Raja baru bisa santai saat mendekati waktu istirahat, dari pagi dia terus disibukkan oleh semua urusan tentang keberangkatannya bersama dua orang karyawan, yang sudah dipilih perusahaan untuk pergi ke Korea nanti malam. Dia sengaja mengabaikan panggilan telepon dari istrinya, seakan memang ingin memantik kemarahan Cahaya yang dengan sadar diabaikannya. Bukan itu saja, bahkan Alya sengaja Raja minta untuk tidak mengatakan pada Andri, mengenai rencana keberangkatan karyawan susulan malam ini, dan untungnya Alya bisa diajak kerja sama dengan mengikuti permintaan Raja. Tapi tentu saja itu tidak gratis, Alya meminta Raja membawakan titipan oleh-oleh untuk Andri. Dan Bumil yang tengah menantikan kelahiran anaknya itu tertawa puas, saat Raja melotot melihat titipan yang harus diberikannya untuk suami dari sahabat istrinya itu. "Nggak salah ini, Al? Banyak amat! Belum lagi titipan bapak sama ummi buat Cahaya. Kelebihan ini mah bawaan aku!" protes Raja. "Aa titipin aja sama Indah dan Rita n
Cahaya baru sampai ke apartemen begitu penunjuk waktu menunjuk diangkat setengah sembilan. Raga yang lelah karena kerja seharian juga harus lembur sampai jam setengah delapan, bertambah penatnya saat hanya menemukan pesan dari Raja, tanpa ada bukti kalau lelaki itu mencoba menghubunginya. Padahal dia beberapa kali mencoba menelepon Raja, tapi Raja seakan tidak peduli dengannya dengan tak balik menghubungi. Bolehkah kalau dia marah dengan suaminya itu? Setelah mandi, Cahaya merebahkan badannya di ruang TV. Sisa dingin dari mandi, perlahan menguap saat tubuhnya dipeluk hangat selimut. Berbaring miring dengan tangan yang terus menggenggam ponsel, Cahaya menahan diri untuk menghubungi Raja. Menghitung perbedaan waktu yang ada di antara mereka, Cahaya tentunya berharap Raja akan segera menghubunginya di sela-sela kesibukan yang tidak diketahuinya. Hingga suara bel terdengar, disusul suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya kemudian. Suara Andri. "Kamu tidur terus seharian ini, Ya?"
"Terima kasih." Raja tersenyum hangat menyambut uluran tangan Choi. Indah dan Rita saling sikut saat melihat wajah manis Choi. Keduanya saling lempar senyum penuh kekaguman, pada lelaki yang kini tengah berbincang dengan Raja juga Jang. Ternyata benar apa yang dilihat mereka di layar TV, kalau lelaki Korea enak dipandang mata. Dan sayangnya, Choi seperti tidak seantusias bertemu dengan Cahaya saat melihat Indah dan Rita. Lelaki itu terlihat biasa saja saat berkenalan dengan kedua gadis itu. "Lewat sini, Mr. Rajendra," ujar choi, melangkah lebih dulu begitu selesai mereka bercakap seperlunya. "Panggil saja Raja, Mr. Choi." Raja meralat panggilan Choi untuknya. "Oh, kalau begitu panggil saya Choi juga biar lebih akrab." Choi tertawa pelan"Oh, tentu," balas Raja dengan senyuman menawan. Sementara Jang terlihat sibuk dengan ponselnya, mengabarkan pada keluarganya kalau dia sudah mendarat dengan selamat. Raja merasakan dejavu. Sikap Choi benar-benar mengingatkan dia pada Kim dulu d
Dua jam kemudian mereka sudah sampai di apartemen, terlihat Indah dan Rita sangat senang melihat bangunan yang berdiri kokoh di depannya, gedung yang salah satu unitnya akan menjadi tempat berlindung selama beberapa bulan ke depan. Begitu juga Raja, dia senang mendapati kalau istrinya tinggal di tempat yang sangat nyaman, berbeda dengan gedung apartemen yang dulu saat mereka pertama bertemu. Hanya sayangnya, dia harus masih menyimpan kerinduan untuk bertemu dengan sang pujaan, hingga sore atau bahkan malam menjelang. Menggunakan lift, mereka naik ke lantai dua tempat unit apartemen Cahaya berada, tadi Choi sudah meminta izin kepada pengelola gedung untuk meminta kunci cadangan unit Cahaya, karena tidak mungkin menunggu Cahaya pulang yang entah akan pulang jam berapa. Dengan dibantu Choi dan Raja, Rita dan Indah memasukkan koper mereka ke dalam apartemen, yang selama tiga bulan ini ditinggal sendirian oleh cahaya. Sengaja mereka tidak membuka kamar Cahaya, menyimpan semua barang bawa
Melihat hal itu Adrian terkekeh, apalagi Raja yang selalu terlihat berwibawa di matanya, kini justru salah tingkah dengan wajah merona. "Ah, bagus juga usulnya, boleh lah nanti aku minta bantuanmu, Choi." Raja terkekeh menanggapi. Choi mengangguk, mereka pun bercakap sebentar, lalu pergi meninggalkan Adrian yang tentunya butuh istirahat setelah semalam kerja. Choi pun lalu mengantar Raja ke hotel terdekat sebelum kembali ke perusahaan, Choi sudah meyakinkan diri, kalau semua rasanya untuk Cahaya tidak akan menemukan muara. Rasa yang hadir tanpa bisa dia biarkan berkembang, dengan status Cahaya yang ternyata adalah istri orang. Apalagi melihat bagaimana rupa Raja yang rupawan, tentunya Cahaya sangat mencintai lelaki itu. Setelah membantu Raja check-in, dan meminta petugas hotel untuk menyiapkan kamar untuk mereka berbulan madu, Choi kembali ke perusahaan dengan menggunakan taksi, karena memang dia tidak membawa mobil dan dijemput oleh supir ke apartemennya tadi subuh. Choi melihat
Raja kembali ke apartemen Adrian begitu waktu sudah menunjukkan jam dua sore, tadi juga dia sempat tertidur di hotel, karena tidak enak kalau harus kembali ke apartemen Adrian, yang pastinya sahabat istrinya baru saja tidur. Raja juga hampir tak bisa menahan diri, saat melihat Cahaya menghubungi waktu jam istirahat, dan lagi dengan sengaja dia mengabaikan panggilan Cahaya, yang pasti akan membuat istrinya itu semakin marah padanya. Namun apalah arti kemarahan itu, saat nanti mereka bertemu langsung, Raja yakin istrinya itu akan menangis bahagia saat melihatnya ada di depan mata. Manis sekali bukan? Sengaja Raja berjalan kaki dari hotel menuju ke apartemen Cahaya, lumayan jauh, tapi Raja menikmati semua itu, juga sebagai pengisi waktu mengenali tempat tinggal Cahaya kini. Sungguh gedung apartemen Cahaya yang sekarang lebih nyaman dari Daewoo apart, banyaknya pertokoan di sekitar gedung tentunya tidak akan membuat Raja khawatir, saat mengingat kalau Cahaya harus terpaksa pulang kerj
Hari mulai gelap, padahal jarum jam baru menunjuk di angka lima sore. Cuaca dingin membuat Cahaya merapatkan lagi jaket yang dipakainya, begitu kakinya melangkah keluar dari bangunan bagian produksi. Seperti yang Choi bilang tadi, dia memang tidak diizinkan lembur, bahkan sampai untuk lima hari kemudian. Saat Cahaya tanya kenapa alasannya, atasannya itu hanya tersenyum penuh arti dan mengatakan, "Kamu akan tahu nanti sendiri jawabannya."Tentu saja Cahaya hanya bisa mengangguk, walau tidak paham apa maksud dari perkataan lelaki berumur empat puluhan itu. Tadi juga saat berpapasan dengan Choi yang baru keluar dari toilet, lelaki itu berharap kalau apa yang akan dilaluinya sebentar lagi sukses. "Semoga sukses, ya?!" kata Choi dengan senyuman yang sama dengan atasan Cahaya tadi. "Sukses apa sih, Oppa? Aku nggak ngerti loh, tadi atasan aku juga mengatakan seperti itu, sekarang kamu.""Nanti kamu tahu sendiri begitu sampai di apartemen. Sudah, pulang sana, dan jangan kesal lagi sama Raja
Sementara itu Raja yang sedang menunggu kepulangan istrinya tercinta, sudah berada di apartemen Cahaya bersama Adrian dan Andri, yang sengaja datang ke sana. Indah dan Rita memang sudah mengenal kedua karyawan senior di perusahaan tersebut, hingga mereka langsung terlibat pembicaraan dengan akrab. Andri yang baru mengetahui kedatangan Raja dari Adrian sore tadi, tentu saja kaget dan baru mengerti maksud kejutan yang dibilang Alya dari kemarin. "Biasanya Cahaya pulang jam berapa kalau masuk pagi, Dri?" tanya Raja pada Andri, sedang Adrian sedang kembali ke unit apartemennya karena ponselnya tertinggal. "Kan baru beda shift dengan kami kemarin, Pak. Dan kemarin itu dia pulang jam delapan sampai sini. Kalau nggak lembur sebentar lagi juga sampai, kok. Kangen, ya? Dah nggak kuat untuk bertemu istri tercinta. Eh?!" Andri yang baru menyadari kalau sekarang ini ada orang lain yang belum mengetahui status Cahaya, menutup mulutnya. Raja tertawa melihat Andri yang melihat pada Indah dan Rit
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe