Mobil yang ditumpangi Anjani berhenti tepat di halaman rumah mewah milik tante Bety. Jantung Anjani berdetak kencang, keringat dingin mulai dirasakan Anjani. "Ngapain bengong, ayok turun!" anak Antony. Perlahan Anjani membuka pintu mobil, ia mengikuti langkah Antoni masuk rumah tante Bety. Tanpa permisi, Antony yang terbiasa ke rumah tante Bety langsung berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tante Bety, seolah seperti rumah sendiri. Anjani bingung, harus menunggu di mana, padahal dulu ia pernah tinggal di rumah ini, tapi kenapa sekarang Anjani canggung. Ia hendak berbuat apa disini. Hampir satu tahun Anjani tak diperbolehkan menemui tante Bety. Kenapa kamu bengong Anjani, bukankah kau kesini ingin menemui anakmu Ain, tolol, bodoh, cepat temui bibi Nur, sebelum tante Bety menemui kamu. Anjani tersentak dengan suara hatinya sendiri. Secepat kilat Anjani melangkah ke dapur menemui bibi Nur, dan ia berdoa semoga bibi Nur masih bekerja di sini. Dari arah pintu tampa
Anjani melihat tante Bety berdiri di ambang pintu, dengan tersenyum mengarah pada Anjani. Tapi Anjani tak melihat sosok Antony. Anjani paham kemungkinan, Antony masih berada di kamar tante Bety. Terlihat dengan jelas raut wajahnya tante Bety yang sudah awut-awutan tak rapih seperti biasanya setiap Anjani melihat. Apalagi tante Bety masih menggunakan daster tanpa lengan dengan leher rendah, hingga tampak belahan gunung kembar yang masih terlihat montok. Entah seusia tante Bety yang sudah berkepala empat, tapi bentuk tubuhnya masih terlihat sinyal di mata Anjani, namun anak buah Anjani pernah bilang, kalau tante Bety pernah merubah bentuk tubuhnya ke Singapura. Tiba-tiba tante Bety melangkah cepat mendekati Anjani serta memeluknya."Anjani, maafkan Tante ya? Kau memang anak buahku yang sangat profesional." Tante Bety menepuk- nepuk punggung Anjani. Anjani heran, kenapa tante Bety mengatakan permintaan maaf pada dirinya. Padahal tadi Anjani sudah berfikir negatif pada tante Bety, kala
Wajah Anjani seketika memucat, dan nafasnya seakan tersumbat di kerongkongan. Anjani tak bisa berkata apa-apa, lidahnya terasa kelu saat melihat Barata ada di depannya. "Ya, kau masih mengenalku? Kau kira aku tak tau tempat keberadaanmu. Didalam leng semut pun tetap aku tau," ungkap Barata melangkah mendekati Anjani. Anjani diam sesaat dan pandangannya mengarah pada Barata yang menatap Anjani tanpa berkedip. Dalam hati Anjani berpikir, darimana Barata tau keberadaan dirinya, mungkinkah tante Bety, tapi Anjani tak yakin jika tante Bety yang mengatakan semua itu, sebab tante Bety tak tau jika dirinya kenal sama Barata. Mungkin Antony, Anjani juga tak yakin jika Antony yang mengatakan keberadaan dirinya pada Barata, sebab tante Bety maupun Antony tak kenal Barata. Anjani menghela nafas panjang, seperti beban berat ada pada dirinya namun ada sesuatu yang mengatakan dari hati Anjani kalau Anjani tak usah takut menghadapi Barata, Barata sudah bukan boss kamu lagi Anjani, dia bukan y
Mata Anjani langsung mengarah pada tangan Barata, ia memandang secara bergantian wajah Barata dan tangan Barata. Anjani berusaha menarik tangannya perlahan dari cengkeraman tangan Barata, Anjani mengira Barata mengigau, namun semakin Anjani menarik tangannya, semakin kuat tangan Barata mencengkeram tangan Anjani. Anjani terdiam, ia memperhatikan wajah Barata tajam, ia baru tau kalau Barata sengaja berbuat seperti itu. Anjani tak habis pikir apa maksud Barata. Apa Anjani tidak diperbolehkan pulang, mungkin Barata ingin menikmati lagi percintaan seperti semalam. "Tuan, maaf saya mandi dulu, sebab saya ada janji sama teman," ucap Anjani pelan. Tiba-tiba mata Barata terbuka, menatap Anjani. Dan terdengar suara dari mulut Barata, "kau sudah aku boking dua malam," ungkap Barata pelan dan santai. Anjani tersentak, "dua malam?" lirihnya dalam hati. Jangankan dua malam. Satua malam saja bikin Anjani pusing tujuh keliling, sebab permainan Barata di samping sering memaki dan kasar, juga te
Anjani membuka matanya setelah mendengar bunyi jam di ruang tengah berdentang enam kali. Ia langsung menyibakkan selimutnya dan melompat turun dari tempat tidur. "Huh ... Kesiangan dikit, menghadap Mbak Rita." Rencana pagi ini Anjani pamit ingin menemui tante Bety, ingin mengatakan keadaan Ain, sebab menurut firasat Anjani yang semalam semenjak kepulangan bertemu Barata, Anjani tak bisa memejamkan matanya barang sekejab. Pikirannya terus terbayang kata-kata Barata. Anjani tak yakin jika Barata benar- benar ingin bertanggung jawab tentang kehidupan Ain. "Aku harus ke rumah tante Bety." Anjani melangkah dengan cepat menuju kamar mandi, ia berpikir semoga kamar mandi tidak Antri. Biasanya jam segini teman temannya masih tidur, habis begadang malam. Pemikiraan Anjani benar, ruangan dalam keadaan sepi, kamar mandi semua kosong. Dengan cepat Anjani masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Anjani beruntung, semenjak pulang dari kampung, Antony dan tante Bety sangatlah be
"Dari mana kamu?!"Tante Bety berkacak pinggang dengan mata menatap tajam Anjani. Anjani bingung, tubuhnya mulai gemetar dan wajahnya memucat. "Sa ... Saya ingin tau, pintu itu menuju kemana, saya kira kolam renang milik Tante Bety, ternyata rumah warga kampung," ucap Anjani tergagap. "Halah ... Nggak usah beralasan tentu kamu ingin menyelidiki, apakah saya punya rahasia." Anjani terlonjak dan menatap tajam tante Bety. "Memang Tante punya rahasia?" Anjani memberanikan diri balik bertanya. Tante Bety diam sesaat, ia tampak blingsatan, mendengar Anjani balik bertanya. Dengan cepat tante Bety meraih tangan Anjani. "Ayo kita masuk, kita bicarakan di dalam." Tante Bety menarik kasar tangan Anjani. Untuk membawa Anjani masuk ke ruang tengah. Dan dihempaskan tubuh Anjani ke kursi panjang, hingga tubuh Anjani terpental. Beruntung di kursi yang empuk bukan di lantai. "Aku tau, kau mencari Ain kan?" tanya tante Bety bernada tinggi, dengan berkacak pinggang di depan Anjani. Matanya melo
"Ya, Anda tuan Bima?" tanya Anjani sambil mengingat-ingat, apakah tebakannya benar atau tidak. Ingatan Anjani mulai bereaksi, tiga tahun yang lalu ia pernah di bohongi orang yang bernama Bima di hotel waktu itu. Yang mana Barata telah menjual dirinya pada Bima, Anjani di beri obat perangsang, dan mengatakan akan menolong Anjani keluar dari cengkeraman Barata. Bima akan mengantar Anjani pulang kampung, namun apa yang terjadi, Bima tidak menolong Anjani, Bima malah menjualnya lagi dengan rekan bisnisnya bernama Fredy. Itupun kesepakatan dengan Barata. "Ya mereka semua biadab. Apalagi Barata lebih bisa dikatakan tak berperikemanusiaan. Ia adalah hewan bukan manusia lagi. Termasuk orang ini," batin Anjani. Anjani berpikir bagaimana mau membalas orang ini, sedangkan dirinya tak berkuasa dan tak punya kekuasaan, kekuasaan itu berupa uang dan kedudukan. Aku bisa membalasnya bila aku sudah kaya dan punya kedudukan, untuk kali ini belum bisa. Kembali Anjani pasrah, tapi ia harus hati-hat
"Apa, Barata ingin membunuhku?" tanya Batin Anjani dengan menatap Bima yang terus merancau tak karuan. Anjani mengetahui hal itu, menginginkan agar Bima mabuk terus, dan bisa mengatakan apa yang dikatakan Barata semuanya tentang dirinya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri kedai club yang menjajakan segala macam merk minuman beralkohol. Anjani minta satu botol wisky. Ia langsung bawa minuman ke tempat di mana Bima dalam keadaan mabok berat.anjani menuangkan Wisky ke dalam sloki dan di sodorkan ke mulut Bima. Hingga bergelas-gelas sloki masuk ke dalam mulut Bima. "Huh, rasain kau Tuan Bima, dulu aku pernah kau perlakukan seperti itu, beruntung ini hanya minuman tak berbahaya.Anjani berpikir bagaimana agar Bima bisa merancau tanpa di dengar orang-orang yang ada di dalam Bar. Sesaat ia berpikir, dan berlari keluar, menghubungi scurity untuk menanyakan Hotel yang ada di dekat club malam ini. Dan ternyata club ini juga menyediakan kamar. Scurity menunjuk sebuah ba
"Nyonya?" ucap tante Rita lirih dengan memandang pak Sastro dan Anjani secara bergantian. "udah Mbak, ajak Ain kesini," sela Arini. "Ya Anjani, suruh suster Mery sama Ain ke sini?" ungkap bu Ayu. "Tapi Nyonya, Ain tak mau diajak suster ke sini, maunya sama Nyonya," sela Romi. Anjani mengangguk, dengan cepat Anjani melangkah keluar kantin. "Dia bangun tidur, jadi rewel," ungkap Arini yang dibarengi berdirinya Irfan hendak menyusul Anjani. "Sudah Ma, ayok silahkan makan dulu, biasa anak kecil rewel. Jangan di buat ribut." Bu Ayu berdiri menghampiri tante Rita dan pak Sastro untuk mengajak mengambil makanan terlebih dahulu.Tante Rita berdiri di ikuti pak Sastro untuk mengambil hidangan prasmanan yang sudah disajikan. Ia mendekati bu Ayu sambil berbisik. "Memang kerja suami Mbak Anjani itu apa sih Bu?" Bu Ayu tersenyum, "pengusaha jeng, kemarin bilang kalau suaminya punya perusahaan, tapi saya juga nggak tau persisnya bekerja apa, nikah saja saya nggak di kabari. Itu yang membuat
Hari yang indah untuk keluarga bu Ayu, dengan berakhirnya kelulusan Arini, Sarjana Ekonomi di sandang Arini. Ucapan selamat untuk Arini berdatangan, di loby gedung kampus tempat acara wisuda Arini. Anjani yang diam berdiri di dekat kerumunan teman-teman Arini, menatap adiknya yang tersirat aura kebahagiaan. Ia hanya bisa memandang kebahagiaan adiknya. Tanpa harus ikut dalam jepretan fto- fto yang akan di abadikan. Arini juga tampak cuek dengan Anjani, ia sibuk berfto-fto ria dengan teman- temannya. Bahkan dengan keluarga Galang calon suami Arini yang hari ini juga ikut moment wisuda Arini. Bu Ayu tampak tersenyum bangga, sesekali berbicara pada orang tua teman Arini dan orang tua Galang, yang kebetulan berdiri di dekat bu Ayu."Ayo ganti fto keluarga tante Rita," ucap Arini memanggil nama orang tua Galang dengan sebutan tante Rita. Entah pemandangan itu membuat Anjani bukannya bahagia, ia malah sedih. Sedikitpun tak tersentuh panggilan Arini pada dirinya, apa memang lupa atau mal
Anjani ragu, ketika menginjakkan kakinya ke kampung halaman. Dan tentu keluarganya akan menanyakan siapa Airin. Sebegitu cepat Anjani mempunyai anak, dan kenapa menikah tanpa kabar- kabar keluarga di kampung. Namun Suster Mery yang sudah di gembleng lebih dahulu oleh Anjani tentang nama Anjani yang berganti Lolita, Anjani mengatakan kalau itu nama panggilan kesayangan Abilawa pada dirinya. Suster Mery menuruti apa yang dikatakan Anjani. Ia tak mau tau dengan hal itu. Yang di utamakan suster Mery bekerja dan bekerja. Seandainya bos nya meminta suster Mery harus melakukan ini itu, kalau demi kebaikan ya tentu menuruti. "Duh anak Mbak, cantik," ungkap Arini yang gemas dengan mentowel pipi Ain. "Ikut tante yok? Ajak Arini dengan menjulurkan tangannya ke arah Ain, yang tengah duduk di pangkuan bu Ayu dengan memainkan layar ponsel. Biasa anak jaman sekarang anteng bila di beri mainan ponsel. Tapi Anjani maupun suster Mery selalu membatasi, hanya jam tertentu Ain diperbolehkan main Pons
Anjani punya masukan lagi dari bibi Narti sebagai bahan bukti kalau Grace benar- benar memasukkan Faizal ke dalam kamar. Anjani harus mempertahankan kebenaran. Urusan Abilawa membeliksn mobil Grace itu urusan lain. Bagaimanapun Grace adalah anak sambung. Tapi Anjani juga tak mau Abilawa di peras hartanya oleh manusia manusia picik seperti Istri-istri Abilawa. Ia hanya butuh harta Abilawa tapi tak mencintainya. Bahkan Anjani juga mendengar cerita dari bibi Narti, kalau Lidya atau Dewi sering memasukkan laki laki lain di rumahnya jika Abilawa sedang luar kota. Cerita itu didapat bibi Narti dari teman kampungnya yang bekerja sebagai pembantu di rumah Lidya. Tapi untuk masalah itu, Anjani tak mau mengurusinya, itu pribadi mereka.***Tiga hari Anjani belajar di kantor Abilawa, ia begitu bersemangat. Niat untuk belajar ada dan tak sedikitpun mempunyai keinginan menguasai perusahaan apabila Anjani sudah pinter. Ilmu buat Anjani segala-galanya, dan tiba waktunya Anjani harus libur sementar
Anjani panik, berjalan kesana kemari, mencari keberadaan Denis. Namun ia tak menemukan Denis ada di ruangan. Perlahan Anjani melangkah mendekati kamar Grace. Ia ingin tau apakah laki- laki bernama Faizal ada di dalam kamar Grace. Kalau memang ada di kamar Grace, bagaimana jika terjadi sesuatu. Mereka bukan suami istri, Grace masih status pelajar dan sudah dewasa, dikamar berdua lain jenis apa yang bakal dilakukan kalau bukan hal semacam itu. Anjani berdiri diam di depan pintu kamar Grace, ia mengangkat tangannya, dan menempelkan ke pintu kamar Grace, hendak mengetuk, namun tiba- tiba niatnya terhenti, ia takut jika Grace benar-benar ada di kamar berduaan dengan Faizal. "Ma ...!" suara dari belakang mengagetkan Anjani. Anjani menoleh ke belakang dengan gugup ia menyapa. "Ohh ... Papa ... Anu eh, aku ingin menemui Grace tapi takut mengganggu sebab baru saja dia pulang sekolah. Tanpa basa-basi Abilawa langsung mendekati pintu kamar Grace. Melihat hal itu Anjani bingung ia hendak me
Anjani diam menatap Grace yang bertingkah tak sopan. Tanpa bicara sedikitpun Anjani nemunguti dua lembar uang di lantai. Ia tak ambil pusing dengan ejekan Grace. "Uhh, ternyata di ambil juga tuh uang, dasar kere, kampungan." Grace meninggal kan Anjani yang menyayangkan uang dua ratus ribu fi buang begitu saja, ingat jaman masih di kampung uang segitu begitu banyak. Jangankan uang dua ratus ribu. Uang seribu saja susah untuk mendapatkannya. Anjani membiarkan Grace meninggalkan dirinya, namun dalam hati Anjani tak tega juga, ia berpikir bagaimana nanti kalau Grace di luar tak punya uang. Ia diam sejenak sembari berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk Grace, ia harus keluar dulu ke ATM. Anjani kembali masuk kamar, mengambil dompet yang berisi ATM. Ia melangkah keluar hendak menyuruh Romi mengantar ke depan. Bari saja kaki. Anjani menginginjakkan ruang tamu. Ia melihat Grace duduk di ruang tamu dengan seorang laki-laki. Yang usianya lebih tua dari Grace. Anjani menghentikan langk
Dalam hati Anjani tertawa melihat kelakuan Lidya dan Grace. Ia membiarkan kecurigaan itu berlanjut, justru Anjani hendak membuat Lidya dan Grace semakin curiga, dan mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Denis. Hari-hari pun di gunakan Anjani semakin dekat dengan Denis. Siang itu sengaja kepulangan Grace dari sekolah yang di jemput oleh Romi sang sopir. Grace keluar dari mobil tampak marah. Grace masuk rumah dengan wajah tak bersahabat ketika melintasi duduk Anjani dan Denis di ruang tamu. Ia berlalu begitu saja tanpa menyapa Anjani. Anjani memandang Denis, menarik ujung matanya ke atas. Sepertinya menanyakan kelakuan Grace dalam bahasa isyarat. Denis hanya menggelengkan kepala, dan mengatakan agar Anjani tidak ikut campur urusan pribadi Grace. "Masuk lah ke dalam Nyonya Loli, biarkan nona Grace." Anjani berdiri, tapi dirinya tak merasa enak jika membiarkan keadaan Grace. Nanti bakal di salahkan, tanpa persetujuan Denis Anjani melangkah menuju kamar Grace. Tok, tok, tok ..
Klik Tangan Denis menekan tombol listrik, ruangan yang gelap berubah terang. "Maaf Nyonya, saya tinggal dulu," pamit Danis dengan membungkukkan tubuhnya tanda hormat. Anjani menganggukkan kepala. Dan beralih pandangan ke ekspresi Grace yang sepertinya jijik dan tak suka. Grace menggeleng-gelengkan kepala. "Tak seindah kamarku di rumah, ini mah gudang!""Graceee ...!" suara keras Lidya memperingatkan agar Grace tak banyak bicara. "Ini kamar sudah di bersihkan, dan semua ini kehendak tuan Abilawa, tuan Abilawa memberikan yang terbaik untuk Nona Grace," ungkap Anjani. "Maaf saya harus pergi, melihat Ain anak saya." Anjani membalikkan tubuhnya serta keluar dari kamar. Namun Anjani tidaklah meninggalkan ruangan. Ia sembunyi di dekat dinding, ingin mendengarkan apa rencana Lidya dan Grace.Dugaan Anjani tak meleset, Lidya merencanakan sesuatu, Anjani mendengar jelas percakapan Lidya dan Grace. Dengan cepat Anjani mengeluarkan ponselnya dan merekam semua percakapan Mereka. "Diamlah
Pikiran Anjani terus terbayang Grace yang akan tinggal satu atap dengannya, dan kata-kata bibi Narti tadi siang yang membeberkan tentang kelakuan Grace. Hingga menjelang pagi mata Anjani tak bisa terpejam. Dentangan jam di sudut ruang kamar Anjani sudah menunjukkan angka empat pagi, Anjani beranjak dari tempat tidurnya. Tampak Airin yang tidur disebalahnya tampak pulas, entah sudah dia malam Anjani menginginkan tidur sama Airin yang biasanya Airin tidur di kamarnya sendiri, kadang Anjani yang pindah tempat ke kamar Airin. Anjani tau semua itu ia lakukan karena Abilawa tentu berada di kamarnya sendiri, jika tidak tentu berada di rumah salah satu istrinya. Anjani melangkah ke kamar mandi, hendak menunaikan kewajiban sebagai umat muslim. Apalagi sudah terdengar azan shubuh dari kejauhan. Anjani masih duduk tepekur di atas sajadah dengan tangan menengadah ke atas, ia merasa bersyukur dalam keadaan bagaimanapun masih ingat akan Tuhannya. Walau Allah memberikan pekerjaan sebagai wani