"A Ya? Kamu panggil Tante apa tadi, Sayang?"Kim bersikap seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan anaknya. Apalagi Cahaya menatap tak percaya pada A Ya, yang dengan polosnya menatap penuh harap padanya. Kim tak sabar menunggu reaksi apa yang akan Cahaya berikan, atas panggilan A Ya padanya. "Mama," ulang A Ya tanpa ragu. "Emm … Sayang, Tante ini bukan mama kamu. Jadi, kamu jangan panggil Tante dengan mama, ya?! Tapi panggil dengan Tante," ralat Cahaya. Hati Kim tersentil mendengar jawaban Cahaya atas panggilan anaknya, dia tidak menyangka Cahaya akan menolak panggilan yang A Ya berikan. Tadinya dia sudah yakin, kalau Cahaya akan menerima begitu saja panggilan itu, tapi ternyata Cahaya menolaknya dengan tegas. "Mama!" A Ya berkeras dengan apa yang dikatakannya, entah apa yang Kim katakan hingga gadis kecil itu kukuh dengan pendiriannya, dengan tetap memanggil Cahaya menggunakan panggilan itu. "Oppa, kenapa A Ya memanggil aku mama? Apa kamu mengatakan sesuatu padanya? Atau
Jauh dari tempat Cahaya berada sekarang, di belahan dunia lainnya, lelaki yang tadi dibayangkan Cahaya bisa ada bersamanya, sedang bersiap untuk kepergiannya ke Korea besok malam. Ada rindu yang begitu menggunung dirasakannya, pada sang belahan jiwa yang kini sudah lebih dulu pergi ke sana, ada hasrat yang meminta tempat untuk tercurah. Dia terus menyunggingkan senyuman, saat satu persatu baju yang disiapkan untuk di negara yang kini tengah diliputi salju, dimasukkan ke koper. Semua sudah terancang dengan manis dalam benak dan angannya, mengulang semua kisah empat tahun lalu awal mula pertemuan mereka dulu. Karena saat salju turun lah mereka bersama waktu itu, bahkan semua kenangan itu dengan indah terbingkai dalam pigura, sebagai bukti indahnya kebersamaan mereka meski hanya sebentar. Jaket tebal, kaos berleher tinggi dan berlengan panjang, kaos kaki, satu persatu disusunnya dengan rapi dalam koper. Gerakan Raja terhenti begitu mendengar ketukan dari pintu kamarnya yang sengaja dibi
Kim tersenyum, dengan sumringah dia membuka pintu apartemen Cahaya saat mendengar suara bel, juga melihat kedua sahabat Cahaya berdiri di sana dengan tatapan penuh tanya, melihat keberadaannya di dalam apartemen Cahaya. Bahkan Adrian terlihat marah mendapati hal itu, dia memaksa masuk sebelum Kim mempersilahkan mereka. Ah masa bodoh, memangnya apa pengaruhnya untuk dia? Tidak ada! Adrian tak peduli lagi karena sudah bersikap tidak bersahabat dengan Kim, dia merasa tidak mempunyai kepentingan untuk bersikap sopan pada Kim. Lelaki itu bukan siapa-siapa sekarang. Dia hanya mantan atasannya dulu, empat tahun yang lalu. Kini mereka sama, hanya sebatas orang yang pernah saling kenal, dan dipaksa lagi untuk saling menyapa karena lelaki itu yang terus mencari keberadaan Cahaya. Andai Kim tidak terus mencari, bisa dipastikan mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Kadang Adrian penasaran, apa yang sebenarnya Rosita katakan pada Kim, hingga lelaki itu tetap ngotot ingin bersama Cahaya? Satu y
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan Adrian, Ya. Tidak baik kamu terus menyembunyikan status kamu yang sebenarnya, aku juga merasa kalau anak ini dijadikan alat oleh ayahnya yang terobsesi padamu." Andri ikut menimpali, dia juga tidak ingin Cahaya terus bermain dengan perasaan yang sebenarnya sudah harus dimusnahkan. "Loh, kok status aku disembunyikan? Kalian dengar sendiri kan kalau dia bilang, kalau ambu sudah mengatakan semuanya saat mereka bertemu dulu? Apa kalian pikir, ambu berbohong dengan statusku pada Kim? Kalau pun iya, untuk apa ambu melakukan itu?" Cahaya menatap tak mengerti kedua sahabatnya, merasa kesal juga dengan pernyataan keduanya yang seakan menyudutkan almarhum ibunya. A Ya yang ada di pangkuannya mulai gelisah, melihat tiga orang dewasa yang ada di dekatnya berdebat, gadis kecil itu juga melihat pada ayahnya yang terdiam jauh darinya, namun senyuman dan gerakan Kim yang meminta agar dia tetap diam, membuatnya kembali bersandar manja pada wanita yang dia pangg
"Berikan A Ya padaku, Honey. Mereka terlihat marah padamu, sebenarnya apa yang kalian bicarakan tadi?" Kim mendekat setelah kedua lelaki yang pernah begitu dekat dengannya, berlalu begitu saja tanpa mengabaikan keberadaannya. Bukan dia sedih atas pengabaian yang mereka lakukan, toh tidak ada untungnya juga untuknya kalau kedua orang itu mengabaikannya, hanya ingin menunjukkan pada Cahaya kalau dia peduli akan apa yang terjadi pada gadis itu. A Ya berpindah pada pangkuan Kim, gadis kecil itu hanya mengikuti semua yang ayahnya lakonkan. Matanya terus menatap Cahaya yang sudah merasakan sayang padanya. "Oppa, bisa panggilan untukku diganti? Terus terang, aku merasa tidak nyaman dengan panggilan yang terus kamu berikan padaku." Cahaya membuang pandang, dia tak ingin apa yang dikhawatirkan kedua sahabatnya terjadi. Sungguh tidak sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk mengkhianati Raja sekarang ini, baginya cukup sudah dulu dia membuat Raja kecewa dan sakit hati atas tindakannya, lagi
"Iya, kenapa, Sayang?" tanya Kim penuh kasih sayang. "Juli-yo." dengan lirih A Ya mengatakan keadaannya yang mulai mengantuk. Kim melihat jam, dan menyadari kalau ini adalah waktu A Ya untuk tidur siang. "Mau bobo? Minum susunya dulu, sebentar Appa buatkan susu untuk A Ya. Duduk sendiri dulu, ya?!" Meski bibirnya mengatakan demikian, namun Kim berharap Cahaya mau--setidaknya memangku A Ya, saat dia membuatkan susu untuk anaknya. "Biar aku yang buatkan, kamu pegang A Ya saja. Mana susunya?" Rupanya setelah tadi Kim merasa keberuntungan untuknya hari ini sudah berakhir, Tuhan kembali menggerakkan hati Cahaya agar mau peduli lagi pada A Ya. "Jadi merepotkan, sebenarnya aku mau pulang, tapi sepertinya salju malah semakin lebat turun. Jadi aku minta waktu, setidaknya sampai salju sedikit reda untuk pergi dari sini," kata Kim seakan menyesali keadaan. Cahaya menoleh pada jendela, memang bisa jelas terlihat kalau salju tengah turun dengan lebat di luar sana, dia juga tidak sampai hati
Hembusan udara dingin langsung menyambut begitu pintu dibuka. Cahaya yang berdiri di dekat kompor yang berjarak dua meter saja jauhnya, sampai bergidik merasakan dingin, entah apa jadinya kalau A Ya harus pulang dalam cuaca seperti ini. "Aku pergi dulu. Titip A Ya," ujar Kim tanpa semangat. Cahaya mengangguk, dan begitu pintu ditutup kembali oleh Kim, Cahaya langsung menguncinya dengan tubuh merinding, merasakan hembusan udara dingin saat pintu terbuka tadi. Salju yang begitu lebat turun, sepertinya masih lama akan berhenti. Kim menoleh dengan perasaan sedih, saat mendengar Cahaya langsung mengunci pintu begitu dia keluar. Apa benar, kini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Hanya dia yang merindu, sedang gadis pujaan tak sedikitpun berharap kembali bertemu?Hati Kim sangat sakit, membayangkan semua prasangkanya adalah kebenaran yang berlaku, andai itu yang dirasakan Cahaya, beruntung sekali Adrian bisa memiliki hati dan cinta gadis itu sekarang. Haruskah dia mundur sekarang, sa
"Cepatlah datang, A Ya terbangun!" kata Cahaya begitu panggilannya untuk Kim mendapatkan jawaban. Ternyata A Ya terus menangis, saat bangun ada di tempat asing dan hanya ada Cahaya bersamanya. Bocah itu terus memanggil-manggil Kim dengan mata yang terus bergerak mencari keberadaan ayahnya. "Cup-cup, Sayang. Sebentar lagi, Appa datang. A Ya jangan nangis, ya. Tunggu sebentar." "Appa!" "Iya, sebentar ya, Sayang. Tante baru saja menghubungi appa, sekarang pastinya appa sedang menuju kemari." "Appa, Mama … appa!" Deg!Lagi, anak kecil yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu kandungnya itu, memanggil dirinya mama, Cahaya merasakan sesak dalam dadanya, betapa A Ya sangat butuh figur seorang ibu. "Iya, Sayang. Sekarang A Ya pakai jaketnya dulu, ya. Jadi saat Appa datang, A Ya sudah siap untuk pulang," bujuk Cahaya yang untungnya A Ya mau menurut. Beberapa kali dia menoleh pada pintu yang tertutup, menunggu ada suara bel atau panggilan atas namanya dari Kim. Dia juga heran, di mana
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe