Raja dibuat panik setelah mendengar pesan suara yang dikirim istrinya, apalagi setelah itu Cahaya tidak bisa dihubungi, dia memang tidak fokus pegang ponsel karena banyaknya saudara, dan kerabat Hadi yang datang untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya Rosita. Belum lagi keluarganya juga ikut datang ke rumah Hadi, hingga saat acara selesai selepas magrib, dia baru bisa melihat lagi ponselnya. "Kenapa, A?" tanya Mukta saat melihat Raja gelisah dengan terus menatap ponsel."Cahaya sakit, Umm. Hp-nya sekarang malah tidak bisa dihubungi." Raja menjawab dengan wajah terlihat bingung. "Cahaya sakit? Sejak kapan? Bukannya tadi waktu kamu minta kita photo rame-rame, Cahaya baik-baik saja?" Mukta juga tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir, saat mendengar menantunya yang jatuh sakit. Siapa yang akan merawat Cahaya kalau benar gadis itu sakit sekarang? Apalagi di apartemen sendirian, walaupun ada teman yang berbeda unit, tetap saja tidak akan bisa merawat dengan baik, dan mereka lak
"Ummi ngomong apa, sih?" Raja memalingkan muka menghindari tatapan menyelidik Mukta. "Ya Ummi kan nanya, kalian sudah melakukan itu kan?" "Ummi …." "Ummi bukannya ingin tahu, hanya menebak saja, kalau memang yang menyebabkan Cahaya sakit karena ngidam, alasan kamu untuk membawa istri kamu pulang bisa kuat, A." Raja terdiam, tidak ada salahnya kalau dia jujur pada Mukta, kalau sampai saat ini dia belum melepas keperjakaannya. "Kami belum melakukan itu, Umm." Raja menahan rasa malu saat mengakui itu. "Hah?! Serius, A? Terus waktu itu kalian ngapain aja di hotel? Atau Cahaya tengah datang bulan?" Mukta malah semakin ingin tahu, dan Raja menyesali sudah jujur. "Kan … Ummi jadi pengen tahu rahasia ranjang anaknya." Raja tertawa pelan, rasa canggungnya berubah jadi ingin menggoda Mukta. "Ya bukan gitu juga, kalian kan saling mencintai, kenapa nggak langsung melakukan itu saat malam pertama? Apa kalian mengulang berkenalan lagi?" "Udah ah, Raja jadi malu bahas begituan sama Ummi. Do
Choi segera meluncur ke apartemen Cahaya setelah mendapatkan kabar dari Adrian dan Andri, kalau gadis yang diam-diam telah mengisi hatinya itu sakit. Dia juga sudah curiga ada yang tidak beres dengan cahaya, saat melewati tempat kerja Cahaya, gadis itu tidak ada. Kecurigaannya berubah jadi kekhawatiran, saat kedua sahabat Cahaya mengatakan tentang kondisi yang sebenarnya. Choi sesekali menggerutu, saat kepadatan lalu lintas menjelang siang itu sedikit tersendat, hingga waktu yang diharapkan bisa cepat mengantarnya sampai ditujuan, ternyata harus lebih lama di jalan. Begitu selesai memarkirkan kendaraannya, Choi setengah berlari menuju lantai dua di mana unit apartemen Cahaya berada. Dengan hati yang semakin diliputi rasa khawatir, Choi menunggu Cahaya membuka pintu setelah beberapa kali menekan bel. Dia juga kesal dan heran, kenapa karyawan lain yang katanya akan datang menyusul, belum juga bisa datang? Setidaknya saat ada teman satu apartemen, Cahaya akan ada yang menemani di saat
Choi sesekali menoleh pada Cahaya, gadis yang beberapa saat lalu ada dalam rengkuhannya terlihat lemah, namun wajahnya yang tampak pucat tidak mengurangi pesona yang dimilikinya, Cahaya masih saja cantik seperti biasanya di mata Choi. Walaupun dia sudah mendengar dari Anh kalau Cahaya punya pasangan, selama pasangan yang dimaksud adalah pacar, Choi masih berharap bisa memiliki hati gadis itu. Tidak ada salahnya mencoba bukan? Cahaya memilih memejamkan mata, denyutan di kepala yang terasa menyiksa, membuatnya tak sanggup untuk mengetahui kemana Choi membawanya. Bahkan niat untuk menghubungi Raja saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, tidak bisa dilakukannya. Dia yakin Raja pasti sudah menghubungi Adrian dan Andri untuk mengetahui keadaannya sekarang, dan lagi-lagi kedua sahabatnya itu dibuat repot olehnya. Mobil Choi berbelok memasuki area rumah sakit dua puluh menit kemudian, setelah memarkirkan kendaraannya, Choi menoleh pada Cahaya yang masih memejamkan mata. Keinginan untuk
Cahaya bersandar dengan nyaman, sakit kepalanya sedikit berkurang, efek obat yang diminumnya tadi pagi sepertinya sudah bereaksi, badannya terasa lebih nyaman sekarang. Teringat belum menghubungi Raja, Cahaya segera mengambil ponselnya. Jam sebelas waktu Korea, jam sembilan di Indonesia. Kalau dia menelepon tentunya akan mengganggu Raja yang sedang kerja, pilihannya tentu mengirimkan pesan pada lelaki tercinta. Mengusap layar ponselnya, senyumannya dengan Raja langsung menghiasi layar benda pipih itu, Cahaya kembali didera rindu, entah kapan dia akan bisa melihat langsung senyuman, dan wajah tampan kekasih hatinya lagi. Dia merindu. [Maaf, Sayang, kalau semalam aku mematikan hp. Aku hanya merasa sendiri di sini sedang kalian, orang yang aku sayang berkumpul penuh suka cita, entah kenapa setelah melihat photo yang kamu kirimkan, aku jadi sedih.] [Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Ini baru pulang dari rumah sakit, kata dokter hanya kecapean dan kurang istirahat, juga kemarin terla
Matanya terus menatap ke depan, berharap dan semoga ada mobil yang dia hafal dengan baik plat nomornya sekarang. Dia akan mencari siapa pemilik mobil itu, segala cara akan dia lakukan untuk mengetahui keberadaan Cahaya. Namun hingga dia berkendara tiga puluh menit kemudian, tak ada lagi petunjuk yang didapatkan. Menepikan mobilnya, Kim mengusap wajahnya pelan. Jelas rasa yang dia pendam sekian lama semakin menyiksa saja. "Honey … kamu di mana?" Kim harus menelan lagi kekecewaannya, gadis yang diharapkan bisa ditemui dan mendengar semua penjelasan nya, ternyata sangat sulit untuk diraih. Padahal tadi kembali mereka berhadapan, dekat … sangat dekat. Hanya kaca yang memisahkan mereka, tapi lagi-lagi permainan takdir membuatnya mengusap dada. ***"Terima kasih, Oppa. Maaf saya sudah merepotkan." Cahaya kembali mengucapkan rasa terima kasihnya saat Choi akan pergi. "Never mind, Cahaya. Sudah tugas aku. Boleh aku minta nomor hp kamu? Jadi nanti aku bisa menanyakan tentang kondisi kamu.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Cahaya tersenyum saat Raja menghubunginya saat jam istirahat, badannya sudah semakin nyaman setelah tidur, dan tepat selesai dia menikmati burger yang tadi dibelikan Choi, suaminya itu menghubunginya. "Iya, Sayang, aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Maaf kalau kemarin Sudah membuatmu khawatir," ujar Cahaya mengakui kesalahannya. Raja tersenyum penuh kelegaan, kekhawatiran sejak semalam hingga tadi sebelum dia melihat Cahaya, menguap begitu saja begitu senyuman manis istrinya tercinta, tersaji di depan mata. "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Apa kamu sudah makan? Dokter bilang apa saja tadi? Apa Choi memperlakukanmu dengan baik?" tanya Raja beruntun. Sebenarnya Raja cemas dengan seseorang yang ditunjuk perusahaan untuk mengurus kepentingan para karyawan dari Indonesia, ada ketakutan kalau kejadian empat tahun lalu akan kembali terulang, kisah cinta yang membuat dia limbung hingga enggan membuka hati pada gadis lain. Justru sekarang ini ketakuta
Salju pertama sudah turun semalam, hamparan putih dengan cantik menutup permukaan tanah sejauh mata memandang. Gigil yang semalam begitu menggigit tulang, sedikit menghangat dengan munculnya sang raja siang. Seperti mengulang waktu yang telah lewat, Cahaya, Adrian dan Andri memilih taman di dekat apartemen mereka, untuk menikmati lembutnya salju. Tak hanya mereka, banyak penghuni apartemen lain ikut serta. Seakan salju adalah hal yang baru untuk mereka juga. Menghalau dingin, Cahaya menggunakan dua lapis sweater juga jaket untuk melindungi tubuhnya. Dia tak ingin kehilangan kesempatan dengan Andri dan Adrian, untuk ikut serta membuat boneka salju. Ketiganya begitu menikmati hari libur, dengan bermain seperti anak kecil saja. Bahan tanpa ragu, mereka juga mendekati anak-anak kecil yang sedang membuat benteng, untuk bersembunyi dari lemparan bola salju temannya. Mobil itu mendekat, ini adalah gedung apartemen baru keempat yang dikunjungi pemiliknya, untuk mencari keberadaan seseorang