajak tulus bu Marlina pada ibunya Diandra.“Waduh mbakyu, agaknya belum bisa malam ini, meski kita bisa saja nanti pamit agak sedikit malam dari sini. Gitu mbakyu,” terang bu Rarah, ibunya Diandra.Ibunya Retno agaknya cepat memahami bahwa ia tidak mungkin memaksa sahabat lamanya itu untuk menginap barang semalam di rumahnya.“Oh ya, sebentar ya. Ini kan Diandra nanti gak bakal dilaju dari Jakarta kalau sudah kuliah? Gimana kalau kamu tinggal disini. Nanti bisa bareng Retno kalau kuliah,” ajak pak Mardi, ayahnya Retno.Kedua orang tua Diandra tampak setuju. Tapi mereka masih merasa perlu bertanya pada anaknya dulu,“Gimana nduk. Gak mau dilaju Jakarta-Bogornya kan?” canda sang ibu pada anakn
Jam 09.13, mobil perlahan meninggalkan halaman rumah Diandra. Perjalanan dari Kemang, Jakarta Selatan menuju bandara Soekarno-Hatta telah mulai sarat dengan kemacetan. Prediksi waktu untuk sampe bandara 2 jam 20 menit. Sebagian penggal jalan tampak agak macet, tapi masih cukup waktu, keberangkatan pesawat Diandra jam 13.35.Hati Diandra masih melompat-lompat antara Retno, mamanya Retno dan rencana pertemuan petang nanti di Singapura. Diandra cukup gembira, sejumlah nama dari Negara-negara Asean sudah memastikan akan menghadiri pertemuan petang nanti.Tapi ingatan Diandra pada bu Marlina, ibu dari sahabatnya yang juga sudah seperti ibu kandung sendiri itu cukup mengoyak-oyak hatinya. Ingin rasanya menelpon, tapi kuatir karena pagi jam segini beliau biasanya tengah sibuk. Selain itu, ada rasa gak enak sama sopir taxi on-line yang pasti akan mendengar pembicaraannya. Akhirnya, ia lebih memilih menulis pesan lewat whattApp.“Pagi ma. Maafin Diandra yang sudah agak lama gak datang ke Bogor
Mendarat di Bandar Udara Haneda-Kuko, Tokyo, hati Diandara berdegup kencang. Derap langkah Radite, juga genggam tangan erat suaminya itu tiba-tiba kembali terasa.“Ah, kenapa gak mau berhenti juga,” bisik batin Diandra.“Kenapa Di? Beberapa menit lagi kita mendarat di Haneda Di,” bisik suara Rajesh seakan tahu perasaan hati Diandra saat itu.Diandara hanya tersenyum dan mengangguk.Ditatapnya Rajesh yang seperti diceritakan Retno bahwa sedikit banyak Rajesh telah mengetahui apa yang membuat Diandra agak gamang untuk mendarat di Tokyo.“Kamu pasti kuat dan mampu mengatasi apa yang kamu piker sebagai masalah itu Di. I trust you,” Rajesh menguatkan Diandra.“Trimakasih,” jawab Diandra singkat sambil menguatkan dirinya.Malam telah lama tiba di Tokyo. Orang-orang masih sibuk lalu-lalang. Koper-koper dan semua bawaan peserta pertemuan Singapura semua telah diurus oleh panitia. Diandra juga Rajesh dan lainnya hanya membawa tas tangan dan computer jinjing.Di tengah bandara yang begitu sibuk
Di pesawat menuju Tokyo, Diandra duduk bersebelahan dengan Rajesh, kawan Retno ketika di Inggris yang juga ketua penyelenggaran pertemuan Singapura dan Tokyo. Persahabatan mereka masih terus berlanjut ketika baik Rajesh maupun Retno menggeluti isyu yang sama.“Maaf Di, bagaimana bisa kamu sebegitu akrab dengan Retno,” Tanya Rajesh menghalau keheningan dalam pesawat yang tengah terbang tinggi.“Ayah saya dan Ayah Retno telah bersahabat sejak mereka sama-sama kuliah di Bandung. Ayah Retno lebih senior dari ayah saya, tapi hubungan mereka begitu akrab, pun sampai masing-masing berkeluarga dan mempunyai anak, aku dan Retno,” jawab Diandra panjang.Diandra dan Rajesh sebetulnya sudah cukup lama saling mengenal. Tapi pada setiap pertemuan, obrolan yang mereka lakukan belum menginjak ke wilayah yang lebih pribadi. Dan, dari Changi menuju Haneda ini obrolan yang lebih pribadi itu agaknya kemudian terjadi.“S1 kamu dan Retno kabarnya juga satu kampus, betul itu?” Tanya Rajesh lagi.“He he he…
Jelang siang, Diandra bersama orang-orang yang ikut pertemuan semalam kembali ke Changi. Hari itu mereka akan menuju bandara Haneda Kuko, Tokyo. Perjalanan di Changi ke Haneda diperkirakan 7 jam lebih beberapa menit.Bagi Diandra perjalanan menuju Haneda Kuko, Tokyo ini sebetulnya hal yang paling tidak ingin dia lakukan. Mengingatkan dia akan hal-hal yang sebetulnya tak ingin diingat.Dan, sejak mengelola perusahaan bersama Retno, ada 6 atau 7 kali pertemuan di beberapa kota yang berbeda di Jepang, Diandra tidak bersedia turut. Diandra selalu menghindar untuk datang ke negeri ini karena satu alas an, Radite.Tapi kali ini Diandra memutuskan untuk berdamai dengan perasaannya, juga dengan masa lalunya. Hidup harus diselenggarakan. Masa lalu tidak perlu dilupakan, tapi biarlah cukup sesekali dilihat melalui kaca spion. Penting, tapi tidak harus mendominasi, sebab hidup berjalan ke depan.Jejak langkah Diandra waktu masih bersama suaminya, Radite masih begitu benderang. Sesaat setelah men
Sebagai seorang anak perempuan dan semata wayang dari keluarga yang secara ekonomi sangat mapan. Diandra memang dimanja oleh kondisi lingkungannya, selain juga kehendak orang tuanya untuk selalu ingin menjaga putri tunggalnya itu.Tapi sikap orang tua Diandra sangat hati-hati. Meski cukup memanja, mereka berdua sepakat untuk menjadikan anak perempuannya tegar, mandiri dan sebisa mungkin harus mampu menyelesaikan banyak persoalan sendiri.Kelas 3 SD, Diandra dimasukan dalam kelas Judo. Sebelumnya, sejak umur 3 tahun, Diandra sudah mahir bersepatu roda, ikut rock climbing, berenang, pencak silat dan kemudian Judo yang diteruskan hingga Diandra mendapat sabuk hitam.“Biarpun Di perempuan, kita mesti menjadikan anak kita anak yang kuat dan mandiri bu,” ucap pak Pur, ayah Diandra pada sang istri.“Pak, bukannya nanti Diandra juga bakal punya seorang suami yang akan menjaga dan melindunginya,” gugat bu Rarah, ibu Diandra.“Bu, apa yang ibu pikirkan betul semua. Tapi rasanya tetap saja, lebi
Di Singapura kali ini Diandra menginap di hotel yang sama untuk pertemuan. Biar lebih praktis, selain juga karena hanya semalam di negeri jiran ini.Untuk acara tersebut, segala sesuatunya sudah diatur sama Rajesh, termasuk juga tempat untuk menginap Diandra. Rajesh sendiri merupakan teman Retno waktu di Inggris dulu, dan untuk pertemuan itu Rajesh menjadi ketua panitianya.Ada 9 orang dari berbagai Negara Asean yang menghadiri pertemuan di Singapura ini. Pertemuan ini merupakan pertemuan pendahuluan yang akan dilanjutkan dengan pertemuan Tokyo esok lusanya.Acara diselenggarakan persis setelah makan malam usai dan berakhir sekitar jam 22.00. Tidak terlampau lama memang, karena hanya saling mengkonfirmasi gagasan-gagasan yang akan dibahas di pertemuan Tokyo besok lusanya.Usai pertemuan, Diandra sempat ngobrol beberapa saat dengan Rajesh. Obrolannya cukup beragam. Mulai dari rencana Rajesh ke Indonesia saat Retno mantu, soal agenda Tokyo besok dan rencana ke Inggris bulan berikutnya y
Satu setengah jam lebih sedikit akhirnya Diandra tiba di bandara Changi, Singapura. Hari sudah mulai sore. Bayang kecemasan perempuan yang ditinggal pergi pasangan prianya di bandara Soekarrno-Hatta sebelum berangkat tadi masih menggelayut.Diandra tidak tahu persis apakah pasangan itu akhirnya tidak jadi berangkat bersama atau bagaimana. Bayangan mas Radite yang juga meninggalkan punggungnya itu juga belum punah.“Hey, Diandra,” terdengar suara memanggil dari arah kiri Diandra yang tengah terjebak dalam lamunan.Diandra pun gegas mencari sumber suara yang menyapanya. Sambil sedikit berkejap dan merapikan ingatannya. Lalu Diandra menjawab dengan cukup ceria.“Hey, mba Maryamah kan ya?” Diandra bertanya untuk meyakinkan dirinya kalau yang ditemuinya itu adalah salah seorang seniornya waktu di kampus ketika ia masih muda dulu.Ketika orang yang disapa itu mengangguk antusias, Diandra pun datang memburu dan memeluknya erat.“Begini jauh kita ditemukannya di sini mbak. Mbak sehat-sehat ka
Barangkali benar, perkawinan itu peperangan yang teramat panjang, antara dua pihak yang brbeda. Tapi, tanpa pemenang, tanpa pecundang. Bila salah satu muncul, entah pemenang, entah pecundang, maka punahlah perkawinan itu. Bubar.Itulah catatan yang bisa disimpulkan dari perjalanan panjang perkawinan ibu dan bapak juga mama dan ayah. Tapi catatan tentang mereka terasa begitu jauh. Berbeda denganRanu dan Retno.Ya, dan setidaknya bagi Diandra, Ranu dan Retno adalah orang-orang terdekat Diandra yang sedikit banyak menjadi teladan yang baik.Ketika ada pertengkaran, salah satu atau keduanya akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghentikan bergemuruhnya ego dalam diri mereka, walau kadang sulit meminta maaf duluan. Hal itu yang setidaknya kerap Diandra saksikan pada Ranu dan Retno.“Banyak amat hal sepele, amat tidak penting yang membuat kami bertengkar. Tapi, apakah itu artinya kami sudah tidak saling cocok?” tanya Retno suatu waktu.“Jawabnya tidak juga. Karana saya kira, dalam
Diandra memasuki ruang check-in Bandara Soekarno-Hatta kali ini dengan senyum tertahan, agak geli mengingat cerita Retno akan dalih Ranu yang tiba-tiba menciumnya itu. Di benaknya, terbayang wajah Ranu ketika mengungkapkan tentang si Bung yang mungkin saja hanya karangannya semata.Memang, kali itu, bahkan mungkin hingga kini, baik Retno maupun Diandra sebetulnya tidak terlampau peduli apakah ada atau tidak buku yang dimaksud Ranu.“Ah, soal buku itu kan hanya cipoa untuk menutupi gayanya Ranu nembak kamu Ret,” ucap Diandra ketika mereka bertiga makan Soto Mie Bogor itu.Kala itu, Ranu juga tidak terlampau mengelak. Ranu hanya tertawa dan berucap.“Aku memang jatuh cinta sejak lama sama Retno, Di,” aku Ranu yang membuat Retno tersipu malu.Meski begitu, di akhir pekan setelah peristiwa Retno di Bemo kala hujan itu, Diandra berburu buku di sejumlah kios buku bekas, di Pasar Senen. Harapannya Diandra bisa mendapatkan buku yang dimaksud Ranu dan mengobati rasa penasarannya.Setelah 2,5 j
Kini, Bemo tak lagi ada di Bogor. Kendaraan roda tiga bikinan Jepang ini semula diperuntukan sebagai transportasi public saat akan diselenggarakan Games of The New Emerging Forces (Ganefo), pekan olahraga antarnegara "kekuatan baru dunia" yang diprakarsai Presiden Soekarno akhir 1962.Bemo (Becak Motor), menggunakan mesin Daihatsu Midget, 250 cc. Di negara asalnya, digunakan untuk mengangkut barang-barang. Di banyak kota-kota di Indonesia, Bemo sempat menjadi angkutan popular hingga akhirnya dihapus di awal tahun 2000an, termasuk di Bogor.Dan pagi itu, setelah sore yang kuyup dan penuh cerita, Retno kembali menggunakan Bemo menuju ruang kuliah Ranu. Kali ini ia minta ditemani Diandra, tidak sendiri lagi.Semalaman, Retno tak bisa tidur. Diandra sudah menghiburnya dan mengajak Retno untuk tidur di kamarnya. Tapi gelisah terus menderanya.Sesampai di kampus, Retno meminta Diandra untuk menunggu di kantin kampus. Sementara Retno menunggu tak jauh dari ruang kuliah Reno. Jam 9.45, Ranu t