"Cepatlah datang, A Ya terbangun!" kata Cahaya begitu panggilannya untuk Kim mendapatkan jawaban. Ternyata A Ya terus menangis, saat bangun ada di tempat asing dan hanya ada Cahaya bersamanya. Bocah itu terus memanggil-manggil Kim dengan mata yang terus bergerak mencari keberadaan ayahnya. "Cup-cup, Sayang. Sebentar lagi, Appa datang. A Ya jangan nangis, ya. Tunggu sebentar." "Appa!" "Iya, sebentar ya, Sayang. Tante baru saja menghubungi appa, sekarang pastinya appa sedang menuju kemari." "Appa, Mama … appa!" Deg!Lagi, anak kecil yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu kandungnya itu, memanggil dirinya mama, Cahaya merasakan sesak dalam dadanya, betapa A Ya sangat butuh figur seorang ibu. "Iya, Sayang. Sekarang A Ya pakai jaketnya dulu, ya. Jadi saat Appa datang, A Ya sudah siap untuk pulang," bujuk Cahaya yang untungnya A Ya mau menurut. Beberapa kali dia menoleh pada pintu yang tertutup, menunggu ada suara bel atau panggilan atas namanya dari Kim. Dia juga heran, di mana
Ternyata sebentar yang mereka rencanakan di awal, tidak terbukti. Apalagi keadaan seakan mendukung, dengan salju yang terus berhenti, dan membuat A Ya semakin larut dalam permainan. Meski dia hanya menjadi penonton, saat capit raksasa yang dikendalikan oleh Kim mencoba mengangkat boneka pilihannya. Gadis kecil itu bersorak dan bertepuk tangan, begitu capit itu berhasil menaikkan boneka yang diharapkan, namun segera tergelak hingga matanya menyipit dan hanya meninggalkan garis lurus, saat boneka itu kembali terjatuh.Ya, Kim tidak pernah mengajarkan pada A Ya untuk bersedih saat boneka itu tidak berhasil didapatkan, mereka akan langsung tertawa bersama saat kegagalan justru menghampiri.Cahaya turut larut dalam keceriaan bapak dan anak itu, dia juga ikut tertawa lepas melihat tingkah menggemaskan anak dari mantan kekasihnya itu. Ternyata Kim dan Hana memang berhasil membuat si kecil A Ya menjadi anak yang ceria, meski tidak mengenal kasih sayang ibu kandungnya."Mama, oba …," celetuk A
Cahaya terus melangkah melewati unit apartemennya, dia akan mendatangi Adrian dan Andri yang sangat disadari olehnya, telah kecewa dengan semua tindakannya tadi pada kedua sahabatnya itu, dia ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pada mereka, apalagi saat mengingat bagaimana perkataan Adrian, setelah dia berbicara yang setidaknya menyinggung perasaan lelaki itu.Adrian yang selalu menjaganya, juga menjalankan amanat Raja yang sudah menitipkannya pada mereka, hingga terkesan begitu protektif. Namun dengan tega, dia membuka perasaan yang lagi sempat Adrian katakan padanya, di depan Andri. Sudah bisa dipastikan, kalau Adrian pasti sangat malu oleh Andri karena sikapnya tadi."Nugu?" terdengar suara Andri setelah Cahaya menekan bel."Aku, dri."Dan suara kunci diputar pun terdengar, begitu Cahaya menyebutkan diri."Aya?! Dari mana? Kok, bawa payung?" tanya Andri begitu pintu terbuka dan menampakkan sosok Cahaya dengan jelas."Masuk dulu, boleh? Dingin.""Ah, iya, masuklah. Maaf."A
Cahaya senang masalahnya dengan Adrian berhasil diselesaikan, sahabatnya itu sudah kembali bersikap biasa dan juga menunjukkan rasa peduli seperti sebelumnya, bahkan seperti tidak pernah ada masalah di antara mereka. Hanya saja, semalam Cahaya dibuat kesal oleh Raja, karena suaminya itu mendadak tidak bisa dihubungi, hanya pesannya saja yang dibalas Raja. Itu pun hanya menjelaskan alasan, kenapa dia tidak mengangkat telepon darinya. Dan tadi sebelum berangkat kerja, Cahaya sudah meninggalkan lagi pesan untuk Raja, dan lagi hingga waktu makan siang, Cahaya kembali tidak mendapatkan telepon balasan atas beberapa panggilannya. Entah sedang apa Raja sekarang? Hingga dia tidak bisa menyempatkan waktu walau sekejap, untuk mengobati rasa rindu Cahaya akan wajah dan juga suara pangeran hatinya. Meski begitu Cahaya tetap mencoba berpikir positif. Mungkin saja Raja terlalu sibuk di awal minggu, belum lagi perbedaan waktu yang membuat jadwal istirahat mereka tidak sama. Raja juga belum mengeta
Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Choi. Dengan jantung berdegup kencang, Choi menunggu jawaban Cahaya yang mungkin akan membuatnya senang, atau bahkan kalah sebelum berperang. "Bukannya waktu pertama kali datang Mr. Han sudah mengatakan hal itu?" Cahaya sengaja menggantung jawaban. Dia ingin tahu, sejauh mana Choi akan bersikap seolah tidak tahu, atau bahkan memang jujur tidak tahu tentang statusnya. "Jadi apa yang dikatakan oleh Han itu benar adanya? Kalau kamu sudah punya pacar?" ada kecewa dalam suara Choi, namun tentu saja dia tidak bisa berbuat apa-apa, dengan kebenaran yang tersemat dalam diri Cahaya. "Iya, aku sudah punya pacar." suami tepatnya. Lanjut Cahaya dalam hati.Dia bukan ingin menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya, hanya saja cukuplah sudah status itu dia akui pada Choi, yang akan dia kenal hanya untuk sesaat saja. "Adrian atau Andri?" "Apa?" "Adrian atau Andri salah satu dari mereka yang menjadi kekasihmu?" Cahaya tertawa lirih saat menden
Raja baru bisa santai saat mendekati waktu istirahat, dari pagi dia terus disibukkan oleh semua urusan tentang keberangkatannya bersama dua orang karyawan, yang sudah dipilih perusahaan untuk pergi ke Korea nanti malam. Dia sengaja mengabaikan panggilan telepon dari istrinya, seakan memang ingin memantik kemarahan Cahaya yang dengan sadar diabaikannya. Bukan itu saja, bahkan Alya sengaja Raja minta untuk tidak mengatakan pada Andri, mengenai rencana keberangkatan karyawan susulan malam ini, dan untungnya Alya bisa diajak kerja sama dengan mengikuti permintaan Raja. Tapi tentu saja itu tidak gratis, Alya meminta Raja membawakan titipan oleh-oleh untuk Andri. Dan Bumil yang tengah menantikan kelahiran anaknya itu tertawa puas, saat Raja melotot melihat titipan yang harus diberikannya untuk suami dari sahabat istrinya itu. "Nggak salah ini, Al? Banyak amat! Belum lagi titipan bapak sama ummi buat Cahaya. Kelebihan ini mah bawaan aku!" protes Raja. "Aa titipin aja sama Indah dan Rita n
Cahaya baru sampai ke apartemen begitu penunjuk waktu menunjuk diangkat setengah sembilan. Raga yang lelah karena kerja seharian juga harus lembur sampai jam setengah delapan, bertambah penatnya saat hanya menemukan pesan dari Raja, tanpa ada bukti kalau lelaki itu mencoba menghubunginya. Padahal dia beberapa kali mencoba menelepon Raja, tapi Raja seakan tidak peduli dengannya dengan tak balik menghubungi. Bolehkah kalau dia marah dengan suaminya itu? Setelah mandi, Cahaya merebahkan badannya di ruang TV. Sisa dingin dari mandi, perlahan menguap saat tubuhnya dipeluk hangat selimut. Berbaring miring dengan tangan yang terus menggenggam ponsel, Cahaya menahan diri untuk menghubungi Raja. Menghitung perbedaan waktu yang ada di antara mereka, Cahaya tentunya berharap Raja akan segera menghubunginya di sela-sela kesibukan yang tidak diketahuinya. Hingga suara bel terdengar, disusul suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya kemudian. Suara Andri. "Kamu tidur terus seharian ini, Ya?"
"Terima kasih." Raja tersenyum hangat menyambut uluran tangan Choi. Indah dan Rita saling sikut saat melihat wajah manis Choi. Keduanya saling lempar senyum penuh kekaguman, pada lelaki yang kini tengah berbincang dengan Raja juga Jang. Ternyata benar apa yang dilihat mereka di layar TV, kalau lelaki Korea enak dipandang mata. Dan sayangnya, Choi seperti tidak seantusias bertemu dengan Cahaya saat melihat Indah dan Rita. Lelaki itu terlihat biasa saja saat berkenalan dengan kedua gadis itu. "Lewat sini, Mr. Rajendra," ujar choi, melangkah lebih dulu begitu selesai mereka bercakap seperlunya. "Panggil saja Raja, Mr. Choi." Raja meralat panggilan Choi untuknya. "Oh, kalau begitu panggil saya Choi juga biar lebih akrab." Choi tertawa pelan"Oh, tentu," balas Raja dengan senyuman menawan. Sementara Jang terlihat sibuk dengan ponselnya, mengabarkan pada keluarganya kalau dia sudah mendarat dengan selamat. Raja merasakan dejavu. Sikap Choi benar-benar mengingatkan dia pada Kim dulu d
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe