Kim tersenyum, dengan sumringah dia membuka pintu apartemen Cahaya saat mendengar suara bel, juga melihat kedua sahabat Cahaya berdiri di sana dengan tatapan penuh tanya, melihat keberadaannya di dalam apartemen Cahaya. Bahkan Adrian terlihat marah mendapati hal itu, dia memaksa masuk sebelum Kim mempersilahkan mereka. Ah masa bodoh, memangnya apa pengaruhnya untuk dia? Tidak ada! Adrian tak peduli lagi karena sudah bersikap tidak bersahabat dengan Kim, dia merasa tidak mempunyai kepentingan untuk bersikap sopan pada Kim. Lelaki itu bukan siapa-siapa sekarang. Dia hanya mantan atasannya dulu, empat tahun yang lalu. Kini mereka sama, hanya sebatas orang yang pernah saling kenal, dan dipaksa lagi untuk saling menyapa karena lelaki itu yang terus mencari keberadaan Cahaya. Andai Kim tidak terus mencari, bisa dipastikan mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Kadang Adrian penasaran, apa yang sebenarnya Rosita katakan pada Kim, hingga lelaki itu tetap ngotot ingin bersama Cahaya? Satu y
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan Adrian, Ya. Tidak baik kamu terus menyembunyikan status kamu yang sebenarnya, aku juga merasa kalau anak ini dijadikan alat oleh ayahnya yang terobsesi padamu." Andri ikut menimpali, dia juga tidak ingin Cahaya terus bermain dengan perasaan yang sebenarnya sudah harus dimusnahkan. "Loh, kok status aku disembunyikan? Kalian dengar sendiri kan kalau dia bilang, kalau ambu sudah mengatakan semuanya saat mereka bertemu dulu? Apa kalian pikir, ambu berbohong dengan statusku pada Kim? Kalau pun iya, untuk apa ambu melakukan itu?" Cahaya menatap tak mengerti kedua sahabatnya, merasa kesal juga dengan pernyataan keduanya yang seakan menyudutkan almarhum ibunya. A Ya yang ada di pangkuannya mulai gelisah, melihat tiga orang dewasa yang ada di dekatnya berdebat, gadis kecil itu juga melihat pada ayahnya yang terdiam jauh darinya, namun senyuman dan gerakan Kim yang meminta agar dia tetap diam, membuatnya kembali bersandar manja pada wanita yang dia pangg
"Berikan A Ya padaku, Honey. Mereka terlihat marah padamu, sebenarnya apa yang kalian bicarakan tadi?" Kim mendekat setelah kedua lelaki yang pernah begitu dekat dengannya, berlalu begitu saja tanpa mengabaikan keberadaannya. Bukan dia sedih atas pengabaian yang mereka lakukan, toh tidak ada untungnya juga untuknya kalau kedua orang itu mengabaikannya, hanya ingin menunjukkan pada Cahaya kalau dia peduli akan apa yang terjadi pada gadis itu. A Ya berpindah pada pangkuan Kim, gadis kecil itu hanya mengikuti semua yang ayahnya lakonkan. Matanya terus menatap Cahaya yang sudah merasakan sayang padanya. "Oppa, bisa panggilan untukku diganti? Terus terang, aku merasa tidak nyaman dengan panggilan yang terus kamu berikan padaku." Cahaya membuang pandang, dia tak ingin apa yang dikhawatirkan kedua sahabatnya terjadi. Sungguh tidak sedikitpun terbesit dalam benaknya untuk mengkhianati Raja sekarang ini, baginya cukup sudah dulu dia membuat Raja kecewa dan sakit hati atas tindakannya, lagi
"Iya, kenapa, Sayang?" tanya Kim penuh kasih sayang. "Juli-yo." dengan lirih A Ya mengatakan keadaannya yang mulai mengantuk. Kim melihat jam, dan menyadari kalau ini adalah waktu A Ya untuk tidur siang. "Mau bobo? Minum susunya dulu, sebentar Appa buatkan susu untuk A Ya. Duduk sendiri dulu, ya?!" Meski bibirnya mengatakan demikian, namun Kim berharap Cahaya mau--setidaknya memangku A Ya, saat dia membuatkan susu untuk anaknya. "Biar aku yang buatkan, kamu pegang A Ya saja. Mana susunya?" Rupanya setelah tadi Kim merasa keberuntungan untuknya hari ini sudah berakhir, Tuhan kembali menggerakkan hati Cahaya agar mau peduli lagi pada A Ya. "Jadi merepotkan, sebenarnya aku mau pulang, tapi sepertinya salju malah semakin lebat turun. Jadi aku minta waktu, setidaknya sampai salju sedikit reda untuk pergi dari sini," kata Kim seakan menyesali keadaan. Cahaya menoleh pada jendela, memang bisa jelas terlihat kalau salju tengah turun dengan lebat di luar sana, dia juga tidak sampai hati
Hembusan udara dingin langsung menyambut begitu pintu dibuka. Cahaya yang berdiri di dekat kompor yang berjarak dua meter saja jauhnya, sampai bergidik merasakan dingin, entah apa jadinya kalau A Ya harus pulang dalam cuaca seperti ini. "Aku pergi dulu. Titip A Ya," ujar Kim tanpa semangat. Cahaya mengangguk, dan begitu pintu ditutup kembali oleh Kim, Cahaya langsung menguncinya dengan tubuh merinding, merasakan hembusan udara dingin saat pintu terbuka tadi. Salju yang begitu lebat turun, sepertinya masih lama akan berhenti. Kim menoleh dengan perasaan sedih, saat mendengar Cahaya langsung mengunci pintu begitu dia keluar. Apa benar, kini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Hanya dia yang merindu, sedang gadis pujaan tak sedikitpun berharap kembali bertemu?Hati Kim sangat sakit, membayangkan semua prasangkanya adalah kebenaran yang berlaku, andai itu yang dirasakan Cahaya, beruntung sekali Adrian bisa memiliki hati dan cinta gadis itu sekarang. Haruskah dia mundur sekarang, sa
"Cepatlah datang, A Ya terbangun!" kata Cahaya begitu panggilannya untuk Kim mendapatkan jawaban. Ternyata A Ya terus menangis, saat bangun ada di tempat asing dan hanya ada Cahaya bersamanya. Bocah itu terus memanggil-manggil Kim dengan mata yang terus bergerak mencari keberadaan ayahnya. "Cup-cup, Sayang. Sebentar lagi, Appa datang. A Ya jangan nangis, ya. Tunggu sebentar." "Appa!" "Iya, sebentar ya, Sayang. Tante baru saja menghubungi appa, sekarang pastinya appa sedang menuju kemari." "Appa, Mama … appa!" Deg!Lagi, anak kecil yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu kandungnya itu, memanggil dirinya mama, Cahaya merasakan sesak dalam dadanya, betapa A Ya sangat butuh figur seorang ibu. "Iya, Sayang. Sekarang A Ya pakai jaketnya dulu, ya. Jadi saat Appa datang, A Ya sudah siap untuk pulang," bujuk Cahaya yang untungnya A Ya mau menurut. Beberapa kali dia menoleh pada pintu yang tertutup, menunggu ada suara bel atau panggilan atas namanya dari Kim. Dia juga heran, di mana
Ternyata sebentar yang mereka rencanakan di awal, tidak terbukti. Apalagi keadaan seakan mendukung, dengan salju yang terus berhenti, dan membuat A Ya semakin larut dalam permainan. Meski dia hanya menjadi penonton, saat capit raksasa yang dikendalikan oleh Kim mencoba mengangkat boneka pilihannya. Gadis kecil itu bersorak dan bertepuk tangan, begitu capit itu berhasil menaikkan boneka yang diharapkan, namun segera tergelak hingga matanya menyipit dan hanya meninggalkan garis lurus, saat boneka itu kembali terjatuh.Ya, Kim tidak pernah mengajarkan pada A Ya untuk bersedih saat boneka itu tidak berhasil didapatkan, mereka akan langsung tertawa bersama saat kegagalan justru menghampiri.Cahaya turut larut dalam keceriaan bapak dan anak itu, dia juga ikut tertawa lepas melihat tingkah menggemaskan anak dari mantan kekasihnya itu. Ternyata Kim dan Hana memang berhasil membuat si kecil A Ya menjadi anak yang ceria, meski tidak mengenal kasih sayang ibu kandungnya."Mama, oba …," celetuk A
Cahaya terus melangkah melewati unit apartemennya, dia akan mendatangi Adrian dan Andri yang sangat disadari olehnya, telah kecewa dengan semua tindakannya tadi pada kedua sahabatnya itu, dia ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi pada mereka, apalagi saat mengingat bagaimana perkataan Adrian, setelah dia berbicara yang setidaknya menyinggung perasaan lelaki itu.Adrian yang selalu menjaganya, juga menjalankan amanat Raja yang sudah menitipkannya pada mereka, hingga terkesan begitu protektif. Namun dengan tega, dia membuka perasaan yang lagi sempat Adrian katakan padanya, di depan Andri. Sudah bisa dipastikan, kalau Adrian pasti sangat malu oleh Andri karena sikapnya tadi."Nugu?" terdengar suara Andri setelah Cahaya menekan bel."Aku, dri."Dan suara kunci diputar pun terdengar, begitu Cahaya menyebutkan diri."Aya?! Dari mana? Kok, bawa payung?" tanya Andri begitu pintu terbuka dan menampakkan sosok Cahaya dengan jelas."Masuk dulu, boleh? Dingin.""Ah, iya, masuklah. Maaf."A