"Hyong!" Andri mematung melihat seseorang yang pernah dikenalnya dengan baik, seseorang yang membuat sahabat dari istrinya, menunggu tanpa pernah mendapat kepastian tentang akhir cinta mereka. Dia melihat pada Cahaya yang kini berjongkok dengan membelakangi Kim, yang semakin pelan berjalan. Apa yang akan Cahaya lakukan saat dia melihat lelaki itu? Sedang untuk mencegah pertemuan sepasang kekasih di masa lalu itu pun rasanya sudah terlambat, Kim pasti sudah bisa menebak kalau salah satu dari mereka adalah cahaya. Ah, apa yang harus dilakukannya? Memberitahu Cahaya atau justru menyembunyikan gadis itu dari pertemuan yang tak terduga? Adrian!"Yan! Tolong berdiri!" Andri memanggil Adrian yang langsung mendongak begitu namanya dipanggil. Dengan isyarat mata, Andri melirik pada Kim yang semakin mendekat dengan senyuman di bibirnya, jelas sekali kalau lelaki itu tengah merasa bahagia yang sangat. Mengikuti arah pandang Andri, Adrian sontak berdiri begitu melihat Kim berjarak semakin
Adrian menatap Kim penuh kebencian. Apalagi imbas dari kelakuan lelaki itu, membuat pihak keamanan apartemen menghampiri mereka, dan meminta mereka untuk berbicara baik-baik di unit apartemennya. Tentu saja Adrian tidak bisa menghalangi lagi, karena Kim bisa mengatakan apa saja pada petugas itu tanpa dia pahami apa maksudnya. Si*lan!Mereka memang tidak meninggalkan Cahaya, apalagi Andri yang terus Cahaya peluk tangannya meminta perlindungan, seolah berada dekat Kim adalah satu ancaman, yang harus segera dia hindarkan. Kim sudah pasrah melihat tingkah Cahaya yang seakan merasa terancam oleh kehadirannya. Hanya saja Kim kembali ragu dengan pikirannya sendiri, kalau memang Cahaya ada hubungan spesial dengan Adrian, kenapa pada Andri dia meminta perlindungan? Atau memang sebenarnya dengan Andri-lah Cahaya ada hubungan? 'Terserah! Dengan siapapun Cahaya mempunyai hubungan dengan salah satu lelaki itu, keduanya bukanlah ancaman untuknya. Dia akan berusaha meyakinkan Cahaya gara bisa kem
"Aku juga tak mengerti kenapa Su Ni menginginkan nama itu untuk anak kami, hingga semuanya terjawab saat aku membaca curahan hatinya dalam buku, setelah sekian bulan dia pergi, ternyata … malam itu, di mana Su Ni memperdaya, tanpa sadar aku menyebut namamu, Honey … namamu! Dari sana Su Ni tahu, kalau itu yang menyebabkan aku tidak bisa membuka hati untuknya. Karena kamu."Kim menatap Cahaya yang kini memandangnya tak percaya, deraian air mata dari mata indah pemilik hatinya, turut menjadi saksi kalau Cahaya pun terluka mendengar cerita jalan hidupnya. "Kembali aku jalani hidup dengan hanya fokus mengurus A Ya, bahkan semua impian yang tersisa pun sudah kuhapus habis, aku sudah tidak ingin merangkai masa depanku sendiri. Untuk sekedar memimpikan kamu pun aku tak sanggup lagi, aku tahu kalau aku sudah terlalu jauh mengkhianati, walau semua jelas diluar kehendakku. Hingga entah bagaimana caranya, mama bisa meyakinkan appa dan memintaku pergi ke Indonesia untuk menjemputmu sebagai menant
Ada yang terangkat dari pundak Kim begitu semuanya sudah dia katakan pada Cahaya. Dia merasa lega, apalagi Cahaya setuju untuk kembali memulai hubungan mereka dengan dalih persahabatan. Bukankah semua memang dimulai dengan pertemanan dulu bukan? Setelahnya, dia bisa kembali perlahan tapi pasti membuat Cahaya kembali mencintainya, dan memutuskan hubungannya dengan kekasihnya. Ah, Adrian bukan kekasih Cahaya? Iya, Kim yakin itu, karena tadi hanya Andri yang terus menempel Cahaya tak menjauh sama sekali. Dia juga bisa melihat sorot mata Adrian padanya, tidak segarang di awal saat sebelum lelaki itu mendengar semua penjelasannya, Adrian terlihat sedikit bersimpati padanya. Biarlah dia dianggap menjual kisah sedih hidupnya, hanya untuk meraih perhatian juga simpati dari ketiga orang itu. Setidaknya dia tidak berbohong bukan? Semua itu memang terjadi padanya, walau kini seakan dijadikan senjata olehnya untuk mencapai satu tujuan, memiliki Cahaya kembali. Untuk selanjutnya, Kim harus mem
Cahaya masih berada di unit apartemen Adrian, setelah Kim undur diri tadi, dia enggan kembali ke apartemennya di tengah hatinya yang dipenuhi perasaan gundah, imbas karena pertemuannya dengan Kim. Dia masih tak percaya, dengan semua yang terjadi pada hidup lelaki yang pernah begitu dicintainya. Disangka hidup lelaki itu penuh bahagia, tapi ternyata hanya kesedihan yang memeluk lelaki itu dalam penderitaan. Bahkan luka hati Kim sangat dalam, hingga kalau dia membayangkan hal itu terjadi padanya, entah apakah dia bisa bertahan atau justru mati perlahan. Namun semua sudah berlalu, cerita keduanya bahkan sudah jauh tertinggal di belakang, tak elok menoleh hanya sekedar untuk mengenang, yang ada nanti hanya hati yang menjadi gamang, dan perlahan mengikis kewarasan. Kim dengan takdir hidupnya, dia dengan Raja yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Cahaya tentunya tidak ingin mengulang kesalahan dengan kembali menyakiti hati Raja, walau kisah hidup Kim begitu menderita, sudah tak mungkin
Andri dan Adrian merasa tenang dengan tidak adanya Kim yang berkunjung menemui Cahaya setelah tahu tempat tinggal mereka, tadinya mereka berpikir Kim akan sering mengunjungi Cahaya setelah pertemuan mereka dua minggu lalu, tapi ternyata mereka salah besar, karena Kim tidak datang lagi setelah itu. Adrian juga selalu mewanti-wanti Cahaya agar segera menceritakan perihal pertemuan mereka, bukan … tepatnya Kim yang mencari Cahaya, hingga berhasil menemukan di mana tempat tinggal mereka pada Raja. Namun dengan alasan Kim tidak ada datang lagi, Cahaya berpikir tak ada salahnya untuk tidak mengatakan hal itu pada Raja. Bukan apa-apa, Cahaya tidak ingin membuat Raja jadi berpikir yang tidak-tidak tentangnya nanti, karena tidak menutup kemungkinan Raja jadi kepikiran akan hal itu, dan menimbulkan kecemburuan juga ketakutan untuk suaminya, yang mengira hatinya akan berubah setelah bertemu dengan mantan terindahnya. Lagi pula Kim juga sudah tahu statusnya kini, jadi hubungan di antara mereka
"Oh iya, terima kasih. Maaf merepotkan." "Iya, masuk saja." Cahaya mengusap pipi A Ya yang terasa dingin. "Duh, kasian banget. Dingin, ya?!" Melangkah lebih dulu masuk, Cahaya membiarkan Kim mengekorinya setelah menutup pintu. "Sini duduk," kata Cahaya begitu mereka sudah di ruang TV. Kim menyusul kemudian, dan duduk berjarak dengan Cahaya, sambil meletakkan kantong plastik yang dibawanya. "Sebentar aku buatkan teh hangat, kasian A Ya, atau kamu bawa susunya, Oppa? Biar aku buatkan agar dia tidak kedinginan." "Air teh hangat saja, Honey. A Ya suka itu," pinta Kim dengan hati yang berbunga, rencananya berjalan sukses. "Baiklah. A Ya tunggu, ya, Tante buatkan teh hangat dulu, A Ya mau?" tanya Cahaya pada A Ya yang langsung mengangguk setuju. "Okay, tunggu, ya." Cahaya beranjak ke dapur tanpa menoleh pada Kim. Namun meski begitu, Kim merasakan hatinya meluap dengan kebahagiaan. Perhatian Cahaya membuatnya membayangkan, kalau posisi mereka saat ini adalah sebuah keluarga yang berb
"A Ya? Kamu panggil Tante apa tadi, Sayang?"Kim bersikap seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan anaknya. Apalagi Cahaya menatap tak percaya pada A Ya, yang dengan polosnya menatap penuh harap padanya. Kim tak sabar menunggu reaksi apa yang akan Cahaya berikan, atas panggilan A Ya padanya. "Mama," ulang A Ya tanpa ragu. "Emm … Sayang, Tante ini bukan mama kamu. Jadi, kamu jangan panggil Tante dengan mama, ya?! Tapi panggil dengan Tante," ralat Cahaya. Hati Kim tersentil mendengar jawaban Cahaya atas panggilan anaknya, dia tidak menyangka Cahaya akan menolak panggilan yang A Ya berikan. Tadinya dia sudah yakin, kalau Cahaya akan menerima begitu saja panggilan itu, tapi ternyata Cahaya menolaknya dengan tegas. "Mama!" A Ya berkeras dengan apa yang dikatakannya, entah apa yang Kim katakan hingga gadis kecil itu kukuh dengan pendiriannya, dengan tetap memanggil Cahaya menggunakan panggilan itu. "Oppa, kenapa A Ya memanggil aku mama? Apa kamu mengatakan sesuatu padanya? Atau