"Iya, kenapa, Sayang?" tanya Kim penuh kasih sayang. "Juli-yo." dengan lirih A Ya mengatakan keadaannya yang mulai mengantuk. Kim melihat jam, dan menyadari kalau ini adalah waktu A Ya untuk tidur siang. "Mau bobo? Minum susunya dulu, sebentar Appa buatkan susu untuk A Ya. Duduk sendiri dulu, ya?!" Meski bibirnya mengatakan demikian, namun Kim berharap Cahaya mau--setidaknya memangku A Ya, saat dia membuatkan susu untuk anaknya. "Biar aku yang buatkan, kamu pegang A Ya saja. Mana susunya?" Rupanya setelah tadi Kim merasa keberuntungan untuknya hari ini sudah berakhir, Tuhan kembali menggerakkan hati Cahaya agar mau peduli lagi pada A Ya. "Jadi merepotkan, sebenarnya aku mau pulang, tapi sepertinya salju malah semakin lebat turun. Jadi aku minta waktu, setidaknya sampai salju sedikit reda untuk pergi dari sini," kata Kim seakan menyesali keadaan. Cahaya menoleh pada jendela, memang bisa jelas terlihat kalau salju tengah turun dengan lebat di luar sana, dia juga tidak sampai hati
Hembusan udara dingin langsung menyambut begitu pintu dibuka. Cahaya yang berdiri di dekat kompor yang berjarak dua meter saja jauhnya, sampai bergidik merasakan dingin, entah apa jadinya kalau A Ya harus pulang dalam cuaca seperti ini. "Aku pergi dulu. Titip A Ya," ujar Kim tanpa semangat. Cahaya mengangguk, dan begitu pintu ditutup kembali oleh Kim, Cahaya langsung menguncinya dengan tubuh merinding, merasakan hembusan udara dingin saat pintu terbuka tadi. Salju yang begitu lebat turun, sepertinya masih lama akan berhenti. Kim menoleh dengan perasaan sedih, saat mendengar Cahaya langsung mengunci pintu begitu dia keluar. Apa benar, kini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Hanya dia yang merindu, sedang gadis pujaan tak sedikitpun berharap kembali bertemu?Hati Kim sangat sakit, membayangkan semua prasangkanya adalah kebenaran yang berlaku, andai itu yang dirasakan Cahaya, beruntung sekali Adrian bisa memiliki hati dan cinta gadis itu sekarang. Haruskah dia mundur sekarang, sa
"Cepatlah datang, A Ya terbangun!" kata Cahaya begitu panggilannya untuk Kim mendapatkan jawaban. Ternyata A Ya terus menangis, saat bangun ada di tempat asing dan hanya ada Cahaya bersamanya. Bocah itu terus memanggil-manggil Kim dengan mata yang terus bergerak mencari keberadaan ayahnya. "Cup-cup, Sayang. Sebentar lagi, Appa datang. A Ya jangan nangis, ya. Tunggu sebentar." "Appa!" "Iya, sebentar ya, Sayang. Tante baru saja menghubungi appa, sekarang pastinya appa sedang menuju kemari." "Appa, Mama … appa!" Deg!Lagi, anak kecil yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu kandungnya itu, memanggil dirinya mama, Cahaya merasakan sesak dalam dadanya, betapa A Ya sangat butuh figur seorang ibu. "Iya, Sayang. Sekarang A Ya pakai jaketnya dulu, ya. Jadi saat Appa datang, A Ya sudah siap untuk pulang," bujuk Cahaya yang untungnya A Ya mau menurut. Beberapa kali dia menoleh pada pintu yang tertutup, menunggu ada suara bel atau panggilan atas namanya dari Kim. Dia juga heran, di mana
Ternyata sebentar yang mereka rencanakan di awal, tidak terbukti. Apalagi keadaan seakan mendukung, dengan salju yang terus berhenti, dan membuat A Ya semakin larut dalam permainan. Meski dia hanya menjadi penonton, saat capit raksasa yang dikendalikan oleh Kim mencoba mengangkat boneka pilihannya. Gadis kecil itu bersorak dan bertepuk tangan, begitu capit itu berhasil menaikkan boneka yang diharapkan, namun segera tergelak hingga matanya menyipit dan hanya meninggalkan garis lurus, saat boneka itu kembali terjatuh.Ya, Kim tidak pernah mengajarkan pada A Ya untuk bersedih saat boneka itu tidak berhasil didapatkan, mereka akan langsung tertawa bersama saat kegagalan justru menghampiri.Cahaya turut larut dalam keceriaan bapak dan anak itu, dia juga ikut tertawa lepas melihat tingkah menggemaskan anak dari mantan kekasihnya itu. Ternyata Kim dan Hana memang berhasil membuat si kecil A Ya menjadi anak yang ceria, meski tidak mengenal kasih sayang ibu kandungnya."Mama, oba …," celetuk A
Cahaya terus melangkah melewati unit apartemennya, dia akan mendatangi Adrian dan Andri yang sangat disadari olehnya, telah kecewa dengan semua tindakannya tadi pada kedua sahabatnya itu, dia ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pada mereka, apalagi saat mengingat bagaimana perkataan Adrian, setelah dia berbicara yang setidaknya menyinggung perasaan lelaki itu.Adrian yang selalu menjaganya, juga menjalankan amanat Raja yang sudah menitipkannya pada mereka, hingga terkesan begitu protektif. Namun dengan tega, dia membuka perasaan yang lagi sempat Adrian katakan padanya, di depan Andri. Sudah bisa dipastikan, kalau Adrian pasti sangat malu oleh Andri karena sikapnya tadi."Nugu?" terdengar suara Andri setelah Cahaya menekan bel."Aku, dri."Dan suara kunci diputar pun terdengar, begitu Cahaya menyebutkan diri."Aya?! Dari mana? Kok, bawa payung?" tanya Andri begitu pintu terbuka dan menampakkan sosok Cahaya dengan jelas."Masuk dulu, boleh? Dingin.""Ah, iya, masuklah. Maaf."A
Cahaya senang masalahnya dengan Adrian berhasil diselesaikan, sahabatnya itu sudah kembali bersikap biasa dan juga menunjukkan rasa peduli seperti sebelumnya, bahkan seperti tidak pernah ada masalah di antara mereka. Hanya saja, semalam Cahaya dibuat kesal oleh Raja, karena suaminya itu mendadak tidak bisa dihubungi, hanya pesannya saja yang dibalas Raja. Itu pun hanya menjelaskan alasan, kenapa dia tidak mengangkat telepon darinya. Dan tadi sebelum berangkat kerja, Cahaya sudah meninggalkan lagi pesan untuk Raja, dan lagi hingga waktu makan siang, Cahaya kembali tidak mendapatkan telepon balasan atas beberapa panggilannya. Entah sedang apa Raja sekarang? Hingga dia tidak bisa menyempatkan waktu walau sekejap, untuk mengobati rasa rindu Cahaya akan wajah dan juga suara pangeran hatinya. Meski begitu Cahaya tetap mencoba berpikir positif. Mungkin saja Raja terlalu sibuk di awal minggu, belum lagi perbedaan waktu yang membuat jadwal istirahat mereka tidak sama. Raja juga belum mengeta
Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibir Choi. Dengan jantung berdegup kencang, Choi menunggu jawaban Cahaya yang mungkin akan membuatnya senang, atau bahkan kalah sebelum berperang. "Bukannya waktu pertama kali datang Mr. Han sudah mengatakan hal itu?" Cahaya sengaja menggantung jawaban. Dia ingin tahu, sejauh mana Choi akan bersikap seolah tidak tahu, atau bahkan memang jujur tidak tahu tentang statusnya. "Jadi apa yang dikatakan oleh Han itu benar adanya? Kalau kamu sudah punya pacar?" ada kecewa dalam suara Choi, namun tentu saja dia tidak bisa berbuat apa-apa, dengan kebenaran yang tersemat dalam diri Cahaya. "Iya, aku sudah punya pacar." suami tepatnya. Lanjut Cahaya dalam hati.Dia bukan ingin menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya, hanya saja cukuplah sudah status itu dia akui pada Choi, yang akan dia kenal hanya untuk sesaat saja. "Adrian atau Andri?" "Apa?" "Adrian atau Andri salah satu dari mereka yang menjadi kekasihmu?" Cahaya tertawa lirih saat menden
Raja baru bisa santai saat mendekati waktu istirahat, dari pagi dia terus disibukkan oleh semua urusan tentang keberangkatannya bersama dua orang karyawan, yang sudah dipilih perusahaan untuk pergi ke Korea nanti malam. Dia sengaja mengabaikan panggilan telepon dari istrinya, seakan memang ingin memantik kemarahan Cahaya yang dengan sadar diabaikannya. Bukan itu saja, bahkan Alya sengaja Raja minta untuk tidak mengatakan pada Andri, mengenai rencana keberangkatan karyawan susulan malam ini, dan untungnya Alya bisa diajak kerja sama dengan mengikuti permintaan Raja. Tapi tentu saja itu tidak gratis, Alya meminta Raja membawakan titipan oleh-oleh untuk Andri. Dan Bumil yang tengah menantikan kelahiran anaknya itu tertawa puas, saat Raja melotot melihat titipan yang harus diberikannya untuk suami dari sahabat istrinya itu. "Nggak salah ini, Al? Banyak amat! Belum lagi titipan bapak sama ummi buat Cahaya. Kelebihan ini mah bawaan aku!" protes Raja. "Aa titipin aja sama Indah dan Rita n